• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKSI EKBANG

D. Jumlah penduduk

3. Profil dan Sejarah Haul KH. Abdul Fattah

seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunungjati, dan seterusnya (Solikhin Muhammad, 2012:438).

Tradisi haul di Indonesia umumnya berkembang kuat di kalangannahdhiyin atau masyarakat yang tergabung dalam wadah organisasi NU (Nahdhatul Ulama). Tradisi Haul dianggap atau dimaknai sebagai bentuk peringatan meninggalnya seseorang setiap tahun, yang biasanya dilaksanakan tepat pada hari, tanggal, dan pasaran meninggalnya seseorang (Fadeli dan Subhan, 2007:119).Peringatan ini bisa berlaku bagi siapa saja, tidak terbatas hanya pada orang-orang NU.Akan tetapi bagi orang-orang NU, haul lebih bernuansa sakral, dibandingkan orang Jawa biasa yang menyelenggarakannya (Fatah, 2012:271). Gema haul akan terasa lebih dahsyat jika yang meninggal adalah seorang tokoh kharismatik, ulama besar, atau pendiri Pesantren (Fatah, 2012:271). Acara haul seringkali diisi dengan pembacaan doa-doa, tahlil, dan dzikir secara bersama-sama.Kadang kala ditambah dengan ceramah agama dari para ulama atau Kyai (Fadeli dan Subhan, 2007:120).

3. Profil dan Sejarah Haul KH. Abdul Fattah

Tradisi peringatan Haul KH.Abdul Fattah berakar pada sosok almarhum KH. Abdul Fattah. KH. Abdul Fattah yang mempunyai sebutan lain Kyai Nawawi. KH. Abdul Fattah adalah warga asli Desa Siman beliau adalah putra pertama dari perkawinan Ahmad Rais dengan Teminah.Ahmad Rais adalah tokoh masyarakat dan agama yang menjabat sebagai modin Desa Siman pada waktu itu.KH.Abdul Fattah lahir pada tahun 1911 di Desa Siman Kecamatan Sekaran

33

Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur.KH.Abdul Fattah adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Fattah yang terletak di Desa Siman Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan (Milad dan pesantren Ihya’uddin, 1985:1).

Pada tahun 1922 ketika beliau berusia 13 tahun beliau memulai karir studinya di berbagai pondok pesantren baik yang pesantren yang sudah terpandang maupun yang belum terpandang.Dimulai tahun 1922 beliau pertama kali menginjakkan kakinya dipesantren di Desa Miru dibawah asuhan Kyai Shoim, dipesantren ini beliau hanya mondok selama satu tahun.kemudian pada tahun 1923 beliau pindah pesantren di Desa Sungegeneng untuk menuntut ilmu pada Kyai Haji Abu Ali, disini beliau juga hanya satu tahun. selanjutnya pada tahun 1924 beliau menuju pondok pesantren di Desa Kebalandono dibawah asuhan Kyai haji Khozin selama kurang lebih tiga tahun sampai dengan tahun 1926. Di pesantren ini beliau memulai belajar ilmu Nahwu Shorof( ilmu tata bahasa bahasa Arab). Berkat ketekunan dan kesungguhan beliau dalam waktu tiga tahun itu beliau telah dapat membaca kitab kuning ( kitab yang bertuliskan bahasa arab gundul tanpa harokat yang dicetak menggunakan kertas berwarna kuning) (Milad dan pesantren Ihya’uddin, 1985:2).

Dilanjutkam pada tahun 1927 beliau melanjutkan jenjang studinya ke pondok pesantren Langitan Tuban. Di pesantren ini beliau menghabiskan usia mudanya untuk menuntut berbagai disiplin ilmu agama mulai dari ilmu Tauhid, Hadits, fiqh, dan sebagainya kepada Kyai Haji Abdul Hadi. Kepada Kyai Abdul Hadi ini beliau betul-betul berkhidmat dalam segala bentuk kehidupannya. Figur Kyai Haji Abdul Hadi ini merupakan panutan dalam segala perilaku dan langkah

34

perjuangannya dan banyak mengintuisi dalam perjalanan kekyaiannya.Kyai Abdul Hadi adala satu-satunya Kyai yang mematangkan jiwa, semangat, dan penguasaan ilmunya, sehingga menjadikan KH. Abdul Fattah menjadi tokoh Kyai yang terkenal sangat memegang prinsip kitab-kitab kuning (baca: ilmu agama) dan prinsipnya itu tidak bisa ditawar-tawar lagi atau dengan kata lain beliau adalah tokoh Kyai Konservatif yang kuat. Sebagaimana yang dikatakan oleh KH.Abdul Majid putra ke-2 KH. Abdul Fattah:

“bapak (KH. Abdul Fattah) itu persis sekali dengan Kyai Abdul Hadi, bisa diakatakan photocopy-nya Kyai Abdul Hadi” (Wawancara pribadi pada tanggal 10 Agustus 2013).

Dibawah asuhan Kyai Haji Abdul Hadi beliau menghabiskan waktunya kurang lebih selama 13 tahun yaitu, mulai tahun 1927 sampai dengan tahun 1939.

Tahun 1940 beliau KH.Abdul Fattah atas izin Kyai Haji Abdul Hadi meneruskan pendidikan pesantrennya ke pesantren Kasingan Rembang Jawa Tengah di bawah asuhan KH.Ahmad Kholil selama satu tahun, istilahnya hanya tabarrukan (mengharapkan berkah) saja.Selanjutnya pada tahun 1941 beliau tabarrukan ke berbagai pondok pesantren, diantaranya pondok pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan KH.Hasyim Asy’ari pendiri organisasi NU, kemudian kepada KH. Khozin Siwalan Panji Sidoarjo. Selama Tabarrukan ini beliau tidak pernah terlepas dari ijin Kyai Haji Abdul Hadi Langitan (Milad dan Pesantren Ihya’uddin, 1985:3).

KH.Abdul Fattah menyelesaikan karir belajarnya tepat pada awal tahun 1942.Setelah pamitan dan mohon izin kepada Kyai Haji Abdul Hadi Langitan dan selanjutnya beliau pulang ke kampung halamannya.Bersamaan dengan itu beliau

35

“di titipi” Kyai Haji Abdul Hadi beberapa santri untuk di asuh di kampung halamannya Desa Siman.Sesampainya di rumah beliau KH.Abdul Fattah atas perintah orangtunya beliau menikah dengan seorang wanita tetapi hanya kurang lebih satu bulan jodohnya hanya sampai di situ. Kemudian pada tahun itu juga yaitu pada tanggal 7 Maret 1942 beliau menikah dengan seorang gadis bernama Marwiyah binti H. Abdullah dari Desa Cangaan Kecamatan Kanor Bojonegoro, dan dari pernikahannya yang terakhir ini beliau di-karuniai tujuh orang putra dan satu orang putri. Bersama dengan ibu Nyai Marwiyah dan didukung pula oleh para tokoh masyarakat Desa Siman beliau mendirikan pondok pesantren Ihya’uddin pada tanggal 26 Agustus 1942.

Pada masa-masa awal saat didirikannya pesantren yang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial ekonomi dan politik yang sangat mencemaskan, mayoritas masyarakat Desa Siman hidup di bawah garis kemiskinan yang amat dalam. Tidaklah mengherankan kalau taraf pemikiran dan kepandaian masyarakat seirama dengan dengan kondisi ekonominya. Mayoritas masyarakat Siman buta huruf latin dan hanya beberapa orang saja yang dapat membaca dan menulis huruf Arab (Milad dan pesantren Ihya’uddin, 1985:2).

Sebagaimana diketahui pada tahun 1942 adalah tahun masuknya penjajah Jepang di Indonesia. Pada waktu itu termasuk juga masyarakat Siman sempat merasakan injakan kaki penjajah, sehingga kehidupan masyarakat pada semua segi terkoyak-koyak dalam penindasan dan kesengsaraan lahir batin. Didorong oleh faktor-faktor tersebut di atas pemuda Nawawi terpanggil sanubarinya sebagai insan yang merasa bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsanya yang

36

kemudian mendirikan sebuah pesantren yang diberi namaIhya’uddin. (Milad dan pesantren Ihya’uddin, 1985:3) Hal ini diperkuat oleh perkataan KH.Abdul Majid selaku putra ke-2 KH. Abdul Fattah, beliau mengatakan:

“pada awal mulanya didirikannya pondok pesantren ini oleh KH. Abdul Fattah pesantren diberi nama Ihyauddin, namun seiring berjalannya waktu semenjak meninggalnya KH. Abdul Fattah untuk menghormati beliau sebagai pendiri pesantren maka diubahlah namanya menjadi Pondok Pesantren Al-Fattah” (Wawancara pribadi pada tanggal 10 Agustus 2013).

Sesuai dengan namaIhya’uddin yang berarti menghidupkan agama, adalah relevan dengan kondisi masyarakat dan tantangan pertama yang harus dihadapi. Sebab kondisi masyarakat Desa Siman dan sekitarnya pada waktu itu sangatlah memperihatinkan baik dari kadar pengetahuan maupun pengamalan agama. Pendirian pesantren Ihya’uddin dimaksudkan oleh beliau untuk menghidupkan cahaya keagamaan masyarakatnya, membuka tabir kegelapan, dan menyingkap kelam pekatnya kebodohan mereka melalui motivasi-motivasi nur keimanan islami. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan kepala Desa Siman bapak Usman Syarif mengenai sosok KH. Abdul Fattah tentang peran dakwahnya di desa tersebut:

“Melalui keberhasilan pendirian pesantren yang didirikan beliau, mbah

Fattah dinilai telah berhasil merubah masyarakat Desa Siman dan sekitarnya, yang semula dikenal sebagai masyarakat abangan (masyarakat yang belum mengenal ajaran-ajaran agama Islam), menjadi masyarakat santri, yaitu masyarakat yang mengenal sekaligus mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Atas alasan ini, masyarakat Desa Siman dan sekitarnya pada akhirnya menganggap KH. Abdul Fattah sebagai sosok yang layak dihormati, sosok yang dipandang berhasil menggagas perubahan masyarakat Desa Siman dan sekitarnya, dari masyarakat abangan menjadi masyarakat santri” (Wawancara pribadi pada tanggal 12 Agustus 2013).

Setelah wafatnya KH.Abdul Fatah tradisi-tradisi dakwahnya trus dilanjutkan oleh putra, putri dan murid-murid beliau. Sebagai bentuk

37

penghormatan atas jasa-jasa beliau maka keluarga dan masyarakat Desa Siman tetap mengenang almarhum dengan menyelenggarakan do’a tahunan seperti peringatan Haul, hal ini diperkuat seperti yang diceritakan oleh KH. Muhammad Ma’mun Fattah selaku putra ke-7 dari almarhum KH. Abdul Fattah yang mengatakan:

“Haul bapak ini dimulai sejak tahun kedua meninggalnya bapak atau sekitar tahun 1993, dan biasanya diadakan setiap tahun pada ulan Suro penanggalan hijriyah.” (Wawancara pribadi pada tanggal 17 Agustus 2013)

Berdasarkan penuturan dari KH.Muhammad Ma’mun Fattah ini bisa dikatakan bahwa pelaksanaan Haul KH.Abdul Fattah sampai saat ini sudah terlaksana cukup lama. Terhitung dari pertama kali dilaksanakan pada tahun 1993 hingga tahun 2012 maka Haul KH.Abdul Fattah ini sudah terselenggara sebanyak dua puluh kali.