• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Teori Kenakalan Siswa

7. Problem Solving

Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang bermasalah, dengan menunjukan berbagai gejala penyimpangan perilaku yang merentang dari kategori ringan sampai kategori berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin di sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.

Penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sangsinya. Sebagai lembaga pendidikan, kepentingan

59

utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para sisiwanya.

Oleh karena itu, di sinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan, yaitu pendekatan melalui bimbingan dan konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui bimbingan dan konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada.

Meskipun saat ini paradigma pelayanan bimbingan dan konseling lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, pelayanan bimbingan dan konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru bimbingan dan konseling. Dalam hal ini dikemukakan tentang tingkatan masalah beserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagai berikut:

a. Masalah ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah (konselor/ guru pembimbing) dan mengadakan home visit.

60

b. Masalah sedang, seperti gangguan emosional, berpacaran dengan perbuatan menyimpang, berkelahi anatar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan dikeluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru bimbingan dan konseling, dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah.

c. Masalah kasus berat, seperti gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam. Kasus berat dilakukan referal (alih tangan kasus) kepada psikolog, psikiater, dokter, ataupun polisi (Hikmawati, 2012: 24-28).

Selain dua pendekatan di atas diperlukan adanya kerja sama dengan orang tua. Orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang baik lahir batin, karena itu orang tualah yang sebenarnya yang berkewajiban mendidik anaknya. Akan tetapi keterbatasan kemampuan (intelektual, biaya, waktu) orang tua menyebabkan mengirim anaknya ke sekolah. Orang tua meminta tolong agar sekolah membantunya mendidik anaknya. Inilah dasar kerja sama antara orang tua dan sekolah dalam pendidikan. Dasar ini telah disadari sejak dahulu hingga sekarang hanya saja, sekarang ini kesadaran orangtua akan prinsip itu semakin

61

berkurang. Orang tua cenderung biaya anaknya semurah mungkin, jika mungkin gratis. Apabila anaknya nakal atau jelek prestasinya orang tua cenderung menyalahkan guru di sekolah (Tafsir, 2007: 128).

Prinsip itu lebih penting lagi dalam pelaksanaan pendidikan keimanan. Usaha pendidikan keimanan memang hanya sedikit dilakukan di sekolah. Padahal penanaman iman itu adalah inti pendidikan agama. Maka orang tualah yang harus menyelenggarakan pendidikan keimanan di dalam keluarga. Dalam hal keimanan guru mempunyai keinginan berperan banyak dalam hal penanaman iman pada siswa, akan tetapi tidak mungkin mampu memainkan peran itu secara keseluruhan. Maka dari itu hal ini menjadi dasar yang kuat perlunya kerja sama antara orang tua di rumah dan guru di sekolah (Tafsir, 2007: 128).

Dalam bekerja sama antara orang tua siswa dengan guru di sekolah sangat diperlukan adanya komunikasi antara keduanya, di sekolah bisa mengadakan suatu program yang memungkinkan komunikasi orang tua dengan guru guna memantau anaknya dalam hal perilaku agama, tutur kata yang dilakukan siswa. Guru agama dianjurkan merintis kerja sama ini dengan berkonsultasi dahulu kepada kepala sekolah, mungkin langkah pertama adalah rapat orang tua siswa dengan guru agama yang dihadiri oleh kepala sekolah dan wali kelas (Tafsir, 2007: 128).

62

Konselor mesti mengkomunikasikan dan bekerja sama dengan orangtua karena merekalah yang memiliki banyak kesempatan untuk mengasuh dan membentuk gaya hidup yang sehat bagi emosi dan pengembangan hubungan antar pribadi anak-anak mereka sejak bayi. Anak-anak diajarkan nilai-nilai etik dan tanggung jawab lewat apa yang disebut para ilmuan sosial

‘pemodelan’ atau mendemonstrasikan perilaku yang diterima

kepada anak agar diikuti. Selain itu, peran signifikan anak yang melayani model dan menyediakan bimbingan dan penguatan bagi anak-anak lain mestinya aktifitas terencana disetiap program karena banyak riset memverifikasi nilai-nilai tersebut secara konsisten. Orang tua adalah model yang kebiasaan dan sikapnya berpengaruh penting bagi nilai dan tindakan anak. Karena itu, para konselor dilingkup komunitas maupun sekolah dapat menawarkan kerja sama pada kelompok-kelompok pengasuhan untuk membantu orang tua (Gibson, 2011: 542-543).

Pentingnya orang tua sebagai pengaruh primer bagi pembentukan dan perkembangan anak menurut konselor bekerja sama dengan orang tua berbasis mutualis pembelajaran dan perencanaan langkah pencegahan terbaik demi keuntungan anak. Sekali lagi, kita harus memahami pentingnya peran orang tua yang memampukan konselor memiliki sebuah perencanaan sistematis yang melibatkan mereka bagi semua upaya preventif

63

dan pengembangan kesehatan mental yang positif bagi anak (Gibson, 2011: 543).

Kesimpulan penulis merangkum pendapat yang dirujuk dari beberapa pendapat di atas bahwa pemecahan masalah dilakukan dengan berbagai pendekatan kepada siswa, dan disesuaikan dengan tingkat permasalahannya. Masalah dengan taraf ringan dapat dipecahkan dengan pendekatan yang dilakukan oleh guru kelas atau wali kelas, masalah dengan taraf sedang dapat ditangani dengan wali kelas kolaborasi dengan guru BK dan masalah berat dapat dipecahkan atau ditangani oleh guru BK dengan kepala sekolah, selain itu juga dikolaborasikan dengan cara bekerja sama dengan orang tua di rumah.

Dokumen terkait