• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPASTIAN HUKUM atas HAK PENGELOLAAN TANAH i

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEPASTIAN HUKUM atas HAK PENGELOLAAN TANAH i"

Copied!
242
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-undang No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Setiap Orang yang dengan yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentauk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(3)

KEPASTIAN HUKUM atas

HAK PENGELOLAAN TANAH

Solusi Hukum Dari Insinkronisasi Pengaturan Bidang Pertanahan di Kota Batam

Isdian Anggraeny,S.H., M.Kn Isdiyana Kusuma Ayu, S.H., M.Kn

(4)

K

EPASTIAN HUKUM atas HAK PENGELOLAAN TANAH

Solusi Hukum Dari Insinkronisasi Pengaturan Bidang Pertanahan di Kota Batam Diterbitkan pertama kali oleh CV Amerta Media

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved Hak penerbitan pada Penerbit Amerta Media

Dilarang mengutip atau memperbayak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari Penerbit

Anggota IKAPI

Cetakan Pertama : September 2020 15 cm x 23 cm

ISBN: 978-623-6555-38-5 Penulis :

Isdian Anggraeny,S.H., M.Kn Isdiyana Kusuma Ayu, S.H., M.Kn Editor :

Aan Herdiana, M.Sos Tegar Roli A., M.Sos Desain Cover : Adji Azizurrachman Tata Letak : Hana Anindyasari Diterbitkan Oleh : CV. Amerta Media NIB. 0220002381476

Jl. Raya Sidakangen, RT 001 RW 003, Kel, Kebanggan, Kec. Sumbang, Banyumas 53183, Jawa Tengah. Telp. 081-356-3333-24

Email : mediaamerta@gmail.com Website: www.penerbitbuku.id Isi di luar tanggung jawab penerbit Amerta Media

(5)

KATA PENGANTAR

Kompleksitas permasalahan hak pengelolaan tanah di Indonesia terus berlanjut. Pro kontra terhadap eksistensinya dan problem substantif regulasinya adalah bagian dari komp leksitas permasalahan tentang hak pengelolaan tanah di Indo nesia hingga kini. Mengambil setting di Kota Batam—tanah kelahiran penulis—buku dengan judul ―Kepastian Hukum Atas Hak Pengelolaan Tanah (Solusi Atas Tidak Adanya Sinkronisasi Regulasi Bidang Pertanahan Di Kota Batam)‖ merupakan refleksi atas kegelisahan penulis terhadap kompleksitas permasalahan hak pengelolaan tanah di Kota Batam. Buku setebal 241 halaman ini tidak saja mencoba mengurai permasalahan yang terjadi dan menarik benang merah permasalahannya, tetapi secara gamblang menawarkan solusi atas komplek sitas permasalahan tersebut.

Buku ini mengurai secara detail tentang terjadinya tumpang tindih regulasi hak pengelolaan tanah di Kota Batam dan implikasinya khususnya pasca keluarnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 463/Menhut-II/2013. Alih-alih memberi solusi atas permasalahan pengelolaan hak atas tanah di Kota Batam, regulasi yang dikeluarkan Menteri Kehutanan ini justru menjadi pemicu kian rumitnya hak pengelolaan tanah di kawasan tersebut. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 463/Menhut-II/2013 yang secara normatif menetap

(6)

kan status tanah di Kota Batam—yang merupakan Hak Penge lolaan BP Batam—sebagai kawasan hutan lindung tidak saja menimbulkan problem yuridis, tetapi juga problem sosial.

Regulasi yang dikeluarkan Menteri Kehutanan tersebut telah memicu konflik kepemili kan hak atas tanah, mengingat sebagian dari tanah-tanah tersebut sudah diletakkan hak atas tanah oleh masyarakat.

Sebagaimana pepatah bijak mengatakan, pengala man adalah guru terbaik. Karena itu, meski buku ini mengambil setting waktu tahun 2013-an, uraian dalam buku ini tetaplah urgen dibaca para pemangku kepentingan bidang pertanahan, seperti mahasiswa, dosen, notaris dan praktisi pertanahan yang lain. Bagi para pengambil kebija kan, buku ini bukanlah sekedar kritik—yang autopis—tetapi juga masukan dan solusi akademik atas persoalan per tanahan. Karenanya, terlampau urgen buku ini untuk tidak dibaca.

Sepenuhnya disadari, bahwa sebagai refleksi atas cara berpikir karya ini tidak akan luput dari kekurangan, kelemahan dan kesalahan. Oleh karenanya, kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan. Semoga karya ini—betapa pun kecilnya—

akan memberi manfaat dalam pergulatan intelektual di bidang hukum umumnya dan di bidang Hukum Agraria pada khususnya.

Malang, September 2020 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL | i TENTANG BUKU | iv KATA PENGANTAR | v DAFTAR ISI | vii

BAB I

PENGANTAR | 1 BAB II

TINJAUAN TENTANG HUKUM | 15 A. Teori Hukum Sebagai Suatu Sistem | 15 B. Prinsip Preferensi | 22

C. Teori Wewenang | 27 D. Teori Tujuan Hukum | 30 E. Teori Perlindungan Hukum | 34 F. Akibat Hukum | 37

G. Politik Hukum | 39 BAB III

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (BESCHIKKING) | 45

BAB IV

HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH | 53 A. Pengertian Hak Pengelolaan | 53

B. Subjek Hak Pengelolaan | 56 C. Objek Hak Pengelolaan | 58

D. Kewenangan Dalam Hak Pengelolaan |59 E. Terjadinya Hak Pengelolaan | 65

F. Pendaftaran Hak Pengelolaan | 67

G. Peralihan Dan Pembebanan Hak Pengelolaan | 69

(8)

BAB V

PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN | 73 BAB VI

PENGEMBANGAN KOTA BATAM SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN

BEBAS | 83

A. Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas | 83 B. Sejarah Pengembangan Kota Batam Sebagai Kawasan

Industri Di Indonesia | 85

C. Pengaturan Pertanahan Di Kota Batam Dalam Rangka Pengembangan Kota Batam Sebagai Kawasan Industri Di Indonesia | 112

BAB VII

INSINKRONISASI PENGATURAN KHUSUS KOTA BATAM | 131

A. Posisi Kasus Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor Sk. 463/Menhut-Ii/2013 Di Kota Batam | 131

B. Insinkronisasi Pengaturan Bidang Pertanahan Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor Sk.

463/Menhut-Ii/2013 Di Kota Batam | 144

C. Penyebab Insinkronisasi Pengaturan Bidang Pertanahan Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor Sk.

463/Menhut-Ii/2013 Di Kota Batam | 147 D. Akibat Hukum Insinkronisasi Pengaturan Bidang

Pertanahan Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor Sk. 463/Menhut-Ii/2013 Di Kota Batam | 172 BAB VIII

MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM:

Solusi Hukum Dari Insinkronisasi Pengaturan Bidang Pertanahan Di Kota Batam | 185

(9)

BAB IX

PENUTUP | 215

DAFTAR PUSTAKA | 221 TENTANG PENULIS | 231

(10)
(11)

BAB I

PENGANTAR

Pulau Batam atau yang lebih dikenal dengan Kota Batam adalah satu dari sekian wilayah yang masuk dalam kawasan strategis nasional. Hal tersebut bisa kita lihat dalam Pasal 1 Angka 5 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Bintan, Kawasan Batam, dan Kawasan Karimun.

Kawasan tersebut diprioritaskan oleh pemerintah karena mempu nyai pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap kedau latan negara, pertahanan, dan kemanan negara, ekonomi, sosial, bu daya, dan lingkungan.

Secara geografis, Kota Batam mempunyai letak yang sangat strategis yaitu pada jalur pelayaran internasional. Kota Batam bera da di dalam wilayah segitiga pertumbuhan (triangle growth). Wilayah Segitiga Pertumbuhan ini meliputi Singapura, Johor (Malaysia), dan Riau (Indonesia). Letak yang startegis tersebut menjadi salah satu daya tarik Kota Batam bagi investor luar negeri terutama negara tetangga, Singapura, untuk berinvestasi di Kota Batam.

(12)

Gambar 1.1

Peta Wilayah Segitiga Pertumbuhan (Triangle Growth) Sumber: Data sekunder, BP Batam, 2011

Dengan melihat keistimewaan yang dimiliki oleh Kota Batam, dalam hal ini pemerintah membuat kebijakan khusus, un tuk mengatur atau mengelola Kota Batam. Tahun 1973 merupakan awal Pemerintah membuat kebijakan khusus terhadap Kota Batam, yaitu dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam (selanjutnya disebut dengan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973).

Adapun tujuan dari pembuatan kebijakan khusus tersebut adalah dalam rangka persiapan Kota Batam sebagai kawasan indus tri, perdagangan, alih kapal, dan pariwisata. Berdasarkan Keputu san Presiden tersebut, Pulau Batam dengan statusnya sebagai Kota Industri diberikan Hak Pengelolaan. Dengan adanya pengaturan tersebut, diharapkan dapat mendorong perkembangan dan memas tikan pengembangan Kota Batam sebagai kota industri.

(13)

Pemberian hak pengelolaan Pulau Batam tercantum di dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 menyatakan bahwa: seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan hak pengelolaan kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (kemudian disebut Otorita Batam). Selanjutnya, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Peng gunaan Tanah di daerah Industri Pulau Batam menyatakan apabila di atas areal tanah yang diberikan hak pengelolaan masih terdapat tanah, bangunan, dan tanaman milik rakyat, maka pembayaran gan ti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima hak, de mikian pula pemindahan penduduk ke tempat permukiman baru.

Areal tanah yang dimaksud dijelaskan lebih lanjut di dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 1977. Areal tanah tersebut meliputi areal tanah gugusan Pulau Janda berias – Pulau Tanjung Sau– Pulau Nginang, dan Pulau Kasom. Pada tahun 1992, areal tanah tersebut ditambah denga Pulau Rempang dan Pulang Galang berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indone sia Nomor 28 tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingku ngan Kerja Daerah Industri Pulau Batam Dan Penetapannya Se bagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat.

Pemberian hak pengelolaan tersebut tetap berlanjut mes kipun adanya perubahan terhadap status kawasan Kota Batam men jadi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di periode tahun 2007 dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 44

(14)

Tahun 2007 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Men jadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang (LN. Tahun 2007 Nomor 130, TLN. Nomor 4775). Sebagai implementasi undang- undang tersebut, khususnya untuk Kota Batam maka diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (LN. Tahun 2007 Nomor 107, TLN. Nomor 4757) dengan beberapa perubahan yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam (LN. Tahun 2011 Nomor 16 , TLN. Nomor 5195).

Dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007, maka peraturan tersebut menjadi landasan pembubaran Oto rita Batam, dan sekaligus diganti dengan Badan Pengusahaan Kawa san Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (selanjutnya disebut BP Batam). Selain itu, peraturan ini juga mengatur terkait Hak Pengelolaan yang sebelumnya diberikan kepada Otorita Batam.

Mengacu pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007, Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewena ngan Otorita Batam dan Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi

(15)

kewenangan Pemerintah Kota Batam yang berada di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam beralih kepada BP Batam sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kawasan yang dimaksud adalah Pulau Batam, Pulau Setokok, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Galang Baru, Pulau Rempang, dan Pulau Galang. Namun, penggantian subyek hak pengelolaan ini tidak me ngakhiri hak-hak yang telah ada di atas tanah Hak Pengelolaan, hak-hak tersebut tetap berlaku sampai jangka waktu berlakunya ber akhir. Dengan demikian, saat ini Hak Pengelolaan Kota Batam di miliki oleh BP Batam.

Pada prinsipnya, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) huruf b Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1973, Hak Pengelolaan kota Batam tersebut memberi Ketua Otorita Batam (BP Batam) untuk:1) merencanakan peruntukan dan penggu naan tanah tersebut; 2) menggunakan tanah tersebut untuk keper luan pelaksanaan tugasnya; 3) menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak-pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang- undang Pokok Agraria; 4) menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan. Pada wewenang yang ketiga, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pengelolaan dan Peng gunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam Nomor 43 tahun 1975, penyerahan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan tersebut dapat pula dengan hak Guna Bangunan.

(16)

Dalam bukunya yang berjudul Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Maria S.W. Sumardjono (2008), men jelaskan praktik keberadaan Hak Pengelolaan dan landasan hukum nya terus berkembang dengan berbagai ekses dan permasalahan nya. Permasalahan hak pengelolaan dimulai dengan substansi hak pengelolaan hingga pro kontra terhadap eksistensi hak pengelolaan itu sendiri.

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh undang- undang, hak pengelolaan merupakan pelimpahan sebagian pelaksa naan kewenangan dari hak menguasai tanah oleh negara. Negara sebagai organisasi tertinggi telah diberikan kewenangan untuk me ngatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia (Santoso, 2013). Isi wewenang negara tersebut semata-mata bersifat publik (Bakrie, 20 11). Hal ini, menurut Bakrie (2011) pada umumnya disebut de ngan hak menguasai negara atau lebih tepatnya disebut dengan hak menguasai tanah oleh negara.

Namun, seperti yang dijelaskan Hutagalug dan Sitorus (20 11), tingginya dinamika ketentuan hukum yang mengatur hak pengelolaan kadang-kadang mengakibatkan sulitnya memahami substansi hak pengelolaan itu sendiri, baik oleh jajaran otoritas per tanahan, masyarakat, dan penegak hukum.

Pada hakikatnya, hak pengelolaan memiliki dua kewenang an yaitu kewenangan publik dan kewenangan privat. Oleh karena itu, tidak selamanya Hak Pengelolaan merupakan gempilan dari

(17)

hak menguasai tanah oleh negara sehingga pada akhirnya Hak Pengelolaan digolongkan pada hak atas tanah. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Urip Santoso (2013) bahwa hak pengelolaan lebih cenderung pada penggolongan hak pengelolaan merupakan hak atas tanah. Dengan berbagai permasalahan yang muncul terkait hak pengelolaan, dan hak pengelolaan terus berkembang dan menjadi salah satu cara negara mempercepat pembangunan dengan mende legasikan sebagian kewenangannya melalui hak pengelolaan di se tiap daerah.

Permasalahan hak pengelolaan pun terjadi di tengah masya rakat di Kota Batam. Hal ini tentu saja akibat dari perkembangan Kota Batam yang pengalokasian hak atas tanah sebagian besar dialokasikan untuk kawasan industri, perumahan (hunian), pemerin tahan, dan hutan lindung. Perkembangan pembangunan di Kota Batam yang meningkat pesat telah menjadi daya tarik bagi penda tang untuk mengembangkan usahanya. Hal ini tentu saja menyebab kan peningkatan jumlah Penduduk Kota Batam yang pada akhirnya berimplikasi pada timbulnya permasalahan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, terutama dalam bidang pertanahan.

Pada tahun 2013 telah terjadi permasalahan terkait insinkro nisasi status tanah di Kota Batam. Menteri Kehutanan menerbit kan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 463/Menh ut-II/2013 (selanjutnya disebut dengan SK. 463/Menhut-II/2013).

Surat keputusan ini menetapkan kawasan hutan lindung terhadap tanah di Pulau Batam yang merupakan Hak Pengelolaan BP Batam

(18)

dan beberapa telah dilekatkan hak atas tanah oleh masyarakat. Hal ini menimbulkan polemik pertanahan di wilayah Batam dan me nimbulkan kerugian bagi daerah Batam sebagai wilayah perdaga ngan dan kawasan industri. Selain itu, hal ini pun membuat Kota Batam tidak memiliki kepastian hukum.

SK. 463/Menhut-II/2013 mengatakan bahwa Tanjung Un cang, Tanjung Gudap dan Batu Ampar sebagai kawasan hutan.

Namun, hal ini bersebrangan dengan Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun yang menyebutkan bahwa Tanjung Uncang, Tanjung Gudap, Batu Ampar, Telaga Punggur, dan Sekupang sebagai Kawasan industri. Selain itu, SK. 463/Menhut-II/2013 juga menyebutkan bahwa Batam Center dan Batu Aji sebagai Areal hutan. Padahal, dalam kondisi lapangannya, daerah tersebut diba ngun kantor pemerintah dan ribuan rumah lebih dari sepuluh tahun.

Dengan adanya SK. 463/Menhut-II/2013 tersebut, Ketua Kadin Kota Batam, Ahmad Makruf, menjelaskan bahwa keputusan itu membuat sekitar 22.000 rumah dan 49 galangan kapal di Batam berada di lokasi illegal. Padahal semua rumah dan galangan itu sebelumnya telah mendapatkan izin resmi dari negara. Sebelum SK. 463/Menhut-II/2013 diterbitkan, Kantor Pertanahan Kota Batam telah mengeluarkan 1.700 sertifikat rumah di atas lahan yang ditetapkan sebagai hutan lindung oleh surat keputusan terse but. Menurut Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam, penerbitan

(19)

1.700 sertifikat tersebut berdasarkan sertifikat lahan dari BP Batam. Namun dengan adanya persitiwa ini, Kantor Pertanahan Kota Batam menghentikan sementara penerbitan sertifikat kepada pihak ketiga. Selain itu, kawasan industri di Kota Batam pun ter ancam untuk dihutankan kembali. Seperti yang dikatakan oleh Ke pala BP Batam, Mustofa Widjaja, bahwa penerbitan SK. 463/Men hut-II/2013mengakibatkan 2.930 hektar kawasan industri teran cam akan dihijaukan kembali.

Fenomena tersebut menjadi masalah tersendiri, dan tentu nya berimbas kepada kerugian-kerugian yang harus ditanggung beberapa pihak, semisal masyarakat dan investor di Kota Batam.

Peristiwa ini tentu saja menggambarkan adanya insinkronisasi pe ngaturan pertanahan dan sektoral kehutanan di Kota Batam. Pada akhirnya Pemerintah dinilai tidak dapat memberikan kenyamanan dan kepastian hukum status lahan. Permasalahan insinkronisasi pengaturan ini dapat diibaratkan dua sisi mata uang yang masing- masing memiliki akibat hukum. Surat Keputusan Menteri tidak ter masuk di dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dilihat dari bentuk dan substansinya, Surat Keputusan Menteri tersebut termasuk Ke putusan Tata Usaha Negara (Beschikking). Namun, keberadaan Ke putusan Menteri diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hu kum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan per undang-undangan yang lebih tinggi.

(20)

Pada kasus ini, SK. 463/Menhut-II/2013 merupakan pene rapan dari Undang-Undang Penataan Ruang, Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang- Undang Kehutanan. Pada Undang-Undang Penataan Ruang, ter dapat sanksi pidana bagi siapa saja yang tidak menaatinya termasuk bagi pejabat yang berani mengeluarkan izin. Namun demikian, di sisi lain kedudukan BP Batam sebagai pemegang Hak Pengelolaan di Kota Batam pun diakui pula oleh aturan perundang-undangan (Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam) sehingga peren canaan peruntukan dan penggunaan lahan di Kota Batam secara otomatis diatur oleh BP Batam.

Uraian permasalahan tersebut menunjukan tujuan utama pemberian hak pengelolaan yaitu penyediaan tanah untuk pihak lain tidak terwujud secara baik berdasarkan tujuan dasar hukum agraria nasional yang bertujuan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Seharusnya, pemerintah pu sat maupun pemerintah daerah setidaknya perlu menyadari bahwa pengaturan dan penyelesaian permasalahan pertanahan di Kota Batam perlu dilakukan dengan mencermati faktor sejarah pengem bangan Kota Batam, termasuk kebijakan dan pengaturan pertanah an yang telah diterapkan sebelumnya. Hal ini disebabkan eksistensi Kota Batam sebagai daerah yang memang berbeda dengan daerah lainnya, yaitu sebagai daerah yang secara khusus dikembangkan demi memacu iklim investasi di Indonesia. Oleh karena itu,

(21)

penetapan kawasan hutan seharusnya perlu dipahami dalam aspek sejarah perkembangan Batam yang bertumpu pada kebutuhan du nia usaha, kepentingan seluruh masyarakat, dan kemampuan daya saing Batam secara maksimal dengan tidak mengorbankan keseim bangan lingkungan.

Gambar 1.2

Posisi Kasus: Tumpang Tindih Pengaturan Bidang Pertanahan terkait Status Tanah di Kota Batam

Sumber: Data sekunder, BP Batam, 2014

Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelang sungan hidup setiap manusia. Oleh karena itu, diperlukan suatu kepastian hukum sehingga memunculkan kenyamanan, ketentra man, kepastian, dan keamanan terhadap tanah yang telah menjadi haknya. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat persoalan krusial di bidang pertanahan di Kota Ba

(22)

tam yang memang memiliki karakterisitik khusus dibandingkan dae rah lain. Namun dengan keistimewaan tersebut, penyelesaian admi nistrasi tanah semakin tidak terkoordinasikan dengan baik.

Berdasarkan paparan di atas, perlu dilakukan evaluasi hukum terhadap permasalahan pertanahan yang terjadi di Kota Ba tam akibat diberlakukannya SK. 463/Menhut-II/2013 yang dapat dijadikan cermin terjadinya insinkronisasi pengaturan di bidang per tanahan. Evaluasi ini diharapkan dapat dijadikan suatu proses mewujudkan kepastian hukum terhadap status hak atas tanah, khususnya di Kota Batam. Kualitas hukum akan dapat dilihat pada saat hukum tersebut diterapkan. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut terkait insinkronisasi pengaturan bidang pertanahan yang berada di Kota Batam, akibat hukumnya terhadap hak atas tanah, serta solusi hukum dari insinkronisasi pengaturan tersebut untuk mewujudkan kepastian hukum status hak atas tanah di Kota Batam.

Adapun tujuan dari penulisan buku ini adalah a) mendes kripsikan dan menganalisis penyebab insinkronisasi pengaturan bidang pertanahan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam; b) mendeskrip sikan dan menganalisis akibat hukum insinkronisasi pengaturan bidang pertanahan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 463/Menhut-II/2013 di Kota Batam; dan c) mendes kripsikan, menganalisis, dan merumuskan solusi hukum dari

(23)

insinkronisasi pengaturan bidang pertanahan untuk mewujudkan kepastian hukum status Hak Atas Tanah di Kota Batam.[]

(24)
(25)

BAB II

TINJAUAN TENTANG HUKUM

A. TEORI HUKUM SEBAGAI SUATU SISTEM

Teori hukum sebagai suatu sistem (teori sistem) merupakan penjelajahan intelektualitas manusia dalam menemukan cara yang paling tepat untuk mempelajari suatu kesatuan yang kompleks.

Ciri-ciri teori ini, seperti yang dijelaskan Rasjidi (2003) yaitu:

a. Mampu memenuhi kritiknya terhadap metodologi analitis b. Mampu melukiskan kekhususan hal yang disebut sistem c. Mampu menjelaskan kekaburan hal-hal yang termasuk dalam

suatu sistem

d. Merupakan teori saintifik.

(26)

Teori sistem memberikan beberapa penekanan dari esensi sistem dari suatu kesatuan, yaitu:1) esensi dari sistem suatu kesa tuan; 2) hakikat dari setiap bagian yang membentuk suatu sistem;

3) cara seharusnya dalam menganalisis suatu kesatuan yang besar (sistem), dan bagia-bagian yang membentuk satuan itu (Rasjidi, 2003).

Selanjutnya, perlu diamati pengaruh perkembangan sains terhadap teori-teori hukum yang telah ada dan mengalami perkem bangan. Hal ini bertujuan untuk melihat kelebihan dan kekurangan nya kemudian melihat kemungkinan pemanfataanya bagi pemba ngunan teori sistem hukum. Pada akhirnya ditemukan sebuah kons truksi substansi pembahasan aliran-aliran filsafat hukum terhadap esensi hukum. Kontruksi tersebut akan menggambarkan dua sisi, yaitu: 1) aliran-aliran filsafat hukum yang melakukan pembahasan terhadap hukum; 2) komponen-komponen hukum yang menjadi pokok pembahasan dari masing-masing aliran. Berikut merupakan adalah bentuk konstruksi substansi pembahasan aliran-aliran filsa fat hukum yang menempatkan formulasi hukum ideal sebagai dasar orientasinya, dan sebagai dasar generalisasinya (Rasjidi, 2003):

(27)

Tabel 2.1

Konstruksi Substansi Pembahasan Aliran-Aliran Filsafat Hukum

Aliran Filsafat Hukum Reduksi Substansi Bahasannya Aliran Hukum Alam Sumber hukum – isi hukum – bentuk

hukum

Mazhab Hukum Historis Masyarakat hukum – sumber – bentuk hukum

Utilitarianisme Tujuan hukum – evaluasi hukum Positivisme Hukum Pembentukan hukum – bentuk hukum

– isi hukum Sociological

Jurisprudence

Masyarakat hukum - pembentukan hukum – bentuk hukum – evaluasi hukum

Pragmatic Legal Realism Institusi hukum – penerapan hukum Sumber: Data Sekunder, diolah, 2014

Selanjutnya, Lili Rasjidi (2003) memberikan penegasan bentuk hukum sebagai suatu keseluruhan berdasarkan teori-teori dasar yang terpilih, yaitu: Teori Cybernetic, Teori Sistem, dan Teori hukum. Pada akhirnya ditemukan sebuah kontruksi (Konstruksi IV) yang menggambarkan sebagai suatu sistem dengan segenap komponennya yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan

(28)

terikat dalam proses sistem hukum untuk mewujudkan tujuan hu kum. Berikut merupakan susunan kontruksi tersebut:

Bagan 2.1

Kontruksi IV sebagai sebuah sistem

Bagan di atas merupakan satu kesatuan sistem besar yang tersusun atas subsitem yang lebih kecil, seperti subsistem bentuk hukum atau subsistem lainnya. Subsistem itu merupakan sistem tersendiri dengan proses tersendiri pula.

Pada penulisan buku ini, penulis mengaitkan teori hukum sebagai suatu sistem dengan mengambil subsistem bentuk hukum.

Bentuk hukum merupakan hasil dan proses pembentukan hukum yang dapat berbentuk hukum tertulis dan bentuk hukum tidak tertulis. Bentuk hukum dibedakan derajatnya menurut derajat ma teri atau derajat badan pembentukannya (Rasjidi, 2003). Pada prin sipnya, komponen bentuk hukum dari suatu sistem hukum melipu ti beberapa aspek permasalahan, yaitu aspek permasalahan bentuk umumnya, beda derajat bentuk dan substansinya, dan prinsip-prin

(29)

sip yang berlaku antar bentuk hukum pada setiap derajatnya (Ras jidi, 2003).

Selain itu, penulis menggunakan subsistem penerapan hu kum sebagai sistem itu sendiri. Penerapan hukum seperti dijelas ksan Rasjidi (2003) adalah penyelenggaraan pengaturan hubungan hukum setiap kesatuan hukum dalam suatu masyarakat hukum yang meliputi aspek pencegahan pelanggaran hukum dan penyele saian sengketa hukumnya, temasuk pemulihan kondisi atas kerugi an akibat pelanggaran itu. Komponen sistem penerapan hukum meliputi 3 (tiga) komponen, yaitu: komponen hukum yang akan diterapkan, institusi yang akan menerapkannya, dan personil dari institusi penyelenggara ini yang pada umumnya meliputi penyeleng gara hukum secara administratif pada jajaran eksekutif (Rasjidi, 2003).

Selanjutnya, penulis menggunakan sistem evaluasi hukum agar proses perwujudan tujuan sistem hukum tercapai. Sistem evalusi hukum ini merupakan konsekuensi dari pandangan ahli hukum utilitarianis yang menyatakan bahwa kualitas hukum baru dapat dilihat jika hukum itu diterapkan. Komponen utama yang dapat melakukan fungsi evaluasi ini antara lain komponen masya rakat dilihat reaksi terhadap suatu penerapan hukum, komponen ilmu dan pendidikan hukum melalui fungsi penelitiannya, dan ha kim melalui pertimbangan-pertimbangan keadilannya dalam penera pan suatu ketentuan hukum.

(30)

Analisis sistem hukum dapat mengambil objek sebagai berikut:

a. Masalah-masalah komponen-komponen sistemnya;

b. Masalah hubungan antar komponennya;

c. Masalah proses sistemnya;

d. Masalah hasil dari proses itu atau pengawasan terhadap proses dan perwujudan tujuan dari proses itu.

Analisis terhadap masalah - masalah hukum dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap masalah-masalah tersebut.

Penelitian ini dapat dilakukan melalui empat tahap utama, yaitu:

a. Penetapan objek penelitian, yang meliputi beberapa unsur penting antara lain: pemilihan dan pengukuran validitas objek;

penetapan objek yang dapat valid untuk diteliti; dan pengena lan karakteristik objek.

b. Penetapan desain penelitian, hal ini ditetapkan berdasarkan karakteristik objek yang akan diteliti

Penerapan desain atau penyelenggaraan penelitian, dalam hal ini penelitian hukum yang digunakan adalah bersifat aplikatif sehingga dilakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang melemahkan fungsi suatu komponen, dan faktor faktor yang merusak atau melemahkan proses sistem hukum. Dikait kan dengan fokus penulisan ini yang melakukan penelitian ter hadap penerapan hukum maka dapat memilih lembaga, perso nal, dan sarana penerapan hukum sebagai objek penelitian

(31)

hukumnya sehingga metode yang dipakai adalah desain dari Pragmatic Legal Realism dan sociological jurispridence.

c. Analisis terhadap hasil penelitian.

d. Perumusan Hasil penelitian.

Berkaitan dengan pragmatic legal realism, menurut Rasjidi (2003) penekanan penting yang diberikan oleh paradigma ini adalah:

a. Esensi senyatanya dari hukum;

b. Undang-undang bukanlah keharusan yang serta merta mampu mewujudkan tujuan hukum;

c. Aparatur penyelenggara hukum dan masyarakat tempat hukum itu diterapkan bukanlah komponen-komponen mekanis yang serta merta (secara otomatis) menaati perin tah-perintah hukum, melainkan merupakan komponen- komponen kehidupan yang memiliki kemampuan untuk menyimpanginya.

Sedangkan, sociological jurisprudence bersifat mengintegra sikan tipe masyarakat. Paradigma ini menekankan pada masalah- masalah evaluasi hukum, kedudukan hukum tertulis dan tidak ter tulis, fungsi hukum sebagai rekayasa sosial, dengan cara pembentu kan hukum yang baik yaitu sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakan, dan cara penerapan hukum (Rasjidi, 2003).

(32)

B. PRINSIP PREFERENSI

Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan bagian dari sistem hukum di negara tersebut. Mengingat definisi sis tem dan definisi hukum, maka peraturan perundang-undangan da lam berbagai bentuk dan tingkatannya harus saling terkait, selaras, dan tidak tumpang tindih sehingga dapat membentuk suatu sistem hukum yang efektif bergerak dinamis sekaligus komprehensif da lam suatu kesatuan sistem hukum guna mencapai tujuan hukum (Nugroho, tt.). Permasalahan substansi dari suatu peraturan hukum sangat berkaitan dengan sinkronisasi, yaitu adanya kesesuaian suatu peraturan hukum tersebut dengan peraturan hukum lainnya.

Dalama Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkronisasi ber asal dari kata sinkron yang memiliki arti sejalan, sesuai, selaras. Sin kronisasi yaitu perihal menyinkronkan, penyerentakan. Dengan de mikian, sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyele rasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Tu juannya yaitu agar substansi yang diatur dalam produk perundang- undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi, saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Dalam bahasa Inggris, terdapat istilah synchronized, synchronizing, synchronizes yang memiliki makna yaitu kesesuaian atau keselarasan antara peraturan perundang-

(33)

undangan yang satu dengan yang lainnya dalam derajat yang ber beda atau secara vertikal (Wijayanti, 2012).

Muhammad Bakri (2011), menjelaskan bahwa sistem hu kum yang berlaku di Indonesia terdiri dari tiga komponen, yaitu hukum yang dibuat oleh lembaga negara yang berwenang (hukum tertulis/peraturan perundang-undangan), hukum yang berbentuk melalui putusan pengadilan/hakim (yurisprudensi), dan hukum yang terbentuk melalui kebiasaan di masyarakat (hukum adat dan hukum kebiasaan). Idealnya, ketiga komponen tidak memuat ketentuan-ketentuan yang saling bertentangan dan berjalan secara harmonis atau tidak ada konflik hukum diantaranya.

Konflik hukum terjadi karena adanya insinkronisasi antara komponen-komponen hukum tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa organ hukum dapat menciptakan norma-norma yang saling bertentangan. Sebuah norma tidak bisa benar atau salah, melainkan absah atau tidak absah (Hans Kelsen, 2007). Salah satu konflik hukum yaitu konflik hukum diantara sesama peraturan perundang- undangan.Dalam hal terjadi konflik hukum ini, terdapat asas prefe rensi hukum. Asas preferensi ini digunakan untuk mengambil kepu tusan terlebih dahulu dengan melakukan pengujian secara materiil terhadap norma hukum yang saling bertentangan.

(34)

Asas preferensi yang digunakan meliputi:

a. Asas Lex superior derogat legi inferior

Makna dari asas ini adalah undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai derajat yang lebih tinggi. Apabila ada dua undang-undang yang mengatur objek yang sama maka undang-undang yang derajatnya lebih tinggi di dahulukan keberlakuannya (Marwan Mas, 2004). Keberlakuan sebuah norma hanyalah keberlakuan norma lain yang direpresen tasikan sebagai norma yang lebih tinggi (Hans Kelsen, 2007).

b. Asas Lex posteriori derogat legi priori, yaitu undang-undang yang baru mengenyampingkan pemberlakuan undang-undang lama apabila mengatur objek yang sama. Asas ini menurut Bagir Manan dalam Slamet Suhartono, (2009), harus memuat prinsip bahwa aturan hukum baru harus sederajad dengan aturan hu kum lama dan mengatur tentang objek yang sama.

c. Asas Lex specialis derogat legi generali, yaitu undang-undang yang berisikan khusus mengenyampingkan pemberlakuan undang- undang yang bersifat umum. Menurut Kamus Istilah Hukum, pengertian dari asas ini adalah:

―hukum/peraturan khusus menyimpang dari hukum/pera turan umum, dan mendahuluinya: collissieregel, ketentuan pertentangan menetapkan: jika pada suatu kejadian, suatu peraturan umum dan suatu peraturan khusus kiranya tidak membawa hasil yang serupa, maka haruslah peraturan yang khusus yang ditetapkan.‖

(35)

Selanjutnya, Bagir Manan Suhartono, (2009), menjelaskan beberapa prinsip yang harus diperhatikan terutama terkait asas lex specialis derogat legi generali, yaitu:

a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;

b. Ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan legi generalis;

c. Ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum yang sama dengan legi generalis.

Terdapat alternatif lain yang merupakan tipe penyelesaian konflik norma hukum berkaitan dengan asas preferensi hukum tersebut seperti dijelasksan P.W. Brouwer sebagaimana dikutip M.

Hadjon dan Djamiati (2005), yaitu: 1) Pengingkaran (disavowal); 2) Reinterpretasi; 3) Pembatalan (invalidation); 4) Pemulihan (remedy).

Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Pengingkaran

Penyelesaian dengan langkah ini seringkali memperta hankan bahwa tidak ada konflik norma. Pengambil keputusan hukum dalam menghadapi kasus konflik norma menganggap tidak pernah terjadi konflik norma sehingga pengambil keputu san hukum mengabaikan pertentangan norma hukum dalam kasus tersebut (Suhartono, 2009). Misalnya, membedakan wila yah hukum seperti anatara hukum privat dan hukum publik,

(36)

dengan beragumentasi bahwa dua bidang hukum tersebut di terapkan secara terpisah, meskipun dirasakan bahwa kedua ke tentuan tersebut terdapat konflik norma hukum (Hadjon dan Djamiati, 2005).

b. Reinterpretasi

Tipe penyelesaian dalam langkah ini harus dapat mem bedakan dua cara, yaitu:

1) Reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas prefe rensi, menginterpretasi kembali norma yang utama de ngan cara yang lebih fleksibel.

2) Menginterpretasikan norma preferensi, dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan mengenyamping kan norma lain (Hadjon dan Djamiati, 2005).

Reinterpretasi dilakukan pengambil keputusan untuk mencari makna terhadap norma yang belum dipahami tersebut dengan menggunakan metode atau teori penafsiran yang ber laku dan relevan (Suhartono, 2009).

c. Pembatalan

Terdapat dua macam, yaitu: abstrak formal dan prakti kal. Pembatalan abstrak formal dilaksanakan oleh suatu lembaga khusus/pejabat berwenang. Sedangkan pembatalan praktikal dengan tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus kon krit (Suhartono, 2009).

(37)

d. Pemulihan

Pada pemulihan (remedy), pengemban kewenangan mela kukan uji meteriil lebih dahulu terhadap norma yang bertenta ngan dan apabila terbukti terdapat kesalahan maka harus dila kukan pembetulan atau perubahan, penafsiran atau pembentu kan norma hukum baru (Suhartono, 2009). Misalnya, pemberian kompensasi sebagai ganti membatalkan norma yang kalah.

C. TEORI WEWENANG

Philiphus M. Hadjon menggunakan istilah wewenang yang dapat dipertukarkan dengan istilah kewenangan. Istilah wewenang atau kewenangan hanya digunakan di dalam hukum publik (Luk man Hakim, 2012). Berkaitan dengan hal tersebut, H.D. Stout di kutip Ridwan H.R (2006) menyatakan, wewenang merupakan pe ngertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintah yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan de ngan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh sub yek hukum publik berdasarkan hukum publik. Sedangkan, Nicolas dalam Lukman Hakim (2012) memberikan pengertian bahwa ke wenangan merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan hu kum tertentu (tindakan yang dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum, mencakup timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu).

(38)

Selanjutnya, F.P.C.L. Tonnaer menyatakan bahwa kewe nangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat dicip takan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara (Ridwan H.R, 2006). Selain itu, dengan adanya wewenang maka akan muncul kewenangan hukum. Kewenangan hukum (rechtsbevo egd) adalah kemampuan untuk mendukung hak dan kewajiban (Budiono, 2005). Hak merupakan kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum dengan maksud untuk melindungi kepentingannya tersebut, sedangkan kewajiban merupakan beban yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum.

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama maknanya dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya meng gambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan wewe nang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku (Admosudirdjo, 1998). Menurut Philiphus M. Had jon, berdasarkan segi komponen wewenang sebagai konsep hukum publik, wewenang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga unsur/

elemen, yaitu: pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum (Lukman Hakim, 2012). Unsur pengaruh pada wewenang merujuk pada penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Unsur dasar hukum merupakan landasan legalitas dalam penggunaan wewenang karena hal ini berkaitan dengan prinsip keabsahan hukum penggunaan wewenang bahwa setiap wewenang pemerintah yang sah harus dapat ditunjuk dasar

(39)

hukumnya. Unsur terkahir yaitu konformitas hukum memiliki mak na adanya standar wewenang baik standar umum (semua jenis we wenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Menurut sumber perolehan wewenang, wewenang harus bertumpu atas kewenangan yang sah dan diperoleh melalui tiga sumber yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi merupakan pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar. Sedangkan kewenangan delegasi dan mandat, memilki per samaan sumber perolehan yaitu melalui pelimpahan. Namun menu rut Philiphus M. Hadjon, kedua sumber tersebut memiliki perbe daan, yaitu:

Tabel 2.2

Perbedaan Kewenangan Mandat dan Kewenangan Delegasi

Pembeda Mandat Delegasi

a. Prosedur

pelimpahan Dalam hubungan rutin atasan bawahan : hal biasa kecuali dilarang secara tegas

Dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan peraturan perundang- undangan

b. Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat

Tetap pada pemberi

mandate Tanggung jawab dan tanggung gugat beralih pada

delegataris (penerima delegasi)

c. Kemungkinan si pemberi

menggunakan wewenang itu lagi

Setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu

Tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas contrariue actus Sumber: Data Sekunder, Lukman Hakim, 2014

(40)

D. TEORI TUJUAN HUKUM

Hukum memiliki fungsi untuk melindungi kepentingan manusia sehingga hukum memiliki tujuan yang merupakan sasaran yang hendak dicapai. Tujuan utama hukum yaitu menciptakan tatanan masyarakat yang tertib dan seimbang. Ketertiban merupa kan keadaan masyarakat yang hidup serba teratur baik, sedangkan keseimbangan merupakan keadaan masyarakat yang hidup dalam keadaan seimbang dan seimbang artinya tidak ada masyarakat yang dibedakan antara satu dengan yang lain (Mortokusumo, 2012).

Selain itu, hukum juga bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dalam masyarakat dan pelaksanaan hukum harus bersendikan keadilan.

Tujuan hukum merupakan sesuatu yang ideal dan hendak dicapai oleh adanya hukum sehingga bersifat abstrak dan tidak operasional. Tujuan hukum tidak dapat dilepaskan dari berbagai perkembangan pemikiran ahli hukum tentang hukum. Berbagai pemikiran terkait tujuan hukum memiliki sudut pandang yang berbeda, namun semua berkesimpulan bahwa tujuan hukum yang ingin dicapai adalah pola perilaku yang sesuai dengan hukum/

norma sehingga tercipta ketertiban di masyarakat.

Berikut beberapa teori tentang tujuan hukum, yaitu:

a. Teori Etis (Teori Keadilan)

Menurut teori etis, tujuan hukum satu-satunya adalah men ciptakan keadilan. Teori ini disebut teori etis karena hukum sema ta-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita tentang apa yang

(41)

adil dan apa yang tidak adil. Menciptakan keadilan berarti membe rikan apa yang menjadi hak setiap orang (Budiono, 2005). Teori etis pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles. Aristoteles menge mukakan bahwa suatu negara didasarkan atas hukum sebagai satu- satunya sarana yang tepat dan dapat digunakan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, namun dalam pelaksanaan hukumnya akan terjadi kesulitan. Oleh karena itu, Aristoteles mengusulkan adanya equity (keadilan) sebagai koreksi tehadap hukum apabila hukum itu kurang tepat karena bersifat umum (Marzuki, 2009).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum me nurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang baik ber dasarkan hukum yang berkeadilan. Mengenai makna keadilan, Aris tosteles, mengatakan bahwa ada dua macam keadilan, yaitu keadi lan distributif dan keadilan komutatif. Selanjutnya diterangkan bahwa (Marzuki, 2009):

―Keadilan distributif bermakna bahwa setiap orang secara proposional sesuai dengan jasanya. Keadilan distributif la zimnya berhubungan dengan hukum publik dalam suatu negara. Sedangkan, keadilan komutatif bermakna bahwa setiap orang diberikan sesuatu yang sama tanpa melihat apa yang telah dilakukannya. Keadilan komutatif lebih cenderung berhubungan dengan hukum keperdataan.

(42)

Pandangan Aristoteles ini diadopsi oleh Thomas Aquinas dan kemudian dikembangkan. Thomas Aquinas menyatakan bah wa secara ideal, hukum terpancar dari kekuasaan pemerintah guna kebaikan bersama. Selanjurnya, Thomas Aquinas juga mengungkap kan bahwa dasar yang benar satu-satunya bagi pembentuk undang- undang adalah niatnya untuk menjamin kebaikan umum sesuai dengan keadilan illahi (Marzuki, 2009).

b. Teori Utilistas

Menurut teori ini, tujuan hukum adalah mendatangkan man faat atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk orang seba nyak-banyaknya. Ini berarti keadilan dapat dikesampingkan asalkan hukum dapat mendatangkan kemanfaatan sebesar-besarnya untuk orang sebanyak-banyaknya. Teori ini dipelopori oleh Jeremy Bent ham, Rufolf von Jhering, dan John Stuart Mill.

Jeremy Bentham mengajarkan tentang tujuan hukum yang utilitis bahwa tujuan hukum itu untuk mencapai kemanfaatan se besar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang dan tujuan peratu ran perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat (Marwan Mas, 2004). Hukum harus mampu menyokong penghidupan materi yang cukup pada tiap individu, mendorong persamaan, memelihara kemananan, dan meraih hak milik. Ketika setiap orang individu mengetahui hak dan kewajiban nya sebagaimana sesama individu yang butuh kebahagiaan maka kepentingan umumpun juga akan terjamin (Rahardjo, 2010).

(43)

c. Teori Kepastian Hukum

Prof. J. Van Kan mengatakan tujuan hukum adalah mejaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya tidak diganggu. Dengan tu juan ini, dapat dicegah terjadinya perilaku main hakim sendiri terha dap orang lain karena tindakan itu dicegah oleh hukum (Hariri, 2012). Dengan demikian, meskipun dirasakan hukum tersebut tidak adil dan tidak memberi manfaat bagi masyarakat, persoalan tersebut tidak menjadi masalah asalkan kepastian hukum terwujud.

Kepastian hukum merupakan sarana untuk mewujudkan keadilan dan ketentraman. Indikator adanya kepastian hukum di suatu negara yaitu, (1) adanya perundang-undangan yang jelas dan (2) perundang-undangan diterapkan dengan baik, baik oleh hakim maupun oleh petugas hukum lainnya (Budiono, 2005). Menurut Kamus Istilah Hukum, kepastian hukum (rechtszekerheid) adalah jaminan bagi anggota masayarakat bahwa ia akan diperlakukan oleh negara/penguasa berdasarkan aturan hukum dan tidak sewenang- wenang begitu juga (sebanyak mungkin) kepastian isi dari aturan tersebut. Selanjutnya dalam kamus tersebut pula menyatakan bah wa kepastian hukum merupakan salah satu prinsip, asas utama dari penerapan hukum di samping dan sering berhadapan dengan asas keadilan. Kepastian hukum menuntut lebih banyak penafsiran se cara harfiah dari ketentuan perundang-undangan.

(44)

E. TEORI PERLINDUNGAN HUKUM

Menurut Philipus M. Hadjon (1987), pembahasan terkait perlindungan hukum secara umum dibahasakan dengan perlindung an hukum bagi rakyat. Selanjutnya Philipus menerangkan bahwa dengan menitiksentralkan tindak pemerintahan dalam perlindung an hukum bagi rakyat maka perlindungan hukum ini dapat dibeda kan menjadi dua aspek, yaitu :

a. Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum yang preventif, rakyat dapat mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu kepu tusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan de mikian, dalam perlindungan hukum preventif ini menjadikan Pemerintah selalu bersikap hati-hati dalam mengambil keputu san yang didasarkan pada diskresi. Perlindungan preventif ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Menurut pene litian tim dari Council of Europe (1975), sarana ini sangatlah penting karena individu yang terkena tindak pemerintahan da pat mengemukakan hak-haknya dan kepentingannya. Selain itu juga, cara yang demikian dapat menunjang suatu pemerintahan yang baik dan dapat ditumbuhkan suasana saling percaya an tara yang memerintah dan yang diperintah.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyele saikan sengketa. Dalam garis besar, perlindungan hukum ini sesuai dengan sistem hukum yang dianut oleh masing-masing

(45)

negara. Negara-negara dengan civil law system mengakui adanya dua set pengadilan yaitu peradilan umum (biasa) dan penga dilan administrasi. Sedangkan, negara-negara dengan common law system hanya mengenal satu set pengadilan yaitu orinary court. Disamping itu, negara Skandinavia (yang saat ini juga dianut oleh Indonesia) telah mengembangkan konsep sendiri yaitu suatu lembaga perlindungan hukum bagi rakyat yang dike nal dengan Ombudsman. Dengan demikian, penanganan perlin dungan hukum bagi rakyat oleh peradilan nasional di Indo nesia merupakan perlindungan hukum yang represif.

Berdasarkan konsepsi hukum yang ada, segala sarana perlin dungan hukum didahului dengan adanya prinsip-prinsip yang men jadi dasar pembentukan sarana hukum. Melihat sistem hukum yang ada di Indonesia, maka prinsip-prinsip hukum yang ada berlandas kan pada falsafah negara yaitu Pancasila. Oleh karena itu, Philipus M. Hadjon (1987) memberikan uraian mengenai prinsip-prinsip perlindungan hukum sebagai berikut:

―Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indo nesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Panca sila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan pancasila.‖

Selain itu, prinsip yang kedua yaitu Indonesia merupakan negara hukum (1987). Bila dikaitkan dengan prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan

(46)

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan daripada negara hukum.

Oleh karena itu, di dalam negara hukum yang oleh Philiphus M.

Hadjon (1987) disebut dengan negara hukum Pancasila memiliki beberapa elemen yaitu:

a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat ber dasarkan asas kerukunan;

b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasa an-kekuasaan negara;

c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Berdasarkan elemen-elemen tersebut, perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah diarahkan kepada Philiphus M.

Hadjon (1987):

a. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau se dapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa; dalam hu bungan ini sarana perlindungan hukum yang preventif pa tut diutamakan dari pada sarana perlindungan yang repre sif;

b. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa (hukum) anta ra pemerintah dan rakyat dengan cara musyawarah;

c. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimatum reme

(47)

dium dan peradilan bukanlah forum konfrontasi sehingga peradilan haruslah mencerminkan suasana damai dan ten tram-terutama melalui hukum acaranya.

Inti dari perlindungan hukum adalah hukum melindungi hak-hak subyek hukum dari kesewenang-wenangan pihak lain.

Bentuk dari perlindungan hukum tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan dan perjanjian (dalam lingkup hukum perdata).

F. AKIBAT HUKUM

Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum (Mar wan Mas, 2003). Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, akibat me miliki arti sesuatu yang menjadi kesudahan atau hasil suatu peristi wa, persyaratan, atau keadaan yang mendahuluinya. Berdasarkan Kamus Bahasa Inggris Hukum, terdapat istilah effect yang memiliki arti (Garner, 1999):

“(noun) the result that an instrument between parties will produce on their relative rights or that a statute will produce on existing law, as discovered from languaged used, the forms employed or other materials for construing it; (verb) To bring about, to make happen.”.

(48)

Berdasarkan pengertian tersebut maka efek dapat diartikan sebagai hasil bahwa instrumen antar para pihak akan menghasilkan hak-hak relatif mereka, atau bahwa undang-undangakan menghasil kan hukum yang ada, seperti yang ditemukan dari penggunaan ba hasa tersebut, bentuk-bentuk dipekerjakan atau bahan lain untuk menafsirkan itu.

Menurut Jazim Hamidi (2006), kata dampak hukum/akibat hukum mengandung maksud dampak atau akibat hukum secara langsung, kuat, atau eksplisit. Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal tiga jenis akibat hukum, yaitu sebagai berikut:

a. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu keadaan hukum tertentu;

b. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu;

c. Akibat hukum berupa sanksi, yang tidak dikehendaki oleh subjek hukum (perbuatan melawan hukum).

Akibat hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu keadaan hukum tertentu dan akibat hukum berupa lahirnya, ber ubahnya, atau lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Bahwa gaya kepemimpinan transaksional yang diterapkan di Polres Tanjung Jabung Barat tergolong sangat tinggi, sementara itu

Dalam hal ini dimensi tangible (terjamah) berarti bagaimana petugas Kantor Pelayanan Masyarakat Satuan Intelijen dan Keamanan Polrestabes Surabaya memberikan pelayanan

Selain itu orang tua juga tidak hanya menyerahkan pendidikan anak kepada sekolah namun mereka juga perlu memantau perkembangan anaknya agar mereka tidak salah

Dewasa ini masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbuatan

Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama dan utama di Indonesia, dalam melaksanakan misinya, berangkat dari prinsip atau kaidah “Apa yang baik telah

1) Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia. dalam artian bahwa sesuatu akan

Dari identifikasi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Tegal dalam pelaksanaan urusan perencanaan pembangunan

Hasil analisis ragam (Anova) menunjukkan secara umum tidak ada interaksi nyata antara pengaplikasian SIPLO dan pemberian pupuk Majemuk NPK terhadap bobot segar