• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 CITRA, INFORMASI DAN DIPLOMAS

2.11. Teori tentang Citra

Kondisi Indonesia yang terpuruk setelah terjadinya krisis di bidang ekonomi tahun 1997, kemudian membawa keterpurukan di bidang politik dan sosial budaya telah memberikan citra negatif bagi bangsa dan negara lain termasuk bagi bangsa Indonesia sendiri, karena citra dibangun berdasarkan hasil pengalaman bangsa Indonesia yang merasakan pahitnya kondisi kehidupan sehari-hari saat itu sebagai suatu realitas, dan bagaimana bangsa lain mempersepsikan kondisi itu. Seperti dikatakan Boulding (1956:6):

what, however, determines the image?. This is the central question of this work. It is not a question which can be answered by it. Nevertheless, such answers as I shall give will be quite fundamental to the understanding of how both life and society really operate. One thing is clear. The image is built up as a result of all past experience of the possessor of image. Part of the image is the history of the image itself. Pencitraan, sebagaimana dikemukakan Boulding (1956:7-8), dapat berubah setiap waktu di saat seseorang menerima pesan baru, kemudian

mengubah pola-pola perilaku yang bersangkutan “every time a message

reaches him his image is likely to be changed in some degree by it, and as his image is changed his behavior patterns will be changed likewise”. Sekalipun demikian, sejauh mana pesan baru atau informasi tentang pergantian Presiden RI itu dapat mengubah citra, menurut Boulding, apabila suatu

pesan membentuk citra, tiga hal dapat terjadi. Pertama, citra tetap tidak

akan terpengaruh. Kedua, kemungkinan suatu pesan berpengaruh

terhadap citra. Ketiga, pesan akan mengubah citra secara drastis.

Gambaran tentang realitas kondisi bangsa Indonesia yang masih mengalami krisis menghasilkan citra krisis, walaupun gambaran tentang realitas itu tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Citra adalah dunia menurut persepsi seseorang dan dibentuk berdasarkan informasi yang diterima. Informasi dapat membentuk, mempertahan- kan atau meredefinisikan citra. Menurut Roberts (1977) citra adalah representasi dari seluruh informasi tentang dunia dimana seseorang telah memproses, mengorganisasikan dan menyimpannya, dan menurut Lippman (1965) citra adalah gambaran tentang sesuatu dalam benak seseorang. Sedangkan informasi yang disampaikan oleh media adalah informasi yang telah diolah atau diseleksi oleh media sehingga menjadi realitas kedua. Informasi yang disampaikan oleh media menurut Roberts (1977) cenderung mempengaruhi cara seseorang mengorganisasikan citra tentang lingkungan, dan citra ini yang mempengaruhi cara seseorang berperilaku. Menurut Roberts, komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan; dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku (Rakhmat, 2004:223-224).

Citra menurut Bernays (Davis, 2004 : 25-26 ) berbeda dengan realitas. Citra adalah sebuah kesatuan mental atau interpretasi sensual (penginderaan), sebuah persepsi tentang seseorang atau sesuatu hal yang dikonstruksi secara deduktif, didasarkan kepada bukti yang tersedia, secara nyata maupun dalam imajinasi, dikondisikan oleh adanya kesan, kepercayaan, gagasan, dan emosi, sebagaimana dinyatakan Bernays sebagai berikut:

Images differ from reality, just what is image, a term that has entered universal usage and is widely applied by people generally. An image is a composit mental or sensual interpretation, a perception, of someone or something; a construct arrived at by deduction based upon all the avaliable evidence, both real and imagined, and conditioned by existing impressions, beliefs, ideas and emotions. Perceptions can be, often are,

intuitive, relating to, for instance, aesthetic qualities, fundamental truths, absolute givens, basic understandings. Image may be cultivated that are factually accurate reflections of reality or essentially ephemeral and insubstansial.

Sedangkan Grunig dan White (1992) mengemukakan bahwa “The average person sees image as the opposite of reality”.

Apabila pesan atau informasi itu yang membentuk citra, dan citra itu adalah dunia dalam persepsi kita, dengan demikian citra dihasilkan oleh suatu persepsi dan kualitas informasi menentukan kualitas suatu persepsi. Menurut Mulyana (2004 : 167-170), persepsi didefinisikan sebagai cara organisme memberi makna. Persepsi merupakan inti komunikasi, karena apabila persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsi yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain.

Dikemukakan lebih lanjut oleh Mulyana, persepsi terdiri dari tiga aktifitas yaitu seleksi, mencakup sensasi dan atensi; organisasi, yaitu meletakkan suatu rangsangan bersama rangsangan lainnya sehingga menjadi suatu keseluruhan yang bermakna; dan interpretasi atas informasi yang kita peroleh melalui salah satu atau lebih indera kita. Tahap terpenting dalam persepsi adalah interpretasi atas informasi yang kita peroleh melalui salah satu atau lebih indera kita. Pengetahuan yang kita peroleh melalui persepsi bukan pengetahuan yang sebenarnya, melainkan pengetahuan mengenai bagaimana tampaknya obyek tersebut.

Informasi mempunyai peranan penting dalam interpretasi, dan suatu pencitraan. Komunikasi yang efektif tergantung dari akurasi suatu persepsi, sedangkan informasi menjadi andalan dalam proses

penyampaian pesan dari suatu komunikasi. “Communication is a

message-centered process that relies on information” (Littlejohn, 1996:105). Dihubungkan dengan dikemukakan-nya kritik oleh beberapa ahli ekonomi dan politik terhadap suatu kebijakan pemerintah bahwa pemerintah belum berhasil menyejahterakan masyarakat antara lain karena jumlah orang miskin bertambah, pengangguran bertambah,

pemerintahan belum efektif, dan lain-lain, dapat saja dibantah oleh pejabat pemerintah dengan berbagai alasan dan mengajukan beberapa kendala bahkan dapat menyalahkan pihak lain.

Realitas yang dipandang berbeda karena perbedaan persepsi telah menimbulkan berbagai macam citra seperti dikemukakan Jefkins (1984 : 7-9) bahwa citra terdiri dari lima jenis, yaitu “mirror image, current image, wish image, corporate image, serta multiple image”.

Mirror image, adalah citra dari seseorang dalam organisasi

terutama pimpinannya yang meyakini kesan baik pihak luar tentang organisasinya. Citra ini dapat merupakan ilusi yang disebabkan oleh sangat kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap pendapat orang/pihak luar. Keadaan ini adalah situasi biasa yang seringkali didasarkan pada fantasi “semua orang menyukai kita”.

Current image, adalah citra yang dianut oleh pihak luar organisasi

yang kemungkinan didasarkan kepada miskinnya pengalaman atau informasi dan pemahaman terhadap organisasi yang bersangkutan.

Current image tergantung kepada sedikit atau banyaknya orang

mengetahui suatu organisasi, dan di dalam dunia yang serba sibuk, pengetahuan mereka tidak akan sempurna dari pada mereka yang ada di dalam organisasi. Sebuah contoh, penduduk asli akan mengetahui lebih banyak tentang negaranya dari pada orang asing yang tinggal ratusan atau ribuan kilometer jauhnya. Jenis citra ini menjadi permasalahan komunikasi yang besar bagi dunia ketiga. Citra bagi kebanyakan negara berkembang adalah miskin menurut Negara Barat sehubungan dengan apatisme dan ketidakpedulian Negara-negara Barat.

Wish image, adalah citra yang dikehendaki pihak manajemen.

Citra ini juga sangat tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan sebenarnya atau berlainan dengan kenyataan.

Corporate image, adalah citra dari organisasi itu sendiri dan tidak hanya citra tentang produk. Citra organisasi dapat dibentuk oleh banyak hal, seperti riwayat organisasi, stabilitas dan suksesnya finansial, kualitas produksi, sukses ekspor, hubungan industri, reputasi dari pegawai, tanggung jawab sosial, hasil penelitian, dan lain-lain.

Multiple image, yaitu citra yang dimiliki sejumlah individu, cabang atau perwakilan lainnya dari organisasi secara keseluruhan. Seandainya terdapat citra masing-masing individu, cabang atau perwakilan yang tidak sesuai dengan citra organisasi secara keseluruhan, masalahnya dapat diatasi oleh penggunaan secara menyeluruh mengenai simbol, lencana, pelatihan-pelatihan staf, dan lain-lain.

Baik Mirror image, Current image, maupun Wish image,

merupakan citra yang tidak sesuai dan bertentangan dengan realitas.

Menurut Jefkins (1984 : 9) citra yang dibangun melalui public relations

yang ideal adalah kesan yang benar yang didasarkan kepada pengalaman dan pengetahuan serta pemahaman dari suatu fakta. Citra tidak bisa dipoles.

... the ideal public relations image should only be a true impression based on experience and knowledge and understanding of the facts”. It follows that an image cannot be 'polished'. A better image has to be earnedby putting rights the causes of bad image wheather it be faulty behaviour or faulty information.To attempt to falsify an image is an abuse of public relations”

Citra dengan demikian tidak dapat dipalsukan. Citra yang baik dapat diperoleh dengan menempatkan atau mengemukakan kebenaran dari sebab-sebab, sekalipun dari suatu kondisi yang jelek, baik itu karena perilaku yang salah atau informasi yang salah.

Memalsukan sebuah citra adalah sebuah penyalahgunaan dari public

relations.

Perbedaan bahkan kekeliruan persepsi dapat terjadi karena seperti dikemukakan DeVito (1997 : 77-85) persepsi dipengaruhi oleh berbagai proses psikologis penting. Antara lain oleh “teori kepribadian implisit”, yani orang mengatakan bahwa seseorang yang bergairah dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar pasti cerdas. Padahal kenyataannya belum tentu demikian. Kemudian oleh “ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya”, terjadi jika kita membuat perkiraan atau merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena kita meramalkannya dan bertindak seakan-akan itu benar. Proses

psikologis lainnya adalah “stereotiping”, yani citra yang melekat atas sekelompok orang. Melihat seseorang sebagai anggota kelompok sehingga mendistorsi kemampuan kita untuk mempersepsikan orang lain secara akurat. Proses psikologis lain yang menghambat persepsi (Mulyana 2004:223) yaitu “prasangka”, konsekuensi dari storeotip, dan lebih teramati dari stereotip. Mengutip kata-kata Robertson 'pikiran berprasangka selalu menggunakan citra mental yang kaku yang meringkus apapun yang dipercaya sebagai khas suatu kelompok. Citra demikian disebut stereotip'.

Kekeliruan-kekeliruan persepsi dapat terjadi, seperti dikemukakan Mulyana (2004 : 171-191) bahwa persepsi terbagi dalam persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia atau persepsi sosial. Mempersepsi lingkungan fisik, terkadang melakukan kekeliruan karena indera kita terkadang menipu. Sedangkan dalam mempersepsi objek-objek dan lingkungan sosial, setiap orang memiliki gambaran yang berbeda mengenai realitas di sekelilingnya. Persepsi manusia terhadap seseorang, objek, kejadian berdasarkan pengalaman masa lalunya berkaitan dengan seseorang, objek, atau kejadian serupa. Persepsi juga bersifat selektif. Atensi seseorang pada suatu rangsangan merupakan faktor utama yang menentukan selektivitas atas rangsangan. Persepsi juga bersifat evaluatif karena alat indera terkadang menipu, sehingga kita juga ragu seberapa dekat persepsi kita dengan realitas sebenarnya. Persepsi juga bersifat kontekstual. Ketika kita melihat seseorang, suatu objek, suatu kejadian, sangat mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan, dan juga persepsi kita.

Sehubungan keterlibatan unsur sensasi, atensi, ekspektasi, motivasi dan memori dalam persepsi, sebagaimana dikemukakan di atas, dihubungkan dengan pencitraan, diketemukan dua masalah utama dalam pencitraan yaitu “realitas” dan “persepsi”. Masalah “realitas” bersangkutan dengan upaya-upaya bangsa Indonesia untuk mengatasi keterpurukan di segala bidang, dan masalah “persepsi” berhubungan dengan mengkomunikasikan upaya-upaya bangsa Indonesia dalam mengatasi krisis kepada bangsa Indonesia sendiri, dan juga kepada bangsa dan negara lain secara lengkap, akurat, dan benar, supaya dapat menghindari kesalahan persepsi yang patal.

Kekeliruan persepsi dan gambaran stereotipe menurut Jones (1993:192-193) dapat mengaburkan dan mengacaukan komunikasi dalam hubungan antarbangsa dan negara. Beberapa bentuk kekacauan komunikasi seperti pencitraan buruk terhadap bangsa lain, dan citra hebat negara sendiri merupakan kekeliruan persepsual dari gejala ini. Citra suatu negara terhadap negara lain tersebut selain belum tentu sesuai dengan kenyataan, juga sulit diubah, meskipun peristiwa dan pengalaman jelas-jelas bertentangan dengannya.

Persepsi menurut Deutsch (Mohtar Mas'oed, 1990:29-31) menjadi salah satu substansi studi hubungan internasional. antara lain dikemukakan, bagaimana para pemimpin dan warga suatu negara memandang bangsa mereka sendiri, dan bagaimana mereka memandang bangsa-bangsa lain dan perilaku mereka? Berapa kadar kenyataan atau khayalan dalam persepsi ini? Kapan persepsi ini bersifat realistik atau ilusi? Dalam hal apa? Dalam kondisi bagaimana pemerintah dan rakyat pemilihnya bersikap penuh pengertian terhadap bangsa lain, dan dalam hal apa mereka bersikap picik?

Persepsi yang akurat dihasilkan oleh sensasi, atensi, organisasi dan interpretasi yang akurat. Informasi yang akurat, benar dan lengkap menjadi unsur utama untuk menghasilkan komunikasi yang efektif. Persepsi yang akurat menghasilkan komunikasi yang efektif. Citra juga dibangun oleh informasi. Persepsi, komunikasi, informasi, merupakan unsur-unsur penting untuk membangun citra. Menjadi permasalahan adalah bagaimana mengorganisasikan persepsi, komunikasi, dan informasi sehingga menghasilkan citra yang diharapkan dari masyarakat atau publik dalam negeri dan luar negeri. Dimensi publik menjadi unsur pokok dalam diplomasi baru/diplomasi publik, dan mempunyai pengaruh yang kritis terhadap kebijakan luar negeri. Dimensi publik tidak hanya opini publik tetapi juga konsultasi publik,

partisipasi atau keterlibatan publik, dan tindakan publik.

Secara lebih jelas kerangka pemikiran penelitian ini penulis visualisasikan dalam bentuk diagram seperti terlihat pada Diagram 2.5.

Diagram 2.5 Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian

* * *

TEORI DIPLOMASI & DIPLOMASI PUBLIK

TEORI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

TEORI

PUBLIC RELATIONS

TEORI CITRA TEORI

KEPEMERINTAHAN TEORI ORNOP

KEGIATAN “KOALISI UNTUK KEBEBASAN INFORMASI” DALAM DIPLOMASI PUBLIK

MODEL DIPLOMASI PUBLIK YANG TERINTEGRASI DAN BERSINERGI

PARADIGMA KONSTRUKTIVISME TEORI KONSTRUKSI SOSIAL TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

asil penelitian yang dipaparkan tentang “Koalisi untuk

Kebebasan Informasi” selanjutnya disebut Koalisi, meliputi

H

profil Koalisi dengan mengemukakan struktur organisasi dan

keanggotaan Koalisi serta tujuan dan motivasi pendirian Koalisi

sebagaimana tercantum dalam Statuta Koalisi dengan mengungkapkan

latar belakang pendiriannya. Melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, peneliti mengemukakan program kerja dan kegiatan

Koalisi, baik yang dilaksanakan di dalam negeri maupun di luar negeri,

faktor-faktor yang menunjang dan menghambat serta hasil-hasil yang

dicapai Koalisi. Pemaparan hasil-hasil kegiatan Koalisi dapat berupa

hasil Koalisi secara langsung dan hasil advokasi Koalisi terhadap pihak

lain.

Sebagai upaya menjamin keaslian data dalam penelitian ini maka informasi atau data-data yang diperoleh dari informan kunci maupun informan pendukung, hasilnya penulis rumuskan dalam bentuk proposisi dan model-model temuan penelitian. Proposisi dan model temuan ini penulis lakukan pengujian validitas isinya melalui proses triangulasi dalam bentuk diskusi dengan informan yang bersangkutan. Selain itu triangulasi dilakukan dengan beberapa pakar komunikasi

Dokumen terkait