BAB IV TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA
4.3. Sejarah Tradisi Rantangan di Kalangan Suku Jawa
Masyarakat suku Jawa memiliki warna budaya yang sangat kental. Hampir setiap tahapan kehidupan bisa dipastikan ada ritual-ritual yang mesti dijalankan. Sejak lahir, sunatan, hamil, melahirkan, ritual kematian hingga pasca kematian
yang diperingati sejak 7 hari, 40 hari, 100 hari, satu tahun (geblag) sampai upacara 1000 hari yang ditandai dengan menyembelih kambing atau sapi. Selain itu, satu hal yang biasanya ditandai dengan upacara berbiaya cukup tinggi adalah pesta. Pola tradisi yang demikian menjadikan masyarakat Jawa dalam menjalankan tradisi dan kehidupan sosialnya menjadi berbiaya tinggi.
Sangat beruntung masyarakat Jawa memiliki tradisi yang bermakna memberikan sesuatu kepada orang lain pada waktu-waktu tertentu. Salah satu diantaranya ketika diberi Rantangan saat mengadakan suatu pesta. Namun didalam pemberian tersebut terkandung makna timbal-balik atau reciprocity. Kegiatan tradisi ini disebut “Nyumbang” ketika mendapat rantangan. Aktivitas tradisi yang disebut nyumbang dalam masyarakat jawa, ternyata tidak berdiri sendiri. Banyak diberbagai daerah yang sering kita jumpai. Reciprocity atau timbal balik yang bermakna saling ini menjadi point penting bagi aktivitas tradisi ini.
Rantangan adalah hantaran berupa makanan yaitu nasi dan lauk pauk yang di isi di dalam rantang kemudian diberikan kepada tetangga, saudara, kerabat atau orang tua ketika akan mengadakan suatu acara. Acara tersebut adalah syukuran dan pesta. Baik pesta pernikahan, khitanan, ataupun mengayunkan (menabalkan) anak.
Menurut informan yang telah diwawancarai peneliti, istilah rantangan sudah ada saat zaman nenek moyang kita. Namun, terdapat sedikit perbedaan dalam momen dan tujuannya. Rantangan, zaman dahulu hanya ditujukan kepada orang yang dianggap penting (atasan). Serta orang tua yang dekat tinggal dengan rumah kita yang kurang mampu, untuk berbagi makan enak dan juga bukti
penghormatan sebagai orang tua. Namun berbeda dengan sekarang, rantangan sudah menjadi ajang dimana orang-orang menjadikan rantangan sebagai wadah mencari materi sesaat saat mengadakan suatu pesta. Seperti yang disampaikan informan berikut ini:
Kalau rantangan sekarang cuma untuk cari duit saja saat pesta. Jadi, banyak orang berlomba-lomba pada saat pesta dengan merantang orang sebanyak-banyaknya (wawancara dengan ibu Mastina, 13 April 2014) Selain itu, rantangan juga sebagai pengganti surat undangan bagi orang yang rumahnya jauh yang memungkinkan apabila dirantang sudah pasti akan datang saat acara tersebut berlangsung karena merasa tidak enak, sudah dihantar makanan . Jadi, rantangan bisa dikatakan secara tidak langsung adalah sifatnya wajib. Berbeda dengan ketika mendapat surat undangan saja. Mereka belum tentu akan datang pada saat acaranya berlangsung. Seperti yang disampaikan informan berikut ini:
Mau tidak mau kita datang ke acara yang telah diadakan. Karena kan malu, kalau gak datang. Uda dirantang dan dapat makanan masa gak mau datang. Jadi, secara tidak langsung sifatnya wajib datang bagi orang yang dapat rantangan. (Wawancara dengan bapak selamet, 12 april 2014) Rantangan ini terjadi akibat adanya budaya yang telah ada sejak lama. Sehingga menjadi tradisi di dalam masyarakat suku Jawa hingga sampai saat ini. Akibatnya, tradisi ini tidak akan hilang sampai kapanpun. Sebagian masyarakat suku Jawa juga sudah mengganggap tradisi rantangan ini sudah biasa. Sehingga apabila mendapat rantangan tidak merasa mengeluh atau terbebani. Karena suatu saat nanti, timbal baliknya juga akan kembali kepada orang yang dirantang. Karena sama-sama akan merasakan sebagai orang yang merantang ataupun sebagai orang yang dirantang. Dengan begitu, akan saling sama-sama membantu
dalam menyumbang ketika mendapat suatu rantangan. Seperti yang disampaikan informan berikut ini:
Kalau dirantang ya uwak biasa aja dan gak merasa rugi. Karena dari dulu memang sudah gitu tradisinya. Jadi, mau gak mau ya harus ngikuti. Bagaimanapun juga nanti kita akan merasakan hal yang sama jika akan mengadakan suatu syukuran atau pesta. Karena kita juga pasti akan gantian merantang. Jadi , sudah seharusnya kita membantu saudara kita yang pesta melalui sumbangan yang kita berikan. (Wawancara dengan ibu Supini, 14 Juli 2014)
Hal ini juga tidak terlepas dari apa yang sudah melekat di dalam diri atau jiwa masayakat suku Jawa. Sesuai dengan pepatah diatas, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup bersama suku Jawa yang penuh kesadaran dan tanggung jawab. Jika dikaitkan dengan tradisi rantangan yang sekarang bahwa ada benarnya juga. Ini dapat membantu membayar pengeluaran saat pesta jika kita ikut dalam menyumbang. Dalam mewawancarai, informan juga mengatakan bahwa ada rasa tanggung jawab atas apa yang sudah diberi oleh orang yang merantang. Seperti yang di sampaikan salah satu informan, yaitu:
Namanya juga kita sudah dirantang dan diberi makanan, ya wajar kalau kita juga harus membalas rantangan itu dengan cara menyumbang sebagai ucapan rasa terimaksih kita karena sudah dirantang (Wawancara dengan ibu Supini, 14 Juli 2014)
Dari hasil penelitian, peneliti juga menemukan bahwa besarnya nominal sumbangan ketika mendapat rantangan itu tidak dipatokkan. Namun sesuai dengan kemampuan orang yang dirantang. Akan tetapi, ketika peneliti mewawancarai dari beberapa informan mengatakan bahwa rata-rata besar nominal orang umum menyumbang adalah sebesar Rp 20.000,00 untuk perempuan dan sebesar Rp 30.000 untuk laki-laki. Sedangkan untuk tetangga atau saudara
berbeda. Biasanya mereka menyumbang lebih besar lagi nominalnya. Untuk perempuan rata-rata adalah sebesar Rp 50.000 dan untuk laki-laki sebesar Rp 100.000. Sumbangan ini diberikan guna untuk mengucapkan rasa terima kasih karena sudah dirantang dan diberi makan. Sekaligus membantu mengurangi biaya pengeluaran saat pesta. Jadi, disini juga terdapat rasa kepercayaan diantara orang yang merantang dan dirantang.
Dengan begitu, keberadaan rantangan tidak perlu dipertanyakan lagi karena memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing dikaca mata orang yang memandangnya. Namun dari hasil wawancara dengan informan, bahwa mereka tidak mempermasalahkan adanya rantangan yang kini sudah menjadi tradisi masyarakat suku Jawa, khususnya masyarakat suku Jawa yang ada di desa Urung Pane. Sebaliknya, mereka beranggapan bahwa ini akan membantu meringankan beban biaya pengeluaran saat mengadakan suatu pesta.