• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Bidang Pertanahan Di Kota Batam

Dalam dokumen KEPASTIAN HUKUM atas HAK PENGELOLAAN TANAH i (Halaman 195-200)

Keberadaan Kota Batam sebagai kawasan khusus di dalam perekonomian Indonesia yang saat ini berstatus Kawasan Perdaga ngan Bebas dan pelabuhan bebas, membuat Kota Batam memiliki kebijakan khusus terkait pertanahan yang seluruh areal tanahnya diberikan hak pengelolaan kepada BP Batam. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka Hak Atas Tanah yang berada di Kota Batam tidak dapat dilepaskan dengan adanya hak pengelolaan. Hak Atas Tanah tersebut merupakan pengalokasian yang diberikan oleh BP Batam atas dasar wewenangnya sebagai pemegang hak pengelo laan. Peristiwa SK. 463/Menhut-II/2013 yang terjadi baru-baru ini membuat permasalahan pertanahan di Kota Batam tidak memiliki kepastian hukum yang pada akhirnya mengganggu pelayanan kan tor pertanahan yang selama ini berjalan baik-baik saja, tanpa ada nya permasalahan.

Melihat permasalahan pertanahan tersebut di atas, dengan kekhususan yang dimiliki oleh Kota Batam dalam bidang pertana han maka perlu mengingat kembali bahwa tujuan dari keberadaan Hak Pengelolaan yang lahir dari pelimpahan sebagian pelaksanaan kewenangan dari hak menguasai tanah oleh negara. Dasar dari hak menguasai tanah oleh negara tercantum di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945), yang menyatakan: ―Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.‖ Ke tentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengandung dua makna pen ting terkait tanah yang merupakan salah satu bagian dari permuka an bumi.

Pertama, tanah merupakan salah satu unsur dari kedaula tan negara, artinya negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi diberi wewenang untuk menguasai tanah. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN Nomor 104 tahun 1960 dan TLN Nomor 2043, selanjutnya disingkat UUPA) menjelaskan bahwa dengan wewenang tersebut pada tingkatan yang tertinggi, negara memiliki dasar untuk: mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggu naan, persediaan, dan pemeliharaan tanah; menentukan dan menga tur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa; dan menentukan dan mengatur hubungan-hubu

ngan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang bumi, air dan ruang angkasa.

Kedua, tanah merupakan perekat integritas bangsa, artinya tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup setiap manusia disatukan dengan adanya tujuan yang satu yaitu harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkadilan. Tujuan ini menjadi ujung tombak dari kebijakan pertanahan di Indonesia.

Berdasarkan dua makna yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut maka ketentuan ini memberikan kuasa pada negara untuk mengatur lebih lanjut hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan untuk mencapai kemakmuran berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indo nesia. Selanjutnya, terkait Hak Pengelolaan, Pasal 2 ayat (4) UUPA menyatakan bahwa pelaksanaan hak menguasai tanah oleh negara dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra (daerah yang diberi hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri)dan masyara kat-masyarakat hukum sepanjang diperlukan dan tidak bertenta ngan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.

Kata ―dapat dikuasakan dari hak menguasai tanah oleh negara‖ sebagaimana tercantum di dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA dalam pelaksanaannya disebut dengan Hak Pengelolaan. Definisi dari Hak Pengelolaan diatur dalam Pasal 1 butir (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang mengartikan hak pengeloaan sebagai ―hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaan nya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya‖. Karena hak pengelolaan merupakan gempilan dari hak menguasai tanah oleh negara dan bagian dari hukum pertanahan maka tujuan dasar Hak Pengelolaan adalah untuk kemakmuran rakyat berdasarkan ke adilan.

BP Batam sebagai pemegang hak pengelolaan di Pulau Ba tam sebagaimana yang telah disebutkan di Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2011 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 harus melaksanakan kewenangannya dengan berlandas kan tujuan keberadaan Hak Pengelolaan tersebut. Dengan demi kian, maksud pemberian Hak Pengelolaan ini agar Otorita Batam (BP Batam) dapat melakukan pengembangan Pulau Batam sebagai Daerah Industri dengan tetap memperhatikan kemakmuran rakyat berdasar keadilan dalam bidang pertanahan.

Dengan permasalahan pertanahan di Kota Batam ini di kaitkan dengan tujuan Agraria dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang termasuk di dalamnya adalah ketentuan pertanahan, kehuta nan, penataan ruang dan sumber daya alam lainnya maka seharus nya pembuatan pengaturan haruslah memperhatikan tujuan kemak muran rakyat sebesar-besarnya. Selain itu pengaturan tersebut dipastikan tidak menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Seperti yang diuraikan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia Nomor 3/PUUVIII/ 2010, tertanggal 16 Juni 2011, bahwa ukuran utama negara dalam melaksanakan wewenang kekua saanya adalah sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya, da lam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga menyatakan bah wa lahirnya suatu undang-undang yang bersinggungan dengan ke wajiban negara untuk menyejahterakan rakyat terkait dengan caba ng-cabang produksi maupun sumber daya alam harus dapat dipasti kan/dijamin tidak menimbulkan kesalahan fatal di dalam pelaksana annya.

Berdasarkan paparan yang telah di uraikan di atas terkait insinkronisasi pengaturan pertanahan di Kota Batam maka dapat disimpulkan bahwa terjadi kesalahan fatal dalam pelaksanaan da lam melakukan pengaturan antar sektor yang berimbas pada bidang pertanahan dan pada akhirnya masyarakat Batam sendiri yang mera sa dirugikan. Permasalahan yang disebabkan adanya dua proble matika hukum yang semakin bermasalah pada saat ketidakjelas an/kekaburan pengaturan ini berbenturan dengan munculnya satu produk hukum yaitu SK.463/Menhut-II/2013.

Permasalahan SK.463/Menhut-II/2013 ini membuat per masalahan semakin kompleks pada saat Pihak Tergugat mengaju kan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Namun, selama kasus ini berjalan, yaitu setelah putusan tingkat pertama sampai proses pengajuan Banding ke Pengadian Tinggi Tata Usaha Negara, terdapat beberapa solusi hukum yang dapat diambil dengan adanya insinkronisasi pengaturan bidang pertanahan untuk

mewujudkan kepastian hukum status Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah di Kota Batam. Solusi hukum tersebut dapat dibagi menjadi tiga pendekatan, yaitu secara konsepsional, yuridis normatif, dan praktikal.

1. Konsepsional

Berdasarkan uraian permasalahan insinkronisasi pengaturan bidang pertanahan tersebut di atas dapat disimpulkan adanya per tentangan antara Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.463/

Menhut-II/2013. Berikut penulis klasifikasikan terkait permasala han ini yang dimulai dengan menganalisis segi pengaturan dan selanjutnya dari segi kewenangan masing-masing instansi:

a. Prespektif prinsip preferensi sebagai solusi permasalahan normatif

Berdasarkan pendekatan konsepsional, secara subtansi SK.463/Menhut-II/2013 dapat dikaji melalui prinsip preferensi yang merupakan prinsip dari penyelesaian konflik norma. Asas yang dapat dijadikan landasan dalam pengujian materiil adalah Asas Lex superior derogat legi inferior dan Asas Lex specialist derogat legi generali. Berdasarkan asas Lex superior derogat legi inferior, Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam merupakan produk hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan

Dalam dokumen KEPASTIAN HUKUM atas HAK PENGELOLAAN TANAH i (Halaman 195-200)