BAB III KONSEP EKONOMI SYARIAH
D. Problematika Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah
Pasca lahirnya UU No.3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kompetensi Peradilan Agama tentu tidak mudah untuk direalisasikan, karena selain berbenturan dengan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Fatwa Dewan Syariah Nasional serta asumsi minor yang menyatakan bahwa prinsip hukum Islam yang berlaku dalam bidang ekonomi syariah bukan hukum positif sehingga tidak dapat dilaksanakan untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah di Indonesia.
Dalam hal ini UU No. 3 Tahun 2006 merupakan produk legislasi yang pertama kali memberikan kompetensi kepada Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Pemberlakuan undang-undang tersebut, secara sosio yuridis mempresentasikan kehendak baik dari pemerintah dalam memproses perkembangan hukum nasional dan mengakomodir kebutuhan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat muslim, sekaligus mencerminkan arah kebijakan politik hukum pemerintah dalam memperluas kompetensi Peradilan Agama dalam perkara ekonomi syariah.
26
Abdul Ghafur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, (Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 58-59.
Semenjak berlakunya Undang-Undang No. 3 tahun 2006, Peradilan Agama
di Indonesia mulai menyelesaikan sengketa ekonomis syari‟ah. Pada tahun 2007
dapat diketahui bahwa Pengadilan Agama di Indonesia telah menerima sejumlah 12 kasus yang berkaitan dengan sengketa ekonomi syari‟ah. Dari data pada Tabel 1
menunjukan bahwa perkara atau persoalan yang paling banyak diajukan ke Pengadilan Agama di Indonesia adalah persoalan gugat cerai. Persoalan ekonomi
syari‟ah lainnya yang banyak diajukan ke Pengadilan Agama ialah perkara
Shodaqa/Zakat/Infaq dengan jumlah perkara sebanyak 25 kasus (kes), dan perkara lainnya ialah wakaf yaitu sebanyak 19 buah 9 kasus. Dari fenomena pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perkara yang dimintakan kepada Pengadilan Agama untuk diselesaikan adalah beragam, tidak hanya berkaitan dengan perceraian.27
Tabel 1 : Jenis dan Jumlah Perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama di Indonesia
No. Jenis Perkara Jumlah
Perkara Prosentase 1. Cerai Gugat 124.079 57,157 2. Cerai Talak 72.759 33,517 3. Isbat Nikah 10.890 5,016 4. Kewarisan 1.373 0,632 5. Dispensasi Kawin 1.240 0,571 6. Ijin Poligami 1.093 0,503
7. P3HP/Penetapan Ahli Waris 1.010 0,465
8. Wali Adhol 924 0,426
9. Harta Bersama 665 0,306
27 Hermayulis, perkembangan ekonomi syari’ah dan penyelesaian Sengketa ekonomi syari’ah
10. Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali 665 0,306
11. Lain-lain 641 0,295
12. Perwalian 399 0,184
13. Asal Usul Anak 271 0,125
14. Penguasaan Anak 269 0,124
15. Pembatalan Perkawinan 213 0,098
16. Pengesahan Anak 174 0,080
17. Izin Kawin 106 0,049
18. Hibah 46 0,021
19. Penolakan Kawin Campuran 38 0,018
20. Pencegahan Perkawinan 36 0,017
21. Wasiat 25 0,012
22. Pencabutan Kekuasaan Wali 25 0,012
23. Shodaqa/Zakat/Infaq 25 0,012
24. Nafkah Anak Oleh Ibu 24 0,011
25. Wakaf 19 0,009
26. Pencbt.Kekuasaan Orang Tua 17 0.008
27. Hak-hak Bekas Istri 16 0,007
28. Penolakan Perkw.Oleh PPN 14 0,006
29. Kelalaian Atas Kewajiban Suami/Istri 13 0,006
30. Ekonomi Syariah 12 0,006
31 Ganti Rugi Terhadap Wali 3 0,001
JUMLAH 217.084 100.000
Sumber: Mahkamah Agung RI
Dari 12 perkara yang murni ekonomi syari‟ah yang diajukan ke Pengadilan
Agama di Indonesia pada tahun 2007, hanya 2 perkara yang dapat diselesaikan. Hal ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama memang berkompeten dalam menangani perkara ekonomi syariah, walaupun kewenangan tersebut merupakan kompetensi baru Pengadilan Agama.
Tabel 2 : Jenis dan Jumlah Perkara yang diselesaikan Pengadilan Agama di Indonesia sampai tahun 2007
No. Jenis Perkara Jumlah
Perkara Prosentase 1. Cerai Gugat 111.145 55,352 2. Cerai Talak 63.943 31,845 3. Isbat Kawin 9.809 4,885 4. Gugur 3.758 1,872 5. Ditolak 1.994 0,993 6. Lain-lain 1.973 0,983 7. Dispensasi Kwin 1.121 0,558 8. Kewarisan 946 0,471
9. Penetapan Ahli Waris 921 0,459
10. Izin Poligami 896 0,446
11. Wali Adhol 678 0,338
12. Tidak Diterima 602 0,300
13. Dicoret Dari Register 545 0,271
14. Harta Bersama 501 0,250
15. Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali 499 0,249
16. Perwalian 349 0,174
17. Asal Usul Anak 232 0,116
18. Pembatalan Perkawinan 185 0,092
19. Penguasaan Anak 184 0,092
20. Pengesahan Anak 141 0,070
21. Pencegahan Perkawinan 113 0,056
22. Penolakan Kawin Campuran 46 0,023
23. Pencabutan Kekuasaan Wali 42 0,021
24. Izin Kawin 39 0,019
25. Hibah 29 0,014
26. Kelalaian Atas Kewajiban Suami/Istri 19 0,009
27. Nafkah Anak Oleh Ibu 15 0,007
28. Penolakan Perkw.Oleh PPN 14 0,007
29. Wakaf 14 0,007
30. Wasiat 12 0,006
31. Hak-hak Bekas Istri 10 0,005
32 Pencbt.Kekuasaan Orang Tua 8 0,004
33. Shodaqa/Zakat/Infaq 7 0,003
34. Ganti Rugi Terhadap Wali 3 0,001
35. Ekonomi Syariah 2 0,001
JUMLAH 200.795 100,000
Tabel diatas menunjukkan bahwa perkara ekonomi syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama. Artinya akan ada suatu sistem hukum baru yang perlu dibangun, diperkenalkan, dan diterapkan. Untuk mencapai sistem hukum baru dalam hukum formil tersebut, maka tantangan dan hambatan yang dihadapi Pengadilan Agama adalah:
1) Sumber Daya Manusia
Hakim-hakim agama dan jajaran Peradilan Agama harus mempersiapkan diri dengan materi peraturan Perundang-undangan yang sangat banyak berkaitan
dengan bisnis syari‟ah tersebut. Mengingat masih banyaknya praktik bisnis
syari‟ah yang belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan, maka hakim
dituntut untuk dapat menghasilkan putusan yang berkualitas, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam menyelesaikan sengketa yang serupa. 2) Kelembagaan
Kelembagaan Peradilan Agama yang ada saat ini akan memerlukan perombakan yang cukup mendasar, baik dari strukturnya, karir hakim dan lain-lainnya yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan.
3) Budaya Masyarakat Pencari Keadilan
Pola yang sudah tertanam dalam diri para pencari keadilan adalah ”ke Pengadilan untuk menang bukan untuk mendapatkan keadilan”. Pola ini tidak
dengan mudah diubah.28
28
Syaifuddin, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, dalam Suara ULDILAG No. 13, Mahkamah Agung, 2008.
Hambatan yang dirasakan hakim Pengadilan Agama dalam pelaksanaan tugas-tugas memeriksa, memutus, dan menyelesaikan setiap perkara dalam bidang ekonomi syariah dapat dikategorikan ke dalam dua macam hambatan, yakni hambatan yang sifatnya substantif dan hambatan yang bersifat metodologis. Hambatan atau kendala yang bersifat substantif dapat dilihat sebagai berikut: Pendidikan dan pelatihan tentang ekonomi syariah maupun perbankan syariah tidak mudah untuk bisa diikuti oleh para hakim Pengadilan Agama.
Hal itu disebabkan mereka harus berbagi penugasan dengan pelaksanaan tugas-tugas judisialnya di Pengadilan Agama dalam rangka memeriksa dan memutus setiap sengketa yang masuk. Padahal, untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan para hakim pengadilan agama tentang prinsip-prinsip bisnis berbasis syariah, para hakim Pengadilan Agama diikutsertakan secara periodik dan berjenjang dalam setiap kesempatan pendidikan dan/atau pelatihan mengenai ekonomi syariah.29
Sedangkan hambatan yang dapat dikategorikan sebagai hambatan metodologis antara lain, masih dirasakan kurang optimalnya keterampilan serta pemahaman para hakim Pengadilan Agama tentang beracara maupun kemampuan menerapkan hukum (menemukan hukum) secara tepat untuk memuaskan pencari keadilan. Hal ini dapat dilihat terutama para hakim yang berlatar belakang pendidikan bukan sarjana hukum.30 Kendala-kendala ini dapat diatasi dengan motivasi para
29
Eman Suparman, perluasan kompetensi absolut peradilan agama dalam memeriksa dan memutus sengketa bisnis menurut prinsip syariah, Artikel ini diakses pada tanggal 16 oktober 2010.
30
Eman Suparman, perluasan kompetensi absolut peradilan agama dalam memeriksa dan memutus sengketa bisnis menurut prinsip syariah, Artikel ini diakses pada tanggal 16 oktober 2010.
hakim untuk belajar dengan baik, serta memanfaatkan dukungan masyarakat dan upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung secara optimal.
Berdasarkan informasi yang dihimpun sebagai hasil wawancara dengan pimpinan Pengadilan Agama yang dipilih menjadi informan, diperoleh informasi sebagai berikut. Hakim Yusron ketika diminta tanggapannya atas kesiapan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, beliau mengatakan harus siap karena bagian dari menjalankan amanat Undang-undang yang harus diemban. Selain itu juga melakukan pembenahan-pembenahan seperti peningkatan sumber daya manusia yakni hakim di bidang hukum ekonomi syariah serta perangkat-perangkat hukum lainnya yang dapat menunjang kinerja hakim dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah.31
Lalu hakim Kholis menyatakan hal yang sama, menurut beliau jika memang ada pengajuan gugatan perkara ekonomi syariah, maka hakim Pengadilan Agama harus siap. Dalam artian terlebih dahulu hakim harus dibekali dengan pelatihan-pelatihan tentang pengetahuan ekonomi syariah agar para hakim memiliki wawasan yang luas menyangkut perkara ekonomi syariah, dan dengan melakukan pembentukan majelis khusus. Pembentukan ini ditujukan sebagai wadah penanganan-penanganan perkara yang sifatnya khusus, seperti sengketa ekonomi syariah. Hal ini merupakan tindakan yang menandakan bahwa Pengadilan Agama siap dalam menghadapi sengketa ekonomi syariah. Selain itu kemampuan mengelola administrasi peradilan atau manajemen peradilan untuk mewujudkan peradilan yang
31
efisien, efektif, bersih dari asumsi publik masih terus harus dilakukan secara berkesinambungan.32
Dari beberapa pernyataan hakim tersebut diatas menunjukkan bahwa hakim Pengadilan Agama saat ini menghadapi persoalan yang dilematis, karena secara profesionalitas, aspek hukum materiil dan fasilitas dibidang perkara tersebut belum memadai. Beberapa kendala atau rintangan yang masih menyelimuti perangkat Pengadilan Agama dalam tugas-tugasnya sebagai aparat penegak hukum Pengadilan Agama atas fenomena perluasan kompetensi absolut Peradilan Agama dibidang ekonomi syariah, yakni sebagai berikut:33 Pertama, aparat Pengadilan Agama kurang memahami pengetahuan mengenai aktivitas ekonomi dan lembaga keuangan syariah sebagai pendukung kegiatan usaha sektor mikro. Kedua, masih ada kesan atau citra inferior yang sulit dihapus di kalangan masyarakat, seperti citra bahwa Pengadilan Agama hanya berkompeten mengenai masalah nikah, talak, rujuk sehingga masyarakat akan enggan mengajukan perkara ekonomi syariah ke jalur litigasi yakni Pengadilan Agama. Ketiga, masih ada keyakinan dan rasa percaya diri masyarakat luas, bahwa secara kelembagaan keuangan syariah atau operasional dari Bank Syariah yang tidak berbeda jauh dengan konsep bank pada umumnya yang masih menggunakan riba.
Oleh karena itu perlu beberapa langkah strategis dalam rangka mengefektifkan atau mengoptimalkan Lembaga Peradilan Agama mengenai sengketa ekonomi syariah, anatara lain: Pertama, mensosialisasikan Undang-undang Peradilan
32
Wawancara Pribadi dengan Kholis.
33
Agama ke penggiat bisnis syariah bahwa kini ada lembaga penyelesai secara litigasi dan berkompeten dalam menyelesaikan perselisihan ekonomi syariah. Serta untuk segera menyusun peraturan hukum materiil secara lengkap dan sistematis dibidang ekonomi syariah.34 Kedua, diadakan pendidikan dan pelatihan ekonomi syariah bagi hakim Pengadilan Agama secara intensif. Ketiga, dibentuk lembaga penelitian dan pengembangan ekonomi syariah di internal lembaga Peradilan Agama. Keempat,
perbaikan saran dan prasarana Peradilan Agama, seperti melengkapi perpustakaan dengan berbagai literatur hukum ekonomi syariah. Kelima, hakim Pengadilan Agama secara pribadi maupun kolektif harus ada kemauan dan kemampuan untuk melakukan penemuan hukum atau ijtihad dalam masalah yang berkaitan dengan ekonomi syariah karena belum terwadahinya hukum materiil ekonomi syariah.35
Berbicara mengenai penemuan hukum ada dua bentuk penemuan hukum yakni, ijtihad istinbathy, dimana penemuan hukum dengan cara menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan. Hal ini merupakan bagian dari ijtihad yang paripurna dan secara khusus berlaku dikalangan sekelompok ulama
yang berfungsi mencari hukum furu‟ yang amaliyah dari dalilnya yang terinci.36
Dan ijtihad tatbiqhy, merupakan suatu kegiatan ijtihad yang bukan untuk menemukan dan menghasilkan hukum tetapi menerapkan hukum hasil temuan imam mujtahid terdahulu kepada kejadian yang muncul kemudian. Masalah hukum yang muncul
34
Wawancara pribadi dengan Masrum.
35
Anshori, Peradilan Agama di Indonesia, h. 95.
36
kemudian tersebut ditetapkan hukumnya dengan menghubungkannya dengan hukum yang telah ditemukan mujtahid terdahulu.37