• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYEBAB INSINKRONISASI PENGATURAN BIDANG PERTANAHAN DENGAN SURAT

Dalam dokumen KEPASTIAN HUKUM atas HAK PENGELOLAAN TANAH i (Halaman 157-182)

PENGATURAN KHUSUS KOTA BATAM

463/MENHUT-II/2013 DI KOTA BATAM

C. PENYEBAB INSINKRONISASI PENGATURAN BIDANG PERTANAHAN DENGAN SURAT

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR SK. 463/MENHUT-II/2013 DI KOTA BATAM

Jika kita tarik lebih dalam, insinkronisasi pengaturan bidang pertanahan di Kota Batam dengan Surat Keputusan Menteri Kehu tanan Nomor SK. 463/Menhut-II/2013 ini, sejatinya merupakan akibat dari perselisihan kewenangan BP Batam dan Kementrian Kehutanan tentang keberadaan kawasan hutan di Batam yang dimulai dari tahun 1973 dan berujung pada penerbitan SK.463/

Menhut-II/2013.

Kejadian tersebut bermula pada tahun 1985, Otorita Batam mengirim surat kepada Menteri Kehutanan untuk menjadikan dae rah tangkapan air, seperti waduk Duri Angkang, yang harus ber bentuk vegetasi sebagai hutan Otorita Batam tetapi berada di ba wah Kementrian kehutanan. Dengan demikian, Kementrian Kehu tanan dapat mengamankan daerah tangkapan air tersebut karena banyak penebangan liar.

Kemudian, pada tahun 1991-1992, terdapat Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan yang menyepakati poin penting yang menunujukan bahwa Otorita Batam berwenang dalam merencana kan penggunaan dan peruntukan areal tanah yang akan dijadikan kawasan hutan yaitu pada Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan.

Setelah disepakati berita acara tersebut, mereka bersepakat bahwa kehutanan yang memelihara hutan tersebut, namun selanjutnya

kehutanan mengklaim bahwa itu sudah diserahkan untuk hutan.

Dengan demikian, hal ini disimpulkan bahwa hutan tersebut adalah hutan hak (hutan Otorita Batam). Namun, Tata Batas pada berita acara tidak dilaksanakan dalam penetapan kawasan hutan ini sehi ngga penetapan ini tidak sesuai dengan berita acara yang telah ditan dangani oleh Pihak Berwenang (Walikota Batam, BP Batam, Dinas Kehutanan).

Berikut dapat diuraikan secara singkat terjadinya perselisi han kewenangan BP Batam dan Kementrian Kehutanan tentang keberadaan kawasan hutan di Batam yang dimulai dari tahun 1973 dan berujung pada penerbitan SK.463/Menhut-II/2013:

Tabel 7.2

Perselisihan Kewenangan BP Batam dan Kementrian Kehutanan tentang Keberadaan Kawasan Hutan di Batam

Otorita Batam/

1973 Pemberian Hak Pengelolaan

kepada Otorita Batam

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977

1977 Penunjukan Areal Tanah yang

diberikan Hak Pengelolaan Otorita Batam tetapi berada di bawah Kementrian kehutanan.

Sehingga Kehutanan dapat mengamankan daerah tangkapan air tersebut.

1986 SK 173/Kpts-II/1986 TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) Provinsi Riau

Penunjukan hutan pertama untuk Riau

1987 SK 47/Kpts-II/1987 Penunjukan Kawasan Hutan di Pulau Batam secara parsial

Penunjukan Hutan kedua bersifat khusus untuk Pulau Batam. (lihat Gambar 3.4)

Review Masterplan dan peruntukan areal tanah yang akan dijadikan kawasan hutan yaitu pada Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan (Lihat pada Lampiran 3):

1.Pada huruf e :

Terhadap areal hutan yang telah ditata batas definistif tersebut

Karena pelaksanaan Tata Batas ini bersamaan waktunya dengan evaluasi Masterplan Otorita Batam maka peta tata batas hutan lindung ini akan disesuaikan dengan hasil evaluasi master plan tersebut tersebut adalah hutan hak (hutan Otorita Batam).

Keputusan

Tata Batas pada berita acara tidak dilaksanakan dalam penetapan kawasan hutan ini sehingga penetapan ini tidak sesuai dengan berita acara yang telah lain, BP Batam tetap berjalan sesuai aturannya (Berita Acara hanya Kota Batam saja. Setelah ditebitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi kawasan Hutan, proses ini tidak dapat dilanjutkan jika proses usulan perubahan kawasan

2007 Peralihan Otorita Batam kepada

BP Batam selama 5 tahun terakhir ini.

Dengan demikian Tim Terpadu Serasi ini menerima dan menyetujui usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan di Kota Batam (yang hasilnya dapat dilihat pada uraian

sub bab Posisi Kasus gambar 3.5) tidak selaras dengan Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2011 (lihat gambar 3.2)

Sumber: Data Sekunder, Hasil Wawancara Penulis, Hadjad Widagdo, Ka. Subdit Pengelolaan Waduk BP Batam; Drs. Nanang Hardiwibowo, MM. Kepala Sub Direktorat Pengadaan Lahan BP Batam; Sudarsono, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam (2014).

Gambar 7.4

Peta Penunjukan Kawasan Hutan Tahun 1987

Sumber: Data Sekunder, BP Batam, diambil pada tahun 2014.

Gambar 7.5

Master Plan Otorita Batam Tahun 1991 dan

Penetapan Kawasan Hutan Pulau Batam Tahun 1992-1994

Sumber: Data Sekunder, BP Batam, diambil pada tahun 2014.

Permasalahan ini membuat Kota Batam tidak memiliki kepastian hukum sehingga hal ini berdampak pula pada wilayah Ba tam sebagai wilayah perdagangan dan kawasan industri. Selain itu, beberapa masyarakat yang tanahnya terkena ketentuan SK. 463/

Menhut-II/2013 merasa dirugikan sehingga terjadi aksi demo, pe ngiriman surat protes kepada Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, dan pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Ana, 2013).

Selain itu, penyebab insinkronisasi pengaturan ini dapat dianalisis berdasarkan alasan yuridis para penggugat dan tergugat pada Putusan PTUN Nomor: 16/G/2013/PTUN-TPI. Berdasar kan hal tersebut, terdapat 2 inti permasalahan yang muncul dan merupakan bentuk insinkronisasi pengaturan bidang pertanahan khususnya pada tanah Hak Pengelolaan dan sektor kehutanan, yaitu:

a. Kedudukan Hak Pengelolaan Pulau Batam oleh BP Batam

Salah satu alasan yuridis Kadin sebagai penggugat dalam Kasus SK.463/Menhut-II/2013 adalah ditolaknya pengajuan sertifikat Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan BP Batam di daerah yang diidentifikasi sebagai Kawasan Hutan. Penolakan penerbitan sertifikat induk ini menurut Kadin bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak memberikan perlindungan hak terhadap Hak Pengelolaan BP

Batam yang sertifikatnya telah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Batam.

Sedangkan, pihak tergugat (Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam mengacu berdasarkan Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelola an. Dengan demikian, penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangun an oleh dan atas nama PT. Millennium Investment dan PT.

Maligas Sukses Abadi yang berada didalam kawasan hutan berdasarkan SK.463/Menhut-I1/2013 tidak dapat dilakukan.

Kedudukan Hak Pengelolaan di dalam Peraturan Pemerin tah Nomor 24 Tahun 1997 merupakan salah satu objek pendafta ran tanah. Oleh karena itu, tujuan dari pendaftaran tanah yang dalam hal ini beralasakan Hak Pengelolaan BP Batam tetap menga cu pada Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak pengelolaan agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang Hak Pengelolaan.

Namun, pihak kantor pertanahan menganggap bahwa tanah yang beralaskan hak pengelolaan bukanlah hak atas tanah ka rena tidak termasuk di dalam Pasal 16 UUPA yang tidak mengkal sifikasikan hak pengelolaan sebagai hak atas tanah (wawanacara dengan Dwi Priyanto, 2014). Hal ini pun terlihat landasan yuridis yang dipakai oleh Pihak Kantor Pertanahan yaitu Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pem batalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan:

1) Pasal 4 ayat (3): ―dalam hal tanah yang dimohonkan merupakan tanah kawasan hutan. Harus lebih dahulu dilepaskan dari statusnya sebagai kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

2) Pasal 4 ayat (4): "tanah-tanah tertentu yang diperlukan untuk konservasi yang ditetapkan oleh menteri tidak dapat dimohon dengan sesuatu hak atas tanah.‖

Berdasarkan kedua pandangan tersebut menggambarkan kebenaran adanya perbedaan kedudukan hak pengelolaan di dalam hukum tanah nasional. Jika Kadin menggunakan landasan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka jelas akan merujuk pula pada Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa Hak Pengolaan merupakan salah satu obyek pendaftaran tanah. Dengan adanya Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maka terlihat bahwa Hak Pengelolaan disejajarkan dengan Hak Atas Tanah sehingga perlakuan untuk pendaftaran tanah dan perlindungannya pun sama di mata hukum yaitu kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang haknya.

Di sisi lain, kantor pertanahan pun menganggap bahwa hak pengelolaan ini bukan merupakan hak atas tanah, melainkan seke dar hak menguasai tanah oleh negara sehingga tepatlah bahwa Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Perta nahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 yang dijadikan landasan dan menganggap bahwa yang disebut hak atas tanah tersebut adalah Hak Guna Bangunan/Hak Pakai/hak-hak yang disebut di dalam Pasal 16 UUPA yang pada kasus ini yang dimohon oleh PT Millenium Investment dan PT. Maligas Sukses Abadi. Hak atas tanah tersebutlah yang tidak dapat diterima dan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Batam karena terindikasi kawasan Hutan.

Pandangan ini pun tidak dapat disalahkan di dalam aturan per undang-undangan karena mayoritas peraturan perundang-unda ngan mengartikan Hak Pengelolaan merupakan Hak Menguasai Tanah Oleh Negara. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Urip Santoso (2012) bahwa:

―Dalam Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2000, Pasal 1 angka 2 PP Nomor 40 Tahun 1996, Pasal 1 Angka 4 PP Nomor 24 Tahun 1997, Pasal 1 PP Nomor 36 Tahun 1997, Pasak 1 PP Nomor 112 Tahun 2000, Pasal 1 angka 2 PP Nomor 11 Tahun 2010, Pasal 1 angk 3 Peraturan Kepala badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2011, dan Pasal 1 hurud c Keputusan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997 ditetapkan bahwa Hak Pengelolaan adalah menguasai negara atas

tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpah kan kepada pemegang haknya. Sedangkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 1985, Pasal 9 PP Nomor 24 Tahun 1997, Pasal 2 PP Nomor 11 Tahun 2010, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 ditetapkan bahwa Hak Pengelolaan disejajarkan dengan Hak Miliki, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Berdasarkan uraian tersebut terdapat ketidaksinkronan kedudukan Hak Pengelolaan yaitu di satu pihak ada peraturan perundang-undangan yang mendudukan Hak Pengelolaan merupakan hak menguasai Negara atas tanah dan di lain pihak ada peraturan perundang-undangan yang mendudukan Hak Pengelolaan disejajarkan dengan hak atas tanah.‖

Posisi Hak Pengelolaan seperti ini yang tanpa disadari akan menjadi celah hukum dan konflik norma karena kekaburan makna Hak Pengelolaan itu sendiri. Meskipun demikian, telah jelas bahwa Hak Pengelolaan dijamin keberadaannya dengan adanya pendafta ran tanah sehingga kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang haknya tetap harus diberikan.

Jika melihat pada putusan PTUN, maka PTUN telah memutuskan bahwa Surat Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam Nomor: 426/200-21.71/IX/ 2013 dan Surat Kepala Kantor Perta nahan Kota Batam Nomor: 441/200-21.71/IX/ 2013 memiliki

cacat hukum dari segi substansinya dan dinyatakan batal. Hal ini dengan pertimbangan bahwa:

1) Karena permasalahan Surat Kepala Kantor Pertanahan ini mun cul karena adanya SK.463/Menhut-II/2013 maka perlu dilihat bahwa untuk dapat dinyatakan sebagai hutan harusmelalui Pene tapan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 jo. 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan: ―Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap‖. Tidak hanya sebatas penunjukan sebagaimana dimaksud SK.463/Menhut-II/2013 tersebut.

2) Telah ada kesepakatan bersama pada pertemuan di Lantai 8 Gedung BP Batam tanggal 27 Agustus 2013 sesuaii Notulen Rapat yang dihadiri oleh BP Batam, Kantor Pertanahan Kanwil Provinsi Batam, Kantor Pertanahan Kota Batam, Kadin Kota Batam, Perbanas Kota Batam, Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Kota Batam, untuk menindaklanjuti pelayanan kepada masyarakat terhadap tanah yang sudah ada Hak Pengelolaannya.

3) Prof. Dr. I Gede Pantja Astawa, SH., MH. khususnya terhadap pelayanan publik tidak boleh diabaikan dengan alasan adanya tanah Penggugat masuk kawasan hutan, karena asal tanah Penggugat diperoleh secara sah dari BP Batam;

4) Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 jo. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 jo. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 9-VIII-1993 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, merupakan peraturan yang memberikan kewenangan kepada BP Batam dan Kantor Pertanahan Kota Batam untuk memberikan pelayanan yang saling berkaitan dan berhubungan erat kepada pihak ketiga atau masyarakat, baik perorangan atau badan hukum di bidang pertanahan di Kota Batam.

b. Perbedaan pemahaman terkait tanah dan hutan yang pada akhirnya berujung permasalahan kewenangan masing-masing instansi (BP Batam dan Kementrian Kehutanan)

Perbedaan pemahamahan terkait tanah dan hutan yang terjadi pada kasus ini terletak pada alasan yuridis yang digunakan oleh Kadin, BP Batam, dan PT Perusahaan Gas Negara sebagai para penggugat dan Menteri Kehutanan sebagai Tergugat 2. Perbe daan tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini yang merupakan alasan yuridis masing-masing pihak:

1) Kadin, BP Batam, dan PT Perusahaan Gas Negara beranggapan bahwa khusus mengenai wilayah Pulau Batam dan sekitarnya, terdapat ketentuan khusus yang mengatur mengenai lahan, yaitu

dimulai dari Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 yang pada pokoknya memberikan Hak Pengelolaan atas seluruh tanah di Pulau Batam kepada BP Batam. Terkait hal ini, Deputi Bidang Pengendalian BP Batam berpendapat bahwa keberadaan Otorita Batam sudah ada sebelum adanya kehutanan dan de ngan demikian di Pulau Batam tidak ada hutan karena yang telah ditetapkan sebagai Hak Pengelolaan oleh Keputusan Presi den Nomor 41 Tahun 1973 adalah seluruh areal Pulau Batam.

Di sisi lain menurut BP Batam yang tercantum di dalam Putusan PTUN, terdapat ketentuan bahwa terhadap kawasan hutan berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Kehutanan.

Dengan demikian, terjadi konflik norma atau dalam hal ini menggunakan istilah insinkronisasi karena dalam hal yang sama (hutan berada di atas tanah yang diberikan Hak Pengelola an) terdapat pengaturan yang berbeda. Berdasarkan kewena ngan yang tercantum di dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tersebut, BP Batam berpendapat bahwa SK.463/

Menhut-II/2013 seharunya mempertimbangkan dasar aturan wewenang BP Batam tersebut.

2) Menteri Kehutanan

Menteri Kehutanan dalam hal ini menyatakan tidak terdapat konflik norma karena yang diberikan Hak Pengelolaan nya berdasar Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 terse but hanyalah atas tanah di Batam saja bukan hutannya dan Keputusan Presiden tersebut hanya mengacu pada

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tidak menyebut Undang-Undang-Unda ng Kehutanan. Oleh karena itu, menurut Menteri Kehutanan ketentuan tentang tanah berbeda dengan ketentuan tentang hutan. Selain itu, menurut Menteri Kehutanan dalam kasus ini mengajukan eksepsinya dalam persidangan dengan menyatakan alasan pada konsideran mengingat SK.463/Menhut-II/2013 ti dak mempertimbangkan dasar aturan wewenang BP Kawasan Batam. Alasan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

a. Setiap gugusan pulau, termasuk halnya Pulau Batam secara yuridis terdapat 2 status hukum wilayah/hamparan yang ada pada gugusan pulau dimaksud yaitu tanah yang tunduk pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Kawasan Hutan yang tunduk pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagai pengganti dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1967);

b. Atas dasar hal tersebut, maka yang diserahkan pengelolaan nya kepada Otorita Batam dengan Keputusan Presiden No.

41 Tahun 1973 adalah tanah yang tunduk pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dan bukan kawasan hutan yang tunduk pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 (sebagai pengganti dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1967).

c. Hal tersebut secara tegas dapat dibaca pada konsideran mengingat pada Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1973 yang hanya mencantumkan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 dan tidak mencantumkan Undang-Undang No. 5

Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutan an (yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999).

Jika melihat pada putusan PTUN, maka pembedaan pandangan ini diselesaikan/ditengahkan dengan melihat Peratu ran Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang mengatur khusus Pulau Batam, Pulau Bintan, dan Pulau Karimun yang mengatur nya secara tegas. Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan pandangan antara pihak BP Batam dan Kementrian Kehutanan.

Pihak BP Batam mengalokasikan lahan dengan panduan Ren cana Tata Ruang Wilayah. Namun, dalam pengalokasian ini terdapat perbedaan pandangan, yaitu sebagai berikut (wawan cara dengan Nanang Hardiwibowo, Kepala Sub Direktorat Pengadaan Lahan BP Batam, 2014):

a. Daerah yang masuk dalam areal abu-abu (pencadangan lokasi), menurut BP Batam sudah diubah peruntukannya bukan lagi sebagai hutan, sedangkan bagi kementrian kehu tanan masih diklaim sebagai hutan.

b. Daerah Pending Zone, artinya proses terkait hutan sudah selesai maka bisa dialokasikan kepada pihak lain. Oleh karena itu, biasanya BP Batam sudah mencadangkan daerah-daerah yang berada di daerah pending zone. Namun kembali lagi, Kementrian Kehutanan melalui SK.463/Menhut-II/2013 masih menetapkan Pending Zone sebagai kawasan hutan.

Akhirnyam muncul kesimpangsiuran pengalokasian. Padahal dari pandangan BP Batam, daerah Pending Zone sdh dapat dialokasikan dan termasuk area yang dapat dikembangkan.

Seperti Nagoya Hill yang menjadi pusat perekonomian masyarakat Batam, dalam SK.463/Menhut-II/2013masih berwarna hijau yang artinya masuk dalam kawasan Hutan.

Oleh karena itu, proses pemecahan/proses lebih lanjut pun berhenti. Hal ini menjadi ketidakpastian pada pemilik lokasi akibat kesimpangsiuran keputusan Pemerintah dalam Hak Pengelolaan Kota Batam.

c. Kadang-kadang daerah putih juga masih dihutankan oleh Kementrian Kehutanan. Dari sisi Kementrian Kehutanan, Kementrian Kehutanan bukan tidak setuju itu diputihkan namun harus melalui mekanisme peralihan fungsi hutan.

Berdasarkan mekanisme yang ada, bukan kewenangan kehutanan untuk memutihkan, namun menjadi putih ini harus meminta izin DPR. Jika DPR mengizinkan maka dilakukan alih fungsi. Di sisi lain, BP Batam beranggapan bahwa adanya tim padu serasi yang dibentuk oleh Kementrian Kehutanan sendiri tersebut seharusnya sudah berubah menjadi putih.

Dalam hal ini, PTUN telah memutuskan bahwa SK.463/

Menhut-II/2013 secara substansi bertentangan dengan Peratur an Presiden Nomor 87 Tahun 2011 karena peraturan ini telah mengatur mengenai kawasan hutan. Berikut adalah pertimbang an PTUN dalam penyelesaian permasalahan ini:

a. Konsep ―agraria‖ sebagaimana dalam UUPA bukan hanya terbatas pada tanah yang terhampar di permukaan saja, namun juga meliputi semua bidang tanah di Republik ini, baik yang terhampar di permukaan, yang berada dibawah permukaan tanah, hingga angkasa diatas permukaan tanah.

UUPA merupakan umbrella act (Undang-Undang Payung) bagi Undang sektoral lainnya, termasuk Undang-Undang Kehutanan.

b. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 telah dinyata kan bahwa semua tanah di Pulau Batam telah diberikan Hak Pengelolaan kepada BP Batam;

c. Penataan ruang di wilayah Kota Batam dan sebagian Bintan serta sebagian Karimun telah diatur berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Batam, Bintan dan Karimun. Oleh karena itu, penerbitan SK.463/Menhut-II/2013 tidak dapat dipisahkan dan harus mendasarkan pada penataan ruang sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011, dengan alasan:

- Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 berperan sebagai:

a) alat operasional Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

b) alat koordinasi pembangunan di Kawasan BBK (Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011), termasuk dalam hal pemanfaatan ruang di Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (Pasal 4 huruf b Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011),

c) perwujudan keterpaduan, keterkaitan dan keseimba ngan perkembangan antar wilayah Kabupaten/Kota, serta keserasian antar sektor di Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (Pasal 4 huruf c Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011);

d) penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi di Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (Pasal 4 huruf d Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011); dan e) Penataan Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/

Kota di Kawasan Batam, Bintan dan Karimun - Cakupan Kawasan Batam, Bintan dan Karimun sebagai

mana dimaksud dalam Bagian Keempat Peraturan Presi den Nomor 87 Tahun 2011 senyatanya meliputi kawasan atau area SK.463/Menhut-II/2013;

- Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 materi muatannya telah merinci kawasan-kawasan yang

termasuk dalam Kawasan Lindung ataupun Kawasan Budi Daya (Bab IV Rencana Pola Ruang Kawasan Batam, Bintan dan Karimun, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011), yang ternyata berbeda dengan objek SK.463/Menhut-II/2013;

- Pemberian Hak Pengelolaan di Batam adalah merupa kan wewenang penuh dari BP Batam, yang secara khusus dan eksplisit telah dinyatakan dalam ketentuan Pasal 120 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011.

- Setiap akhir dari pasal yang mengatur tentang Zona Lindung (mulai dari Zona Lindung 1 sampai dengan Zona Lindung 6) maupun Zona Budi Daya (mulai dari Zona Budi Daya 1 sampai dengan Zona Budi Daya 10), telah dinyatakan secara eksplisit bahwa: ―perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan‖, yang artinya bahwa penetapan Zona Lindung dan Zona Budi Daya daya dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 harus menjadi dasar dan acuan bagi Menteri Kehutanan dalam menetapkan SK.463/Menhut-II/2013.

- Konsideran Mengingat objek SK.463/Menhut-II/2013 sama sekali tidak mencantumkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011;

- Para penggugat memperoleh hak-hak keperdataan berupa penetapan lokasi berdasarkan aturan dasar dari Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 juncto Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2011.

Kasus ini menggambarkan adanya kasus pertanahan yang melibatkan antar instansi pemerintah. Keterlibatan antar instan si pemerintah dalam kasus pertanahan mempunyai kecenderu

Kasus ini menggambarkan adanya kasus pertanahan yang melibatkan antar instansi pemerintah. Keterlibatan antar instan si pemerintah dalam kasus pertanahan mempunyai kecenderu

Dalam dokumen KEPASTIAN HUKUM atas HAK PENGELOLAAN TANAH i (Halaman 157-182)