1
RENCANA STRATEGIS
DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN
2015– 2019
2
KATA PENGANTAR
Kebijakan dan Program Kesehatan Hewan tidak hanya mendukung program Swasembada Daging melalui Program PSDSK dengan pendekatan penyakit (animal diseases approach) terkait dengan kesehatan Sapi dan Kerbau semata akan tetapi lebih luas lagi yaitu pendekatan kesehatan hewan secara menyeluruh (animal health approach).
Pendekatan kesehatan hewan tidak bisa hanya ditinjau dari aspek produksi atau ekonomi semata, akan tetapi perlu orientasi yang lebih bertumpu kepada aspek kesehatan dan kesejahteraan manusia sebagai sasaran akhir.
Dengan memperhatikan kedua hal diatas, serta adanya tantangan yang lebih besar dimasa mendatang khususnya bidang kesehatan hewan maka perlu disusun Rencana Strategis Direktorat Kesehatan Hewan tahun 2015-2019 sebagai acuan dalam melaksanakan tugas Direktorat Kesehatan Hewan yaitu mengendalikan penyakit hewan menular strategis dan penyakit zoonosis.
Didalam Rencana Strategis Direktorat Kesehatan Hewan tahun 2015-2019 berisi struktur kegiatan dan capaian kinerja Direktorat Kesehatan Heewan yang diharapkan dapat tercapai pada tahun mendatang.
3 BAB I
PENDAHULUAN A. Keadaan Umum
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Demikian bunyi pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945.pernyataan ini senada dengan diktum politik hukum universal yang disuarakan Cicero (106-43 SM) dalam De Legibus (Tentang Hukum), bahwa “Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi’ (Solus populi suprema lex est). Pemenuhan diktum ini akan mengukuhkan keberadaan dan hakiki negara dan pemerintahan apapun di mata rakyatnya.
Indonesia adalah salah satu Negara yang sedang mengejar target pemenuhan kualitas hidup sesuai standar MDGs, dimana salah satunya menyangkut ketercukupan gizi. Oleh karena itu maka untuk memenuhi target pemenuhan kecukupan gizi dari protein hewan menjadi tanggung jawab negara dengan dukungan kemitraan dari stakeholder yang lain. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengemban misi tersebut yang tentunya dengan seperangkat aturan baik dalam skala nasional (untuk menunjang kedaulatan pangan) maupun internasional (untuk menunjang perdagangan bebas yang adil).
Aspek lain yang turut mempengaruhi kondisi ketercukupan pangan di Indonesia adalah fenomena perubahan iklim yang dalam satu dekade terakhir ini tampak ekstrim. Bencana alam di suatu daerah termasuk akibat penyakit hewan menular khususnya zoonosis di wilayah ring of fires sewaktu-waktu dapat terjadi.
Lebih jauh lagi, sejak pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan Marrakesh mengenai ketentuan-ketentuan dalam perdagangan bebas (free trade), maka sebagai negara berkembang, Indonesia bersama dengan negara-negara maju lainnya turut menaati larangan menggunakan hambatan teknis dalam perdagangan (technical barrier trade).
Berdasarkan hal tersebut, urusan kesehatan hewan menjadi strategis dalam pemeliharaan, pengangkutan, pemotongan, pemerahan susu dan penyebaran hewan/ternak dan bahan asal hewan/ternak.
Dalam rangka penerapan kebijakan Sanitary and Phytosanitary (SPS) disepakati bahwa diperlukan harmonisasi, equalisasi atau perlakuan yang sama. Oleh karena itu setiap negara wajib membuat persyaratan hewan/ternak dan produk/bahan asal hewan/ternak yang diperdagangkan melalui harmonisasi
Urusan kesehatan hewan menurut undang-undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan meliputi pengamatan dan penyidikan, pengobatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan, pelayanan kesehatan hewan, sarana dan prasarana kesehatan hewan serta penelitian dan pendidikan tenaga kesehatan hewan, dan urusan yang berkaitan dengan kesehatan manusia (penyakit zoonotik) dan lingkungan.
Dalam rangka menyediakan produk daging, susu dan telur yang aman (safe), sehat (sound), dan utuh (wholesomeness), kesehatan hewan mempunyai peranan yang strategis sejak di peternakan (pemeliharaan), pengangkutan, pemotongan/pemerahan susu dan pengangkutan/distribusi sampai di meja konsumen (from farm to table concept). Oleh karena
4
itu, pemberantasan penyakit hewan menular khususnya penyakit zoonosa merupakan urusan wajib bagi pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
Sampai saat ini Indonesia telah berhasil membebaskan wilayah Indonesia dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Rinderpest, dan membebaskan sebagian wilayah dari penyakit Rabies (Jawa), penyakit ngorok (SE), penyakit keguguran (Brucellosis).
Hingga saat ini urusan kesehatan hewan sebagian besar masih ditangani oleh pemerintah pusat dan respon yang belum optimal dari pemerintah provinsi, Kabupaten/Kota karena urusan kesehatan hewan tidak merupakan urusan wajib, maka masuknya, berkembangnya, penyebaran penyakit hewan dan zoonosis tidak terbendung lagi.
Dalam rangka menyusun Dokumen Rencana Strategis Direktorat Kesehatan Hewan, berikut ini disajikan dari isu isu strategis hasil evaluasi kondisi umum kesehatan hewan di Indonesia dan aspirasi masyarakat tentang pelayanan publik kesehatan hewan.
1. Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan Hewan
Dalam rangka melindungi wilayah Indonesia dari masuknya, berkembangnya, menyebarnya penyakit hewan menular ke wilayah yang masih bebas maka diterapkan kebijakan karantina hewan, upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan strategis, pelarangan impor hewan/hasil/produk hewan/ternak dari luar negeri diterapkan kebijakan perlindungan hewan dan kesiagaan darurat untuk peningkatan kelembagaan dan sumber daya kesehatan hewan serta pengawasan obat hewan yang diimpor/diproduksi/di gunakan di Indonesia.
Upaya yang dilakukan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota telah memberikan hasil, namun karena berbagai sebab diantaranya hambatan karena penerapan otonomi yang masih belum menunjang urusan kesehatan hewan baik di pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota. Kurangnya dukungan pemerintah provinsi, kabupaten/kota dalam urusan kesehatan hewan diantaranya kurangnya tenaga kesehatan hewan (Dokter Hewan dan, Paramedik), sarana operasional kesehatan hewan dan penyediaan dana APBD yang belum memadai karena urusan kesehatan hewan belum menjadi urusan wajib bagi provinsi/ kabupaten/kota.
Berdasarkan hal tersebut, rencana strategis Direktorat Kesehatan Hewan disusun berdasarkan azas efisiensi, efektifitas dan eksternalitas secara prioritas. Untuk penyakit hewan yang tidak bersifat lintas batas kabupaten/kota dimasukkan dalam urusan kesehatan hewan kabupaten/kota karena akan lebih efisien dan efektif. Untuk menanggulangi penyakit hewan yang menyebar dan berkembang lebih dari satu di kabupaten/kota akan lebih efektif dan efisien kalau ditanggulangi oleh provinsi. Adapun untuk penyakit hewan menular dan menyebar lebih dari satu provinsi ditangani oleh pemerintah pusat.
Urusan mencegah masuknya penyakit hewan baru (New emerging disease) atau penyakit hewan yang sudah berhasil dibebaskan di seluruh wilayah Indonesia serta kesiagaan darurat menghadapi kemungkinan mewabahnya penyakit baru tersebut tetap menjadi urusan pusat. Oleh karena itu pemerintah pusat wajib meningkatkan kelembagaan dan sumber daya kesehatan hewan pusat termasuk balai-balai besar penyidikan penyakit
5
hewan/veteriner, balai pengujian mutu obat hewan masih menjadi urusan pusat u.p. Direktorat Kesehatan Hewan sebagai otoritas veteriner tingkat pusat.
2. Aspirasi masyarakat terhadap Kesehatan Hewan
Kesadaran masyarakat atas pentingnya protein hewani untuk kecukupan gizi dan pentingnya kesediaan dan keamanan pangan asal hewan juga cukup tinggi terbukti dengan disahkan Undang Kesehatan Nomor 18 Tahun 2009 dan Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996.
Kejadian wabah penyakit hewan menular strategis merupakan hal penting sebagai urusan kesehatan hewan ditangani oleh pemerintah pusat bersama-sama pemerintah propinsi/kabupaten/kota maupun antar Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian lainnya.
Dengan semakin tingginya aspirasi masyarakat terhadap impor maka Kementerian Pertanian mengeluarkan suatu program prioritas yaitu program swasembada sapi kerbau, dan Direktorat Kesehatan Hewan mendapat mandat status kesehatan hewan yang kondusif untuk pengembangan
Dalam rangka penyusunan rencana strategi kesehatan hewan aspirasi masyarakat yang telah dituangkan dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Nomor, UU Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan UU terkait lainnya wajib dipertimbangkan dalam penyusunannya.
A. Potensi dan Permasalahan 1. Potensi Internal
a. Kekuatan
1. Landasan hukum untuk pembangunan Kesehatan Hewan, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan memiliki kewenangan merumuskan norma, standar, pedoman, dan kriteria di bidang kesehatan hewan.
2. Rencana Stategis Pengendalian Zoonosis, yang secara substansial aspek kesehatan hewan menjadi bagian dalam nota kerjasama antara Kementerian Pertanian c.q. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kementerian Kesehatan untuk penanggulangan Zoonosis. 3. Tersedianya Pedoman Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan yang ditetapkan
melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 64/Permentan/OT.140/9/2007.
4. Tersedianya Pedoman pelayanan Jasa Medik Vetriner yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Permentan/OT.140/1/2010
5. Peraturan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2011 tentang Pedoman Pelayanan Veteriner untuk penyelenggaraan pelayanan veteriner.
6
1. Pada aspek pengawasan, kualitas, kuantitas dan transparansi kinerja unit operasional yang dapat menunjang tercapainya tujuan rencana strategis serta good governance masih lemah.
2. Pada aspek teknis, salah satu faktor yang menghambat adalah kesehatan hewan pada tatanan sektor pertanian tidak bersifat mandatory dan di tingkat nasional struktur lembaga veteriner menjadi bagian dari Kementerian Pertanian yang cakupannya sangat luas, sehingga menyebabkan keterbatasan dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan penganggarannya.
3. Kualitas sumberdaya manusia khususnya di bidang kesehatan hewan dan struktur organisasi dinas di daerah yang bervariasi menjadi masalah sarana dan prasarana kesehatan hewan yang belum terakreditasi seluruhnya.
4. Budaya politik pimpinan daerah yang belum sepenuhnya mendukung pelaksanaan penanggulangan kejadian/wabah penyakit hewan, penyediaan dan akses data penyakit hewan yang masih sangat terbatas,
5. Pemberantasan penyakit hewan masih menemui hambatan, terutama penyakit-penyakit yang bersifat sporadis dan belum dapat dibebaskan.
6. Belum tuntasnya penyusunan peraturan pemerintah sebagai mandat dari UU No. 18 Tahun 2009 merupakan permasalahan yang serius.
2. Potensi Eksternal a. Peluang
1. Perubahan lingkungan strategis global dan regional ternyata sangat berpengaruh dan menjadi peluang terhadap peningkatan akses pembangunan kesehatan hewan.
2. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan, sehingga sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai batas alam yang jelas dan sekaligus dapat berperan sebagai barrier penyebaran penyakit hewan.
3. Sanitary and Phytosanitary (SPS), Harmonisasi Sistem dan Standar serta manajemen resiko merupakan pengalaman penting yang dapat dipetik dan diperhatikan di masa datang.
4. Dukungan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 yang terkait dengan otoritas veteriner, dapat menjadi peluang tetapi harus didahului dengan penguatan institusi secara internal.
5. UU No. 6 Tahun 1962 tentang Wabah, UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis merupakan dukungan legislasi dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit hewan.
6. Pembentukan Komisi Nasional Zoonosis, memberikan peluang untuk dapat tertanggulanginya zoonosis secara maksimal.
7. Perkembangan industri peternakan akan memacu Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma) untuk mengembangkan dan memproduksi berbagai sediaan biologik (vaksin, sera dan bahan diagnostika) dan Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang telah terakreditasi di tingkat ASEAN mengembangkan fungsinya sebagai pusat pengujian mutu obat hewan di Indonesia dan ASEAN.
7
1. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang belum berjalan secara optimalmenyebabkan kelembagaan veteriner di daerah tidak terstruktur dengan baik, sehingga pelayanan veteriner tidak terselenggara dalam satu garis komando, yang menimbulkan lemahnya koordinasi dalam rangka penanggulangan penyakit hewan.
2. Belum efektinya kerjasama dan koordinasi lintas sektor ataupun antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
3. Kondisi budaya politik yang kurang mendukung pelaksanaan penanggulangan penyakit hewan, misalnya pada saat terjadinya wabah penyakit hewan dimana kepala daerah merasa malu jika daerahnya dinyatakan tertular/terjadi wabah penyakit hewan.
4. Perkembangan global khususnya di bidang perdagangan internasional komoditas ternak, pada kondisi saat ini dapat menimbulkan ancaman bagi Indonesia terkait dengan persaingan bebas.
5. Masuknya penyakit eksotik ke Indonesia merupakan suatu ancaman tersendiri yang memerlukan antisipasi yang maksimal dengan penerapan kajian analisa risiko.
6. Muncul dan menyebarnya penyakit hewan menular di negara lain dan tidak mengenal batas negara (transboundary disesases) memerlukan tindakan pengendalian dan pengamanan. Pengendalian penyakit hewan “transboundary” bukan hanya tantangan teknis, tetapi juga merupakan tantangan manajemen sumberdaya, tantangan hubungan masyarakat dan tantangan manajemen informasi serta yang lebih penting lagi adalah tantangan dan rencana menghadapi kesiagaan darurat (Emergency Preparedness dan Emergency Plan). 7. Meningkatnya arus wisatawan dari manca negara yang belum ditunjang dengan
peningkatan jumlah maupun mutu sumberdaya manusia yang mengawasi serta sarana pengawasan khususnya di garis terdepan (karantina hewan) akan menjadi ancaman masuknya penyakit hewan.
B. Isu-Isu Strategis
1. Direktorat Kesehatan Hewan Dalam Upaya Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan
a. Mempertahankan daerah bebas PHM
Pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Kesehatan Hewan telah berhasil membebaskan seluruh wilayah Indonesia dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Rinderpest. Selain itu, pada sebagian wilayah, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan DKI Jakarta juga telah terbebas dari penyakit Rabies. Demikian pula, penyakit Ngorok (SE), penyakit Influenza (H1N1), dan penyakit Keguguran (Brucellosis) yang tertangani dengan baik menjadi sebuah prestasi Direktorat Keswan yang perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan.
Mempertahankan dan meningkatkan keamanan hewan dari penyakit—termasuk penyakit eksotik dari luar negeri, menjadi tindakan nyata Ditkeswan demi menghindari timbulnya keresahan masyarakat atas apa yang mereka makan dan apa yang menjadi penopang ekonomi rumah tangga. Sebagai contoh, PMK merupakan penyakit endemik di kawasan ASEAN. Untuk itu upaya pengamatan (surveillance) di
8
daerah yang beresiko tinggi pergerakan virusnya seperti di wilayah perbatasan perlu digencarkan.
b. Pembebasan wilayah dari penyakit hewan menular
Direktorat Kesehatan Hewan dalam melaksanakan kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan secara bertahap dan berdasarkan prioritas penyakit terutama penyakit yang berdampak pada kerugian ekonomi, eksternalitas tinggi, dan mengancam kesehatan masyarakat. Kegiatan pengamatan atau surveilans baik aktif maupun pasif sangat diperlukan untuk mendukung program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan.
Informasi berdasarkan pengamatan terkait dengan prevalensi penyakit di setiap daerah akan menggambarkan tingkat intensitas penyakit tersebut. Ketentuan pengamatan dan pengawasan ini menggunakan standar Teresterial Animal Health Code—OIE. Di Indonesia beberapa pengamatan telah dilakukan seperti, monitoring pasca vaksinasi untuk penyakit Anthrax dan Rabies; Deteksi dini, penentuan subtipe, monitoring pasca vaksinasi, epidemiologi molekuler, sentinel dan kompartemen/zona bebas untuk pengawasan penyakit Avian Influenza; Penentuan prevalensi atau zonasi, pemotongan reaktor, monitoring vaksinasi untuk pengamatan penyakit Brucellosis; Pengambilan sampel otak dari rumah potong hewan atau hewan yang menunjukkan gejala syaraf untuk pengamatan penyakit BSE; Pengambilan sampel darah untuk pengamatan penyakit PMK; dan sebagainya
c. Pencegahan masuknya penyakit eksotik
Kebijakan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan dalam rangka mencegah masuknya penyakit hewan eksotik, dilaksanakan melalui; penolakan penyakit hewan eksotik; penerapan standar baku importasi hewan; penerapan analisis resiko; kesiagaan darurat veteriner Indonesia (KIATVETINDO); dan peningkatan kepedulian masyarakat (public awareness).
Prinsip pencegahan masuknya penyakit hewan eksotik menjadi tanggung jawab pemerintah pusat untuk menentukan kebijakan yang mampu menangkal setiap ancaman penularan dari luar negeri terkait dengan penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria.
Untuk kewaspadaan terhadap potensi masuknya penyakit eksotik dan penyakit hewan menular lainnya dari negara lain, diperlukan kerjasama bilateral sebagaimana yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia dengan beberapa negara tetangga melalui kerjasama bilateral dan multilateral mengenai kesehatan hewan dan terhadap beberapa negara pengekspor lainnya
2. Direktorat Kesehatan Hewan Dalam Konteks Perdagangan
a. Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT)
Kesadaran akan manfaat pola perdagangan internasional bagi kesejahteraan penduduknya mendorong sejumlah negara membentuk organisasi ekonomi di tingkat regional dan internasional. Untuk kelancaran perdagangan tersebut telah
9
disusun perjanjian perdagangan hewan dan produknya yang disepakati antar negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)—sebagai penerima mandat dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE)—dalam bentuk perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS).
Konteks perdagangan bebas maupun SPS diarahkan menuju pengurangan hingga penghapusan hambatan-hambatan perdagangan (Technical Barrier to Trade). Namun di satu sisi, dari aspek kesehatan hewan, meningkatnya lalu lintas hewan (animal mevement) dan produknya akan membawa risiko masuknya penyakit hewan ke wilayah Indonesia.
Indonesia harus dapat memanfaatkan sebanyak mungkin perjanjian SPS untuk meningkatkan ekspor dan mengendalikan arus impor serta berhak untuk melakukan verifikasi terhadap seluruh data/informasi terkait berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan hewan dari negara pengimpor.
Pada dasarnya perdagangan internasional tidak mungkin dilakukan dengan “risiko nol” (zero risk) sehingga apabila Indonesia ingin memasukkan komoditi tertentu dari negara lain tetap harus melakukan prosedur yang ditetapkan oleh OIE dan perjanjian SPS tentang analisa risiko. Selanjutnya analisa risiko menjadi alat bagi pemerintah untuk menyetujui atau menolak usulan importasi. Dalam hal ini pemerintah harus menetapkan tingkat risiko yang dapat diterima (acceptable level of risk) atau tingkat proteksi sanitary yang masih dapat diterima (appropriate level of sanitary protection) sebagai acuan dalam penerimaan perdagangan.
b. Harmonisasi system number dan equalisasi kebijakan kesehatan hewan untuk persyaratan kesehatan hewan yang diperdagangkan
Selain penerapan analisa risiko, perjanjian SPS juga mengatur mengenai pentingnya harmonisasi, ekuivalensi, transparansi dan adanya perlakuan yang sama terhadap produk dalam negeri.
Kebijakan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan dalam rangka mencegah masuknya penyakit hewan eksotik, dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui penolakan penyakit hewan eksotik, penerapan standar baku importasi hewan, penerapan analisis resiko, kesiagaan darurat veteriner Indonesia (KIATVETINDO) dan peningkalan kesadaran dan kepedulian masyarakat (public awareness).
Untuk kewaspadaan terhadap potensi masuknya penyakit eksotik dan penyakit hewan menular lainnya dari negara lain, diperlukan kerjasama bilateral sebagaimana yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia dengan beberapa negara tetangga melalui kerjasama bilateral dan multilateral mengenai kesehatan hewan juga telah dilakukan dengan beberapa negara pengekspor yang lain.
10 c. Tersedianya obat hewan yang aman dan kualitas, serta peningkatan potensi
ekspor
Dengan semakin berkembangnya usaha peternakan yang dikelola secara intensif khususnya untuk keperluan ekspor, menuntut tersedianya obat hewan yang berkualitas prima. Obat semacam ini proses produksinya menerapakan sistem standarisasi akreditasi dan sertifikasi mutu. Aspek khasiat (efficacy) dan keamanan (safety) menjadi pertimbangan utama dalam penyediaan dan penggunaan obat hewan, baik bagi hewan/ternaknya sendiri maupun bagi masyarakat yang mengkonsumsi produk ternak.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, di tahun mendatang perlu reorientasi penciptaan iklim standarisasi di bidang industri obat hewan. Standarisasi akan memberikan jaminan mutu (quality assurance) bagi produk obat hewan yang dihasilkan. Dengan pola ini persiapan kelengkapan perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware) dapat mendukung Indonesia memasuki era perdagangan bebas.
Salah satu rambu pengaman dan sebagai salah satu bentuk sistem pengawasan kualitas obat hewan secara dini adalah melalui metode Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB). Dengan menerapkan CPOHB maka mutu obat hewan dalam negeri memiliki daya saing yang baik dan terjamin. Hal yang sama berlaku bagi obat impor, karena diharapkan dapat membatasi membanjirnya pasar produk impor di Indonesia dalam era pasar global. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah Produsen Obat Hewan di Indonesia mencapai sekitar 60 perusahaan. Sebanyak 25 perusahaan telah mendapat sertifikat CPOHB.
Penilaian dokumen penerapan CPOHB akan dilaksanakan oleh Panitia Penilai CPOHB yang merupakan tim ahli yang independen. Pembentukannya didasarkan atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 298/Kpts/OT.160/5/2007. Anggota Panitia Penilai CPOHB tersebut berasal dari unsur Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Perguruan Tinggi, Badan Pengawas Obat dan Makanan dan para pakar dibidang CPOHB.
3. Kelembagaan dan Sumber Daya Direktorat Kesehatan Hewan
Dalam rangka memenuhi kekurangan jumlah sumber daya manusia di bidang kesehatan hewan, telah dilakukan rekruitmen tenaga harian lepas (THL) medik dan paramedik (sejak tahun 2006) untuk ditempatkan di Puskeswan ataupun instansi pemerintah di bidang kesehatan hewan lainnya. Selain itu, dalam rangka peningkatan kompetensi petugas kesehatan hewan dalam melakukan pelayanan kesehatan hewan di lapangan khususnya untuk mendukung pencapaian target swasembada daging, telah dilakukan Bimbingan Teknis Penanggulangan Gangguan Reproduksi sejak tahun 2009.
Isu aktual SDM meliputi jumlah dan kompetensi petugas teknis kurang, sebaran SDM belum sesuai kebutuhan/merata, standarisasi kompetensi petugas teknis belum ada, pejabat fungsional belum maksimal terkait tugas dan fungsinya. Isu Kelembagaan meliputi Struktur organisasi di daerah semakin melemah, Peran dan fungsi kelembagaa keswan kurang optimal, Jumlah dan penyebaran puskeswan masih sangat kurang dan Sarana dan prasarana kelembagaan, system kinerja terintegrasi belum optimal.
11
Untuk itu, sekurang-kurangnya terdapat tiga hal yang menjadi fokus ‘kelembagaan dan sunberdaya Direktorat Kesehatan Hewan, meliputi:
a. Penguatan dan Pengembangan kelembagaan Otoritas veteriner. b. Kurangnya sumber daya manusia bidang kesehatan hewan.
c. Partisipasi masyarakat dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan.
4. Direktorat Kesehatan Hewan Dalam Konteks Zoonosis a. Penerapan prinsip One Health
One Health adalah upaya kerjasama dari berbagai disiplin ilmu, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global untuk mencapai kesehatan yang optimal baik bagi manusia, hewan, dan lingkungan kita. Penerapan konsep one health mengarah pada zoonosis, dimana aspek kesehatan hewan menjadi sektor terdepan (leading sector). Contohnya, upaya penanggulangan penyakit rabies di propinsi Bali, penanganan HPR, vaksinasi HPR, eliminasi tertarget, dan sterilisasi dengan memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan hewan (kesrawan) oleh sektor kesehatan hewan dan penanganan korban gigitan HPR pada manusia oleh sektor kesehatan manusia dengan membangun Rabies Center.
b. Pengamanan dan antisipasi bahan biologik yang berbahaya
Sebagai tindak lanjut diterbitkannya Undang-undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan maka saat ini sedang disusun Peraturan Menteri Pertanian mengenai (1) Distribusi sediaan premiks; (2) Larangan menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia; (3) Pembuatan sediaan biologik yang penyakit dan/atau biang isolatnya tidak ada di Indonesia wajib memenuhi persyaratan keamanan hayati yang tinggi; (4) Pemasukan dan pengeluaran obat hewan dari dan ke luar negeri; dan (5) Peraturan Tata Cara Pendaftaran Produk Rekayasa Genetik (PRG) Untuk Vaksin Hewan Tahun 2010 (Draf Peraturan Tata Cara Pendaftaran Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Vaksin Hewan sudah disampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan sejak bulan November 2010)
Adapun peraturan bidang obat hewan yang telah diterbitkan sebagai upaya pengamanan atau antisipasi terhadap bahan biologik yang berbahaya adalah :
1. Diterbitkannya Surat Edaran Menteri Pertanian No. 3345/kpts/LB450/7/2011, tentang Ketentuan Peredaran Vaksin Avian Influenza (AI) di Indonesia dan Surat Edaran Menteri Pertanian No. 660/LB.450/M/12/2011, tentang Revisi Ketentuan Peredaran Vaksin Avian Influenza (AI) di Indonesia.
2. Diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan dan kesehatan Hewan No.30059/HK.340/F/11/11 tentang Pelarangan Peredaran dan Penggunaan Obat-Obat Kelompok Beta Agonist 2 dan Turunannya di Indonesia.
c. New Emerging dan re-emerging zoonosis
Pertumbuhan populasi manusia dan hewan semakin cepat. Hal ini ditengarai dengan arus urbanisasi yang meningkat, ekosistem berubah. dan arus globalisasi
12
perdagangan hewan dan produk-produk hewan juga meningkat. Konsekuensinya, penyebaran lintas batas negara penyakit menular yang baru muncul (new emerging diseases) dan/atau timbul kembali (re-emerging diseases) diyakini terjadi. Diperkirakan 75% penyakit baru ini adalah penyakit zoonosis. Dampak dari globalisasi dan perubahan iklim (Climate change) juga menjadi faktor munculnya penyakit-penyakit re-emerging zoonosis.
Untuk menghadapi situasi yang krusial ini maka penguatan sistem pengamatan dan pengawasan (surveillance) yang terstruktur dan berkelanjutan sebagai tindakan kewaspadaan dini perlu diupayakan maksimal.
5. Direktorat Kesehatan Hewan Dalam Konteks Peraturan
Kerugian ekonomi yang tinggi dan keresahan batin masyarakat sebagai dampak serangan penyakit hewan menular dan zoonosis menimbulkan instabilitas dalam perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari kurangnya peran dan fungsi veteriner—khususnya dalam pelayanan kesehatan hewan yang tidak optimal.
Kondisi tersebut terjadi karena belum adanya sistem kelembagaan veteriner yang kuat, lemahnya pengembangan sumber daya kesehatan hewan, belum efektifnya tatanan kerja yang terstruktur antar lembaga/unit pelayanan teknis kesehatan hewan mulai dari pusat sampai ke daerah. Bahkan sampai dengan pelayanan tingkat lapangan yang menyentuh masyarakat (Pusat Kesehatan Hewan) sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan hewan belum berfungsi secara efektif.
Di sisi lain, kepedulian dan partisipasi aktif masyarakat yang merupakan faktor kunci untuk mewujudkan penjaminan status kesehatan hewan belum digerakkan secara optimal. Hal ini menunjukkan kinerja koordinasi, sosialisasi, dan advokasi terkait aspek pelayanan veteriner belum secara intensif dilaksanakan.
Dalam konteks permasalahan di atas, ada tiga hal penting yang perlu menjadi landasan berpikir, yakni pertama, menjadikan sumberdaya hewan bernilai strategis dalam upaya mencerdaskan bangsa, meningkatkan pendapatan dan peluang kerja, serta memperkuat ekonomi bangsa. Kedua, dalam pemanfaatan sumberdaya hewan beserta seluruh aspek pendukungnya secara berkesinambungan perlu pengaturan dengan mempertimbangkan berbagai faktor internal dan eksternal yang bersifat strategis. Ketiga, pengaturan melalui undang-undang dan turunannya dapat melindungi para pemangku kepentingan di bidang peternakan dan kesehatan hewan; masyarakat luas; lingkungan dan bangsa Indonesia baik secara nasional maupun internasional.
13
BAB II
VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN KESEHATAN HEWAN A. Visi
Mewujudkan Direktorat Kesehatan Hewan yang profesional, modern, maju, efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan hewan menuju status kesehatan hewan yang ideal.
B. Misi
1. Melindungi manusia/masyarakat dari resiko yang berkaitan dengan hewan dan produknya (aspek kesehatan dan kesejahteraan manusia sebagai sasaran akhir) dan memberikan sumbangan baru bagi ilmu pengetahuan biologik dan medik.
2. Melindungi hewan dari penyakit yang mengancam kelestarian sumberdaya hewan dan lingkungan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Melindungi ekosistem serta mempertahankan kelestarian sumberdaya genetik.
4. Memberikan jaminan kesehatan hewan untuk mendukung kestabilan usaha bidang peternakan dan kesehatan hewan yang berdaya saing dan berkelanjutan dengan menggunakan sumberdaya lokal.
5. Meningkatkan sistem pelayanan kesehatan hewan yang maju dan terarah bertumpu pada teknologi modern
6. Meningkatkan profesionalisme, kesisteman, penganggaran, kelembagaan, sarana dan prasarana.
C. Tujuan
1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan hewan.
2. Meningkatkan kepedulian dan partisipasi aktif masyarakat terhadap kesehatan hewan dan biosekuriti.
3. Meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kredibilitass monitoring, surveilans, penyidikan dan pengujian serta diagnosa penyakit hewan.
4. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular.
5. Meningkatkan kapabilitas kesiagaan darurat terhadap penyakit hewan menular dan eksotik.
6. Meningkatkan jaminan mutu dan ketersediaan komoditas hewan dan obat hewan. 7. Meningkatkan status kesehatan hewan nasional.
D. Sasaran
1. Indonesia tetap bebas PMK dan bebas penyakit eksotik lainnya, 2. Bagian wilayah Indonesia bebas penyakit strategis,
3. Pengamanan dan Penanganan Penyakit Hewan Baru (New Emerging Animal Disease) dan Muncunya lagi Penyakit Hewan dan (Re-Emerging Animal Disease),
4. Penguatan Sistem Pengamatan dan Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional, 5. Pemantapan Kelembagaan dan Sumber Daya Lembaga,
6. Peningkatan Jaminan Mutu dan Kapasitas Produksi Obat Hewan Indonesia, 7. Pemantapan regulasi.
14 BAB III
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI
A. Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Pertanian 1. Arah Kebijakan Kementerian Pertanian
Arah kebijakan pembangunan pertanian, antara lain yaitu:
a. Melanjutkan dan memperkuat kegiatan yang berorientasi pemberdayaan masyarakat dan rekruetmen tenaga pendamping lapang guna mempercepat pertumbuhan industri pertanian di perdesaan.
b. Pemantapan swasembada beras, jagung, daging ayam, telur, dan gula melalui peningkatan produksi yang berkelanjutan.
c. Pencapaian swasembada kedelai, daging sapi dan industri gula.
d. Peningkatan produksi susu segar, buah lokal, dan produk-produk substitusi komoditas impor.
e. Penguatan kelembagaan perbenihan dan perbibitan nasional.
f. Pemberdayaan masyarakat petani miskin melalui bantuan sarana, pelatihan dan pendampingan.
g. Pembangunan kawasan komonitas terpadu secara vertikal dan/atau horizontal dengan konsolidasi usaha tani produktif berbasis lembaga ekonomi masyarakat yang berdaya saing tinggi di pasar lokal dan internasional.
h. Peningkatan perlindungan dan pendayagunaan plasma nutfah nasional.
2. Strategi Kementerian Pertanian
Dalam pelaksanaan pembangunan pertanian berfokus pada 4 pilar utama: a. Swasembada dan swasembada berkelanjutan,
b. Peningkatan Diversifkasi Pangan,
c. Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Ekspor, d. Peningkatan kesejahteraan petani/peternak.
Untuk melaksanakan tugas tersebut selama periode 2015-2019, strategi yang akan ditempuh Kementerian Pertanian dilakukan melalui penerapan tujuh Gema Revitalisasi, yaitu : (i) Revitalisasi Lahan; (ii) Revitalisasi Perbenihan dan Perbibitan ; (iii) Revitalisasi Infrastruktur dan Sarana; (iv) Revitalisasi Sumber Daya Manusia; (v) Revitalisasi Pembiayaan Petani; (vi) Revitalisasi Kelembagaan Petani, serta (vii) Revitalisasi Teknologi dan Industri Hilir.
Ketujuh Gema Revitalisasi pembangunan tersebut, menjadi acuan pada kebijakan dan strategi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam memfasilitasi program dan kegiatan Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2015-2019
15 B. Arah Kebijakan dan Strategi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Sebagai bagian dari 12 program yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengemban satu program yaitu Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Peningkatan Penyediaan Pangan Hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal.
1. Arah Kebijakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Pembangunan peternakan dan kesehatan hewan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan nasional seperti yang telah dituangkan dalam RPJMN 2015-2019, yang menyatakan bahwa pembangunan Ketahanan Pangan menjadi prioritas yang kelima. Sesuai dengan hasil KTT Pangan 2009, yang antara lain menyepakati untuk menjamin pelaksanaan langkah-langkah mendesak pada tingkat nasional, regional, dan global untuk merealisasikan secara penuh komitmen Millenium Development Goals (MDGs), yaitu komitmen: pro poor, pro growth, pro job; dan pelestarian lingkungan hidup.
Dengan mengacu pada RPJMN, arah kebijakan umum pembangunan peternakan dan kesehatan hewan 2015-2019adalah untuk : (i) menjamin ketersediaan dan mutu benih dan bibit ternak; (ii) meningkatkan populasi dan produktifitas ternak; (iii) meningkatkan produksi pakan ternak; (iv) meningkatkan status kesehatan hewan; (v) menjamin keamanan produk hewan; dan (vi) meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat. Pada aspek status kesehatan hewan diarahkan untuk : (i) meningkatkan perlindungan hewan, pengamatan penyakit hewan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan; (ii) peningkatan pelayanan kesehatan hewan; (iii) meningkatkan kualitas dan kuantitas obat hewan; (iv) meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga dokter hewan dan paramedik veteriner.
2. Strategi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Strategi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam melaksanakan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan tahun 2015-2019 diarahkan untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam pembangunan peternakan sesuai dengan target empat sukses Kementerian Pertanian yaitu Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. Selain itu, dalam mencapai target tersebut, juga diacu kesepakatan dalam General Agreement on Tarif and Target (GATT) yang diwadahi oleh WTO, dengan salah satu kesepakatannya memuat Agreement on Agriculture, termasuk didalamnya terkait perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT) seperti yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 2004. Prinsipnya dalam perjanjian tersebut, maka produk dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan sub sektor peternakan dan kesehatan hewan harus memenuhi persyaratan keamanan (safety), standard mutu (quality), kesejahteraan hewan (animal walfare), ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Memperhatikan target empat sukses Kementerian Pertanian, yaitu Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau dan perjanjian GATT tersebut diatas, strategi
16
yang akan ditempuh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2015-2019, yaitu :
a. Memperlancar arus produk peternakan melalui peningkatan efisiensi distribusi. b. Meningkatkan daya saing produk peternakan dengan pemanfaatan sumber daya
lokal.
c. Memperkuat regulasi untuk melindungi peternak dalam negeri.
d. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar sektor terkait serta networking antar daerah.
e. Meningkatkan promosi produk peternakan untuk ekspor.
f. Memperkuat kelembagaan yang membidangi fungsi kesehatan hewan di daerah dan otoritas veteriner.
C. Arah Kebijakan dan Strategi Direktorat Kesehatan Hewan 1. Arah Kebijakan dan Strategi Umum
Strategi pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan ditempuh melalui kegiatan perlindungan hewan, pengamatan penyakit hewan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular strategis termasuk zoonosis, penguatan kelembagaan kesehatan hewan serta peningkatan kompetensi dokter hewan dan paramedik veteriner, dan pengobatan dan pengawasan obat hewan.
Perlindungan hewan dilaksanakan dalam rangka melindungi/mengamankan hewan, manusia dan lingkungan terhadap penyakit hewan menular dan eksotik yang dilakukan melalui penetapan dan penerapan persyaratan kesehatan hewan bagi hewan yang akan masuk ke dalam dan/atau keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pengamatan penyakit hewan dilaksanakan dengan tindakan pemantauan (surveilans) terhadap ada tidaknya penyakit hewan tertentu di suatu wilayah (pulau atau kawasan pengamanan hayati hewan) sebagai langkah awal dalam rangka kewaspadaan dini dan penyusunan pemetaan penyakit hewan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) .
Pemberantasan penyakit hewan diarahkan untuk membebaskan suatu wilayah dan/atau kawasan pengamanan hayati dan/atau pulau dari penyakit hewan menular yang meliputi usaha penutupan daerah tertentu terhadap keluar-masuk dan lalu-lintas hewan dan produk hewan, penanganan hewan tertular dan bangkai, serta tindakan penanganan wabah yang meliputi eradikasi penyakit hewan dan depopulasi hewan.
Sedangkan pengobatan penyakit hewan merupakan perlakuan untuk menghilangkan rasa sakit, penyebab sakit, mengoptimalkan kebugaran dan ketahanan hewan melalui usaha perbaikan gizi, tindakan transaksi terapetik, penyediaan dan pemakaian obat hewan, penyediaan sarana dan prasarana, pengawasan dan pemeriksaan, serta pemantauan dan evaluasi pasca pengobatan.
Peningkatan kuantitas meliputi pemberian iklim yang kondusif kepada para pengusaha dan calon pengusaha untuk bergerak dalam usaha produksi, distribusi obat hewan.
17
Sedangkan peningkatan kualitas dimaksudkan untuk dapat bersaing di pasar internasional dan strategi dilakukan dengan mendorong perusahaan produsen obat hewan menerapkan Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).
Adapun untuk meningkatkan pengawasan terhadap peredaran obat hewan ilegal strategi operasional adalah melakukan koordinasi dengan instansi terkait dari unsur badan karantina pertanian, direktorat bea dan cukai, kepolisian, badan POM, dan Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di seluruh Indonesia.
Pendayagunaan peran dan fungsi kelembagaan serta SDM kesehatan hewan untuk kebijakan dan pengambilan keputusan sehinga perumusan kebijakan maupun pengambilan keputusan menjadi lebih tepat. Oleh karena itu kelembagaan akan dilengkapi disertai dengan ketatalaksanaan, pengelolaaan SDM dalam rangka melaksanakan misi untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Strategi yang akan ditempuh akan dilakukan melalui pendayagunaan peran dan fungsi yang dilakukan oleh SDM kesehatan hewan pusat untuk proses pengambilan keputusan melalui fungsi-fungsi perencanaan, evaluasi, kepegawaian dan keuangan serta perlengkapan. Pendayagunaan ini diarahkan agar SDM yang ada untuk melayani masyarakat terkait dengan teknis kesehatan hewan dalam rangka pembangunan secara menyeluruh.
Agar supaya pembangunan kesehatan hewan dapat dicapai, maka perlu dilakukan langkah-langkah strategi secara menyeluruh sebagai berikut :
a. Menyusun perencanaan program pembangunan kesehatan hewan nasional yang sifatnya top-down policy berdasarkan periode pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang yang implementasi pembangunannya mengakomodir kepentingan dan situasi kondisi status kesehatan hewan daerah sehingga model pembangunan kesehatan hewannya bersifat buttom-up planning.
b. Penataan ulang dan atau penegasan kembali kewenangan urusan kesehatan hewan antara pusat dan daerah.
c. Pendegelasian sebagian kewenangan veteriner (veterinary authority) kepada dokter hewan swasta (praktisi, mandiri dan technical service) dengan akreditasi.
d. Membangun sistem kompetensi profesi medik dan paramedik veteriner. e. Mengembangkan jejaring laboratorium veteriner.
f. Mengembangkan sistem akreditasi laboratorium veteriner.
g. Mengembangkan program surveilans yang mempunyai target peluang pasar (market requirement).
h. Meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat (public awareness) dan proposi secara berkelanjutan.
i. Menyusun rencana dan kewajiban bersama antara pusat dan propinsi dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dan urusan kesehatan hewan lainnya.
j. Mengembangkan program biosekuriti berdasarkan resiko (riks based).
k. Mengembangkan integrasi sektor swasta dalam pembiayaan dan penyediaan sarana untuk kesiagaan darurat dan pemberantasan penyakit hewan menular.Mengembangkan sistem sertifikasi penerapan Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik (CPOHB).
18
l. Mengembangkan sistem akreditasi penerapan manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti di peternakan berdasarkan kompartemen (compartment based).
m. Mengembangkan jejaring dan sistem informasi kesehatan hewan.
2. Arah Kebijakan dan Strategi Khusus a. Pengamatan Penyakit Hewan
Kebijakan operasional pengamatan penyakit hewan mencakup:
(1) Laboratorium Kesehatan Hewan
Kebijakan ini dilakukan dengan peningkatan pembinaan laboratorium kesehatan hewan (Balai Besar Veteriner/Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional, Laboratorium Kesehatan Hewan Propinsi/Type B dan Laboratorium Kesehatan Hewan Kabupaten/Type C) dalam pengamatan penyakit hewan antara lain sebagai diagnosis dan pengamatan penyakit, pusat informasi kesehatan hewan regional, pemetaan penyebaran penyakit dan analisis veteriner terapan, pusat pengembangan kewaspadaan penyakit, lembaga rujukan standarisasi metoda dan sertifikasi pengujian veteriner untuk ekspor dan impor hewan dan produk hewan serta pelayanan teknis laboratorium kesehatan hewan dan laboratorium kesehatan masyarakat veteriner.
Peningkatan kapasitas laboratorium dalam hal ini Balai Besar Veteriner atau Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional (BBVet/BPPV), Laboratorium Kesehatan Hewan Propinsi/Tipe B dan Laboratorium Kesehatan Hewan Kabupaten/Tipe C yang berada di Puskeswan antara lain melalui penambahan jumlah laboratorium, peningkatan kuantitas dan kualitas SDM laboratorium yang kompeten dan profesional, standardisasi metode pengujian, penyedian bahan diagnosa dan pengujian.
(2) Program System Quality Assurance
Untuk peningkatan manajemen dan penerapan sistem jaminan mutu, diperlukan upaya-upaya untuk menerapkan secara berkesinambungan program quality assurance yang meliputi uji profisiensi dan penunjukan laboratorium rujukan disamping penataan dan peningkatan koordinasi yang berupa jaringan kerja laboratorium kesehatan hewan (laboratorium network) yang baku perlu disusun agar dapat diperoleh sistem diagnosa yang memenuhi prosedur operasional standar antar laboratorium kesehatan hewan (pemerintah dan swasta) sehingga dapat dirancang dan diciptakan laboratorium unggulan bagi setiap laboratorium kesehatan hewan di masing-masing wilayah serta program standarisasi dan akreditasi laboratorium dan pelayanan kesehatan hewan.
19 (3) Surveilans dan Monitoring
Kebijakan surveilans ini dilakukan agar kegiatan surveilans (aktif dan pasif) dapat dilakukan secara baik, benar dan teratur yang melibatkan semua stakeholder bersama masyarakat untuk mengetahui status kesehatan hewan. Hal ini diperlukan untuk dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk sistem peringatan dini (early warning system) dan mencegah peningkatan intensitas kasus dan penyebaran serta meluasnya penyakit di suatu wilayah yang berpedoman kepada suatu pedoman surveilans penyakit hewan yang baku. Adapun monitoring yang merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mendeteksi perubahan penyakit dengan menggunakan parameter epidemiologi perlu lebih diprogramkan secara sistematis dan terencana. Tujuan spesifik dari surveilans dan monitoring antara lain adalah untuk memperkirakan aras dan intensitas penyakit (prevalensi/insidensi), mendeteksi penyakit yang baru muncul, mendeteksi letupan (wabah) penyakit dan untuk meyakinkan keberadaan penyakit dalam populasi.
(4) Sistem Informasi Kesehatan Hewan
(a) Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (SIKHNAS)
Penyediaan data dan informasi penyakit hewan sangat penting terutama dalam memfasilitasi penentuan kebijakan pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan serta perdagangan hewan/produk hewan. Kebijakan yang dilaksanakan adalah mengembangkan dan menyempurnakan secara terus menerus sistem informasi sesuai perkembangan IPTEK agar informasi penyakit hewan dapat dilaporkan dari lapangan sampai di pusat secara on-line system dengan transfer data elektronik (Electronic Data Transfer). Dengan demikian maka analisis terhadap data dapat segera dilakukan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan.
(b) Sistem Informasi Laboratorium (INFOLAB)
Hasil pengamatan dan diagnosa dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesehatan Hewan diinformasikan melalui INFOLAB yang diperbarui datanya setiap bulan. Informasi data penyakit hewan ditingkat propinsi dan kabupaten/kota melalui SIKHNAS yang juga diperbarui setiap bulan. Pelaporan kejadian penyakit melalui sistem SMS gateway oleh PDSR diperbarui setiap hari. Dalam rangka memberikan informasi yang meliputi berita terbaru kejadian penyakit, kegiatan kesehatan hewan, tata cara dan persyaratan pemasukan dan pengeluaran hewan dan produk asal hewan, regulasi dibidang kesehatan hewan, media interaktif, dll kepada pihak terkait dan masyarakat maka dikembangkan website Direktorat Kesehatan Hewan.
(5) Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner
Untuk mengetahui dampak penyakit hewan diperlukan perhitungan secara ekonomi (ekonomi veteriner). Hal ini sangat diperlukan untuk
20
mengetahui kerugian ekonomi akibat penyakit hewan langsung (kematian ternak, penurunan produktifitas, bahaya zoonosis) maupun tidak langsung (kehilangan pekerjaan, pendapatan menurun, dampak psikis, dampak pariwisata). Berdasarkan hasil analisa tersebut, dapat dijadikan bahan perencanaan atau penyusunan kegiatan dan anggaran mendatang. b. Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan
(1) Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan dalam bentuk pencegahan, pemberantasan dan/atau pengobatan penyakit hewan. Pengendalian dimaksudkan sebagai suatu usaha yang terorganisir di daerah atau di pusat untuk mengurangi kejadian (incidence) atau kerugian suatu penyakit sampai pada tingkat terkendali atau tidak mempunyai dampak yang serius terhadap kestabilan kesehatan hewan dan masyarakat. Sedangkan pemberantasan dimaksudkan sebagai suatu usaha yang terorganisirr untuk menghilangkan atau mengeliminasi suatu penyakit pada suatu daerah tertentu sampai tidak terjadi lagi.
(2) Kebijakan yang dilaksanakan dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular adalah dilakukan secara bertahap berdasarkan prioritas yang dikenal sebagai penyakit hewan menular strategis, yaitu penyakit hewan yang berdampak kerugian ekonomi luas/tinggi oleh karena bersifat menular, menyebar cepat serta berakibat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (memiliki eksternalitas tinggi) atau berpotensi mengancam kesehatan masyarakat.
(3) Kebijakan operasional yang dilaksanakan dalam penanggulangan wabah penyakit hewan menular yang merupakan penyakit dadakan (emergency) dari semua jenis penyakit hewan menular (infeksius) eksotis maupun endemis yang dapat terjadi kapan dan dimana saja yang dampaknya secara luas berskala nasional, regional atau lintas propinsi adalah pemerintah bersama pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kebupaten/kota mengalokasikan dana yang memadai untuk pengamanan, pemberantasan dan pengobatan hewan.. Oleh karena itu dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dari 13 (tigabelas) jenis penyakit strategis terdapat 5 (lima) jenis penyakit yang perlu mendapatkan prioritas yakni 1). Penyakit keluron menular (Brucellosis) pada sapi potong dan sapi perah dan 2).Penyakit radang limpa (Anthrax) pada ruminansia, 3). Penyakit kolera pada babi (Hog Cholera/Clasical Swine Fever), 4).Penyakit influensa pada unggas (Avian Influenza), dan 5). Penyakit anjing gila (Rabies). Penyakit-penyakit tersebut sering berubah sifat dari situasi yang endemik di suatu daerah menjadi mewabah dan menimbulkan kerugian yang cukup besar.
(4) Penanganan penyakit-penyakit strategis mendapatkan prioritas baik yang sifatnya endemis maupun sporadis menjadi tugas pemerintah Propinsi bersama pemerintah kabupaten/kota untuk pengendaliannya, termasuk epidemi lintas kabupaten/kota atau lokal dalam kabupaten/kota.
21
Pemberantasan penyakit hewan skala nasional ditujukan untuk mengamankan kepentingan usaha budidaya peternakan yang dampaknya bukan hanya dirasakan oleh daerah, akan tetapi lebih luas lagi yang akan mempengaruhi pembangunan peternakan nasional atau kesehatan masyarakat.
c. Perlindungan Hewan
Kebijaksanaan operasional perlindungan hewan meliputi pengamanan Negara Indonesia terhadap penyakit hewan eksotik, pengamanan pengeluaran hewan dari Negara Indonesia dan peningkatan kesiagaan terhadap penyakit hewan eksotik dengan strategi mencakup:
(1) Pengamanan terhadap Penyakit Hewan Eksotik dan Penyakit Hewan
Menular dari Luar Negeri
(a) Penyakit eksotik yaitu penyakit hewan yang belum pernah ditemukan di Indonesia atau penyakit yang pernah ada, tetapi telah lama tidak ditemukan kembali. Penyakit eksotik yang perlu diwaspadai adalah yang memiliki kriteria: berbahaya secara luas (internasional), misalnya Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), penyakit yang telah menyerang/ada di Negara tetangga misalnya penyakit Nipah, penyakit Hendra, Japanese Encephalitis dan Ebola; penyakit yang mampu menimbulkan kerugian ekonomi yang besar dan diperkirakan mampu menimbulkan dampak politik, sosial, dan budaya misalnya PMK; Pengamanan terhadap penyakit hewan eksotik perlu lebih ditingkatkan tanpa mengurangi kewaspadaan terhadap penyakit hewan yang baru muncul yang disebut Emerging Animal Disease atau re- Emerging Animal Disease.
(b) Pengamanan penyakit hewan menular yang berasal dari luar negeri merupakan tanggung jawab pemerintah pusat yang dilaksanakan melalui penerapan kebijakan yang mampu mencegah dan menangkal setiap ancaman pemasukan penyakit hewan dari luar negeri, yang dilakukan secara tegas dan konsisten dengan menerapkan standar kesehatan hewan yang ketat dalam pemasukan/importasi hewan dan bahan pakan asal hewan tanpa mengesampingkan kepada ketentuan yang tercantum di dalam Terrestrial Animal Health Code-OIE.
(c) Langkah-langkah pengamanan terhadap penyakit hewan eksotik dan penyakit hewan menular dari luar negeri, dilakukan melalui kebijakan pengamanan pemasukan hewan dan produk hewan dengan berpedoman kepada status kesehatan hewan dan perkembangan situasi epidemiologi penyakit hewan dari suatu negara yang dinyatakan oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), persyaratan pemasukan hewan dan produk hewan serta kajian analisa risiko berdasarkan tingkat perlindungan yang tepat terhadap tindakan Sanitary dan Phytosanitary (SPS) dalam rangka melindungi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan di wilayahnya (Appropriate Level Of Protection/ALOP).
(d) Pengamanan penyakit hewan dari luar negeri, juga dilakukan melalui kerjasama bilateral dan/atau multilateral dalam bidang kesehatan hewan
22
antara lain harmonisasi SPS, peningkatan capacity building, working group meeting dan lain-lain.
(2) Pengamanan Pengeluaran/eksportasi Hewan dan bahan biologis
Dalam upaya ikut mewujudkan kesehatan dunia (one health) diperlukan langkah-langkah kebijakan pengamanan terhadap pengeluaran hewan dan bahan biologis ke luar negeri dengan berpedoman kepada persyaratan pengeluaran hewan dan bahan biologis serta mempertimbangkan kelestarian sumberdaya genetik hewan. Prosedur baku dan tatacara untuk pengeluaran hewan dan bahan biologis mengikuti peraturan dan perundangan yang berlaku.
(3) Meningkatkan Kesiagaan Darurat Penyakit Eksotik
Peningkatan kewaspadaan terhadap potensi ancaman penyakit dan tindakan antisipatif dalam menghadapi wabah penyakit eksotik melalui program kesiagaan darurat veteriner Indonesia (KIATVETINDO).
d. Pengawasan Obat Hewan
(1) Pada prinsipnya pembinaan terhadap usaha dan pengawasan obat hewan dilaksanakan oleh pemerintah pusat oleh karena jangkauan operasional pelayanan yang sifatnya nasional dan internasional, perlunya pola pembinaan yang seragam secara nasional serta terkait erat dengan bahaya yang timbul dan mengancam keselamatan masyarakat umum akibat efek samping dari pemakaian obat hewan.
(2) Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pengawasan obat hewan dan menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatur dan mengawasinya mencakup pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan pembuatan, penyediaan, peredaran serta pemakaian obat hewan.
(3) Dengan semakin berkembangnya usaha peternakan yang dikelola secara intensif khususnya untuk keperluan ekspor, menuntut tersedianya obat hewan yang berkualitas prima yang dalam proses produksinya telah menerapakan sistem standarisasi akreditasi dan sertifikasi mutu.
e. Pelayanan Kesehatan Hewan
(1) Di bidang pelayanan kesehatan hewan yang sifatnya lebih merupakan public goods seperti surveilans, pelayanan laboratorium dan unit pelayanan teknis pelayanan kesehatan dilakukan pemberdayaan sarana, prasarana serta sumberdaya manusia yang tersedia dengan masih mempertimbangkan campur tangan pemerintah (public intervention).
Oleh karena itu rasionalisasi harus terus dilaksanakan terutama yang diarahkan untuk memberdayakan sarana, prasarana pelayanan kesehatan hewan dan sumberdaya manusia yang dimiliki pemerintah baik itu Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) maupun laboratorium kesehatan hewan
23
(labkeswan). Untuk pelayanan kesehatan hewan yang memiliki nilai private goods diarahkan menuju kepada swastanisasi/privatisasi dengan mengoptimalkan swadaya masyarakat.
(2) Untuk itu pemerintah perlu melakukan langkah-langkah kegiatan yang mendorong pengelola prasarana tersebut untuk mampu mengatur diri sendiri, mandiri dan mendapatkan pengakuan terhadap keberadaannya di tengah masyarakat yang memerlukan. Prinsip untuk mendorong kearah kemandirian dilakukan dengan menerapkan prinsip manajemen yang mampu menjadikan unit pelayanan kesehatan hewan profesional..
(3) Pemberdayaan prasarana pelayanan kesehatan hewan tersebut dalam jangka panjang diarahkan kepada swastanisasi (privatisasi) yang dalam pelaksanaannya swastanisasi/privatisasi pelayanan kesehatan hewan lebih bersifat sebagai evolusi daripada revolusi yang harus dilaksanakan secara bertahap, sistematis dan terencana.
Proses menuju swastanisasi tersebut harus memperhatikan beberapa faktor yang akan mempengaruhi besarnya keuntungan yang diperoleh dari jasa pelayanan seperti skala usaha peternakan di wilayah yang dilayani, potensi atau kejadian penyakit yang sebenarnya dan jenis hewan yang dipelihara dalam sistem produksi.
(4) Pemberdayaan jabatan fungsional medik dan paramedik veteriner dilaksanakan melalui langkah-langkah operasional antara lain dengan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan fungsional medik dan paramedik veteriner secara berjenjang dan berkelanjutan yang pelaksanaanya bekerjasama dengan pemerintah daerah, pengoptimalan pengangkatan tenaga fungsional sesuai kebutuhan dan formasi di masing-masing daerah, pembentukan tim penilai pejabat fungsional di daerah serta kebijakan operasional lainnya.
(5) Mengingat di era globalisasi ini informasi sangat vital dan dibutuhkan oleh masyarakat serta kinerja pemerintah di masa mendatang menjadi sorotan publik, maka terus diupayakan pengembangan media informasi di bidang kesehatan hewan melalui pengembangan website yang dapat diakses (on-line) oleh seluruh stake holder dan jenis-jenis media informasi lainnya.
f. Analisis Kesenjangan/Gap Analysis PVS (Performance of Veterinary Service)
Tujuh kesenjangan utama dan strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan layanan veteriner Indonesia mencakup :
(1) Kemampuan Koordinasi Veteriner
Isu-isu kelembagaan menciptakan kesenjangan dalam koordinasi horizontal sehingga terjadi fragmentasi dalam Kementerian Pertanian serta tidak adannya jalur kewenangan vertikal yang memadai karena adanya otonomi daerah sehingga rantai komando berbentuk garis putus-putus dalam layanan
24
veteriner. Oleh karena itu, diperlukan adanya koordinasi yang lebih baik untuk memastikan bahwa sistem veteriner secara konsisten dan sistematis berjalan sesuai yang diharapkan.
(2) Implementasi Peraturan Veteriner
Fokus utama dalam mengembangkan peraturan baru di bidang veteriner pada beberapa tahun belakangan telah berujung pada dirampungkannya Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang memberikan landasan hukum yang kokoh untuk memperkuat layanan veteriner. Kini fokus tersebut perlu dialihkan pada penyusunan peraturan pendukung dan peraturan pelaksana seperti peraturan tentang sistem kesehatan hewan, peraturan yang mewajibkan pembentukan otoritas veteriner dan diterapkannya aspek-aspek peraturan kesehatan hewan nasional di tingkat provinsi dan kabupaten.
(3) Manajemen dan Perencanaan Strategis
Rencana strategis yang luas dan holistik serta konsultatif yang mengkaji dan mengkoordinasikan instansi dan fungsi terkait dapat menjadi pedoman bagi penyusunan dan implementasi peraturan baru. Implementasi layanan veteriner secara nasional melalui rencana “induk” seperti ini seharusnya mendapat masukan luas dari berbagai tingkat pemerintah dan pemangku kepentingan, dan sebisa mungkin ditandatangani oleh pejabat pada posisi tertinggi guna memastikan adanya dukungan kelembagaan yang terintegrasi yang akan dapat membantu menyelesaikan kesulitan yang telah diidentifikasi.
(4) Koordinasi Nasional Layanan Laboratorium Kesehatan Hewan
Banyaknya jumlah layanan laboratorium dengan tata kelola yang terkotak-kotakkan serta kurangnya kejelasan peran dan tanggungjawab mengakibatkan munculnya risiko terhadap efektifitas dan efisiensi. Terlalu banyaknya laboratorium dengan peran kesehatan hewan, karantina, kesehatan masyarakat veteriner dan obat-obatan hewan yang semuanya berada pada tingkat yang berbeda-beda dan peningkatan efisiensi seharusnya dapat dilakukan melalui rasionalisasi fungsi.
(5) Pendekatan Berbasis Analisa Risiko
Saat ini terdapat kesenjangan dan inkonsistensi dalam kebijakan dan prosedur layanan veteriner akibat tidak memadainya penerapan pendekatan berbasis risiko secara ilmiah dalam pengambilan keputusan terkait impor, pengendalian penyakit. Prosedur kajian analisa risiko, teknis pengendalian penyakit dan kebijakan karantina serta program dan perencanaan perlu dikaji secara menyeluruh oleh ahli untuk melihat apakah hal-hal tersebut telah didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang mantap.
25
(6) Isu Kebijakan Publik/Swasta
Pemerintah selayaknya mempertimbangkan bagaimana pemerintah dapat memainkan peran dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan sektor paraprofesional veteriner dan dokter hewan swasta untuk memperluas cakupan praktek swasta yang saat ini umumnya terbatas hanya untuk menangani hewan kecil, koperasi susu dan sektor peternakan unggas intensif. (7) Pendidikan dan Pelatihan Teknis
Pendidikan membutuhkan adanya penguatan melalui penyelarasan kurikulum dan standar pelatihan veteriner dan paraprofesional veteriner yang lebih baik di kesepuluh fakultas kedokteran hewan dan berbagai tempat pelatihan paraprofesional veteriner. Pelatihan teknis terapan yang direncanakan dengan seksama dan dilaksanakan secara nasional menjadi persyaratan yang harus terus dipenuhi.
D. Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Unit Satuan Kerja/UPT lingkup Direktorat Kesehatan Hewan
1. Penyidikan dan Pengujian Veteriner
Pada saat ini jumlah Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) yang tersebar di Indonesia sebanyak 5 (lima) buah dan Balai Besar Veteriner (BBVet) sebanyak 3 (tiga) buah dengan wilayah kerja setiap BPPV dan BBVet mencakup 3-6 propinsi. Untuk BPPV/BBVet dengan wilayah lebih dari 3 propinsi, tugas ini dirasakan cukup berat karena menyangkut medan yang luas, variasi status kesehatan hewan yang berbeda dan permasalahan yang kompleks. Untuk mengurangi beban kerja yang berat dan efektifitas pelayanan, dipandang perlu pembangunan 2 (dua) unit BPPV baru. Utuk wilayah timur Indonesia, diperlukan penambahan BPPV baru karena terjadi pemekaran propinsi di Irian Jaya, sehingga wilayah kerja BBVet Maros diarahkan mencakup pulau Sulawesi saja dan wilayah kerja BPPV baru mencakup Papua dan Maluku. Dengan demikian jumlah BPPV di Indonesia diharapkan akan bertambah dari 5 unit menjadi 7 unit. Sedangkan BBVet dijadikan sebagai laboratorium rujukan.
Dalam rangka itu perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Penerbitan peraturan Menteri Pertanian tentang ruang lingkup dan wilayah kerja BPPV/BBVet.
b. Memfasilitasi pembangunan BPPV.
c. Meningkatkan peran BPPV/BBVet dalam Pelayanan Veteriner Nasional.
2. Penyediaan vaksin dan antigen di Indonesia
Pembinaan PUSVETMA sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bertugas untuk penyediaan sediaan biologik perlu terus ditingkatkan dalam rangka menghadapi tantangan di era pasar global. Upaya pengembangan PUSVETMA yang merupakan asset nasional diarahkan menuju industri obat hewan modern yang berdaya saing dipasar global.
26
Dalam rangka pembinaan telah dilakukan evaluasi teknis terhadap kinerja UPT tersebut pada saat ini dan beberapa hal yang perlu ditindak lanjuti dalam upaya pengembangan PUSVETMA kedepan sebagai berikut:
a. Produksi Vaksin Avian Influenza (Afluvet). Peningkatan kualitas produksi vaksin Afluvet sesuai dengan standar internasional terutama formulasi bentuk sediaan emulsi air dalam minyak yang stabil (tidak pecah emulsinya) dalam proses produksi vaksin AI.
b. Peningkatan peran pada Bidang Peningkatan Mutu dan Pengembangan Produksi (PMPP) antara lain berupa upaya perbaikan seed virus/bakteri untuk produksi vaksin melalui penelitian perbaikan kualitas vaksin yang telah beredar. Bidang PMPP ini kedepan dalam era pasar global diharapkan dapat mempunyai akses informasi IPTEK di bidang produksi vaksin.
c. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pelatihan dalam dan luar negeri terutama metoda diagnosa penyakit eksotik. Disamping itu diperlukan penambahan jumlah SDM khususnya dokter hewan yang sesuai dengan kebutuhan.
d. Mendorong produksi vaksin Jembrana secara massal dengan teknologi produksi yang mutakhir.
e. Peningkatan kemampuan peralatan dalam melakukan diagnosa dan identifikasi terhadap agen suatu penyakit antara lain Polymerase Chain Reaction/PCR. f. Peneltian lanjutan terhadap efek samping post vaksinasi Anthrax berupa “shock
anaphylactic” pada kambing dan domba .
g. Pembinaan PUSVETMA sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bertugas untuk penyediaan sediaan biologik perlu terus ditingkatkan dalam rangka menghadapi tantangan di era pasar global.
3. Penjaminan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan
Peningkatan kinerja BBPMSOH ditindaklanjuti dengan upaya untuk mendorong UPT tersebut secara bertahap baik infrastruktur, teknologi maupun SDM seiring dengan pengakuan BBPMSOH sebagai laboratorium acuan pengujian vaksin hewan di tingkat ASEAN. Dimasa mendatang BBPMSOH harus mampu menjawab permintaan pasar global dalam penyediaan jasa pengujan mutu obat hewan antara lain pengujian mutu terhadap sediaan biologik termasuk sediaan vaksin rekombinan.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
a. Peningkatan sumber daya manusia (SDM) melalui training baik di dalam maupun luar negeri di bidang pengujian mutu.
b. Meningkatkan kemampuan teknologi peralatan yang digunakan untuk pengujian mutu.
c. Mempromosikan BBPMSOH di pertemuan internasional baik di lingkup regional ASEAN maupun internasional lain.
d. Membuat brosur, vademikum berupa company profile dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
e. Mempertahankan sebagai laboratorium terakreditasi baik tingkat nasional maupun internasional.
27 BAB IV
PROGRAM DAN KEGIATAN A. Landasan Umum Program
Era reformasi membutuhkan keterbukaan dalam melaksanakan pembangunan yang didukung oleh pemerintahan yang bersih dan berkinerja baik (good governance and clean government). Fungsi pemerintah saat ini dalam program pembangunan nasional secara umum diposisikan sebagai fasilitator, dinamisator dan regulator, bukan hanya sebagai penentu pembangunan seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Perubahan paradigma pembangunan nasional ini, menuntut pemerintah untuk menyadari dan merubah perannya bukan sebagai satu-satunya penentu kebijakan pembangunan, namun hanya sebagai salah satu stake holder pembangunan. Perencanaan program pembangunan mengacu kepada aspirasi masyarakat dalam arti luas sehingga bersifat buttom-up planning, kemudian pemerintah memfasilitasi dan memberlakukan peraturan-peraturan yang tepat untuk menunjang pembangunan kesehatan hewan dari suatu wilayah tertentu.
B. Pendekatan Program
1. Sejalan dengan semangat otonomi yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menempatkan pemerintah daerah (kabupaten/kota) sebagai pelaksana pembangunan di wilayahnya dan propinsi melakukan koordinasi berbagai kegiatan pembangunan lintas kabupaten/kota, maka proses perencanaan program dekonsentrasi pembangunan peternakan umumnya dan kesehatan hewan khususnya dilakukan dengan pendekatan buttom-up planning, namun tetap terkontrol mengacu kepada strategi program pembangunan nasional yang bersifat top-down policy.
2. Untuk dapat mewujudkan sasaran program pembangunan kesehatan hewan nasional yang dilaksanakan melalui program pembangunan kesehatan hewan di daerah, maka perencanaan kegiatan di daerah harus disusun dengan mengacu pada sasaran yang jelas dan terukur terutama yang mencakup lokasi, waktu, kelompok sasaran dan manfaat bagi kelompok sasaran.
3. Pengawasan pembangunan dari dominasi pemerintah kearah peran kontrol masyarakat yang mengikat, yang menuntut transparansi, keterbukaan dan kejujuran dengan mengacu pada rencana yang disertai indikator masukan, output dan dampak yang jelas sehingga dapat diukur dan dipertanggung jawabkan secara publik.
4. Fungsi pelayanan pemerintah dilaksanakan secara terpadu oleh semua pihak terkait, baik lintas unit kerja maupun sub sektor. Setiap institusi yang berperan memfungsikan berbagai subsistem kesehatan hewan, termasuk subsistem penunjangnya secara proporsional, sehingga memberikan kontribusi dan membangun sinergi bagi berfungsinya sistem kesehatan hewan nasional secara utuh.