PROGRAM DAN KEGIATAN A. Landasan Umum Program
D. Jenis Program
2. Program Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan
Program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan dilakukan secara bertahap berdasarkan prioritas yang dikenal sebagai penyakit strategis yaitu yang memiliki nilai ekonomi tinggi, memiliki eksternalitas tinggi dan berpotensi mengancam kesehatan masyarakat.
Program pengamatan-epidemiologis sangat diperlukan untuk mendukung program pengendalian atau pemberantasan melalui pelaksanaan surveilans aktif maupun pasif. Pengamatan ini untuk mengetahui tingkat kekebalan hewan sebagai hasil vaksinasi maupun pengujian sampel untuk peneguhan diagnosa, surveilans epidemiologis untuk kewaspadaan dini terhadap penyakit hewan menular eksotik seperti PMK, BSE, Nipah dan Hendra serta kajian ekonomi veteriner terhadap kerugian akibat penyakit hewan. Oleh karena itu dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dari 13 (tigabelas) jenis penyakit strategis terdapat 5 (lima) jenis penyakit yang mendapatkan prioritas dan perhatian khusus di tingkat nasional karena kerugian ekonomi dan dampak kesehatan masyarakat yang ditimbulkan. Ke-lima jenis penyakit yang mendapatkan prioritas dan perhatian khusus tersebut adalah :
a. Penyakit Keluron Menular (Brucellosis)
Program pengendalian dan pemberantasan untuk pembebasan secara bertahap dilakukan melalui kegiatan-kegiatan :
(1) Mengamankan dan terus dilakukan pengamatan di wilayah BPPV Regional III Bandar Lampung untuk mempertahan tetap bebas Brucellosis.
(2) Pengamatan (surveilans) yang dilakukan oleh Balai Besar Veteriner (BBVet)/Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional II Bukittinggi, dan BPPV Regional V Banjarbaru (untuk sapi potong) dan BBVet Wates (untuk sapi perah) untuk mengetahui prevalensi penyakit di
34
setiap daerah dengan basis kabupaten/kota sehingga diperoleh gambaran tingkat intensitas penyakit tersebut dan surveilans dalam rangka pembebasan. Kajian ekonomi akan dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data penyakit di lapangan dan untuk mengetahui dampak ekonomi sehingga dapat ditetapkan alternatif metoda pengendalian dan pemberantasan berdasarkan hasil analisa keuntungan dan kerugian.
(3) Perlu dikaji kemungkinan pemberatansan Brucellosis di Pulau Jawa pada sapi perah khususnya dan sapi potong umumnya dengan model kompartemen. (4) Pelaksanaan pemberantasan melalui kegiatan pemotongan bersyarat (Test
and Slaughter) terhadap ternak sapi potong yang menunjukkan positif dengan Complement Fixation Test (CFT). Pemerintah pusat akan terus mendorong agar pemerintah daerah dapat merencanakan dan menyediakan/menganggarkan biaya kompensasi melalui anggaran pusat (dana dekonsentrasi) dan dana daerah secara maksimal sesuai dengan jumlah ternak yang dipotong bersyarat.
(5) Memproduksi/menyediakan reagensia (MRT/RBT) untuk uji tapis (screening test) yang diperlukan oleh Pusvetma melalui anggaran dekonsentrasi untuk mensubsidi kebutuhan daerah, sedangkan kebutuhan vaksin RB.51 untuk sapi perah akan diarahkan secara swadaya oleh koperasi sapi perah bersama peternak.
(6) Penelitian dan pengembangan dalam produksi vaksin RB.51 oleh Pusvetma untuk mendorong Pusvetma agar dapat memproduksi vaksin Brucella RB.51 yang diperlukan untuk program pengendalian.
(7) Pelaksanaan pertemuan koordinasi pusat dan masing-masing wilayah/daerah setiap tahun untuk melakukan konsolidasi dan akselerasi serta mengevaluasi kegiatan yang dilakukan setiap tahun
(8) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap hasil pelaksanaan pengendalian dan pemberantasan Brucellosis.
b. Penyakit anjing gila (Rabies)
Dengan memperhatikan hasil-hasil yang dicapai selama kurun waktu 5 (lima) tahun yang lalu, maka program yang dilaksanakan untuk meningkatkan kegiatan pemberantasan adalah melalui kegiatan-kegiatan :
(1) Pertemuan koordinasi dalam rangka pengkajian kembali program pemberantasan rabies dengan berbasis pulau yang dilaksanakan di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi menjadi berbasis propinsi berdasarkan kajian data yang sahih dengan tanpa menunggu pembebasan per pulau. Data tersebut antara lain tentang cakupan vaksinasi dan eliminasi serta trend penurunan kasus positip rabies.
35
(2) Pelaksanaan pengawasan dalam rangka monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pengawasan lalu lintas HPR di instalasi karantina sebagai tempat pemasukan dan pengeluaran untuk mempertahankan dan pemantapan daerah bebas (historis dan yang dibebaskan)
(3) Pelaksanaan sosialisasi/public awareness untuk meningkatkan kepedulian dan peranserta masyarakat melalui pencetakan, pengiriman leaflet, brosur, poster dan pelaksanaan sosialisasi melalui berbagai media (cetak dan elektronik).
(4) Pertemuan Tim Koordinasi (TIKOR) Rabies dan monitoring ke propinsi/kabupaten tertular untuk meningkatkan koordinasi antar instansi terkait dan mengevaluasi perkembangan pelaksanaan program pengendalian dan pemberantasan rabies. Pertemuan koordinasi akan dilaksanakan di semua tingkat (pusat, per pulau, propinsi, kabupaten/kota sampai kecamatan) serta peningkatan kegiatan pemantauan/monitoring dan evaluasi.
(5) Pelaksanaan gerakan vaksinasi massal untuk meningkatkan cakupan vaksinasi HPR dan eliminasi anjing liar serta penelitian sebagai upaya untuk mengganti Strychnin sebagai bahan untuk eliminasi serta menyempitkan wilayah tertular secara berjenjang mulai dari kabupaten, kecamatan dan desa sampai dicapai status nol kasus.
(6) Pelaksanaan produksi ELISA Kit untuk uji antibodi rabies oleh Pusvetma. ELISA Kit tersebut diperlukan oleh BPPV serta produksi vaksin rabies sebagai stock pusat melalui anggaran proyek Pusat Veterinaria Farma. (7) Pelaksanaan surveilans epidemiologi rabies dan pengujian sampel terhadap
dugaan rabies oleh seluruh BBVet/BPPV Regional untuk peneguhan diagnosa dan mengevaluasi tingkat kekebalan sebagai hasil kegiatan vaksinasi (pre dan post vaksinasi) serta surveilans dalam rangka program pembebasan.
c. Penyakit Kolera Babi (Hog Cholera)
Kebijaksanaan operasional dalam pelaksanaan pemberantasan penyakit ini untuk membebaskan secara bertahap adalah diutamakan pada daerah-daerah sumber bibit babi baik untuk kebutuhan daerah sendiri maupun untuk kebutuhan daerah lain di dalam negeri serta mempunyai potensi untuk ekspor sebagai babi potong Dalam rangka pemberantasan Hog Cholera ini kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan adalah :
(a) Memproduksi vaksin di Pusvetma melalui anggaran proyek sebanyak 300 ribu dosis per tahun untuk memberikan subsidi vaksin bagi daerah yang melaksanakan program pemberantasan.
(b) Melaksanakan pengawasan di lokasi-lokasi instalasi karantina hewan khususnya daerah pengeluaran ternak babi potong dan bibit serta meningkatkan koordinasi dengan karantina hewan untuk mencegah penyebaran penyakit melalui lalu lintas hewan antar area dan mempertahankan daerah-daerah yang masih bebas.
(c) Pertemuan koordinasi antara pusat dan daerah yang bertujuan untuk koordinasi pelaksanaan pemberantasan serta meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan anggaran bagi pengadaan vaksin
36
maupun obat-obatan yang diperlukan untuk babi rakyat beserta operasionalnya dan tindakan-tindakan lainnya dalam rangka kewaspadaan maupun pengamanan terhadap penyakit ini
(d) Pelaksanaan surveilans epidemiologi dan monitoring oleh BPPV Regional I Medan, BPPV Regional V Banjarbaru, BBVet Maros dan BPPV Regional VI Denpasar ke daerah endemis serta pembinaan aspek kesehatan hewan dalam lingkungan peternakan.
d. Penyakit Influensa Unggas (Avian Influenza)
Sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka pengendalian dan pemberantasan wabah penyakit Avian Influenza (AI)/Flu Burung di Indonesia, strategi utama yang dilakukan pemerintah adalah melaksanakan vaksinasi.
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
(1) Melaksanakan vaksinasi massal unggas rakyat pada tahun 2005 dan tahun 2006 mendatang dengan dukungan oleh pemerintah pusat melalui anggaran pusat sebanyak 60 juta dosis beserta biaya operasionalnya serta anggaran dekonsentrasi dan anggaran daerah.
(2) Penambahan peralatan laboratorium Pusvetma untuk produksi vaksin, kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan vaksin yang memenuhi persyaratan OIE dan peningkatan sumberdaya manusia (SDM) khususnya di bidang produksi vaksin AI.
(3) Pelaksanaan surveilans dan monitoring oleh seluruh Balai Besar Veteriner dan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner khususnya untuk melakukan evaluasi pelaksanaan sentinel, identifikasi isolat dan karakterisasi virus yang akan digunakan sebagai masterseed isolat virus AI disamping pelaksanaan aktif surveilans di daerah tertular maupun di daerah yang masih bebas sebagai salah satu ketentuan untuk menuju pembebasan kembali tahun 2007.
(4) Peningkatan koordinasi antara pusat dan daerah (propinsi dan kabupaten/kota), karantina hewan, lembaga penelitian dan perguruan tinggi serta seluruh organisasi perunggasan khususnya dalam rangka akselerasi/konsolidasi serta evaluasi terhadap langkah-langkah strategis penanggulangan penyakit mulai dari peningkatan biosekuriti, vaksinasi, depopulasi, pengawasan lalu lintas unggas/produknya, surveilans serta tindakan strategis lainnya.
(5) Pengawasan lalu lintas khususnya terhadap unggas dan produk unggas pada instalasi-instalasi karantina hewan untuk mengadakan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan tindak karantina hewan.
e. Penyakit Radang Limpa (Anthrax)
Dengan ditetapkannya penyakit radang limpa (Anthrax) ini dari penyakit yang mendapatkan prioritas di daerah menjadi penyakit yang mendapatkan prioritas secara nasional, maka langkah-langkah kegiatan operasional strategis yang ditempuh adalah :
37
(1) Pelaksanaan pengamatan untuk lebih meningkatkan kewaspadaan dini terhadap kemungkinan munculnya kasus pada ternak khususnya di daerah endemis yang setiap tahun ada kecenderungan muncul kasus.serta terus memantau intensif daerah dan lokasi endemis yang ada.
(2) Pelaksanaan vaksinasi massal untuk mengoptimalkan cakupan vaksinasi setiap tahun pada ternak sapi, kerbau, kambing dan domba di lokasi-lokasi endemis anthrax.
(3) Penelitian untuk dapat menghasilkan vaksin yang lebih baik yaitu mempunyai potensi atau tingkat kekebalan yang cukup lama, aman terhadap semua jenis ternak dan murah.
(4) Memproduksi vaksin dalam jumlah cukup untuk kesiap-siagaan apabila terjadi wabah sebesar minimal sebesar 600 juta dosis dan untuk memberikan subsidi bagi daerah yang masih kekurangan vaksin
(5) Pelaksanaan pengawasan lalu-lintas ternak yang keluar dan masuk lokasi endemis bekerjasama dengan aparat karantina hewan. dan instansi lain terkait.
(6) Pelaksanaan pemeriksaan ternak sebelum maupun setelah ternak dipotong (ante/post mortum) di Rumah Pemotongan Hewan.
(7) Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya anthrax serta upaya penanggulangannya dengan bekerjasama seluruh instansi dan pihak lain terkait termasuk pemuka masyarakat/agama, LSM, kader desa melalui berbagai cara seperti pencetakan brosur, leaflet, spanduk, sosialisasi melalui berbagai media (elektronik dan cetak) serta pertemuan-pertemuan informal.
(8) Pertemuan Koordinasi untuk meningkatkan koordinasi dengan seluruh instansi terkait khususnya dengan Departemen Kesehatan beserta jajarannya sampai ke tingkat kecamatan/Puskesmas khususnya apabila dicurigai adanya kasus penularan pada manusia.
(9) Program pemberantasan SE khususnya yang telah dilaksanakan di Pulau Nusa Penida, Pulau Sumba dan Pulau.
f. Penyakit Septichaemia Epizootica (SE)
Program pemberantasan SE khususnya yang telah dilaksanakan di Pulau Nusa Penida, Pulau Sumba dan Pulau Sumbawa oleh pemerintah propinsi maupun kabupaten setempat dengan dukungan pemerintah pusat khususnya dalam subsidi pengadaan vaksin, sedang dan akan terus dilakukan program pemberantasan melalui pelaksanaan kegiatan vaksinasi secara massal dan intensif terhadap seluruh populasi terancam untuk menuju bebas. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan adalah :
(1) Penerbitan Keputusan Menteri Pertanian untuk menyatakan bahwa Pulau Nusa Penida pada tahun 2005 bebas SE setelah dilaksanakan surveilans selama 2 tahun berturut-turut oleh BPPV Regional VI Denpasar.
(2) Pelaksanaan vaksinasi SE secara massal dan intensif di Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba selama 2 (dua) tahun yaitu 2005 dan 2006
(3) Memproduksi vaksin SE di Pusvetma setiap tahun sebesar minimal 600.000 ribu dosis per tahun untuk memberikan subsidi vaksin sebesar
38
35.000 dosis untuk Pulau Sumbawa dan 100.000 dosis untuk Pulau Sumba serta subsidi bagi daerah endemis lainnya.
(4) Pelaksanaan surveilans secara aktif oleh BBVet/BPPV Regional khususnya di daerah-daerah yang melaksanakan program pemberantasan untuk mengetahui tingkat kekebalan vaksinasi dan epidemiologi penyakit.
(5) Pembuatan pedoman teknis surveilans dan pemberantasan SE dalam rangka pembebasan khususnya bagi propinsi yang merupakan bagian dari pulau seperti yang akan dilaksanakan oleh Propinsi Lampung dan Propinsi Banten.
g. Penyakit Jembrana
Kegiatan operasionalnya dalam melaksanakan program pengendalian penyakit jembrana agar penyebaran penyakit maupun kasus klinis dapat ditekan serendah mungkin adalah :
(1) Pelaksanaan peningkatan pengawasan dan pengaturan persyaratan lalu lintas sapi Bali antar wilayah/daerah melalui pembuatan peraturan lalu lintas ternak bibit.
(2) Penelitian dan pengembangan pembuatan vaksin rekombinan oleh BPPV Regional VI Denpasar sehingga mampu memproteksi ternak sapi Bali dari ancaman penyakit Jembrana
(3) Pelaksanaan kegiatan surveilans epidemiologis oleh BBVet/BPPV Regional di daerah penyebaran sapi Bali.
(4) Meningkatkan peran Pusvetma dalam mempersiapkan produksi vaksin Jembrana rekombinan skala usaha dengan peningkatan kualitas SDM dalam produksi vaksin serta perlengkapan peralatan produksi vaksin. h. Penyakit Infectious Bovine Rhinothracheitis (IBR)
Program yang dilaksanakan dalam pengendalian dan pemberantasan IBR dilakukan melalui kegiatan :
(1) Peningkatan kegiatan surveilans oleh BBVet/BPPV Regional khususnya pada lokasi-lokasi sumber bibit dan institusi pusat-pusat pembibitan (Balai Inseminasi Buatan dan Balai Embrio Transfer) di daerah untuk melakukan pengujian terhadap serum ternak pejantan secara teratur dan menyeluruh. Diharapkan melalui pengujian dan penyingkiran ternak bibit yang positif IBR tersebut pusat-pusat pembibitan ternak tersebut bersih dari reaktor IBR.
(2) Pembuatan Pedoman Teknis Surveilans dan Pengendalian IBR yang didahului dengan pengkajian bersama dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi mengenai IBR yang akan digunakan sebagai dasar kebijakan.
Dukungan Legislasi
Dalam melaksanakan program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan ini diperlukan dukungan legislasi antara lain: