BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
3. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pada Hukum Perlindungan Konsumen
pertanggungjawaban ketika diberlakukannya suatu hukum. Prinsip ini bertujuan agar dapat mengetahui bagaimana pertanggungjawaban dalam suatu kasus perlindungan konsumen. Prinsip perlindungan konsumen mencari siapa saja pihak yang harus bertanggung jawab dan juga seberapa besar beban tanggung jawab yang diterimanya. Peraturan perundang-undangan memberikan batasan-batasan tanggung jawab yang dipikul oleh pelaku usaha yang melanggaran hak konsumen.38
Prinsip ini sebagian besar membatasi ruang pelaku usaha agar tidak melakukan hal yang dapat merugikan konsumen. Tujuan jelasnya agar menghindari sesuatu yang tidak baik dan benar dalam bertransaksi bersama konsumen.
Konsumen pun juga akan menghadapi masalah apabila tidak memakai prinsip-prinsip tanggung jawab ini. Karena dari prinsip-prinsip inilah seluruh tanggung jawab akan dibebankan kepada pelaku usaha atau konsumen yang melanggar.
a. Prinsip Perlindungan Konsumen Berdasarkan Ekonomi Syariah
Ekonomi Syariah mengandalkan hukumnya pada dalil dan fiqih. Prinsip dasar ekonomi Syariah adalah kajian fiqih di dalam muamalat. Salah satu kaidah dasar yang paling utama dan disepakati para ulama yaitu:39
37 h., 317
38 Celina Tri Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h., 92.
39 Imam Musthofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), h., 10.
[Al Ashlu fil mu’amalati ibahatu hatta yadullu dalilun ‘ala Khilafihi]
Artinya:
“Hukum dasar mu’amalah adalah diperbolehkan, sampai ada dalil yang melarangnya”
Berdasarkan kaidah di atas, maka umat Islam dibebaskan untuk mengembangkan mode ekonomi Islam sesuai zaman dan peradabannya. Hal ini diperkuat dengan adanya sistem modern dalam ekonomi Islam. Mu’amalah tidak terlepas dari landasan atau dasar hukum perspektif fiqih, jadi ekonomi Syariah haruslah berdasarkan dalil dan kaidah Islam. Maka dari itu batasan atau yang biasa diartikan dengan prinsip Islam tidak boleh bertentangan dengan dasar hukum Islam. Prinsip-prinsip dalam tanggung jawab perlindungan konsumen juga sama dengan alur mu’amalah. Prinsi-prinsip tersebut yaitu:40
1) Larangan berbuat zalim (Man’u Dzalim)
Zalim adalah melakukan sesuatu tidak pada tempatnya. Dapat diartikan sebagai tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Zalim sangat bertolak belakang dengan keadilan, maka dari itu dilarang berbuat zalim oleh Agama Islam. Di dalam transaksi bisnis haruslah kita berbuat adil mulai dari pelaku usaha dan juga konsumen. Ketika prinsip keadilan tidak terlaksana maka semua kegiatan akan mengalami kegagalan.
2) Siap menerima risiko
Prinsip yang selanjutnya adalah siap menerima risiko, yaitu segala sesuatu kegiatan pasti mempunyai risiko. Terutama dalam hal transaksi ekonomi setiap pelaku usaha dan konsumen mempunyai risiko yang berbeda-beda. Untuk melindungi para pihak, haruslah ada prinsip menerima risiko yang dijalani. Pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang dialami selama bukan kesalahan yang disengaja. Para pihak konsumen dan
40 Aulia Muthiah, Hukum Perlindungan Konsumen: Dimensi Hukum Positif dan Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2018), h., 108.
pelaku usaha harus menerima setiap risiko. Prinsip ini sangat berbarengan dengan tanggung jawab perlindungan konsumen. Apabila semua pihak menjalani prinsip tersebut maka akan jauh dari sengketa.
3) Larangan riba
Riba disepakati keharamannya oleh seluruh ulama bahkan oleh seluruh syariat langit, dengan kata lain riba tidak hanya diharamkan oleh agama Islam saja, tetapi agama-agama samawi yang lainpun juga demikian.41 Allah mengancam orang yang menjalankannya dengan ancaman yang sangat keras.
Allah berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila” (Q.S. Al-Baqarah: 275).
Secara bahasa riba artinya “tambahan” atau “tumbuh”. Secara istilah riba berarti tambahan yang dimiliki salah satu dari dua pihak yang saling bertransaksi tanpa adanya imbalan. Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Abduh bahwa yang dimaksud riba ialah penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya, karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.42
Larangan riba berarti dalam setiap transaksi tidak boleh berlaku riba.
Riba menjadikan transaksi tersebut menjadi tidak adil dan memberatkan salah satu pihak. Di dalam prinsip pertanggungjawaban haruslah secara baik dan juga tidak ada sistem yang terlarang contohnya riba.
4) Larangan melakukan penipuan
41 Muhammad Tho’in, “Larangan Riba Dalam Konteks dan Teks (Studi Atas Hadist Riwayat Muslim Tentang Pelaknatan Riba)”, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 02, NO. 02, (Diakses Juli, 2016), h. 64.
42 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h., 57.
Larangan melakukan penipuan ini sama dengan larangan berlaku gharar. Gharar adalah ketidakjelasan suatu objek dalam transaksi. Bagaimana ingin melakukan transaksi apabila terdapat gharar dalam suatu objek maupun tata cara transaksi. Ketidakjelasan tersebut akan menimbulkan perselisihan antar pihak yang mengakibatkan kegagalan transaksi. Larangan ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari ketidak adilan dalam transaksi.
Transaksi konsumen yang di dalamnya ada gharar maka sangat merugikan konsumen. Konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan informasi mengenai suatu objek maupun sistem jual beli. Sebagai pelaku usaha haruslah bersikap jujur dan bertanggung jawab apabila konsumen merasa dirugikan. Jika dilakukan dengan jujur maka sebuah transaksi akan berhasil. 43
5) Larangan maysir
Maysir adalah suatu tindakan yang tidak jelas perhitungannya ataupun tidak ada dasar sama sekali. Maysir bisa dikatakan sebagai kecurangan dalam bertransaksi. Sebagai contoh adalah menjual buah-buahan yang masih berada di pohonnya. Berdasarkan prinsip ini maka suatu yang dilarang dalam syariah itu sudah sesuai dengan ketentuan dan porsinya. Sesuatu yang dilarang pasti akan berbuah kebaikan. Hal tersebut dapat menghindari sebuah kecurangan dalam bertransaksi. Agar konsumen lebih terlindungi dan para pelaku usaha dapat bertanggung jawab dengan prinsip yang sudah adil.
6) Prinsip kejujuran
Kejujuran adalah kunci dalam suatu keberhasilan. Prinsip bertanggung jawab harus berbarengan dengan kejujuran. Orang yang jujur akan menghasilkan suatu keadaan yang adil. Khususnya dalam berbisnis pasti yang dicari adalah keuntungan dan keuntungan itu seharusnya berasal dari orang
43 Aulia Muthiah, Hukum Perlindungan Konsumen: Dimensi Hukum Positif dan Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2018), h., 112.
yang jujur. Prinsip kejujuran merupakan pegangan untuk para pelaku bisnis.
Konsumen dan pelaku usaha sama-sama berpegang pada kejujuran.
Apabila suatu transaksi tidak didasari dengan kejujuran, maka hal tersebut rentan terkena masalah dan kezaliman di dalamnya. Suatu transaksi yang terdapat masalah akan merugikan seluruh pihak. Konsumen dan pelaku usaha haruslah berbuat jujur untuk memenuhi syarat keadilan dalam transaksi ekonomi. Prinsip kejujuran termasuk ke dalam prinsip yang sangat penting untuk hukum perlindungan konsumen.
7) Sadd al-Dzari’ah
Kata Sadd berarti menutup cela atau mencegah kerusakan. Kata dzari’ah merupakan perantara dan jalan kepada sesuatu. Maksud dari saad dzari’ah adalah mencegah atau menahan jalan-jalan menuju kesesatan yang bisa menjerumuskan ke dalam sesuatu yang haram dilakukan. Menurut syariah dzari’ah berarti perantara yang hukumnya mubah namun jika menimbulkan kerugian maka berubah menjadi haram.44
Dzariah harus dihindari karena menimbulkan kerusakan dan kemudharatan. Apabila terjadi kecurangan dalam transaksi bisnis maka sudah termasuk ke dalam prinsip pertanggungjawaban dan harus berbuat adil.
Konsumen dan pelaku usaha sama-sama ingin menghindari permasalahan dalam kegiatan bisnis. Jadi dalam bertransaksi diwajibkan menghindari sarana yang mengakibatkan kerugian baik untuk pelaku usaha maupun konsumen.
b. Prinsip Perlindungan Konsumen Berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen
Prinsip tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dibahas dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Suatu permasalahan dalam kegiatan pelanggaran bisnis haruslah mempunyai prinsip pertanggungjawaban. Semua
44 Hifdhotul Munawaroh, “Sadd Al- Dzari’at dan Aplikasinya Pada Permasalahan Fiqh kontemporer”, Jurnal Ijtiha, Vol. 12, No. 1, (Diakses Juni 2018), h. 66.
prinsip ini untuk menganalisis kepada siapakah pertanggungjawaban itu dan berapa beban yang harus ditanggung. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam Hukum Perlindungan Konsumen yaitu:45
1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan/kelalaian Tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (negligence) adalah sebuah prinsip yang bersifat subjektif, yaitu pertanggungjawaban yang ditentukan oleh perilaku pelaku usaha. Berdasarkan hal ini faktor penentu adanya kerugian konsumen terdapat pada kelalaian pelaku usaha terhadap hak konsumen. Kelalaian ini berakibat pada pengajuan gugatan ganti rugi kepada pelaku usaha oleh konsumen yang merasa dirugikan.
Negligence adalah perilaku yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Yang dimaksud dengan negligence ini adalah adanya perbuatan yang kurang hati-hati ataupun tidak teliti.
Kesalahan/kelalaian dapat dijadikan sebuah alasan gugatan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:46
a) Perilaku yang menimbulkan kerugian, tidak sesuai dengan sikap hati-hati.
b) Harus dibuktikan bahwa pihak tergugat lalai dalam kewajibannya terhadap penggugat.
c) Perilaku tersebut adalah penyebab dari segala kerugian yang timbul.
Setiap perkara haruslah jelas siapa yang menjadi subjek maupun pelaku yang terbukti melakukan kesalahan. Terdapat pembagian beban pembuktian yang terbagi dalam beberapa asas. Asas tersebut mengikuti ketentuan pasal 163 HIR, pasal 283 RBg, dan pasal 1865 KUHPdt yang menyatakan bahwa barang siapa yang mengakui suatu hak, maka harus membuktikan adanya
45 Aulia Muthiah, Hukum Perlindungan Konsumen: Dimensi Hukum Positif dan Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2018), h., 116.
46 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h., 116.
peristiwa tersebut (Actorie incumbit probation). Hal ini tercantum pada dua asas hukum, yaitu:47
a) Vicarious liability/respondeat superior, let the master answer
Pengertiannya adalah seseorang yang bertanggung jawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang yang berada di bawahnya.
Contohnya seorang bos yang menanggung beban karyawan.
b) Coporate liability
Prinsipnya hamper sama dengan yang pertama yaitu menanggung beban pihak lain tetapi kerugiannya ditanggung oleh sebuah lembaga. Sebuah koporasi atau lembaga yang mempunyai tanggung jawab terhadap karyawan bawahannya.
c) Ostensible agency
Prinsip ini mempunyai makna bahwa orang-orang yang berada di bawah korporasi atau lembaga harus harus tunduk dan patuh terhadap peraturan yang berlaku. Contohnya jika pelaku usaha melakukan kesalahan maka tempat atau lembaga dimana pelaku usaha tersebut bekerja akan bertanggung jawab.
Konsumen yang dirugikan jika ingin menuntut kerugian haruslah membuktikan kesalahan pelaku usaha. Agar yang digugat dapat dinyatakan bersalah. Bahan pembuktian haruslah benar dan tidak fitnah belaka.
2) Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption of libility)
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai dia dapat membuktikan ketidakbersalahan, jadi beban pembuktian ada pada tergugat. Pembuktian ini biasa disebut sebagai
47 Celina Tri Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h., 93-94
pembuktian terbalik. Sistem pembuktiannya terdapat pada pasal 19, 22, 23, dan 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.48
Pemikiran ini berarti sebagai pembuktian terbalik yaitu seseorang bisa dianggap tidak bersalah apabila dia dapat membuktikannya. Hal ini bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Di dalam transaksi bisnis yang bisa membuktikan prinsip ini adalah para pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus memperlihatkan semua bukti-bukti ketidakbersalahnya. Prinsip ini merupakan sebuah teori pembalikan beban pembuktiaan yang digunakan dalam Perlindungan Konsumen. Hal ini bertujuan agar konsumen tidak perlu membuktikan kesalahan para pelaku usaha yang menjadi tergugat dan tergugat bertanggung jawab untuk membuktikannya.49
3) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of nonliability)
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip tanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan bahwa ia bersalah. Prinsip ini dikenal dengan lingkup transaksi yang terbatas.
Sehingga prinsip ini sudah tidak lagi dipakai dan diganti dengan prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi.50
4) Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict liability)
Dalam perkembangannya ada cara untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha, yaitu dengan mempergunakan prinsip tanggung jawab mutlak. Hal ini dikarenakan lemahnya kedudukan konsumen dalam membuktikan kesalahan ataupun negligence pelaku usaha, sebab tidak mempunyai pengetahuan dan sarana untuk menggugat.
48 Aulia Muthiah, Hukum Perlindungan Konsumen: Dimensi Hukum Positif dan Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2018), h., 118.
49 Aulia Muthiah, Hukum Perlindungan Konsumen: Dimensi Hukum Positif dan Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2018), h., 120.
50 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), h., 62.
Tanggung jawab mutlak merupakan bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum). Prinsip pertanggungjawaban dalam perbutan melawan hukum tidak didasarkan pada kesalahan tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha untuk langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Prinsip ini juga tidak mempersoalkan terkait ada atau tidaknya kesalahan, tetapi pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan pelaku usaha sebab tidak hati-hati.51
Prinsip tanggung jawab mutlak sesuai dengan KUHPerdata pada pasal 1367, yaitu:
“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.”
5) Prinsip tanggung jawab dengan Batasan (Limitation of liability) Prinsip ini sangat disenangi pelaku usaha dan dianggap merugikan konsumen. Dikarenakan prinsip ini dapat dimasukkan ke dalam klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuat. Bila prinsip ini digunakan secara sepihak maka sangat merugikan konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 mengatakan bahwa pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggungannya. Jika terdapat pembatasan maka harus sesuai dengan peraturang perundang-undangan yang berlaku.
Prinsip-prinsip ini memberikan layanan hukum dalam perlindungan konsumen agar menghindari kerugian yang disebabkan oleh pelaku usaha.
Tujuan diadakannya prinsip pertanggungjawaban ini agar memberikan kepastian hukum kepada penggugat dan tergugat dalam hal
51 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h., 101.
pertanggungjawaban. Tanggung jawab yang dimaksud tertera dalam perjanjian antara kedua belah pihak dan untuk mengetahui siapa atau kadar orang yang bertanggung jawab.