PROBLEMATIKA YANG TERJADI DALAM MEWUJUDKAN
PERLINDUNGAN DAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP
PEMEGANG HAK ATAS TANAH
(Studi Di Kantor Pertanahan Kota Batam)
TESIS
Oleh:
ROMELDA PRONIASTRIA SIMAMORA 087011096 / M.Kn
C
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PROBLEMATIKA YANG TERJADI DALAM MEWUJUDKAN
PERLINDUNGAN DAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP
PEMEGANG HAK ATAS TANAH
(Studi Di Kantor Pertanahan Kota Batam)
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
ROMELDA PRONIASTRIA SIMAMORA 087011096 / M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : Problematika Yang Terjadi Dalam Mewujudkan Perlindungan Dan Kepastian Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah (Studi Di Kantor Pertanahan Kota Batam)
Nama Mahasiswa : Romelda Proniastria Simamora Nomor Pokok : 087011096
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Pembimbing Pembimbing
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum Chairani Bustami, SH, S.pN, MKn
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Telah diuji pada
Tanggal : 19 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum
ABSTRAK
Salah satu tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan hal tersebut dibuat peraturan mengenai pendaftaran tanah, salah satunya adalah Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997. Namun pada kenyatannya masih terdapat berbagai problematika dalam hal kepemilikan sebidang tanah yang berhubungan dengan pasal ini, yaitu terhadap sebidang tanah yang sudah dikuasai oleh subjek hukum selama bertahun-tahun dan telah dilengkapi dengan sertifikat dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung. Oleh karena itu yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana problematika yang terjadi dalam pendaftaran tanah di Kota Batam, upaya pemerintah Kota Batam dalam mewujudkan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah, dan eksistensi PP Nomor 24 Tahun 1997 untuk mewujudkan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan dengan secara pendekatan yuridis normatif. Sumber data diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder, pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara kepada para responden sedangkan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa problematika yang terjadi di Kota Batam disebabkan adanya tumpang tindih antara pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam serta instusi lain di Batam dalam menerapkan kewenangan masing-masing khususnya dalam bidang pertanahan, dan tidak adanya penerapan prinsip KISS dalam penyelenggaraan pemerintahan Kota Batam, sehingga masyarakat yang mengalami dampak dari tidak adanya kesinkronan data dan peraturan-peraturan yang berlaku. Upaya yang dilakukan pemerintah Kota Batam dengan memeriksa secara mendetail data fisik dan data yuridis sampai kepada aspek kesejarahan terhadap objek untuk setiap permohonan hak yang diajukan dengan sasaran terwujudnya perlindungan hukum sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 32 ayat 2. Meskipun pada kenyataannya belum dapat terwujud eksistensinya secara maksimal dimana penerapannya mempunyai sisi positif dan sisi negatif dalam menyelesaikan masalah sengketa pertanahan. Apabila pasal ini dapat diterapkan dengan catatan masyarakat mengetahui aturan ini, dan memperoleh sertifikat sebagai alat bukti haknya agar dikemudian hari tidak diganggu gugat oleh pihak lain maka kepastian akan pendaftaran tanah akan terwujud dengan baik.
ABSTRACT
One of the purpose of land registration is to give legal certainty and legal protection to the holders of land rights. Therefore, in order to realize this purpose, regulations of land registration were made and one of them was Article 32, paragraph 2 of PP (Government Regulation) No. 24/1997. But, in reality, there are still some problems in owning a piece of land which is related to this Article; namely, a piece of land which has been tilled by its tiller for years and completed by a certificate which certifies that it is a protected forest area. Therefor, the problems in this reseacrh was how about the problems which occurred in the land registration in Batam, the government’s effort in realizing legal protection of the holders of land rights, and the existence of PP No.24/1997 in order to realize legal certainty of the holders of land rights.
This reseacrh was descriptive analytic which was done by judicial normative approach. The data were obtained by collecting the primary and secondary data. The primary data were collected by conducting interviews with the respondents, while the secondary data were obtained from legal provisions and literature. The data were analyzed qualitatively.
The result of the reseacrh showed that the problems which occurred in Batam was because of the overlapping between the government of Batam and Batam Authorities and other government agencies in applying their authorities respectively in land problems. Besides that, there was no application of KISS principle in organizing administration in Batam so that people would suffer from the lack of synchronization of the data and of legal provisions. The effort done by Batam administration was by examining in detail this physical and legal data up to the historical aspect on the objects for each request in order to realize the legal protection as it was stipulated in Article 32, paragraph 2 of PP No.27/1997. Even though in reality its existence is not realized maximally the application has the positive and negative sides of in handling the dispute of land problems. If this article can be applied and people know this regulation, they will obtain the certificate as a proof so that their rights are not contested by other parties and the certainty of land registration will be properly realized.
KATA PENGANTAR
Segala sembah sujud, puji syukur, dan terimakasih penulis ucapkan kepada
Allah Bapa dan Yesus Kristus di Surga atas segala cinta kasih, pertolongan,
kemurahan, dan penyertaanNya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini.
Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh
gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) dengan judul “Problematika Yang Terjadi
Dalam Mewujudkan Perlindungan Dan Kepastian Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah (Studi Di Kantor Pertanahan Kota Batam).
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis
sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar:
1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Komisi
Pembimbing dan Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku anggota Komisi
Pembimbing.
3. Ibu Chairani Bustami, SH, S.pN, MKn, selaku anggota Komisi Pembimbing.
yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk
Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn selaku Komisi Penguji yang telah berkenan memberi masukan dan arahan terhadap penyempurnaan tesis ini.
Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati mengucapkan ucapan kasih yang
tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSC (CTM), Sp.A (K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.
3. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan
membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.
4. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal
manajemen administrasi yang dibutuhkan.
5. Seluruh teman-teman seangkatan Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera, Medan khususnya kelas A reguler, yang telah
6. Teman-teman terbaikku, Claudya Eterina Purba, SH, MH dan Junita Sitorus, SH,
MH, Rikky F.V. Sinaga, SE, yang telah banyak memberikan bantuan dan semangat
untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
Terkhusus dan teristimewa, penulis ucapkan terima kasih tak terhingga kepada
kedua orang tua tercinta, Ayahnda Sihar Simamora dan Ibunda D. Marpaung yang
telah banyak memberikan dukungan moril dan materiil serta adik-adik ku tersayang
Desi, AM.Keb, Putri dan Yosua yang penuh kasih sayang dan kesabaran untuk
penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat
dalam tesis ini, baik dalam tata bahasa maupun ruang lingkup pembahasannya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari semua pihak demi
penyempurnaan tesis ini dan kiranya hasil penelitian tesis ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu,
terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan serta doa kepada penulis selama
proses penyelesaian tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita semua. Amin.
Medan, Agustus 2011
Penulis,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Romelda Proniastria Simamora
Tempat / Tgl. Lahir : Lolowa’u, 21 Januari 1986
Alamat : Jl. Saudara No. 48-A Medan
II. ORANG TUA
Ayah : Sihar Simamora
Ibu : Dameria Marpaung
III. PENDIDIKAN
SD N. 002 Ranai - Natuna : Lulus Tahun 1998
SMP N. 1 Ranai – Natuna : Lulus Tahun 2001
SMA N. 1 Tanjung Pinang : Lulus Tahun 2004
S1 Ilmu Hukum USU : Lulus Tahun 2008
IV. PEKERJAAN
Maret 2010 – sekarang : Staf Badan Lingkungan Hidup
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 15
E. Keaslian Penulisan ... 15
F. Kerangka Teori... 19
1. Kerangka Teori... 19
2. Konsepsi ... 27
G. Metode Penelitian ... 29
1. Spesifikasi Penelitian ... 30
2. Metode Pengumpulan Data ... 30
3. Lokasi Penelitian ... 31
BAB II : PROBLEMATIKA YANG TERJADI DALAM PENDAFTARAN
TANAH DI KOTA BATAM ... . 33
A. Pendaftaran Tanah ... . 34
B. Kewenangan Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam Dan Otorita Batam ... . 48
C. Problematika Yang Terjadi Dalam Pendaftaran Tanah Di Kota Batam ... . 56
BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM YANG DIBERIKAN PEMERINTAH KOTA BATAM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS TANAH... ... . 71
A. Perlindungan Hukum Hak atas Tanah ... . 71
B. Upaya Pemerintah Kota Batam Dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak atas Tanah ... . 78
BAB IV : EKSISTENSI PP NOMOR 24 TAHUN 1997 TERHADAP TERWUJUDNYA KEPASTIAN HUKUM BAGI PEMEGANG SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH ... . 97
A. Kepastian Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah ... . 97
B. Eksistensi PP Nomor 24 Tahun 1997 Terhadap Terwujudnya Kepastian Hukum Bagi Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah ... . 111
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... . 120
A. Kesimpulan ... . 120
B. Saran ... . 122
ABSTRAK
Salah satu tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan hal tersebut dibuat peraturan mengenai pendaftaran tanah, salah satunya adalah Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997. Namun pada kenyatannya masih terdapat berbagai problematika dalam hal kepemilikan sebidang tanah yang berhubungan dengan pasal ini, yaitu terhadap sebidang tanah yang sudah dikuasai oleh subjek hukum selama bertahun-tahun dan telah dilengkapi dengan sertifikat dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung. Oleh karena itu yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana problematika yang terjadi dalam pendaftaran tanah di Kota Batam, upaya pemerintah Kota Batam dalam mewujudkan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah, dan eksistensi PP Nomor 24 Tahun 1997 untuk mewujudkan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan dengan secara pendekatan yuridis normatif. Sumber data diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder, pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara kepada para responden sedangkan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa problematika yang terjadi di Kota Batam disebabkan adanya tumpang tindih antara pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam serta instusi lain di Batam dalam menerapkan kewenangan masing-masing khususnya dalam bidang pertanahan, dan tidak adanya penerapan prinsip KISS dalam penyelenggaraan pemerintahan Kota Batam, sehingga masyarakat yang mengalami dampak dari tidak adanya kesinkronan data dan peraturan-peraturan yang berlaku. Upaya yang dilakukan pemerintah Kota Batam dengan memeriksa secara mendetail data fisik dan data yuridis sampai kepada aspek kesejarahan terhadap objek untuk setiap permohonan hak yang diajukan dengan sasaran terwujudnya perlindungan hukum sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 32 ayat 2. Meskipun pada kenyataannya belum dapat terwujud eksistensinya secara maksimal dimana penerapannya mempunyai sisi positif dan sisi negatif dalam menyelesaikan masalah sengketa pertanahan. Apabila pasal ini dapat diterapkan dengan catatan masyarakat mengetahui aturan ini, dan memperoleh sertifikat sebagai alat bukti haknya agar dikemudian hari tidak diganggu gugat oleh pihak lain maka kepastian akan pendaftaran tanah akan terwujud dengan baik.
ABSTRACT
One of the purpose of land registration is to give legal certainty and legal protection to the holders of land rights. Therefore, in order to realize this purpose, regulations of land registration were made and one of them was Article 32, paragraph 2 of PP (Government Regulation) No. 24/1997. But, in reality, there are still some problems in owning a piece of land which is related to this Article; namely, a piece of land which has been tilled by its tiller for years and completed by a certificate which certifies that it is a protected forest area. Therefor, the problems in this reseacrh was how about the problems which occurred in the land registration in Batam, the government’s effort in realizing legal protection of the holders of land rights, and the existence of PP No.24/1997 in order to realize legal certainty of the holders of land rights.
This reseacrh was descriptive analytic which was done by judicial normative approach. The data were obtained by collecting the primary and secondary data. The primary data were collected by conducting interviews with the respondents, while the secondary data were obtained from legal provisions and literature. The data were analyzed qualitatively.
The result of the reseacrh showed that the problems which occurred in Batam was because of the overlapping between the government of Batam and Batam Authorities and other government agencies in applying their authorities respectively in land problems. Besides that, there was no application of KISS principle in organizing administration in Batam so that people would suffer from the lack of synchronization of the data and of legal provisions. The effort done by Batam administration was by examining in detail this physical and legal data up to the historical aspect on the objects for each request in order to realize the legal protection as it was stipulated in Article 32, paragraph 2 of PP No.27/1997. Even though in reality its existence is not realized maximally the application has the positive and negative sides of in handling the dispute of land problems. If this article can be applied and people know this regulation, they will obtain the certificate as a proof so that their rights are not contested by other parties and the certainty of land registration will be properly realized.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa tanah adalah
karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, meliputi permukaan bumi,
demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut peraturan perundang-undangan.
Tanah merupakan salah satu sumber daya alami penghasil barang dan jasa,
yang merupakan kebutuhan yang hakiki dan berfungsi sangat essensial bagi kehidupan
dan penghidupan manusia, bahkan menentukan peradaban suatu bangsa.1 Oleh karena
itu manusia harus dapat mempergunakan dan memelihara tanah tersebut dengan
sebaik-baiknya, dimana hubungan suatu kelompok manusia dengan tanah juga
merupakan hubungan yang hakiki dan bersifat magis-religius. Tanah disamping
memberikan kesejahteraan bagi manusia, tapi juga sebaliknya dapat membawa
malapetaka jika disalahgunakan.2
Dalam perkembangannya, tanah menjadi semakin penting, karena sebagai
sumber daya alam yang dapat dinilai keberadaannya terbatas untuk menampung
1
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika, Jakarta,
2008, hlm. 1.
2
Chaddijah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah,
Yayasan Pencerahan Mandailing, Medan, 2008, hlm. 33.
berbagai aktivitas manusia yang terus berkembang, maka semakin hari semakin terasa
sempit dan semakin sulitnya untuk memperoleh tanah, sehingga berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan mengenai penggunaan dan penguasaannya,
disamping belum ditetapkan kepastian hukum pemilikannya. Antara pembangunan,
penguasaan dan penggunaan tanah mempunyai keterkaitan yang sangat erat dan tidak
dapat dipisahkan. Hanya dengan mengkaitkan ketiga hal tersebut melalui suatu strategi
pembangunan, baru tanah akan bisa mendatangkan sebesar-besar kemakmuran bagi
rakyat banyak. Akan tetapi dalam kaitannya dengan pembangunan dan upaya gigih
pemerintah untuk mendorong investasi, tanah selalu disisihkan dari nilai-nilai tanah itu
sendiri yang justru merupakan sumber penghidupan manusia.
Pendayagunaan tanah untuk kepentingan manusia diberbagai bidang
pembangunan yang semakin meningkat seperti mendirikan rumah, bangunan gedung,
perkebunan/pertanian, termasuk tempat peristirahatan terakhir (pemakaman),
menyebabkan jumlah penduduk yang ingin mendayagunakan tanah semakin
meningkat dan tidak seimbang dengan keadaan tanah itu sendiri. Oleh karena itu tanpa
adanya peraturan yang tegas atas tanah maka tidak jarang akan banyak permasalahan
yang timbul baik berupa konflik kepemilikan, maupun konflik yang menyangkut
penggunaan atau peruntukan tanah itu sendiri, sehingga diwajibkan kepada pemerintah
agar tanah-tanah tersebut didaftarkan, sebagaimana disebut dalam Pasal 19
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), bahwa demi
menjamin kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah di Indonesia, pemerintah
Indonesia menurut ketentuan yang diatur oleh pemerintah dan menyerahkan sertifikat
hak atas tanah sebagai alat pembuktian yang kuat kepada pemegangnya, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 31 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang
bersangkutan, sehubungan dengan keberadaan tanah, baik yang dikuasai oleh
masyarakat secara kolektif maupun tanah yang dikuasai secara perorangan, dan badan
hukum.
Berkaitan dengan tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997, A.P. Parlindungan mengatakan bahwa :
(a) Dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum: (b) di zaman informasi ini maka kantor Pertanahan sebagai kantor di garis depan haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk suatu bidang tanah, baik untuk pemerintah sendiri sehingga dapat merencanakan pembangunan Negara dan juga bagi masyarakat sendiri. Informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan di mana terlibat tanah, yaitu data fisik dan yuridisnya, termasuk untuk satuan rumah susun, informasi tersebut bersifat terbuka untuk umum artinya dapat diberikan informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang tanah/bangunan yang ada; (c) sehingga untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan sesuatu hal yang wajar.3
Pasal 23, 32, dan 38 UUPA menyatakan bahwa pendaftaran tanah untuk
hak-hak itu ditujukan kepada para pemegang hak-hak agar menjadikan kepastian hukum bagi
mereka dalam arti demi kepentingan hukum bagi mereka sendiri, oleh karena
pendaftaran atas setiap peralihan, penghapusannya, dan pembebanannya, demikian
3
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 165.
pendaftaran yang pertama kali ataupun pendaftaran karena konversi, ataupun
pembebasannya akan banyak menimbulkan komplikasi hukum jika tidak didaftarkan
padahal pendaftaran itu merupakan bukti yang kuat bagi pemegang haknya. Tujuan
dari pendaftaran tanah adalah adanya kepastian hak atas tanah. Dengan kepastian hak
setidak-tidaknya akan dapat dicegah sengketa tanah. Dengan sertifikat, maka jelaslah
tanah tersebut telah terdaftar di Kantor Pendaftaran tanah sehingga setiap orang dapat
mengetahui bahwa tanah tersebut telah ada pemiliknya.4
Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)
yakni sebuah lembaga Pemerintahan Non Departemen yang bidang tugasnya meliputi
pertanahan. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di
wilayah kabupaten atau kota, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan
pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah. Dalam melaksanakan tugas tersebut
BPN menyelenggarakan fungsi :
a. Merumuskan Kebijaksanaan dan Perencanaan Penguasaan Tanah;
b. Merumuskan Kebijaksanaan dan Perencanaan Pengaturan Pemilikan Tanah
dengan prinsip-prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial sebagaimana
diatur dalam UPPA;
c. Merencanakan Pengukuran dan Pemetaan serta Pendaftaran Tanah dalam
upaya memberikan kepastian hak di bidang pertanahan;
d. Melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah dalam rangka memelihara
tertib administratif dibidang pertanahan;
4
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
e. Melaksanakan penelitian dan pengembangan dibidang pertanahan serta
Pendididikan dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan dibidang
administratif pertanahan;
f. Lain-lain yang ditetapkan oleh Presiden.
Dalam melaksanakan tugasnya kantor pertanahan dibantu oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yakni pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk
membuat akta-akta atas tanah.
Dari penjelasan PP 24/1997, dinyatakan sebagai berikut :
Dalam Peraturan Pemerintah yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ini, tetap dipertahankan tujuan dan sistem yang digunakan, yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c, Pasal 23 ayat 2, Pasal 32 ayat 2, Pasal 38 ayat 2 UUPA.5
Sedangkan untuk kepastian hukum, maka yang menyangkut pertanahan
khususnya mengenai pemilikan dan penguasaan tanah meliputi :
a. Kepastian mengenai subyek hak, yaitu orang atau Badan Hukum yang menjadi Pemegang Hak.
b. Kepastian mengenai obyek hak, yang mengenai : 1. Letak tanah
2. Batas-batas tanah 3. Luas bidang-bidang6
5
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia (berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997
dilengkapi dengan Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah PP No. 37 Tahun 1998), Mandar Maju
Bandung, 2009, hlm 17
6
Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 2, Prestasi Pustaka
Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah, kepada para pemegang hak atas tanah diberikan penegasan tentang sejauh mana kekuatan pembuktian sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat. Untuk itu dikatakan selama belum dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar.7
Dalam konteks yang lebih luas lagi pendaftaran tanah ini selain memberikan
jaminan kepastian hukum dan memberikan informasi mengenai suatu bidang tanah
baik penggunaannya, pemanfaatannya maupun informasi mengenai untuk apa tanah
itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang
terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri,
harga bangunan dan tanahnya dan pajak yang ditetapkan untuk tanah/bangunannya.8
Oleh karena itu kepastian hukum pemilikan atas tanah merupakan salah satu
kebutuhan yang hakiki.
Akan tetapi dalam prakteknya, bukan rahasia lagi bahwa banyak masyarakat
yang mengalami kesulitan untuk mendaftarkan tanahnya. Dilihat dari aspek
administrasi, pelayanan kantor pertanahan juga belum mampu memberikan kinerja
yang diharapkan yaitu pelayanan yang sederhana, aman, terjangkau, dan transparan.
Sebagian pelayan administrasi pertanahan yang diinginkan oleh masyarakat tidak
sesuai dengan yang diberikan oleh pegawai kantor pertanahan.9
Diakui, penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh Kepala kantor Pertanahan
belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo.PMNA/KBPN
7
Chadidjah Dalimunte. Pelaksanaan Landerform di Indonesia dan Permasalahannya, USU, Medan, 2005, hlm. 173.
8
Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006,
hlm.159.
9
Nomor 3 Tahun 1997. Seorang research fellow dari Universitas of Tokyo dalam
Seminar Internasional ke-6 tentang Konsolidasi tanah dan Pembangunan Perkotaan
menyatakan bahwa “land registration in Indonesia is unclear”. Pada umumnya yang
menjadi kelemahan pelaksanaan pendaftaran tanah sekarang ini adalah jenis kegiatan
manajemen dokumentasi pertanahan (land records management) dan pengukuran
pemetaan.10
Hakikat kepastian hukum yang sebenarnya terletak pada kekuatan sertifikat
kepemilikan hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan termasuk di pengadilan, namun
kepastian hukum dengan sistem negatif pada hakikatnya merupakan kepastian hukum
yang relatif, dengan pengertian bahwa oleh peraturan perundang-undangan dijamin
kepastian hukum selama tidak dibuktikan sebaliknya.11
Tipologi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini masih didominasi
karakteristik azas negatif, konsekwensinya yaitu hak asasi manusia harus dilihat dan
dipahami secara utuh, tidak parsial. Kenyataannya masih bersifat administratif belum
bersifat hak, memberi perlindungan hukum kepada pemilik hak atas tanah tetapi belum
kepada pemegang sertifikat hak atas tanah.12 Menurut meta teori bahwa setiap warga
Negara yang beriktikad baik dan telah menunaikan prestasinya kepada Negara maka ia
boleh menuntut hak perlindungan hukum sebagai kontra prestasi nilai keadilan.
Lahirnya nilai keadilan disebabkan adanya hak dan kewajiban bagi setiap warga
10
Ibid., hlm. 5
11
S. Candra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah (Persyaratan Permohonan Di Kantor
Pertanahan), Grasindo, Jakarta, 2005, hlm.122.
12
Negara, yang berkembang menjadi nilai keadilan dalam masyarakat bangsa, sehingga
akhirnya menjadi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.13
Namun di dalam praktek masih dijumpai berbagai masalah terutama di dalam
pembuktian penguasaan tanahnya, karena tanah-tanah tersebut tidak terdaftar di kantor
pertanahan. Prioritas kebijakan yang diarahkan kepada upaya memacu sektor-sektor
pembangunan yang mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak
didasari atau diikuti dengan penataan masalah pertanahan, ternyata telah menimbulkan
masalah besar di bidang pertanahan. Banyak tanah-tanah yang tidak jelas
kepemilikannya dan penggunaanya. Ketidakjelasan tentang penguasaan tanah (present
land tenure) dan penggunaan tanah (present land use) mengakibatkan usaha pemerintah untuk melaksanakan pembagian yang adil atas tanah dan hasil yang adil
pula, tidak berhasil dengan baik.14 Banyak masyarakat yang mempunyai tanah yang
cukup luas dan yang tidak mempunyai tanah sama sekali, banyak tanah-tanah yang
statusnya absentee, namun pemilik yang bersangkutan tidak mengetahui, bahwa
pemilikan tersebut dilarang atau pemiliknya tidak tahu dengan peraturan yang ada.
Karena tanah-tanah tersebut tidak terdaftar, maka jangkauan pelaksanaan landerform
tidak sampai kepada sasaran. Padahal dalam keadaan seperti ini telah dianut asas
Nemo plus juris, yakni seharusnya “tiada seorangpun yang dapat menyerahkan hak
lebih dari pada jumlah hak yang ada padanya”15
13
Ibid.,
14
Muhammad Yamin, Chadidjah Dalimunthe, Modul Hukum Agraria, Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006.
15
Gambaran sengketa tanah dapat dilihat dari fenomena berikut. Dilihat dari
pihak-pihak yang bersengketa, sengketa tanah terjadi baik antara instansi pemerintah
tertentu dengan masyarakat, masyarakat dengan investor, antarinstansi pemerintah,
maupun diantara masyarakat itu sendiri, khususnya yang terjadi di Batam, dimana
terdapat ribuan rumah masyarakat yang memiliki sertifikat akan tetapi bermasalah,
persoalan lahan di Batam memang disebagian titik masih dilingkupi masalah,
beberapa rumah yang telah ditempati warga selama bertahun-tahun dan telah
bersertifikat ternyata kemudian dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung. Akibatnya
banyak warga yang mengeluhkan tidak bisa meminjam uang ke Bank, dengan agunan
rumah karena status lahan yang berdiri di atas kawasan hutan lindung. Warga
mendaftarkan haknya untuk memperoleh sertifikat, yang dapat digunakan sebagai
jaminan atas pinjaman uang dari bank, atau dengan adanya sertifikat maka rumah
mudah dijadikan objek bisnis. Sebab dengan adanya sertifikat ini, para pembeli yakin
rumah tersebut tidak berada dalam keadaan sengketa.
Bahkan ada juga warga yang sampai saat ini tidak memperoleh kepastian
kapan sertifikat rumah mereka akan diterbitkan, padahal warga telah menempati
rumah tersebut selama bertahun-tahun dan telah melunasi angsuran kreditnya. Para
pemegang sertifikat hak atas tanah tersebut sudah tidak dapat lagi membendung
kemarahannya, karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam menolak
untuk memberikan Pelayanan Administrasi Pertanahan (PAP) terhadap sertifikat hak
atas tanah yang diterbitkan BPN seperti pelayanan administrasi pendaftaran hak,
setelah turun KPK baru di ketahui banyak sertikat HPL yang terindikasi hutan
lindung. Alasan BPN selalu melemparkan ke Otorita Batam (OB) karena sertifikat
Hak Pengelolaan Lahan (HPL) sebagai dasar Hak Guna Bangunan (HGB) yang
dimaksud terindikasi di atas areal lahan hutan lindung tersebut tidak dapat diterima
masyarakat dan juga tidak dapat dibuat sebagai alasan pembenaran atas tindakan BPN
Kota Batam yang tidak bersedia memberi PAP kepada pemegang sertifikat.
Masyarakat yang memegang sertifikat tidak patut dapat dijadikan korban akibat
kekeliruan aparat BPN yang kurang berhati-hati dalam menerbitkan sertifikat.
Sertifikat tidak dapat diproses apabila ada putusan pengadilan yang menyatakan
bahwa sertifikat itu tidak sah, atau bermasalah. Tidak adanya kepastian hukum yang
diberikan kepada para pemegang hak atas tanah dalam menyelesaikan persoalan hutan
lindung tersebut, warga hanya diminta untuk tetap bersabar dan tidak pernah ada target
penyelesaiannya.16 Oleh karena itu harapan akan terwujudnya kepastian hukum dalam
masyarakat masih jauh dari apa yang diharapkan, hal ini sesuai dengan apa yang
dinyatakan oleh Muhammad Yamin, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap di
Kampus USU Medan, 2006 …….”bahwa kenyataan terwujudnya kepastian hukum
yang diharapkan inilah yang menjadi pesoalan pokok dan undang-undang untuk saat
ini.”17
16
http://www.harianbatampos.com/index.php?option=com_content&task=view&id=156797&I
temid=374, Oleh: Ampuan Situmeang, SH, MH, diakses pada tanggal 5 Oktober 2010, pukul 22.20
WIB.
17
Muhammad Yamin, Pidato Pengukuhan Guru Beasr Tetap Bidang Ilmu Agraria pada
Hal tersebutlah yang menjadi harapan besar dari sebagian masyarakat kota
Batam, untuk terwujudnya kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang mereka
miliki dengan berbagai status hak khususnya kepemilikan sertifikat hak milik atas
rumah yang mereka miliki selama bertahun-tahun.
Begitu juga dengan ketidaktransparan misalnya dalam proses pengambilan
keputusan oleh pelaku hukum (pemerintah), membuat masyarakat selalu diliputi oleh
berbagai pertanyaan apakah kepentingan mereka selalu diprioritaskan dan hal ini
membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkurang. Masalah
pertanahan di perkotaan, pada dasarnya disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan
akan tanah, akan tetapi di lain pihak luas tanah yang tersedia tidak mengalami
pertambahan, sehingga menimbulkan konflik penguasaan dan penggunaan tanah yang
tidak jarang diselesaikan melalui jalan kekerasan. Dimana para spekulan tanah selalu
berusaha untuk memperoleh tanah yang semurah-murahnya serta menjualnya dengan
harga yang tinggi. Oleh karenanya tidak heran apabila seperti di daerah sering terjadi
perubahan peruntukan yang semula adalah fasilitas umum atau fasilitas sosial berubah
menjadi perumahan atau perkantoran dan lain-lain yang sifatnya komersil.18 Begitu
juga permasalahan yang terjadi di Kota Batam dimana terjadi perubahan peruntukan
fungsi kawasan yang seharusnya hutan lindung menjadi kawasan perumahan tidak lain
hanya untuk sebuah komersil para pengelola Kota Batam.
Persoalan lainnya adalah ketika pemilik tanah datang ke lembaga peradilan
untuk meminta keadilan dan kepastian kepemilikan tanah, justru sebaliknya banyak
18
para hakim yang cenderung berpihak kepada pihak yang kuat atau pemerintah. Dalam
pelaksanaan pembangunan, pemerintah pun cenderung memihak pemilik modal atau
investor. Semuanya jelas merupakan bentuk ketidakadilan dan rakyat merasa tidak ada
lagi jaminan perlindungan hak atas milik atas tanah.19 Hukum bukan memberikan
milik, sehingga sering dianggap masih kurang melindungi pemiliknya. Seakan bukti
hak itu hanya mengokohkan seseorang dengan milik (tanahnya) saja. Tetapi
seharusnya di samping pendaftaran tanah itu memberikan hak kepada seseorang,
pemilik tanah juga harus mengokohkannya sebagai pemegang hak yang ada dan sah.
Keberadaannya dijamin oleh hukum Negara sebagai pemilik dari/atas hak milik
tanah.20
Konflik pertanahan yang terjadi terkait dengan masalah peruntukan tanah
tersebut, diakibatkan oleh lemahnya koordinasi antar pengelola tanah, dimana tidak
adanya kejelasan dan penetapan akan status lahan yang berbeda, serta kurangnya
tingkat kesadaran akan fungsi tanah itu sendiri (penyimpangan) dan diperburuk
dengan lemahnya jaminan kepastian hukum atas pemilikan, penguasaan, dan
penggunaan tanah.
Pada umumnya motif dan latar belakang penyebab munculnya berbagai konflik
pertanahan yang sangat bervariasi tersebut, antara lain:21
a. Kurangnya tertib administrasi pertanahan dimasa lampau;
b. Harga tanah yang meningkat dengan cepat;
19
Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 5-6.
20
Muhammad Yamin Lubis, Abd.Rahim Lubis, Op.Cit., hlm. 112.
21
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri III Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah
c. Kondisi masyarakat yang semakin menyadari dan mengerti akan
kepentingan dan haknya;
d. Iklim keterbukaan sebagai salah satu kebijaksanaan yang digariskan
Pemerintah;
e. Masih adanya oknum-oknum pemerintah yang belum dapat menangkap
aspirasi masyarakat;
f. Adanya pihak-pihak yang menggunakan kesempatan untuk mencari
keuntungan materil yang tidak wajar atau menggunakan untuk kepentingan
politik.
Konflik kepentingan masyarakat di atas sebidang tanah hanya bisa diselesaikan
dengan baik apabila kebijakan pembangunan di atas tanah itu dirasakan
menguntungkan para pihak. Berbagai konflik kepentingan mengindikasi adanya
ketidakpastian hubungan penguasaan antara manusia dengan tanah, sedangkan
kepastian itu merupakan hal yang mendasar untuk mengembangkan kehidupan dan
penghidupannya.
Kebijakan pendaftaran tanah yang tertuang dalam peraturan perundang-undang
sebagai suatu das sollen (yang ideal menurut hukum), belum tentu terwujud sebagai
suatu das sein (menurut kenyataannya).22 Keadaan inilah yang terjadi dalam
masyarakat, dimana sertifikat hak milik atas tanah yang diperkarakan dapat dibatalkan
oleh putusan hakim pengadilan. Kenyataan itu merupakan suatu gambaran bahwa
22
tanah yang sudah didaftarkan dan memperoleh sertifikat sebagai kepastian hak, secara
substansi belum tentu mendapatkan jaminan kepastian hukum pemilikannya.
Dari apa yang tersebut di atas, kenyataannya masih sangat banyak tanah dalam
masyarakat yang belum ada bukti otentik sebagai jaminan kepastian hukum dan
kepastian hak atas tanah. Untuk itu hal ini semestinya menjadi perhatian yang serius
baik dari pemerintah maupun dari masyarakat itu sendiri sebagai pemilik atau
pemegang hak atas tanah tersebut, guna mendapat status hukum atas tanah yang
dikuasainya. Sesuai dengan amanat PP Nomor 24 Tahun 1997 yaitu telah dibebankan
kepada pemegang hak sebagaimana diatur dalam Pasal 23, 32, 38 UUPA.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka yang menjadi
permasalahan dalam penulisan ini adalah :
1. Bagaimana problematika yang terjadi dalam Pendaftaran Tanah di Kota
Batam?
2. Bagaimana upaya pemerintah Kota Batam dalam mewujudkan perlindungan
hukum terhadap pemegang hak atas tanah?
3. Bagaimana eksistensi PP Nomor 24 Tahun 1997 untuk mewujudkan kepastian
hukum bagi pemegang hak atas tanah?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam penulisan ini, sesuai dengan permasalahan
1. Untuk mengetahui problematika yang terjadi dalam pendaftaran tanah di Kota
Batam.
2. Untuk mengetahui sejauhmana upaya pemerintah Kota Batam dalam
mewujudkan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah.
3. Untuk mengetahui eksistensi peraturan pendaftaran tanah yang diatur oleh PP
Nomor 24 Tahun 1997 dalam memberikan kepastian hukum bagi pemegang
hak atas tanah.
D. Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu:
1. Secara teoritis
Untuk memberikan masukkan bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan, khususnya
di bidang ilmu Hukum Pertanahan dan umumnya di bidang ilmu hukum
Agaria, sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat pada saat
ini.
2. Secara Praktis
Untuk dapat memberikan masukkan terhadap pemerintah dan/atau pelaku
hukum yang berwenang untuk itu, khususnya bagi pemerintah Kota Batam dan
bagi masyarakat yang kepemilikan hak atas tanahnya belum jelas, serta untuk
dapat memberikan kesadaran hukum bagi masyarakat dan pemerintah dalam
rangka pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 jo
E. Keaslian Penulisan
Bahwa setelah penulis melakukan penelurusan kepustakaan, khususnya
dilingkungan Universitas Sumatera Utara tidak ada yang persis sama dengan judul
yang penulis pilih, yaitu “Problematika Yang Terjadi Dalam Mewujudkan
Perlindungan Dan Kepastian Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah (Studi Di Kantor Pertanahan Kota Batam)”. Meskipun ada kemiripan judul, akan tetapi dalam pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Oleh
karena itu, penelitian yang diangkat penulis sampai saat ini masih dapat dipertanggung
jawabkan keasliannya secara ilmiah. Adapun penelitian yang pernah ditulis oleh
penulis-penulis pendahulu yaitu:
1. Mewujudkan Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Dengan Pendaftaran Tanah
(Studi di Kantor Pertanahan Kabupaten Nagan Raya), oleh: T. Mursalin
(067011094).
Permasalahannya :
a. Bagaimana pelaksanaan Pendaftaran Tanah yang dilakukan oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Nagan Raya?
b. Bagaimana kesadaran hukum masyarakat Nagan Raya untuk melaksanakan
pendaftaran hak-hak atas tanah?
c. Kendala-kendala apakah yang dihadapi masyarakat untuk melaksanakan
pendaftaran hak atas tanahnya?
a. Bahwa pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Nagan Raya adalah pendaftaran tanah secara sporadik,
sementara pendaftaran tanah secara sistematik baru dilaksanakan setelah
terjadinya tsunami Aceh, sebagai program rehabilitasi dan rekonstruksi
pasca tsunami, dan masih banyaknya desa yang belum tersentuh program
pemerintah untuk didaftarkan hak-hak atas tanah masyarakat secara
sistematik, dan belum tercapainya pelayanan sebagaimana diatur dalam
asas UUPA.
b. Bahwa yang telah melakukan pendaftaran tanah dan telah mendapat status
hukum hak atas tanah yang berupa sertifikat adalah 20.534 pemegang hak,
sedangkan hak guna bangunan sejumlah 43 hak, hak guna usaha 25 hak,
dan hak pakai 49 hak, dan masih banyak persil tanah masyarakat yang
belum terdaftar, karena rendahnya kasadaran hukum masyarakat
Kabupaten Nagan Raya dalam melakukan pendaftaran tanah. Karena faktor
historis kepemilikan tanah, terutama terhadap tanah hak milik adat yang
sifatnya turun temurun.
c. Bahwa kendala yang dihadapi masyarakat Kabupaten nagan Raya dalam
hal pendaftaran tanah selain faktor historis kepemilikan tanahnya, ada
beberapa faktor yaitu :
- Masyarakat masih belum memahami aturan tentang pendaftaran tanah.
- Tidak mudahnya dalam pengurusan serta belum transparannya biaya
pengurusan sertifikat.
2. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah Studi
kasus Terhadap Hak Atas Tanah Terhadap Yang Berpotensi Hapus Di Kota
Medan), oleh : Syafruddin (017011081).
Permasalahannya :
a. Bagaimana konsep prosedur perolehan sertifikat hak atas tanah yang
berkepastian hukum yang dibutuhkan masyarakat untuk melindungi
pemegang sertifikat hak atas tanah secara yuridis?
b. Bagaimana konsep dana pertanggungan hak atas tanah yang berkeadilan
yang diinginkan masyarakat untuk melindungi pemegang sertifikat hak atas
tanah dan pemegang hak atas tanah sebenarnya secara maeriil?
c. Bagaimana konsep sertifikat hak atas tanah santun lingkungan yang
bermanfaat yang diharapkan masyarakat untuk melindungi pemegang
sertifikat hak atas tanah dan lingkungannya secara preventif?
Kesimpulan :
a. Prosedur perolehan serifikat hak atas tanah diselenggarakan pemerintah
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat untuk memberi jaminan kepastian
hukum secara yuridis sudah mencukupi, namun masih ditemukan
kelemahan yang mengurangi nilai kapastian hukum, seperti ternyata dalam
penelitian fisik, belum sepenuhnya mengikuti metode yuridis kadasteral
secara yuridis kurang menjamin kepastian letak, arah, bentuk dan luas
bidang tanah. Demikian juga penelitian data yuridis terhadap alat bukti alas
hak atas tanah hanya dilaksanakan melalui pemeriksaan kebenaran formil
tanpa melakukan pemeriksaan kebenaran materil, selain itu ditemukan
simpul-simpul birokrasi yang tidak perlu.
b. Lembaga dana pertanggungan hak atas tanah simultan dengan lembaga
publisitas positif pendaftaran tanah guna memenuhi keinginan masyarakat
untuk memberikan rasa keadilan secara materiil belum diadakan Negara,
seperti ternyata sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan pemerintah
berpotensi hapus karena putusan pengadilan atau karena untuk kepentingan
umum, atau karena bencana alam tanpa santunan dari Negara sehingga
pemegang sertifikat hak atas tanah selaku rakyat yang beriktikad baik akan
menderita kerugian yang secara materiil menjadi kurang berkeadilan.
c. Sertifikat hak atas tanah santun lingkungan guna memenuhi harapan
masyarakat untuk memberi nilai manfaat secara preventif kurang tegas dan
kurang jelas, seperti ternyata dalam setiap penerbitan sertifikat hak atas
tanah tidak didahului advis planing menurut master plan kota/kabupaten
sesuai tata ruang yang serasi, selaras dan seimbang secara
berkesinambungan sehingga berpotensi tergusur untuk kepentingan umum
atau musnah sebab bencana alam, juga mengakibatkan tatanan kota kurang
teratur dan penolakan permohonan izin mendirikan bangunan karena
tidak ditemukan lembaga pengawasan penggunaan hak atas tanah sehingga
penggunaan tanah yang tidak sesuai peruntukan telah mengganggu
lingkungan masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya tanpa teguran atau
sanksi hukum.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba
secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya
memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.23 Menurut M.
Solly Lubis, beliau mengemukakan bahwa teori, adalah:
“Suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai
sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan
perbandingan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang
dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penulisan.”24
Dalam penelitian ini digunakan penelitian hukum normatif, yakni penelitian
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka25 yang
berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini, dan oleh karena itu kerangka teori
diarahkan secara khusus pada ilmu hukum. Fungsi teori dalam penelitian ini dapat
digunakan untuk proses penyusunan, membuat beberapa pemikiran atau prediksi atas
23
H.R. Otje Salman S, Anthon F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 23.
24
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80.
25
dasar penemuan serta meramalkan kemungkinan adanya gejala-gejala yang timbul dan
menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pernyataan-pernyataan dari
pengetahuan yang diperoleh dari tulisan-tulisan dan dokumen yang ada.
Teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori hukum responsif yang
dikemukan Philip Selznick dan Philippe Nonet, yakni perlindungan hukum terhadap
para pihak yang bersengketa untuk terhindar dari kesewenangan penghakiman26, yang
mana mengisyaratkan agar sertifikat kepemilikan hak atas tanah yang sudah
diterbitkan oleh Badan pertanahan Nasional dapat dijadikan alat bukti sepanjang tidak
terbukti sebaliknya. Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yakni pertama,
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang baik dan
tidak boleh dilakukan, kedua, keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang ada, maka individu dapat mengetahui
apa yang boleh dibebankan atau dilakukan Negara terhadap individu tersebut.27
Unsur kepastian dalam hukum berkaitan erat dengan keteraturan dalam
masyarakat, karena kepastian merupakan inti dari ketaatan itu sendiri.28 Oleh
karenanya kepastian di dalam hukum diperlukan pada saat sebelum, sedang, dan
setelah adanya sesuatu perbuatan yang menimbulkan sesuatu akibat, dan dengan
adanya hukum yang berlaku secara umum bagi seluruh manusia dalam suatu
komunitas masyarakat atau Negara maka kepastian hukum akan dapat terwujud.
Sehingga sangat kecil kemungkinan akan terjadinya penindasan dari yang kuat kepada
26
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 157.
27
Ibid., hlm. 158
28
yang lemah, kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyatnya, khususnya dalam
menghadapi konflik yang terjadi dalam pertanahan guna terwujudnya perlindungan
hukum bagi para pemegang hak atas tanah. Sebab kesemuanya itu terdapat kepastian
hukum yang harus dipedomani oleh pihak-pihak yang berkompeten.29
Bahwa dalam tulisan ini akan diuraikan tentang kepastian dan perlindungan
hukum bagi para pemegang hak atas tanah, yang tanahnya telah didaftarkan, serta
memahami eksistensi dari PP 24 Tahun 1997 terhadap terwujudnya kepastian hukum
bagi pemegang sertifikat hak atas tanah.
Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre, suatu istilah teknis untuk suatu
rekaman (record), yang menunjukan kepada luas, nilai, dan kemilikan (atau lain-lain
alas hak) terhadap suatu bidang tanah.30 Dengan demikan pengertian lebih tegas,
cadaster adalah alat yang tepat untuk membuktikan uraian dan identifikasi dari lahan
dan juga sebagai continues recording dari hak atas tanah.31 Definisi yang lebih
terperinci terdapat pada Pasal 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menegaskan bahwa
pendaftaran tanah adalah:
“Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk angka dan data mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”32
29
Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif, Djambatan, Jakarta, 2001, hlm. 58.
30
Tampil Anshari Siregar, Pendalaman Lanjutan Undang-Undang Pokok Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hlm. 283-284.
31
A.P Parlidungan, Op.Cit., hlm. 18.
32
Pendaftaran tanah yang diatur dalam UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997
merupakan suatu bentuk pelaksanaan Pendaftaran tanah dalam rangka Recht Kadaster
yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada para
pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada proses akhir
pendaftaran tersebut, berupa Buku Tanah dan Sertifikat Tanah yang terdiri dari
Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur, yang mana sertifikat hak atas tanah tersebut
merupakan alat bukti yang kuat dan bukan merupakan tanda bukti yang mutlak.33
Dalam Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA dinyatakan bahwa akhir kegiatan dari
pendaftaran tanah yang diadakan oleh Pemerintah adalah pemberian surat tanda bukti
hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. UUPA tidak menyebutkan nama
surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar. Baru pada Pasal 13 Ayat (3) PP No. 10
Tahun 1961 dinyatakan bahwa surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar
dinamakan sertifikat, yaitu salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi
satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh
Menteri Agraria.
Jika dikaitkan dengan tujuan pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam
PP Nomor 24 Tahun 1997 tersebut menurut AP. Parlindungan telah memperkaya
ketentuan Pasal 19 UUPA tersebut, karena:
1. Dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
2. Dengan informasi pertanahan yang tersedia di Kantor Pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan Negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan pemilikannya.
33
3. Dengan Administrasi Pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.34
Bahwa untuk mewujudkan kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh
rakyat Indonesia yang diperintahkan dalam Pasal 19 UUPA Nomor 5 Tahun 1960,
kepada aparatur Negara dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional untuk
menyelenggarakan pelaksanaan Pendaftaran tanah tersebut secara garis besar meliputi:
1. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang sah/ kuat.35
Ad.1 Pengukuran disini adalah pengukuran desa demi desa, sebagai himpunan
terkecil, bukan blok ataupun himpunan lain. Sikap ini juga dianut oleh PP
Nomor 24 Tahun 1997 dengan sebutan Pendaftaran Sistematik, yaitu
pengukuran desa demi desa, baik desanya sendiri dan seluruh hak-hak yang
terdapat pada desa tersebut. Khusus untuk Pendaftaran Tanah hak guna usaha,
hak pengelolaan, hak tanggungan dan tanah Negara kesatuan wilayah tata
usaha pendaftarannya adalah kabupaten/kotamadya.
Ad.2 Bahwa Kantor Pertanahan sebagai suatu instansi vertikal dari Badan
Pertanahan Nasional (BPN) satu-satunya yang berwenang untuk melakukan
pendaftaran tanah, baik untuk pertama kali ataupun berkesinambungan, artinya
juga mencatat setiap mutasi hak, pengikatan jaminan, pendirian hak baru yang
34
Muhammad Yamin Lubis, Abd.Rahim Lubis, Op.Cit., hlm. 106.
35
timbul dari perjanjian (dengan akta PPAT), Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai di atas tanah hak milik.
Ad.3 Demikian pula tugas dari Kantor Pertanahan untuk menerbitkan tanda
bukti hak atas tanah yang bersama-sama dengan surat ukur atas tanahnya
disebut Sertifikat Hak Atas Tanah.
Muntoha, mantan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah, Departemen Agraria
menyatakan bahwa Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia yang dianut sekarang ini
adalah Sistem Negatif dengan tendens-tendens Positif. Sistem ini menyatakan bahwa
keterangan-keterangan yang ada tersebut, apabila ternyata tidak benar, maka dapat
diubah atau dibetulkan36, berdasarkan ketentuan Pasal 32 Ayat (1) PP No. 24 Tahun
1997. Ketentuan dalam Pasal ini mempunyai kelemahan, yakni Negara tidak
menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang disajikan dan tidak adanya
jaminan bagi pemilik sertifikat dikarenakan sewaktu-waktu akan mendapat gugatan
dari pihak lain yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertifikat.37 Untuk menutupi
kelemahan dalam ketentuan pasal tersebut dan untuk memberikan perlindungan
hukum kepada pemegang sertifikat dari gugatan pihak pihak lain, dan menjadikan
sertifikat sebagai tanda bukti yang bersifat mutlak, maka dibuatlah ketentuan Pasal 32
Ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, dengan memenuhi unsur-unsur secara kumulatif,
yaitu:
1. sertifikat diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum,
36
Ali Achmad Chomzah, Op.Cit., hlm.16.
37
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2010,
2. tanah diperoleh dengan iktikad baik,
3. tanah dikuasai negara secara nyata,
4. dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak ada yang mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat ataupun tidak mengajukan gugatan ke
pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat.
Dalam hal ini pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan
dimaksudkan untuk memperoleh kepastian hukum atas tanah melalui gugatan atau
keberatan yang diajukan oleh pihak lain yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan
atau Pengadilan Negeri secara tertulis. Setelah berakhirnya masa pengumpulan dan
ternyata tidak ada sanggahan dari pihak lain, maka keputusan pemberian hak atas
tanah atau pengakuan hak atas tanah tersebut dibuat dan ditandatangani oleh Kepala
Kantor Pertanahan, selanjutnya diberi nomor dan tanggal, dengan demikian keputusan
tersebut dinyatakan resmi diterbitkan. Akan tetapi dalam kenyataannya penerbitan
sertifikat kepemilikan hak atas tanah tersebut menjadi sengketa karena ditemukannya
bukti baru kepemilikan hak atas tanah tersebut oleh pihak lain, selain itu
ditemukannya adanya dualisme kepemilikan hak atas tanah tersebut dengan dibuktikan
dengan adanya sertifikat dari masing-masing pihak.
Sistem pendaftaran tanah di Indonesia, juga dapat disebut Quasi Positif (Positif
yang semu). Adapun ciri-ciri sistem quasi positif pendaftaran tanah tersebut adalah
sebagai berikut : 38
38
a. Nama yang tercantum dalam Buku Tanah.
Nama yang tercantum dalam Daftar Buku Tanah adalah pemilik tanah yang benar dan dilindungi oleh hukum.
Sertifikat adalah tanda bukti yang terkuat, bukannya mutlak.
b. Setiap peristiwa balik nama, melalui prosedur dan penelitian yang seksama dan memenuhi syarat-syarat keterbukaan (Openbaar Beginsel).
c. Setiap persil batas ukur dan digambar dengan Peta Pendaftaran Tanah, dengan skala 1 : 1000, ukuran mana yang memungkinkan untuk dapat dilihat kembali batas persil, apabila dikemudian hari terdapat sengketa batas.
d. Pemilik tanah yang tercantum dalam Buku Tanah dan Sertifikat dapat dicabut melalui proses Keputusan Pengadilan Negeri atau dapat dibatalkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, apabila terdapat cacat hukum. e. Pemerintah tidak menyediakan dana untuk pembayaran ganti rugi pada
masyarakat, karena kesalahan administrasi Pendaftaran Tanah, melainkan masyarakat sendiri yang merasa dirugikan melalui proses peradilan/ Pengadilan Negeri untuk memperoleh haknya.
Kebenaran sertifikat hak atas tanah akan ditentukan oleh kebenaran prosedur
perolehan sertifikat hak atas tanah di Kantor Pertanahan meliputi pengumpulan dan
pengolahan data fisik dan data yuridis yang dituangkan dalam daftar surat ukur dan
buku tanah, demikian menurut Pasal 32 Ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 :
“Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya,
sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”
Berkaitan dengan itu, para ahli hukum dan praktik keadilan berpendapat bahwa kebenaran itu, “Cukup dalam kebenaran formil (formiele waarheid), yakni cukup sebatas kebenaran yang sesuai dengan formalitas yang diatur oleh hukum. Akan tetapi, pengertian kebenaran formil itu jangan ditafsirkan dan dimanipulasi sebagai bentuk kebenaran yang setengah-setengah atau kebenaran yang diputar balik. Namun harus merupakan kebenaran yang diperoleh sebagai hasil penjabaran semua fakta dan peristiwa yang terjadi dan diperoleh selama proses persidangan berlangsung”.39
39
2. Konsepsi
Konsepsi merupakan bagian terpenting dari suatu teori. Suatu konsep bukan
merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala
tersebut.40 Konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau
gejala. Maka konsep merupakan suatu definisi dari apa yang perlu diamati,
menentukan antara variabel-variabel yang lain, menentukan adanya hubungan
empiris.41 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar,
agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan, yaitu:
a. Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis dalam bentuk angka dan data mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan
hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.42
b. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua
40
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 132.
41
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 21.
42
objek pendaftaran yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah
suatu desa/kelurahan.
c. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau
massal.
d. Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan suatu bidang
yang terbatas.43
e. Hak atas tanah adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agaria (UUPA).44
f. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah
wakaf, hak milik, atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang
masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan45.
g. Kantor Pertanahan adalah Unit Kerja Badan Pertanahan Nasional di
wilayah kabupaten atau kotamadya, yang melakukan pendaftaran hak atas
tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.46
43
Pasal 1 angka 2 PP. No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
44
Lihat Pasal 16 UUPA No. 5 Tahun 1960.
45
Pasal 1 angka 20 PP. No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Lihat juga Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA.
46
h. Perlindungan hukum adalah upaya sistematis yang diberikan oleh Negara
terhadap para pemegang hak atas tanah untuk tanah-tanah yang telah
didaftarkan.
i. Kepastian hukum adalah kepastian perumusan norma dan prinsip hukum
yang tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal
undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal
lainnya, yang berada di luar undang-undang tersebut, dan kepastian dalam
melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum undang-undang tersebut.
G. Metode Penelitian
Untuk keberhasilan suatu penelitian baik dalam memberikan gambaran dan
jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat
ditentukan oleh metode yang dipergunakan dalam penelitian. Sehubungan dengan
pembahasan permasalahan dalam tesis ini penulis meneliti permasalahan yang ada,
dengan berdasarkan kepada metode yang tersusun secara sistematis dan dengan
pemikiran tertentu di dalam menganalisa.
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif analitis
dengan bersumberkan kepustakaan untuk menjawab segala permasalahan dengan
menggunakan logika berfikir melalui penalaran sistematis dalam penguraiannya dan
berfungsi untuk menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisa
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan 2 (dua) cara atau metode
pengumpulan data yang berkaitan dengan materi pokok dalam tesis ini, metode
pengumpulan data yang dimaksud adalah:
1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Yaitu penelitian dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari:
a. Bahan Hukum Primer : yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan lain-lain, yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
b. Bahan Hukum Sekunder : yaitu semua dokumen yang merupakan hasil
penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, informasi atau
merupakan hasil kajian dari berbagai media, seperti Koran, majalah,
artikel-artikel yang dimuat di berbagai website di internet.
2. Penelitian Lapangan (Field Reseacrh)
Penelitian ini juga dilakukan dengan cara wawancara sebagai faktor pendukung
dalam penyelesaian tesis ini, lewat penggunaan pedoman wawancara terhadap
informan, yaitu :
b. Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota
Batam.
c. Staf Otorita Batam
d. Notaris/PPAT di Medan dan Batam
e. Developer kota Batam 1 (satu) orang.
f. Tokoh masyarakat dari salah satu pemegang hak atas tanah di kota Batam
(Tim15).
3. Lokasi penelitian
Adapun lokasi penelitian dalam penulisan tesis ini adalah Kantor Pertanahan
Kota Batam, karena Kota Batam mempunyai berbagai problematika pertanahan yang
cukup menarik dan tidak berbeda dengan daerah lainnya, terutama tentang
permasalahan sertifikat diatas kawasan hutan lindung
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah dengan analisis
kualitatif yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi
berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai
artikel-artikel hingga dapat menjawab permasalahan dari penulisan tesis ini. Dan
didukung oleh hasil wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait.
Semua data yang diperoleh disusun secara sitematis, diolah, dan diteliti serta
dievaluasi. Untuk selanjutnya dilakukan pengelompokan terhadap data yang sejenis
jawaban atas permasalahan dari penelitian ini dengan menggunakan metode penarikan