• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRINSIP PREFERENSI

TINJAUAN TENTANG

B. PRINSIP PREFERENSI

Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan bagian dari sistem hukum di negara tersebut. Mengingat definisi sis tem dan definisi hukum, maka peraturan perundang-undangan da lam berbagai bentuk dan tingkatannya harus saling terkait, selaras, dan tidak tumpang tindih sehingga dapat membentuk suatu sistem hukum yang efektif bergerak dinamis sekaligus komprehensif da lam suatu kesatuan sistem hukum guna mencapai tujuan hukum (Nugroho, tt.). Permasalahan substansi dari suatu peraturan hukum sangat berkaitan dengan sinkronisasi, yaitu adanya kesesuaian suatu peraturan hukum tersebut dengan peraturan hukum lainnya.

Dalama Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkronisasi ber asal dari kata sinkron yang memiliki arti sejalan, sesuai, selaras. Sin kronisasi yaitu perihal menyinkronkan, penyerentakan. Dengan de mikian, sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyele rasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Tu juannya yaitu agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi, saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Dalam bahasa Inggris, terdapat istilah synchronized, synchronizing, synchronizes yang memiliki makna yaitu kesesuaian atau keselarasan antara peraturan

perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya dalam derajat yang ber beda atau secara vertikal (Wijayanti, 2012).

Muhammad Bakri (2011), menjelaskan bahwa sistem hu kum yang berlaku di Indonesia terdiri dari tiga komponen, yaitu hukum yang dibuat oleh lembaga negara yang berwenang (hukum tertulis/peraturan perundang-undangan), hukum yang berbentuk melalui putusan pengadilan/hakim (yurisprudensi), dan hukum yang terbentuk melalui kebiasaan di masyarakat (hukum adat dan hukum kebiasaan). Idealnya, ketiga komponen tidak memuat ketentuan-ketentuan yang saling bertentangan dan berjalan secara harmonis atau tidak ada konflik hukum diantaranya.

Konflik hukum terjadi karena adanya insinkronisasi antara komponen-komponen hukum tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa organ hukum dapat menciptakan norma-norma yang saling bertentangan. Sebuah norma tidak bisa benar atau salah, melainkan absah atau tidak absah (Hans Kelsen, 2007). Salah satu konflik hukum yaitu konflik hukum diantara sesama peraturan perundang-undangan.Dalam hal terjadi konflik hukum ini, terdapat asas prefe rensi hukum. Asas preferensi ini digunakan untuk mengambil kepu tusan terlebih dahulu dengan melakukan pengujian secara materiil terhadap norma hukum yang saling bertentangan.

Asas preferensi yang digunakan meliputi:

a. Asas Lex superior derogat legi inferior

Makna dari asas ini adalah undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai derajat yang lebih tinggi. Apabila ada dua undang-undang yang mengatur objek yang sama maka undang-undang yang derajatnya lebih tinggi di dahulukan keberlakuannya (Marwan Mas, 2004). Keberlakuan sebuah norma hanyalah keberlakuan norma lain yang direpresen tasikan sebagai norma yang lebih tinggi (Hans Kelsen, 2007).

b. Asas Lex posteriori derogat legi priori, yaitu undang-undang yang baru mengenyampingkan pemberlakuan undang-undang lama apabila mengatur objek yang sama. Asas ini menurut Bagir Manan dalam Slamet Suhartono, (2009), harus memuat prinsip bahwa aturan hukum baru harus sederajad dengan aturan hu kum lama dan mengatur tentang objek yang sama.

c. Asas Lex specialis derogat legi generali, yaitu undang-undang yang berisikan khusus mengenyampingkan pemberlakuan undang-undang yang bersifat umum. Menurut Kamus Istilah Hukum, pengertian dari asas ini adalah:

―hukum/peraturan khusus menyimpang dari hukum/pera turan umum, dan mendahuluinya: collissieregel, ketentuan pertentangan menetapkan: jika pada suatu kejadian, suatu peraturan umum dan suatu peraturan khusus kiranya tidak membawa hasil yang serupa, maka haruslah peraturan yang khusus yang ditetapkan.‖

Selanjutnya, Bagir Manan Suhartono, (2009), menjelaskan beberapa prinsip yang harus diperhatikan terutama terkait asas lex specialis derogat legi generali, yaitu:

a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;

b. Ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan legi generalis;

c. Ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum yang sama dengan legi generalis.

Terdapat alternatif lain yang merupakan tipe penyelesaian konflik norma hukum berkaitan dengan asas preferensi hukum tersebut seperti dijelasksan P.W. Brouwer sebagaimana dikutip M.

Hadjon dan Djamiati (2005), yaitu: 1) Pengingkaran (disavowal); 2) Reinterpretasi; 3) Pembatalan (invalidation); 4) Pemulihan (remedy).

Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Pengingkaran

Penyelesaian dengan langkah ini seringkali memperta hankan bahwa tidak ada konflik norma. Pengambil keputusan hukum dalam menghadapi kasus konflik norma menganggap tidak pernah terjadi konflik norma sehingga pengambil keputu san hukum mengabaikan pertentangan norma hukum dalam kasus tersebut (Suhartono, 2009). Misalnya, membedakan wila yah hukum seperti anatara hukum privat dan hukum publik,

dengan beragumentasi bahwa dua bidang hukum tersebut di terapkan secara terpisah, meskipun dirasakan bahwa kedua ke tentuan tersebut terdapat konflik norma hukum (Hadjon dan Djamiati, 2005).

b. Reinterpretasi

Tipe penyelesaian dalam langkah ini harus dapat mem bedakan dua cara, yaitu:

1) Reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas prefe rensi, menginterpretasi kembali norma yang utama de ngan cara yang lebih fleksibel.

2) Menginterpretasikan norma preferensi, dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan mengenyamping kan norma lain (Hadjon dan Djamiati, 2005).

Reinterpretasi dilakukan pengambil keputusan untuk mencari makna terhadap norma yang belum dipahami tersebut dengan menggunakan metode atau teori penafsiran yang ber laku dan relevan (Suhartono, 2009).

c. Pembatalan

Terdapat dua macam, yaitu: abstrak formal dan prakti kal. Pembatalan abstrak formal dilaksanakan oleh suatu lembaga khusus/pejabat berwenang. Sedangkan pembatalan praktikal dengan tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus kon krit (Suhartono, 2009).

d. Pemulihan

Pada pemulihan (remedy), pengemban kewenangan mela kukan uji meteriil lebih dahulu terhadap norma yang bertenta ngan dan apabila terbukti terdapat kesalahan maka harus dila kukan pembetulan atau perubahan, penafsiran atau pembentu kan norma hukum baru (Suhartono, 2009). Misalnya, pemberian kompensasi sebagai ganti membatalkan norma yang kalah.