• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program dan Faktor Pendukung Pengembangan Sapi Potong

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Program dan Faktor Pendukung Pengembangan Sapi Potong

Secara umum ada tiga faktor penting dalam pengembangan sapi potong di- suatu wilayah yaitu pertimbangan teknis, sosial, dan ekonomis. Pertimbangan teknis mengarah kepada kesesuaian pada sistem produksi yang berkesinambungan, ditun- jang oleh kemampuan manusia dan kondisi agroekologis. Pertimbangan sosial meli- puti penerimaan masyarakat terhadap keberadaan ternak tanpa menimbulkan konflik sosial. Pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sen- diri. Selanjutnya dikatakan bahwa di samping ketiga faktor tersebut di atas terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal di antara- nya infra struktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan pendu- duk, serta kebijakan pengembangan wilayah (Soehadji 1999).

Pengembangan usaha ternak ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan peningkatan daya beli masyarakat melalui perbaikan pendapatan. Agar dapat mencapai tujuan tersebut strategi yang dipakai adalah meningkatkan partisipasi masyarakat secara aktif, mendorong investasi usaha ternak di pedesaan serta pember- dayaan masyarakat petani-ternak (Sudaryanto dan Jamal 2000). Untuk mengatasi perihal permodalan bagi masyarakat petani, pemerintah telah mengimplementasikan model pemberdayaan masyarakat petani-ternak melalui program Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (Yuwono et al. 2006).

Tujuan dari Program Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM) adalah untuk ; (1) memperkuat modal usaha kelompok dalam mengembangkan usaha, (2) meningkatkan produksi dan produktivitas usaha, (3) mengembangkan usaha agri- bisnis dan agroindustri di kawasan pengembangan, (4) meningkatkan kemandirian

dan kerjasama kelompok, serta mendorong berkembangnya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) agribisnis dan kelembagaan ekonomi pedesaan lainnya. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai yakni ; (1) model pengembangan kawasan peternakan yang diintroduksi dapat berjalan dengan baik, (2) usaha peternakan dapat berkem- bang dengan baik, (3) proses pembelajaran peternak menjadi lebih mantap untuk dapat melepas ketergantungan pada bantuan pemerintah (Ditjen Peternakan 2004).

Pemberdayaan masyarakat agribisnis melalui penguatan modal kelompok me- liputi beberapa aspek yaitu : (1) aspek kelembagaan berupa; perkembangan kelompok dan anggota yang menerima perguliran, perkembangan jumlah kepemilikan ternak, perkembangan partisipasi anggota kelompok dalam mengambil keputusan, mengako- modir aspirasi anggota, kerjasama kelompok dengan stakeholder lainnya; (2) aspek usaha berupa ; peningkatan peran masyarakat dalam mengembangkan usaha dan peluang usaha, peningkatan kerjasama anggota dalam menanggulangi resiko usaha, perkembangan dalam permodalan kelompok, peningkatan kemampuan kelompok dalam melakukan analisa, perencanaan dan memonitor sendiri kegiatan yang dilaku- kan; (3) aspek teknis usaha; optimasi pemanfaatan sarana produksi, peningkatan produksi dan produktivitas ternak melalui peningkatan kelahiran dan berkurangnya resiko kematian (Ditjen Peternakan 2002).

Dana program BPLM berasal dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN), penggunaan dana didasarkan pada kepentingan anggota yang dike- lola oleh kelompok melalui kesepakatan anggota. Anggota kelompok yang menerima dana bantuan diwajibkan mengembalikan modal pokok pinjaman kepada kelompok selanjutnya digulirkan pada anggota lain yang belum menerima (Nugroho, 2006). Format dari BPLM adalah anggaran dekonsentrasi, yakni pendanaan dan rencana dirancang dari pusat, pengaturan pelaksanaannya diserahkan pada masing-masing provinsi. Dana bantuan yang telah ditransfer pada rekening kelompok selanjutnya diperuntukan bagi pembelian sapi potong bibit yang akan dikembang biakan untuk menghasilkan pedet (Yuwono et al. 2006).

Hasil penelitian Basuno dan Suhaeti (2007) tentang analisis BPLM di provinsi Sulawesi Selatan sebagai berikut ; 1) kinerja kelompok cukup bervariasi, beberapa kelompok cukup mempunyai prospek untuk berkembang sedangkan yang lainnya dinilai sulit berkembang; 2) sistem distribusi bantuan dilakukan secara transparan dengan aturan pengembalian yang relatif mudah dan fleksibel; 3) aspek teknis

budidaya sudah dikuasai oleh peternak baik dari aspek kesehatan hewan, pemberian pakan, reproduksi, maupun sistem perkandangan; dan 4) perlu adanya pembinaan kader lokal sebagai perpanjangan tangan dinas dalam rangka penguatan kelompok dimasa datang. Rahayu dan Kuswaryan (2006) melaporkan hasil pelaksanaan program BPLM untuk usaha ternak sapi pembibitan di kecamatan Parigi, Kabupaten Ciamis Jawa Barat sebagai berikut : 1) program BPLM digulirkan pada bulan Agustus 2004, dengan memberikan bantuan berupa 2 ekor sapi betina induk senilai Rp 12.000.000,- dengan target waktu pengembalian 5 tahun, dan bunga 6% per tahun; 2) rata-rata skala usaha 2,73 UT yang terdiri dari 2,06 UT betina 0,36 UT sapi muda dan 0,31 UT pedet; 3) calving interval yang di peroleh relatif panjang (15 bulan), S/C ratio 2,12 dan masa kosong 4,5 bulan; dan 4) peternak baru bisa melunasi pinjaman bantuan setelah 8 tahun. Hasil yang diperoleh Yuwono et al. (2006) tentang program BPLM pada berbagai kelompok tani-ternak sapi potong di Jawa Tengah meliputi : 1) pola perguliran dan kinerja reproduksi menunjukkan variasi antar kabupaten, dan 2) pelaksanaan program masih belum didukung teknologi yang memadai, sehingga pada pengembangan programan lebih lanjut perlu adanya pen- damping teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan peternak. 2.3.2 Faktor Pendukung Pengembangan Usaha Sapi Potong

Sumberdaya atau faktor-faktor produksi dalam usahatani terdiri dari : 1) la- han, 2) tenaga kerja, 3) modal, dan 4) manajemen (Soekartawi 1993). Mosher (1991) menambahkan input faktor produksi berupa bibit, pupuk dan obat-obatan. Menurut Tejojuwono (1997), dengan semakin sempitnya luas lahan yang dimiliki petani pedesaan diperlukan adanya kebijakan pemilikan lahan minimal untuk usahatani ternak agar petani ternak dapat hidup layak.

Tenaga kerja dalam usahatani berasal dari tenaga kerja : manusia (pria, wani- ta, dan anak-anak), ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia disetarakan ke dalam Tenaga Kerja Setara Pria (TKSP), satu tenaga kerja pria dewasa dihitung satu TKSP, satu tenaga kerja wanita dihitung 0,8 TKSP, dan satu tenaga kerja anak-anak dihitung 0,5 TKSP. Satu hari kerja setara pria (HKP/HOK) adalah satu tenaga kerja pria yang bekerja selama delapan jam, dan 25 hari kerja per bulan (Hernanto 1996). Penggunaan modal dalam usahatani-ternak dapat dibedakan menjadi modal tetap yang sering disebut sebagai modal investasi, dan modal tidak tetap atau modal kerja (Soekartawi 1993). Manajemen usahatani-ternak adalah kemampuan petani-ternak

menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang di- kuasai dan mampu memberikan produksi sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan manajemen adalah produktivitas dari setiap faktor produksi yang digu- nakan dalam usahatani-ternak yang dijalankan (Hernanto 1996).

Setiawan (2000) mengemukakan konsep LEISA (Low External Input Suisti- nable Agriculture) yang menekankan keterpaduan antar berbagai komponen dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara efisien, ekonomis dan ramah ling- kungan, aplikasi secara sederhana menjadi Integrated Farming System (IFS). Konsep ini melibatkan petani-ternak, pendekatan optimalisasi penggunaan bahan baku yang terdapat di lingkungan sekitar secara terpadu. Salah satu perusahaan yang sudah mempromosikan dan melaksanakan konsep ini secara komersial adalah CV Lembah Hijau Multifarm yang melibatkan komoditas ternak sapi sebagai penghasil pupuk dan Starbio. Penggunaan sumberdaya ditekankan pada efisiensi untuk meningkatkan pendapatan petani-ternak. Hasil penerapan IFS secara nyata mening- katkan penggunaan sumberdaya lokal, seperti jerami padi, pucuk tebu, kulit buah kakao, kulit buah kopi, serat sawit sebagai pakan ternak melalui proses fermentatif agar mempunyai nilai guna yang lebih baik.

Atmaja dan Atmadilaga (1980) melakukan kajian penggunaan sumberdaya usahatani-ternak ruminansia di enam kecamatan di daerah pengairan Jati Luhur, hasil- nya menunjukkan bahwa ternak ruminansia memegang peranan penting dalam mem- perluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan keluarga. Kontribusi usaha ternak terhadap pendapatan total petani sebesar Rp 195.070, adalah 24.5% per kepala keluarga per tahun dan dari kegiatan non-usahatani besarnya 23.9%. Kontribusi pendapatan keluarga dari usaha ternak sebesar 24,5%, dari no-usahatani sebesar 23,9%, dan dari usahatani tanaman sebesar 51,5% dari total pendapatan keluarga per tahun. Tenaga kerja yang dapat diserap oleh kegiatan usaha ternak sebesar 13%, dari kegiatan non-usahatani sebesar 11%, dan dari kegiatan usahatani tanaman sebesar 12%.

Penggunaan sumberdaya pemeliharaan ternak sapi dalam sistem usahatani pada berbagai topografi lahan di kabupaten Agam Sumatera Barat menunjukkan bahwa, pemanfaatan sumberdaya di tingkat petani belum optimal. Untuk dataran rendah kepemilikan lahan >0.5 ha penerapan pola usahatani solusi optimal mampu meningkatkan pendapatan petani-ternak sebesar 198.8% dibandingkan pola usahatani

konvensional. Untuk dataran tinggi kepemilikan lahan >0.5 ha, pola usahatani solusi optimal, pendapatan petani-ternak dapat ditingkatkan sebesar 197.2%. Untuk daerah pegunungan kepemilikan lahan >0.5 ha, pendapatan petani-ternak dapat ditingkatkan sebesar 181.4% dari pola usahatani yang biasa dijalankan dibandingkan pola usaha- tani konvensional (Boyon dan Arfa`i 1996).

Faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi pengembangan sapi potong ada- lah; (1) permintaan pasar terhadap daging sapi yang semakin meningkat, (2) keter- sediaan biomasa yang berasal dari limbah pertanian maupun perkebunan cukup besar, (3) tersedianya padang pangonan umum berupa savana, stepa dan tundra diluar Jawa, (4) tersedianya pulau-pulau yang masih kosong ternak dan potensial untuk pengem- bangan, dan (5) ketesediaan sumberdaya genetik ternak lokal yang sudah beradaptasi sangat baik dalam lingkungan lembab tropis. Kendala dan peluang pengembangan peternakan pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan strategi pengembangan sapi potong diwilayah tersebut (Diwyanto et al. 2005).

Menurut Tawaf dan Kuswaryan (2006), hambatan dalam pengembangan peternakan sapi potong rakyat antara lain adalah produktivitas yang sangat rendah yang ditunjukkan oleh : (1) kenaikan berat badan rendah berkisar 0,4 – 0,5 kg/ekor/hr, (2) skala usaha kecil (berkisar 2 – 4 ekor/petani), (3) pola pemeliharaan masih tradisional dengan input yang rendah (belum berorientasi ekonomi), dan (4) masih terkonsentrasi di daerah padat penduduk (pulau Jawa dan Bali). Diwyanto dan Priyanti (2006) melaporkan bahwa, ada beberapa kelemahan yang cukup mendasar dalam pengembangan sapi potong antara lain ; sumberdaya manusia yang kurang produktif dengan tingkat pendidikan yang rendah sehingga kurang mampu mengadopsi teknologi inovatif serta sulit untuk mengembangkan kelembagaan dan jaringan bisnis.

Menurut Yusdja et al. (2004), swasembada daging yang dicanangkan tahun 2000 dan berakhir 2004 tidak berhasil, disebabkan oleh beberapa kendala antara lain : (1) kebijakan program yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci, (2) program dan kegiatan yang dibuat bersifat top-down dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai, (3) strategi implementasi program tidak memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi komoditas unggulan, (4) implementasi program dan kegiatan tidak memungkinkan pelaksanaan evaluasi

dampak program, dan (5) program dan kegiatan tidak secara jelas memberikan dam- pak pada pertumbuhan populasi secara nasional.