BAB I : PENDAHULUAN
C. Problematika Yang Terjadi Dalam Pendaftaran Tanah Di Kota
Problematika pertanahan yang terus terjadi di Kota Batam seperti benang kusut yang tak kunjung usai dan terselesaikan sehingga menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat Batam khususnya. Ditengah sulitnya akses untuk memperoleh hunian yang layak, sementara kebutuhan akan perumahan semakin tak terelakkan, akhirnya jalan pintas untuk mendirikan tempat tinggal di atas tanah Negara yang bukan diperuntukkan bagi pemukiman menjadi pilihan yang diambil oleh sebagian masyarakat Batam. Hal ini didukung oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah, akibatnya bermunculan rumah-rumah liar, tanpa ada usaha untuk membendungnya.74 Persoalan lain yang berkembang pada saat ini adalah tuntutan
72
Juliani Libertina Nasution, 087011144, Hak Kepemilikan Dan Penguasaan Atas Tanah Di
Wilayah Pulau Batam (Studi: Di Pulau Sekikir Dan Pulau Bulat), Tesis, Universitas Sumatera Utara,
Medan, 2011, hlm. 91.
73
Agus Setyadi Hadisusilo, B4B 007 008, Perbandingan Hukum Perolehan Hak Atas Tanah
Untuk Orang Asing Di Indonesia Khususnya Di Pulau Batam Dengan Orang Asing Di Negara Malaysia, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm. 54.
74
masyarakat terhadap sertifikat yang tidak bisa diagunkan ke Bank, dikarenakan ternyata berada di atas kawasan hutan lindung serta lambatnya penerbitan sertifikat tanah masyarakat karena belum adanya kepastian akan status lahannya.
Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Otorita Batam Nomor 003/UM- KPTS/III/86 tentang Petunjuk Pelaksanaan (JUKLAK) mengenai penyerahan bagian- bagian areal tanah di Pulau Batam kepada pihak ketiga pada Pasal 5 sebagai berikut:
“Di luar bidang industri sebagian areal tanah di Pulau Batam dapat juga diperuntukkan perkembangan industri pada khususnya dan kemudian ekonomi pada umumnya, dengan mengutamakan usaha-usaha dibidang jasa, perumahan, pariwisata, pertanian, peternakan, dan perikanan (rawa-rawa)”.
Pasal ini menyatakan bahwa penyerahan areal tanah kepada pihak ketiga dalam hal ini developer/pengembang yang bergerak di bidang perumahan dan pemukiman dapat mengadakan perjanjian dengan Otorita Batam. Akan tetapi permasalahan yang timbul dalam problematika yang terjadi di Kota Batam saat ini adalah peraturan yang dikeluarkan Otorita Batam sebagai pemegang hak pengelolaan dan pemegang kekuasaan atas Pulau Batam pada akhirnya tidak sejalan dengan ketentuan yang ada di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam. Hal ini menimbulkan problematika seperti banyaknya kawasan hijau dan kawasan hutan yang sesuai Tata Ruang Kota/Wilayah yang dilanggar dengan memberikan izin kepada pihak ketiga yang dikeluarkan Otorita Batam. Sehingga perlu adanya penerapan prinsip KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi dan Simplifikasi) antara peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Kota Batam dengan peraturan yang dikeluarkan Otorita Batam sebagai pemegang hak pengelolaan dalam menjalankan kewenangannya masing-masing dimana perlu menyamakan misi bahwa peranan utama lembaga pemerintahan adalah untuk melayani kepentingan masyarakatnya. Dengan demikian apapun peranan yang menjadi wewenangnya masing-masing pihak harus berorientasi untuk mempermudah dan memperlancar kepentingan publik.
Peraturan yang dikeluarkan Otorita Batam sebagai pemegang hak pengelolaan dengan ketentuan yang ada di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam tidak sejalan, misalnya:
1). Banyaknya kawasan hijau yang dibangun perumahan atau toko oleh developer yang telah mendapat izin dari Otorita Batam sehingga Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Kota Batam dilanggar, karena kawasan hijau sebenarnya tidak boleh digunakan atau diberikan kepada developer untuk dibangun.
2). Kawasan hutan yang oleh Otorita Batam diberikan kepada developer untuk hutan dilindungi diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1990 bahwa dalam rangka kebijaksanaan pengembangan pola tata dibangun perumahan yang semula adalah kawasan hutan. Otorita Batam tidak memperhatikan masalah apa yang akan timbul akibat wewenang yang dimilikinya disalah gunakan dalam mengambil keputusan untuk mengalokasikan lahan yang ada di Kota Batam. Mengenai pengelolaan ruang tersebut perlu ditetapkan adanya
kawasan lindung yang memberi arahan bagi badan hukum dan perseorangan dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan.
Yang terjadi adalah pada tahun 2006 sertifikat rumah yang dimiliki masyarakat masih bisa diajukan dan diterima Bank, akan tetapi kondisi mulai berubah pada bulan Agustus 2008.75 Ada sekitar 200 hektare lahan perumahan di Batam yang ternyata adalah kawasan hutan lindung. Lebih ironisnya pengembang tidak mengetahui lahan yang digarap tersebut berdiri di atas kawasan hutan lindung, sehingga masalah ini terungkap belakangan. Inilah yang menyebabkan kekacauan dimana masyarakat dan pengembang merasa dirugikan karena tidak ada kepastian hukum akan kejelasan status lahan. Maka wajar saja kalau sengketa pertanahan masih berkembang dan meluas di masyarakat akibat ketiadaan bukti hak atas kepemilikan tanah tersebut dan/atau dianggap susah proses yang dilalui masyarakat untuk memperoleh bukti ini.
Adapun tuntutan masyarakat tersebut antara lain:76
1. Meminta kepada pihak BPN kota Batam agar segera merubah sertifikat dari hak guna bangunan menjadi hak milik.
2. Meminta kepada instansi terkait secepatnya dapat menindak lanjuti status lahan yang selama ini dikatakan sebagai hutan wisata maupun hutan lindung, agar secepatnya disahkan menjadi lahan sesuai peruntukan tanpa ada masalah tumpang tindih peraturan.
3. Meminta kepada BPN Kota Batam agar secepatnya menentukan status sertifikat yang dimiliki sebagaimana mestinya dalam hal ini bisa diagunkan ke bank.
Tujuan hukum bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian dan kemanfaatan. Pemenuhan keadilan dalam suatu peraturan perundang-undangan belum cukup karena
75
http://www.tribunbatam.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37457&Itemi d=1054, diakses pada tanggal 5 Oktober 2010, pukul 22.10 WIB.
76
Wawancara dengan salah satu warga yang rumahnya berdiri diatas kawasan hutan lindung, pada tanggal 23 Juli 2010.
masih memerlukan syarat kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai bila suatu peraturan dirumuskan secara jelas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda secara tumpang tindih antara peraturan yang ada, baik secara vertikal maupun horizontal. Mewujudkan sistem hukum yang baik akan menjadi sebuah hal yang sulit jika substansi aturan yang mendasarinya pun terdapat kesimpangsiuran akibat ketidaksinkronan aturan yang ada.77 Pengaturan penggunaan tanah di Pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya terjadi dualisme, yakni yang dilakukan oleh Otorita Batam berdasarkan pemberian Hak Pengelolaan yang di dalam ketentuannya memberikan kewenangan untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanahnya, dan juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam dengan didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 20 Tahun 2001 jo Nomor 2 Tahun 2004, sungguhpun pada kenyataannya, pengaturan penggunaan tanah dimaksud belum sepenuhnya dilaksanakan di lapangan sesuai dengan RTRW Kota Batam, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.78 Dan juga tidak adanya kesinkronan peraturan dan data-data antara Otorita Batam dengan Departemen Kehutanan Kota Batam akan status lahan yang ada di pulau Batam. Sehingga masalah tumpang tindih akibat wewenang masing-masing instansi pemerintah Kota Batam terus terjadi sampai saat ini.
Sebagaimana dalam Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam, yang menyebutkan bahwa dengan terbentuknya Kota Batam sebagai daerah Otonom, Pemerintah Kota Batam dalam penyelenggaraan
77
Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm.181.
78
pemerintahan dan pembangunan didaerahnya mengikutsertakan Otorita Batam, untuk itu perlu diatur hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Batam dengan peraturan pemerintah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Kota Batam. Hubungan kerja itu diatur selambat-lambatnya satu tahun atau 12 (dua belas) bulan sejak diresmikannya Kota Batam sebagai daerah otonom. Selama proses penantian peraturan pemerintah tersebut, sering terjadi gesekan dan benturan di lapangan dalam menerapkan kewenangan oleh masing-masing instusi. Ketegangan demi ketegangan muncul antara Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Batam, akan tetapi peraturan pemerintah yang mengatur hubungan kerja tetap tidak terbit.79
Dua lembaga pengelola wilayah yang saling bersiteru hingga membingungkan investor/pengembang, bersedia untuk bekerjasama melalui sebuah nota kesepahaman mengenai hak dan wewenang pemerintah kota Batam dan Badan Otorita Batam. Fungsi dan wewenang dua lembaga ini mengalami tumpang tindih satu sama lain setelah otonomi daerah diberlakukan. Badan Otorita Batam tidak bersedia melepas wewenangnya sementara pemerintah daerah kota Batam bersikeras bahwa mempunyai hak dan wewenang untuk mengelola Batam. Pemerintah Pusat sendiri sampai sekarang belum mengeluarkan undang undang atau peraturan pemerintah yang mengatur tugas dan wewenang Badan Otoritas Batam dan pemerintah daerah Batam dalam mengelola wilayah ini. Karena itu, MOU antara pemerintah daerah Batam dengan badan Otorita
79
Batam dipandang sebagai satu terobosan penting, yang mengatur tentang pertanahan, perizinan, infrastruktur, pelayanan masyarakat, pariwisata dan sebagainya.
Menurut Budi Setiawan, persoalan tumpang tindih ini tidak bisa langsung diselesaikan secara langsung karena harus ada undang undang yang mengatur hubungan kerja antara pemerintah kota Batam dan Badan Otorita Batam. Tetapi sampai sekarang undang undang itu belum ada. Jadi selama undang undang atau peraturan pemerintah belum diterbitkan, maka hubungan kerja antara dua lembaga tersebut tidak akan sempurna, meskipun telah ada MOU, akan lebih sempurna apabila ada peraturan dari pemerintah pusat.80
Karena belum terciptanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum, akan timbullah gejala penguasaan dan pengusahaan atas bidang-bidang tanah oleh pihak- pihak tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, seperti pendudukan atau pengklaiman atas suatu bidang tanah oleh seseorang/kelompok orang yang belum tentu berhak atas tanah yang bersangkutan, okupasi liar dan tumpang tindih hak serta peruntukkan hak atas tanah.
Menurut Isman Hadi, ketidaksinkronan aturan yang ada ini terjadi pada pemerintahan daerah Kota Batam, oleh karena Batam dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang penetapan Batam sebagai kawasan industri yang memiliki kewenangan khusus dalam pengalokasian lahan-lahan yang ada di Batam, sedangkan BPN hanya melegalkan sertifikatnya saja. Semua alas haknya dari Otorita Batam (Badan Pengusahaan Batam), maka seluruh lahan yang masuk wilayah Badan
80
Pengusahaan (BP) Batam harus mendapat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) terlebih dahulu, setelah itu kewenangan BP Batam untuk mengalokasikan lahan kepada pihak ketiga (pengembang). Sebaliknya yang terjadi adalah BP Batam belum memiliki HPL tetapi sudah mengeluarkan izin kepada para pengembang untuk dialokasikan pembangunan perumahan.81
Hak Pengelolaan tersebut diberikan kepada Otorita Batam untuk jangka waktu selama dipergunakan dan berlaku terhitung sejak didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kota Batam. Artinya Otorita Batam diwajibkan oleh peraturan perundangan untuk mendaftarkan Hak Pengelolaannya supaya menjadi berlaku, sebelum didaftarkan maka belum berlaku, belum berkekuatan hukum. Dengan perkataan lain, pendaftaran merupakan syarat yang wajib dipenuhi Otorita Batam agar Hak Pengelolaannya berlaku.
Faktor-Faktor Penyebab Lahirnya Sertifikat Dipermasalahkan.
Lahirnya sertifikat bermasalah menunjukan adanya kelemahan struktural dan atau kelemahan substansi yang disebabkan oleh berbagai faktor, dan dapat diidentifikasi sebagai berasal dari:82
1). Faktor manusia, dalam hal ini terdiri dari Aparat Pertanahan dan Pemohon Hak Tanah.
Secara umum kualifikasi seorang aparat di dalam melaksanakan tugasnya dibentuk oleh:
81
Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam pada tanggal 22 Juli 2010.
82
a. Aspek Psikologis.
Kondisi psikologis seorang aparat yang terefleksikan dalam wujud; kemampuan (ability) dan integritas (integrity) serta komitmen (commitment), menentukan kwalitas kerja dan kinerjanya.
b. Aspek Sosiologis.
Pelaksanaan pendaftaran tanah, dapat dipengaruhi oleh derajat hubungan sosiologis antara aparat pertanahan dengan pemohon hak. Dalam proses kegiatan pendaftaran tanah terjadi interaksi sosial sehingga terbuka peluang hubungan emosional, yang lebih dari sekedar dimensi pelayanan, tetapi dapat berkembang kepada hal-hal yang menyimpang dari aturan, sehingga dapat mempengaruhi proses pendaftaran, baik menyangkut kebenaran data tehnis- yuridis maupun tatalaksana, yang berimplikasi pada kadar kepastian hukum sertifikat sebagai produk pendaftaran tanah.
2). Faktor Sistem Pendaftaran Tanah.
Secara umum meliputi aturan hukum, prosedur pendaftaran secara administratif dan operasional, sistem publikasi negatif, penggunaan prasarana pelayanan terutama peta dasar pendaftaran, ketentuan mengenai bukti pemilikan dan data transaksi serta keterangan pendukung dari institusi terkait, pembagian fungsi dan tugas organisasi.
Dalam kaitan dengan aturan hukum, sangat diperlukan tingkat pemahaman dan kemahiran aparat menerapkan ketentuan konversi hak lama yang masih mengalami kesenjangan substansi terkait pluralisme jenis dan ciri pemilikan tanah adat dalam
realitas masyarakat. Terkait dengan kegiatan tehnis-yuridis, diperlukan disiplin ilmu dan pengalaman tertentu sesuai dengan spesifikasi tugas pekerjaan (pengukuran kadasteral dan pemetaan serta penelitian riwayat pemilikan tanah). Berbagai dimensi tugas dan kompleksitas masalah pendaftaran tanah, membutuhkan skills dan kecerdasan serta wawasan yang cukup dari aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
3). Faktor Lingkungan Strategis.
Faktor lingkungan strategis, dapat berupa pengaruh dari kultur hukum masyarakat, lemahnya basis data dan sistem administrasi pemilikan tanah di tingkat kelurahan/desa, pluralisme jenis dan ciri pemilikan tanah yang terdapat dalam masyarakat. Selain itu, tinggi rendahnya beban kerja juga memberi pegaruh terhadap kecermatan dan disiplin aparat dalam melaksanakan tugasnya.
Kultur hukum terutama menyangkut sikap masyarakat merespon kegiatan pendaftaran tanah, dapat mempengaruhi sikap atau perilaku aparat dan pemohon hak. Proses penetapan lokasi dan pengukuran serta penelitian riwayat pemilikan tanah memerlukan proses interkasi sosial seperti kesaksian/konfirmasi masyarakat tentang kepastian letak lokasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Achmad Ali bahwa efektif atau tidaknya hukum, tidak semata-mata ditentukan oleh peraturannya, tetapi juga dukungan dari beberapa institusi yang berada disekelilingnya, seperti faktor manusia, faktor kultur hukumnya, faktor ekonomis, dan sebagainya.
Apabila faktor-faktor tersebut dapat sejalan, maka kesalahan dalam penerbitan sertifikat tanah terutama yang disebabkan oleh kebenaran data fisik dan data yuridis
yang diberikan masyarakat akan terjadi dengan didukung oleh sikap profesionalisme, kedisiplinan, kejujuran, keterampilan, dan kecermatan aparat dalam menafsirkan data fisik dan data yuridis yang diperoleh dari anggota masyarakat.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, ada 6 (enam) faktor yang melatari ketidakpuasan masyarakat terhadap proses peradilan, yaitu:83
a. Lambatnya penyelesaian perkara;
b. Hakim kurang sungguh-sungguh menggunakan pengetahuan hukumnya dalam memutuskan perkara;
c. Kasus penyuapan atau percobaan penyuapan terhadap hakim tidak dapat dibuktikan;
d. Perkara yang diperiksa kadang di luar pengetahuan hakim yang bersangkutan;
e. Pengacara yang tidak selalu secara professional bertindak demi klien;
f. Pencari keadilan sendiri tidak melihat proses pengadilan sebagai suatu cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sarana untuk memenangkan perkaranya dengan cara apapun.
Bahwa hak pengelolaan yang dimiliki oleh Otorita Batam membatasi ruang gerak Pemerintah Kota Batam, sering kali terjadi tanah yang dialokasikan tidak sesuai dengan rencana yang dimohonkan oleh Pemerintah Kota Batam. Bahkan aset-aset Pemerintah Kota Batam dalam bentuk tanah, tidak memiliki sertifikat termasuk Kantor Walikota Batam.84 Wewenang hak pengelolaan yang diberikan kepada Otorita Batam untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah inilah yang menyebabkan mekanisme pengalokasian lahan tidak sesuai peruntukannya. Dimana lahan yang belum dikuasai Otorita Batam, tetapi sudah dialokasikan ke pihak ketiga, dalam hal ini pengembang (investor/developer). Ketidaksinkronan data yang ada pada lembaga
83
Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo Press, Semarang, 2008, hlm. 15.
84
pemerintah yakni Otorita Batam, BPN Batam, Pemko Batam, dan Dinas Kehutanan tentang status lahan di Batam menyebabkan kerugian terhadap investor/pengembang yang telah mendapat alokasi lahan.85
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, Otorita Batam menjadikan kawasan di Batam menjadi kawasan hutan. Kemudian, terbitlah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam undang- undang ini, aturan untuk alih fungsi hutan cukup pelik dimana ada persetujuan dari DPR. Sebagian besar lahan hutan lindung sudah dialokasikan Otorita Batam ke pengembang sebagai pemukiman dan pusat bisnis, bahkan di atasnya sudah berdiri puluhan ribu unit rumah, akan tetapi pengalihan fungsinya belum disetujui oleh pemerintah dan DPR.
Adapun persyaratan administrasi yang harus dipenuhi untuk perusahaan, koperasi dan yayasan dalam permohonan lahan ke Otorita Batam, antara lain:86
1. mengisi surat permohonan, form daftar isian, form surat pernyataan;
2. foto kopi akta pendirian perusahaan/yayasan/koperasi yang disahkan Dephuk dan HAM;
3. mengajukan proposal rencana pengajuan lahan; 4. foto kopi rekening koran 3 bulan terakhir;
5. foto kopi laporan keuangan perusahaan 2 tahun terakhir; 6. foto kopi NPWP;
7. foto kopi SIUP;
8. pengalaman yang sudah dilaksanakan sesuai bidangnya; 9. alamat korespondensi; dan
10. melampirkan progres pembayaran UWTO dan pembangunan fisik lahan di lokasi sebelumnya bagi yang sudah pernah mendapatkan lahan.
85
http://budianto78.blogspot.com/2009 06 01 archive.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2010, Pukul 19.39 WIB.
86
Menurut Hotben Purba, sebelum pembangunan perumahan tersebut, mereka telah memenuhi persyaratan administrasi pengajuan permohonan lahan ke Otorita Batam, tanpa pernah mengetahui dan diberitahu akan status lahan tersebut dan ternyata setelah pembangunan baru diketahui bahwa pembangunan tersebut berdiri di atas kawasan hutan lindung. Mereka hanya melakukan pembangunan setelah mendapat izin lokasi lahan dengan ketentuan bahwa semua yang telah ada atau yang akan ada di atas lahan tersebut merupakan tanggung jawab dari pihak developer. Oleh karena itu banyak pihak developer mengalami kerugian.87
Bahwa persoalahan lahan di Batam memang di beberapa titik masih dilingkupi masalah dimana beberapa kawasan rumah yang telah ditempati masyarakat selama bertahun-tahun dan telah bersertifikat, ternyata kemudian dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung. M.Lubis seorang masyarakat Batu Aji, mengungkapkan bahwa mereka hanya menginginkan ketegasan akan kepastian sertifikat yang mereka miliki dari BPN, karena mereka telah memperjuangkan sertifikat tersebut sejak 2 tahun yang lalu, dan mengapa pemerintah terlalu lambat menerbitkan sertifikat tanah warga yang diajukan sejak beberapa tahun lalu, seolah-olah ada lempar tanggung jawab diantara instansi pemerintah yang ada di Batam.88 Ketidakjelasan status lahan tersebut dipicu oleh tidak adanya kepastian hukum atas lahan di Batam, karena ada sejumlah investor atau pengembang yang telah melakukan pembangunan serta penjualan ternyata lahannya berstatus hutan lindung.
87
Wawancara dengan Hotben Purba, selaku Developer, pada tanggal 21 Juli 2010.
88
Hasil wawancara dengan M. Lubis, warga Batu Aji, di Kota Batam, pada tanggal 23 Juli 2010.
Markus Gunawan dalam penelitiannya, kendati demikian sebagian besar masyarakat (terutama yang telah bermukim lebih dari 10 tahun di Batam) banyak berpihak kepada kebijakan-kebijakan Otorita Batam, sebagai institusi yang profesional dan telah eksis sejak dekade 1970, Otorita Batam tetap melanjutkan visi dan misinya sebagai otoritas pengelola pembangunan Pulau Batam dan sekitarnya (termasuk Pulau Rempang dan Galang).89
Berdasarkan data Real Estat Indonesia, sekitar 15000 sampai dengan 20000 rumah berada di kawasan hutan lindung, yang tersebar di beberapa perumahan di kota Batam, sekitar 7.000 rumah sudah dihuni. Hutan lindung itu terdapat di 20 lokasi yang tersebar di penjuru kota Batam, seperti Batuampar, hutan wisata Mukakuning, hutan lindung Bukit Dangas, hutan lindung Seiladi, hutan lindung Tiban, hutan lindung Baloi dan lainnya yang luasnya mencapai 12.081,60 hektar. Para pemilik rumah sudah memiliki sertifikat, meskipun rumahnya berada di lahan hutan lindung. Namun, sertifikat rumah yang dikeluarkan oleh BPN tidak bisa diagunkan ke bank dan diperjualbelikan karena tanah rumah berada di kawasan hutan lindung.90
Menanggapi persoalan lahan ini, menurut Tamsil, wakil kepala Kantor Pertanahan Kota Batam, mengatakan bahwa Batam kondisinya spesifik. Mulai 1973 sesuai Keppres No. 41/ 1973, Batam ditetapkan sebagai daerah industri. Seluruh areal tanah di Batam diserahkan HPLnya ke Otorita Batam (BP). Artinya Kepres sudah menyerahkan HPL. Tindak lanjutnya harus didaftarkan ke BPN. Ini diperkuat lagi
89
Markus Gunawan, Op.Cit., hlm. 85. 90
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail-terkini.php?id=17213, diakses pada tanggal 26 Januari 2011, pukul 10.33 WIB.
dengan keputusan Mendagri No. 43/ 1977, tentang pemberian HPL atas seluruh areal tanah yang terletak di pulau Batam, dengan memegang HPL ini otorita punya kewenangan untuk merencanakan peruntukan tanah, mengalokasikan ke siapa saja, termasuk ke pengembang. Dengan demikian otorita Batam juga punya kewenangan menarik Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO). Sejak 2008, kita tidak boleh melakukan aktivitas, termasuk produk hukum di area tanah yang ternyata terkena kawasan hutan lindung.91
Fenomena di atas, menunjukkan bahwa belum profesionalnya aparat pemerintah dalam hal pendataan dalam konsep sistem pendaftaran tanah yang pada akhirnya melahirkan tumpang tindih hak atas tanah. Jika pemerintah dalam hal ini BPN memeriksa secara mendetail mengenai kebenaran materil sampai kepada penelusuran aspek kesejarahan terhadap objek tersebut, tentunya persoalan tumpang tindih hak atas suatu objek tanah tidak akan terjadi. Serta didukung oleh keseragaman peraturan-peraturan yang berlaku dalam pemerintahan daerah Kota Batam.
91
Hasil wawancara dengan Tamsil, di Kantor Pertanahan Kota Batam , pada tanggal 22 Juli 2010.