• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA

4.2. Profil Informan

4.2.1. Karakteristik Informan

4.2.1.1. Profil Informan Kunci

Nama : Mbah Marnak

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 73 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

Pendidikan : SD/SR

Mbah Marnak merupakan seorang laki-laki yang berkelahiran 1939 di Banyumas, kota Purwokerto ini mempunyai istri bernama Tarikem(63) dan memiliki 10 orang anak. 5 orang anak laki-laki dan 5 orang anak perempuan. Pekerjaanya sehari-hari dalam menghidupi anak-anak dan istrinya adalah sebagai petani. Awalnya, mbah Marnak beserta istrinya bukan merupakan warga masyarakat Sumatera Utara, akan tetapi pada tahun 1956 beliau pindah merantau ke Sumatera Utara demi memperbaiki hidup dan mengkais rezeki di rantau orang. Alamat beliau sekarang tepatnya di Dusun I Buluh Cina Desa Urung Pane Kabupaten Asahan. 20 tahun yang lalu pada tahun 1971 beliau pernah menjabat sebagai kepala dusun di desanya.

Di desa Buluh Cina, Mbah Marnak di kenal sebagai pemuka adat. Beliau banyak mengetahui tradisi-tradisi khususnya tradisi dalam masyarakat suku jawa. Dan salah satu tradisinya adalah tradisi rantangan. Baginya istilah rantangan tidak asing lagi bahkan sejak zaman nenek moyang kita sudah ada. Dan beliau sendiripun pernah melakukan tradisi rantangan saat mengadakan pesta beberapa kali. Beliau sudah pernah mengadakan pesta sebanyak 5 kali pesta, yaitu pada tahun 1983, 1986, 1989, 2002, dan 2011. Pada tahun itu semua sudah merangkap sekaligus saat pesta khitan ataupun pernikahan anak-anaknya.

4.2.1.2. Nama : Mbah Sirkum

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 74 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

Pendidikan : SD/SR

Mbah Sirkum yang biasa dikenal dengan tukang tratak itu adalah orang yang sangat di kenal di desa Urung Pane. Karena selain sebagai petani, beliau juga mempunyai usaha sewa tratak yang digunakan saat mengadakan suatu pesta. Selain sewa tratak beliau juga menyewakan berbagai macam peralatan untuk pesta mulai dari kursi, meja, piring, gelas, bahkan rantang yang biasa digunakan untuk merantang dan lain sebagainya. Selain itu beliau juga dikenal sebagai pemuka adat masyarakat suku Jawa yaitu sebagai dukun manten (istilah Jawa).

Tradisi rantangan juga sempat dialami oleh mbah Sirkum beberapa kali saat mengadakan pesta. Beliau sudah pernah mengadakan pesta sebanyak 4 kali,

dan itu membawa keuntungan tersendiri bagi beliau saat sebagai orang yang mengadakan pesta. Karena ketika melakukan tradisi rantangan saat pesta akan mendapatkan keuntungan yang besar dari hasil sumbangan para penerima rantang. Keuntungan ini berupa uang yang dapat membantu mbah Sirkum dalam meningkatkan pendapatan saat pesta dan membantu membayar keperluan pengeluaran saat pesta.

4.2.1.3. Nama : Mbah Katem

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 65 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SD/SR

Mbah Katem merupakan salah seorang warga yang tinggal di Dusun VII Dari Pane yaitu salah satu Dusun yang ada di desa Urung Pane yang memiliki 5 orang anak. Ketika peneliti mewawancarai beliau, beliau baru-baru saja mendapat kemalangan atas meninggalnya suami beliau tercinta. Namun, jika dilihat dari suasana saat mewawancarai beliau termasuk orang yang sangat periang dan tegar dalam menghadapi permasalahan yang ada.

Mbah Katem juga pernah mengadakan suatu pesta dan merantang juga saat pesta. Namun, rantangan yang ditujukan kepada tetangga, saudara ataupun kerabatnya tidaklah banyak, hanya sekitar 100-200 rantang saja. Menurut beliau memang benar rantangan itu dapat memberikan keuntungan saat mengadakan pesta, namun terasa berat atau beban jika menjadi orang yang dirantang saat sudah

musim orang pesta. Karena, jika sudah musim orang pesta beliau pernah mendapatkan rantang sebanyak 3 kali dalam seminggu atau bahkan jika dihitung dalam perbulan pernah mendapat rantang sebanyak 5 - 6 kali. Hal inilah terkadang yang menjadi beban bagi beliau apalagi jika saat musim rantangan kondisi tingkat perekonomian beliau sedang menipis karena pekerjaan sehari-hari mbah Katem adalah sebagai tukang cuci di tempat tetangganya. Maka dari hasil beliau jadi tukang cuci itulah beliau bertahan hidup dan bisa membayar sumbangan jika mendapat rantangan banyak.

4.2.1.4. Nama : Mastina

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 53 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SD/SR

Mastinah merupakan salah seorang ibu rumah tangga yang memiliki 5 orang anak. 4 (empat) orang anak laki-laki dan 1 (satu) orang perempuan. Ketika mewawancarai beliau, ternyata beliau juga pernah mengadakan pesta dan mengikuti tradisi rantangan juga. Beliau pernah mengadakan pesta sebanyak 3 kali. Pesta Khitan 2 (dua) kali dan pesta menikahkan anak perempuannya 1 (satu) kali. Menurut beliau, ketika merantang itu pukul rata. Maksudnya adalah ketika merantang tidak memandang orang itu siapa, yang pasti selain keluarga jika kenal dekat pasti semua dirantang. Baik itu rumahnya jauh ataupun tidak. Awalnya,

menurut beliau saat pesta pertama sekitar tahun 1990an rantangan itu tidak dipatokkan. Hanya untuk tetangga dan orang-orang tua saja. Namun, ketika pesta akhir-akhir tahun kemarin yaitu tahun 2012 saat menikahkan anak perempuannya beliau melakukan rantangan dengan mengikuti tradisi yang ada. Karena dilihat beliau banyak orang yang melakukan rantangan saat pesta, maka beliau juga ikut- ikutan merantang saat pesta dengan pukul rata orang-orang yang dirantangnya.

4.2.1.5. Nama : Tumina

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 53 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SD/SR

Ibu Tumina yang merupakan warga desa Urung Pane ini istri dari pak Paiman. Beliau mempunyai 4 orang anak. Kesehariannya di dalam keluarga ialah ibu rumah tangga. Pekerjaan suaminya adalah karyawan harian di PTPN 3. Namun, sesekali beliau juga pernah pergi mencetak batu bata untuk mendapatkan uang tambahan. Ketika peneliti ingin mewawancarai beliau, beliau sedang duduk- duduk sore di depan rumah bersama ibu sales baju yang kebetulan juga ada pada waktu itu dan sekaligus sama-sama ikut diwawancarai. Nama sales baju tersebut adalah ibu Dewi (39). Beliau tinggal di kota Serdang Bedagai.

Ketika peneliti memulai untuk mewawancarai ibu Tumina dan ibu Dewi ternyata jawaban mereka mengenai rantangan hampir sama. Akan tetapi, pada kenyataannya berbeda dalam hal rantangan. Ibu Tumina sendiri mengatakan pernah mengadakan rantangan, namun ibu Dewi tidak pernah. Ia hanya pernah

merasakan dirantang dan menyumbang. Akan tetapi, ibu Dewi ketika diwawancarai mengenai rantangan mengerti dan paham. Karena baginya rantangan juga tidak asing lagi terdengar ditelinganya.

Ibu Tumina pernah mengadakan pesta 2 kali, yaitu menikahkan putrinya. Ketika pesta beliau mengatakan tidak terlalu banyak merantang orang, hanya sekitar kurang dari 100 orang yan dirantang. Menurut beliau, walaupun rantangan yang dilakukannya tidak banyak akan tetapi orang yang datang sewaktu ketika beliau pesta banyak dan uang yang didapatkan dari hasil pesta juga banyak. Hal ini menurut beliau adalah karena kerabatnya banyak dan sudah sangat dekat. Walaupun tidak dirantang, tetapi kerabat-kerabatnya tahu serta ikut membantu dalam menyumbang.

Berbeda dengan pernyataan ibu Dewi, karena beliau belum pernah mengadakan pesta ataupun rantangan justru terkadang berat untuk selalu bisa menyumbang ketika dirantang. Apalagi sekarang beliau “harus menghidupi 3 (tiga) orang anak tanpa suami” ujar ibu Dewi. Beliau sudah lama bercerai dengan suaminya.

4.2.1.6. Nama : Mbah Saben

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 73 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SD/SR

bungsunya. Karena rata-rata anak beliau sudah berkeluarga semuanya. Ketika mewawancarai beliau mengenai tradisi rantangan, beliau kelihatan sangat semangat. Baginya ini hal yang unik untuk ditanyai. Di dalam tradisi rantangan masyarakat suku Jawa menurut beliau itu sudah ada sejak Zaman nenek moyang kita. Namun, tujuannya berbeda dan berubah. Ketika zaman dahulu, tradisi rantangan diberikan kepada orang-orang ternama atau atasan kerja misalnya Mandor, Asisten. Bisa juga untuk orang tua yang dianggap sebagai penghormatan sesama saudara. Tujuannya adalah untuk menjalin silaturahim dan mempererat tali persaudaraan agar hubungan sosialnya semakin dekat. Dan rantangan ini tidak ada balasannya lagi bagi orang yang sudah dirantang terhadap orang yang merantang.

Berbeda dengan tradisi rantangan yang ada di zaman sekarang. Rantangan itu sudah digunakan ketika mengadakan suatu pesta. Dan orang-orang yang dirantangpun semuanya pukul rata dan tanpa memilih-milih.

“Asal kenal dan dekat, Ya pasti semua dirantang dan pukul rata. (Wawancara dengan mbah saben, 14 Juli 2014)

Beliau mengatakan bahwa, orang-orang yang dirantang juga secara tidak langsung harus memulangkan atau istilah Jawa “mbalekne” dengan menyumbang uang atau barang yang lebih besar lagi dibandingkan dengan sumbangan biasa. Ini berlaku bukan hanya pada orang yang pesta saja, namun suatu saat nanti itu juga akan berlaku bagi orang yang dirantang apabila ia mengadakan suatu pesta. Hal ini adanya sifat timbal-balik (resiprosikal) antara yang merantang dengan yang dirantang.

4.2.1.7. Nama : Supini Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 48 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SD/SR

Ibu Supini merupakan ibu rumah tangga dari ke 3 (tiga) orang anaknya. 2 (dua) orang diantaranya adalah anak laki-laki dan 1 (satu) orang anak perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari ibu Supini bekerja membantu suaminya di Kebun. Beliau memiliki kebun cokelat dan sawit. Hasil dari kebun tersebut itulah mereka dapat bertahan hidup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, karena suaminya baru saja pension dari karyawan harian di PTPN 3, Kisaran.

Beliau menjelaskan bahwa sudah pernah mengadakan pesta sebanyak 2 kali, yaitu khitan dan menikahkan. Di dalam pesta beliau juga mengadakan tradisi rantangan sebagaimana yang telah dilakukan mayoritas masyarakat suku Jawa. Akan tetapi pernyataan beliau berbeda dengan informan-informan yang lainnya. Bagi beliau tradisi rantangan merupakan suatu sedekah terhadap orang lain dan tidak terlalu mengharap imbal balik bagi orang yang dirantang. Menurut pendapat beliau,

jika ada orang yang dirantang namun ia tidak datang menyumbang atau“mbalekne” itu tidak apa-apa. Yang penting tali persaudaraan kita terhadap tetangga, kerabat ataupun saudara semakin dekat. (Wawancara dengan Ibu Supini, 14 Juli 2014)

dirantang. Terkadang juga tidak semuanya datang. Akan tetapi, menurut beliau yang penting sudah berusaha mengingat dan mengundang saudara kita.

4.2.1.8. Nama : Selamet S. Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 48 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : SD/SR

Bapak Selamet merupakan warga Dusun IV di desa Urung Pane. Beliau mempunyai 6 orang anak. 3 (tiga) orang anak laki-laki dan 3 (tiga) orang anak perempuan. Mata pencaharian beliau adalah sebagai pedagang bakso dan mie ayam dalam menghidupi istri dan anak-anaknya.

Ketika mewawancarai beliau, tidak jauh hal berbeda dengan informan yang lain. Beliau juga pernah mengadakan pesta dan mengikuti tradisi rantangan. Beliau pernah mengadakan pesta sebanyak 2 (dua) kali. Pesta pertama mengayunkan dan pesta yang kedua adalah khitan. Dua-duanya pesta juga dengan mengikuti tradisi rantangan. Menurut beliau rantangan itu perlu, akan tetapi kita juga harus memilih siapa-siapa saja orang yang akan dirantang. Menurut beliau orang yang pertama sekali dirantang adalah keluarga, saudara, tetangga, serta kerabat yang memang benar-benar dekat hubungannya dengan kita. Selain itu juga adalah orang tua yang diaanggap sebagai petuah atau pemuka adat.

hari jika suatu saat akan mengadakan pesta. Jumlah nominal orang yang datang dan menyumbang juga dicatat. Sehingga, jika suatu saat nanti orang yang dirantang itu gentian pesta, maka seberapa besar uang yang disumbangkan dahulu kepada pak Selamet ketika pesta, maka sebesar itulah pak Selamet akan mbalekne atau menyumbang kepada orang tersebut.

4.2.1.9. Nama : Romlah

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 58 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan : SD/SR

Ibu Romlah merupakan warga dusun IV di desa Urung Pane. Beliau memiliki 4 (empat) orang anak. Beliau juga pernah mengadakan pesta pernikahan anaknya dan melakukan tradisi rantangan. Pada saat itu beliau hanya merantang sekitar 500-700 orang. Ketika mewawancarai beliau mengenai rantangan menurut beliau tradisi rantangan terkadang bisa menjadi beban jika pada saat musim pesta atau rantangan.

Beliau beranggapan bahwa sebaiknya tradisi rantangan ditiadakan kalau hanya nantinya akan menjadi beban bagi masyarakat, khususnya masyarakat suku Jawa yang mendapatkan rantangan ketika ada yang mengadakan pesta. Walaupun dahulu beliau pernah melakukan rantangan, namun beliau juga tidak banyak

memberikan rantangan. Hanya yang dianggap saudara atau kerabat dekat saja yang mendapatkan rantanga.

Dokumen terkait