• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Penguatan Kelembagaan Kesehatan Hewan

PROGRAM DAN KEGIATAN A. Landasan Umum Program

D. Jenis Program

3. Program Penguatan Kelembagaan Kesehatan Hewan

(a) Penyusunan pedoman, norma dan prosedur teknis pengendalian dan pemberantasan PHM

(b) Penyusunan Peraturan penyempurnaan SKB Tiga Menteri tentang Zoonosis

(c) Penyusunan Peraturan tentang Penanggulangan Wabah PHM Penyusunan Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman sertifikasi kontrol manajemen kesehatan hewan unit usaha peternakan.

3. Program Penguatan Kelembagaan Kesehatan Hewan

a. Penguatan Laboratorium Kesehatan Hewan (1) Akreditasi Laboratorium

Untuk menjawab era pasar bebas dimana persyaratan teknis merupakan hal yang mendapatkan perhatian utama dalam perdagangan internasional, maka hasil uji laboratorium merupakan salah satu hal yang perlu dijamin mutunya. Oleh karenanya laboratorium didorong untuk memperoleh status akreditasi melalui langkah-langkah sebagai berikut:

(a) Laboratorium yang telah terakreditasi agar dapat membantu laboratorium yang belum dan yang sedang dalam proses akreditasi, sehingga proses akreditasi berjalan lancar.

(b) Memfasilitasi pelaksanaan uji profisiensi. Untuk itu perlu diterbitkan pedoman uji profisiensi berdasarkan jenis penyakitnya

(c) Manual Standar Metoda Diagnosa Laboratorium Kesehatan Hewan yang sudah dicetak dan memperoleh nomor ISBN diproses untuk memperoleh pengesahan SNI.

(2) Jaringan Laboratorium Kesehatan Hewan

Untuk memperkuat daya saing laboratorium kesehatan hewan perlu dibentuk jaringan laboratorium kesehatan hewan yang beranggotakan laboratorium kesehatan hewan pemerintah dan swasta. Untuk itu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

(a) Menginventarisasi kemampuan uji laboratorium kesehatan hewan (b) Menginventarisir sumber daya laboratorium kesehatan hewan, (c) Pertemuan rutin,

(d) Menerbitkan pedoman pelaporan.

(3) Revitalisasi BBVet/BPPV dan Laboratorium Kesehatan Hewan lainnya. (a) Pemutakhiran sarana dan prasarana laboratorium.

(b) Pengkajian ulang penetapan klasifikasi laboratorium kesehatan hewan (4) Peningkatan Status BPPV

40

Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Tahun 2003, eselonering BPPV adalah III A. Dengan pertimbangan tantangan kerja yang semakin kompleks dan semangat otonomi daerah, perlu difasilitasi dengan instansi terkait agar BPPV dinaikkan eseloneringnya menjadi eselon II B.

(5) Dukungan Legislasi

(a) Penyusunan Peraturan menteri Pertanian tentang tata Hubungan Kerja BBVet/BPPV dan UPT Lainnya

(b) Penyusunan Pedoman Standar Minimal Laboratorium Kesehatan Hewan

(c) Penerbitan Pedoman Surveilans dan Monitoring (d) Penerbitan Pedoman Kesehatan Hewan Ternak Bibit (e) Penerbitan Pedoman Sistem Pelaporan

(f) Penerbitan Pedoman Pengujian Salmonella Pullorum dan Enteritidis. (g) Penerbitan Pedoman Uji Profisiensi PHM.

(h) Penyusunan SNI Manual Standar Metoda Diagnosa

(i) Penerbitan peraturan tentang Wilayah Kerja BBVet/BPPV Regional b. Pemberdayaan Pelayanan Kesehatan Hewan

(1) Pemberdayaan Puskeswan

Revitalisasi puskeswan telah dimulai sejak tahun 1998/1999. Tahun 2010 telah di data kembali dan terdapat sebanyak 889 unit puskeswan yang tersebar di seluruh Propinsi dengan ketersediaan tenaga medik veteriner (dokter hewan) sebanyak 558 orang dan tenaga mantri hewan (paramedik veteriner) sebanyak 1591 orang.

Untuk mengisi kekurangan tenaga medik dan paramedik veteriner diharapkan pemerintah daerah dapat mengadakan sarana dan prasarana serta SDM yang memadai secara bertahap. Pedomannya adalah PP Nomor 25 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah, dimana formasi dan kebutuhan ditentukan oleh masing-masing wilayah berdasarkan petunjuk teknis Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 690/Kpts/Tn.510/10/93 dan Nomor 88 Tahun 1993.

Secara rinci jumlah puskeswan dan SDM yang tersedia serta jumlah PKH dan tenaga SDM yang dibutuhkan berdasarkan administrasi pemerintahan dan animal unit dapat dilihat pada lampiran.

Agar pusat kesehatan hewan dapat diberdayakan secara optimal maka perlu ditempuh langkah-langkah pemberdayaan sebagai berikut :

(a) Mengoptimalkan fungsi dan peran PKH secara prima berkelanjutan mandiri dan professional. Optimalisasi meliputi pengamatan penyakit hewan menular di wilayah kerjanya beserta aspek-aspek epidemiologinya. Pencegahan/vaksinasi dan pengobatan penyakit hewan; perawatan hewan sakit; pengambilan dan pengumpulan specimen untuk dikirim ke laboratorium diagnosa; penanganan

41

penyakit reproduksi, seterility control dan inseminasi buatan; serta konsultasi masalah kesehatan hewan, sanitasi higienis, pakan dan kesejahteraan hewan.

(b) Lomba/kompetisi secara profesional untuk mewujudkan dokter hewan puskeswan berprestasi.

(c) Bantuan/subsidi pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan hewan pada masyarakat.

(d) Studi banding/magang lapangan di dalam negeri dan luar negeri. (e) Pendidikan dan pelatihan teknis meliputi pelatihan pelayanan keswan

bagi petugas medik veteriner dan paramedik veteriner, pelatihan pemberantasan penyakit hewan menular, pelatihan pengawasan obat hewan, pelatihan gangguan reproduksi dan sterilitas, pelatihan penyakit parasiter dan penyakit non menular lainnya, pelatihan penyakit zoonosa.

(f) Pembentukan forum komunikasi antara pusat dan daerah untuk menampung aspirasi dan pengembangan iptek melalui media cetak, elektronik, maupun dalam bentuk pertemuan-pertemuan seperti koordinasi, seminar, simposium, dan lokakarya.

(g) Tujuan pemberdayaan pusat kesehatan hewan adalah menjadi pusat kesehatan hewan yang mampu mengelola dan menggerakkan kegiatannya dalam memberikan pelayanan yang berkualitas secara profesional, mewujudkan kesehatan hewan yang stabil dalam rangka meningkatkan produktivitas dan reproduktifitas, memantapkan status puskeswan melalui SK Bupati/Walikota menjadi unit pelayanan yang bersifat struktural melalui unit pelaksana teknis daerah atau pemberdayaan secara fungsional.

(h) Dalam upaya revitalisasi Puskeswan mandiri maka beberapa puskeswan yang telah mampu memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat khususnya di Pulau Jawa, Propinsi NTB dan Bali dapat menerapkan metoda “user pay system” yakni penerapan pembayaran jasa pelayanan terhadap pengguna jasa pelayanan) sehingga diharapkan upaya revitalisasi puskeswan ini secara bertahap dan selektif dapat terwujud. (i) Dalam rangka pemanfaatan fasilitas poskeswan yang dibangun

pemerintah, khususnya di wilayah/daerah terdapat fasilitas puskeswan namun tidak ada dokter hewannya maka kepada dokter hewan praktisi, dokter hewan swasta dapat memanfaatkan puskeswan tersebut serta pengelolaannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. (j) Pengaturan, penempatan dan pembinaan tenaga praktisi oleh

Pemerintah dan organisasi profesi (PDHI) dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Kegiatannya adalah melakukan inventarisasi data dokter hewan dan dokter hewan praktek berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan pada masyarakat, laporan secara berkala dan menangani kasus yang ada kaitannya dengan penyakit hewan menular di wilayah kerjanya secara profesional, sesuai peraturan perundangan yang berlaku serta melaporkan pelaksanaan kegiatan praktek secara berkala.

(k) Melakukan advokasi dan sosialisasi mengenai kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta lingkungan dan menegakan animal welfare sesuai kode etik dokter hewan.

42

(l) Pemberdayaan Dokter Hewan Praktisi dan Meningkatkan Peran Dokter Hewan Swasta dalam Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular

(m) Melakukan inventarisasi dan klasifikasi data dokter hewan praktek dan dokter hewan swasta berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan pada masyarakat.

(n) Membuat peraturan dan pola kerjasama pemerintah dengan dokter hewan praktisi dan dokter hewan swasta dalam dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular.

(o) Laporan secara berkala dan profesional pelaksanaan kegiatan praktek terutama dalam menangani kasus yang ada kaitannya dengan penyakit hewan menular dan pengobatan dan penyembuhan hewan sakit di wilayah kerjanya, sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

(p) Melakukan advokasi dan sosialisasi mengenai kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta lingkungan dan menegakan animal welfare sesuai kode etik dokter hewan

(q) Pemberdayaan Pejabat Fungsional Medik dan Paramedik Veteriner Agar pemberdayaan pejabat fungsional medik dan paramedik veteriner dapat optimal dilaksanakan, maka perlu mengambil langkah-langkah operasional sebagai berikut:

(1) Pelaksanaan Pendidikan dan pelatihan (Diklat) fungsional medik dan paramedic veteriner berjenjang dan berkelanjutan mulai dari: diklat fungsional dasar, diklat fungsional trampil dan diklat fungsional ahli. Secara rinci pelaksanaan diklat jabatan fungsional dan perkembangannya dapat dilihat pada lampiran.

(2) Untuk memacu percepatan diklat jabatan fungsional medik dan paramedik veteriner maka pelaksanaan pelatihan dapat bekerjasama dengan daerah dan unit pelaksana teknis dengan kurikulum dan pelatih yang disusun bersamaan dengan Sumber Daya Manusia Departemen Pertanian sesuai ketentuan yang telah ditetapkan, dengan tetap mengoptimalkan pelatihan di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Peternakan dan Kesehatan Hewan Cinagara Bogor dan Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Batu, Malang, Jawa Timur.

(3) Mengoptimalkan pengangkatan tenaga medik dan paramedik veteriner sesuai kebutuhan dan formasi di masing-masing Propinsi/Kabupaten/Kota dan UPT Daerah maupun pusat. (4) Bagi Pemerintah Daerah propinsi/Kabupaten/Kota yang telah

ada dan berfungsinya tenaga fungsional Medik dan Paramedik Veteriner segera dapat dikukuhkan sebagai pejabat fungsional melalui Surat Keputusan Gubernur/ Bupati/Walikota setempat. (5) Pembentukan Tim Penilai pejabat fungsional di masing-masing

propinsi sesuai kebutuhan

(6) Penyempurnaan / revisi butir-butir kegiatan dan angka kredit Medik dan Paramedik Veteriner.

(7) Inventarisasi lembaga penghasil program Diploma D2/D3 serta program SPP Snakma dan penyempurnaan kurikulum untuk

43

dapat menyediakan tenaga paramedik veteriner yang handal sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kebutuhan masyarakat.

(8) Mengingat kelangkaan dan kebutuhan tenaga medik (dokter hewan) dan paramedik veteriner maka ketetapan Batas Usia Pensiun bagi petugas medik veteriner dapat diberlakukan mencapai 60 tahun sesuai PP 32 tahun 1979.

(9) Apresiasi dan sosialisasi jabatan fungsional medik dan paramedik veteriner terus ditingkatkan mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi dan UPT daerah/pusat terutama bagi pejabat yang strategis dan pengambil keputusan.

c. Pemberdayaan pengawas obat hewan dan peningkatan pelayanan pendaftaran obat hewan dalam rangka mendapatkan menyediakan obat hewan yang bermutu baik yang beredar di Indonesia.

(1) Penataan kembali Pengawas Obat Hewan (POH)

Setelah berlakunya peraturan perundangan tentang otonomi daerah (OTODA), menimbulkan banyak permasalahan dilapangan dalam pelaksanaan pengawasan obat hewan. Di beberapa daerah ada yang sama sekali tidak ada otoritas kesehatan hewan yang langsung bertanggung jawab di bidang kesehatan hewan. Di samping itu juga telah banyak aparat Pengawas Obat Hewan yang telah mengalami purna tugas, mutasi dan hal-hal lain yang dari segi keberadaan dan tanggung jawabnya tidak memungkinkan menjalankan tugasnya.

Untuk itu, diperlukan penataan kembali tentang Pengawas Obat Hewan. Langkah awal telah dilaksanakan berupa Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor 885/KP.020/F/11/04 Tanggal 9 Nopember 2004 yang disampaikan kepada Gubernur di seluruh Indonesia. Prinsipnya adalah mengharapkan kepada pejabat terkait agar menyampaikan data terakhir tentang keberadaan para Pengawas Obat Hewan di wilayahnya masing-masing. Langkah-langkah kegiatan yang dilakukan adalah :

(a) Mengevaluasi tanggapan terhadap Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor 885/KP.020/F/11/04 Tanggal 9 Nopember 2004 yang disampaikan kepada Gubernur di seluruh Indonesia

(b) Merekap data POH secara periodik

(c) Memberikan penghargaan terhadap POH yang kinerjanya baik sesuai dengan parameter yang ditentukan

(d) Mengevaluasi terhadap POH yang kinerjanya tidak maksimal. (2) Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengawasan Obat Hewan

Rakornas Pengawasan Obat Hewan dilaksanakan setiap 2 (dua) tahun sekali dan dipergunakan sebagai forum koordinasi dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengawasan obat hewan serta untuk mencari formulasi langkah kongkrit dalam rangka meminimalkan penyelundupan/peredaran

44

obat hewan illegal. Direncanakan forum rakornas tersebut diikuti oleh unsur Direktorat Jenderal Peternakan, Biro Hukum Departemen Pertanian, Dinas Peternakan Propinsi/Kabupaten/Kota, Badan Karantina Pertanian, Dit.Jen. Bea dan Cukai, Badan Reskrim Polri, Jampidum Kejaksaan Agung, Tenaga Fungsional Kesehatan Hewan dan ASOHI/ stakeholder. Langkah yang dilakukan adalah:

(a) Penyelenggaraan pertemuan koordinasi dengan otoritas Kesehatan Hewan dari Propinsi/Kabupaten/Kota untuk menginventarisasi permasalahan yang ada di lapangan berkaitan dengan peredaran obat hewan dan memformulasikan kebijakan untuk menanggulangi adanya penyelundupan/peredaran obat hewan illegal.

(b) Koordinasi dengan stakeholder yang terkait dengan kegiatan rakornas tersebut untuk lebih mempertajam langkah dan tindak lanjut hasil rakornas baik yang telah dan yang akan dilaksanakan. (3) Pelayanan permohonan pendaftaran Obat Hewan

Obat hewan yang beredar di dalam wilayah Republik Indonesia wajib didaftarkan dan memiliki nomor pendaftaran/registrasi dari Departemen Pertanian. Prosedur Tetap (Protap) Permohonan Pendaftaran Obat Hewan di atur berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No. 13/TN.240/Kpts/DJBPP/ DEPTAN/2003. Namun demikian Protap tersebut akan ditinjau kembali secara periodik bilamana diperlukan sesuai dengan perkembangan IPTEK termasuk didalamnya kemungkinan perlunya uji lapang bagi pendaftaran ulang obat hewan. Langkah-langkah yang akan dilakukan adalah:

(a) Mengevaluasi secara periodik peraturan yang berkaitan dengan pendaftaran dan pengujian mutu untuk memaksimalkan pelayanan di bidang obat hewan.

(b) Berkoordinasi dengan BBPMSOH dan ASOHI untuk mendapatkan masukan dalam penentuan kebijakan di bidang pendaftaran dan pengujian mutu obat hewan.

(c) Melaksanakan secara periodik pelatihan cara pengisian formulir pendaftaran obat hewan yang diikuti oleh para penanggung jawab teknis obat hewan.

(d) Melaksanakan pelatihan pengujian mutu untuk sediaan obat hewan tertentu yang diikuti oleh para penanggung jawab teknis di bidang pengujian mutu obat hewan.

(e) Meningkatkan sarana dan prasarana di bidang pelayanan obat hewan.

(4) Data Base Obat Hewan

Data Base merupakan sistem komputerisasi yang antara lain memuat data obat hewan yang telah terdaftar (jumlah dan jenis), pemilik nomor pendaftaran dan kegunaan obat hewan (khasiat).

45

Dari sistem database tersebut dipergunakan untuk mendukung program pengawasan obat hewan dilapangan, penentuan kebijakan obat hewan yang akan didaftarkan, keberhasilan koordinasi antara instansi yang terkait (Direktorat Jenderal Peternakan, Badan Karantina Pertanian, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan ASOHI). Langkah yang akan dilakukan adalah: (a) Koodinasi dengan ASOHI dalam rangka pengumpulan data dan

perusahaan obat hewan yang sudah terdaftar.

(b) Mengefektifkan pengumpulan data dan perusahaan obat hewan yang telah terdaftar yang akan ditampilkan pada data base obat hewan. (c) Mempersiapkan SDM yang bertanggung jawab terhadap

kelangsungan entry data obat hewan.

(d) Pembuatan sistem dan jaringan database obat hewan yang dapat diakses oleh instansi terkait.

(e) Penyusunan Indeks Obat Hewan Indonesia setiap 2 (dua) tahun. (5) Sosialisasi peraturan dibidang obat hewan pada semua stakeholder.

Sosialisasi perlu dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan agar terdapat persamaan persepsi antara Pemerintah cq Direktorat Jenderal Peternakan sebagai pihak regulator dengan para stake holder sehingga diharapkan tertib usaha melalui langkah menuju tercapainya tertib hukum (good corporate governance) dan tertib administrasi (well administered) dibidang usaha obat hewan. Langkah-langkah yang akan dilakukan adalah :

Mengadakan pertemuan regional dibidang kesehatan hewan yang dilaksanakan secara periodik serta pertemuan lainnya dapat dimanfaatkan untuk pelaksanaan sosialisasi peraturan obat hewan antara lain kepada para aparat Pengawas Obat Hewan Propinsi/Kabupaten/Kota, ASOHI, ASOHI Daerah serta instansi terkait setempat.

(6) Koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka mewaspadai masuknya dan beredarnya obat hewan ilegal

Peningkatan pengawasan terhadap peredaran obat hewan ilegal khususnya asal impor akan terus dilakukan secara berkesinambungan. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

Mengintensifkan koordinasi dengan instansi terkait yaitu dari unsur Badan Karantina Pertanian, Bea dan Cukai, Kepolisian, Badan POM, Dinas Peternakan dan Pengurus Asosiasi Obat Hewan Indonesia, terutama instansi terkait di wilayah perbatasan dengan negara tetangga.

(7) Monitoring Efek Samping Obat Hewan (MESOH)

Monitoring dan evaluasi efek samping obat hewan secara konsisten tetap dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kondisi obat hewan yang telah terdaftar yang ada di lapangan dalam hal efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan produk tersebut di klinik hewan/dokter

46

hewan praktisi, pos keswan/pusat pelayannan keswan, Dinas Peternakan Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

(a) Melakukan koordinasi dengan BBPMSOH/BPPV/BBV untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi efek samping obat hewan secara konsisten.

(b) Membahas temuan yang berkaitan dengan hasil evaluasi monitoring efek samping obat hewan di lapangan yang berupa data dan informasi dalam rapat PPOH.

(c) Melaksanakan konsultasi teknis dengan instansi yang berpengalaman dengan pelaksanaan monitoring efek samping obat (Badan POM).

(8) Kerjasama dengan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI)

Pemerintah akan terus mendorong pembinaan yang dilakukan oleh ASOHI terhadap anggota-anggotanya untuk tercapainya tertib hukum dan tertib administrasi dibidang obat hewan. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

(a) Meningkatan kerjasama antara Direktorat Jenderal Peternakan dengan ASOHI melalui Program Temu Anggota ASOHI (PROTAS) yang pelaksanaannya secara periodik.

(b) Pihak Pemerintah lebih melibatkan ASOHI dalam menyusun peraturan dibidang obat hewan dengan tujuan agar ketentuan tersebut dapat berjalan dengan baik dilapangan.

(9) Pembatasan Penggunaan Obat Hewan klasifikasi Obat Keras

Sesuai dengan perkembangan Iptek di bidang obat hewan serta memperhatikan rekomendasi dari FAO tentang perlunya evaluasi terhadap penggunaan antibiotik golongan Quinolon seperti Ciprofloxasin yang sekarang sebagai produk unggulan untuk mengatasi kasus-kasus penyakit infeksi pada manusia, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut : (a) Menginventarisir daftar antibiotik yang digunakan sebagai obat

hewan,

(b) Merekap obat hewan yang mengandung antibiotik golongan quinolon,

(c) Menyusun peraturan untuk pembatasan penggunaan obat hewan klasifikasi obat keras.

(10) Pengaturan terhadap residu obat hewan

Dalam rangka upaya untuk melindungi kesehatan masyarakat terhadap penggunaan obat hewan yang tidak sesuai ketentuan sehingga berakibat antara lain adanya residu obat hewan pada produk-produk peternakan yang tidak diharapkan, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :

47

(a) Merekap data waktu henti obat (withdrawal time) yang ada di publikasi internasional

(b) Mendorong BBPMSOH untuk melakukan penelitian withdrawal time obat hewan yang ada persyaratan withdrawal time nya dengan kondisi Indonesia.

(c) Menyiapkan peraturan yang memuat sanksi hukum terhadap pelanggaran ketentuan withdrawal time dalam penggunaan obat hewan tertentu.

(d) Sosialisasi terhadap peraturan perundangan yang mengatur tentang residu obat hewan

(11) Dukungan Legislasi

Penyempurnaan peraturan perundangan obat hewan yang disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika otonomi daerah dan era pasar global yang meliputi:

(a) Revisi Keputusan Menteri Pertanian yang mengatur tentang Pengawasan Obat Hewan dan Izin usaha Obat Hewan serta Syarat dan Tata cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan ,

(b) Penyiapan konsep Keputusan Menteri Pertanian yang mengatur tentang penggunaan hormon pemacu pertumbuhan pada hewan produksi.

(c) Penyiapan konsep Keputusan Menteri Pertanian yang mengatur tentang penggunaan kloramfenikol pada hewan produksi.

(d) Revisi Keputusan Menteri Pertanian tentang Klasifikasi Obat Hewan. Sesuai dengan perkembangan di bidang obat hewan telah dilakukan pengkajian kembali terhadap Keputusan Menteri Pertanian No. 806/Kpts/TN.260/12/94 tentang Klasifikasi Obat Hewan terutama yang menyangkut penggunaan antibiotika sebagai imbuhan pakan (feed additive) serta evaluasi penggunaan antibiotika golongan quinolon dalam obat hewan, seperti ciprofloxacin dan derivatnya untuk tujuan pengobatan.

(e) Keputusan Direktur Jenderal Peternakan tentang Identifikasi Pelanggaran di bidang usaha obat hewan

(f) Keputusan Direktur Jenderal Peternakan tentang Petunjuk Teknis Pengawasan Obat Hewan

(g) Penerapan sanksi terhadap pelanggaran dibidang obat hewan d. Pengembangan Sistem Data dan Informasi Kesehatan Hewan di Indonesia.

Peran informasi di era sekarang ini sangat vital dan dibutuhkan masyarakat. Kinerja pemerintah menjadi sorotan publik, sehingga perlu diperlukan media informasi yang dapat diakses publik, sebagai upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan. Disamping itu informasi kesehatan hewan sangat diperlukan masyarakat terutama jika muncul penyakit yang menular dan zoonosis. Sub Direktorat Medik Veteriner yang memiliki tugas Informasi Kesehatan melaksanakan fungsi tersebut melalui:

48

Upaya pengembangan SIKHNAS dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

(a) Restrukturisasi dan deformatisasi pelaporan untuk kepentingan standardisasi dan harmonisasi.

(b) Pengembangan data base yang sudah ada untuk pengolahan datadengan program INFOLAB.

(c) Pengembangan pilot proyek manajemen data base jalur pengiriman laporan dari BPPV/BBVet ke pusat data base (Dit. Keswan) dengan penggunaan jaringan elektronik/modern.

(2) Pengembangan media cetak informasi kesehatan hewan

Untuk memperluas cakupan informasi kesehatan hewn kepada stakeholder dan masyarakat luas perlu diterbitkan media cetak informasi kesehatan hewan dan didistribusikan secara luas. Untuk itu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

(a) Pengembangan Informasi Perlindungan Hewan

(b) Penyusunan dan pencetakan Buletin perlindungan hewan. (c) Penyusunan dan pencetakan Newsletter Penyakit Eksotik.

(d) Penyusunan dan pencetakan Newsletter Situasi AI di Mancanegara. (e) Pencetakan buku persyaratan kesehatan hewan dan bahan baku

pakan asal hewan.

(f) Pengembangan Informasi Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan.

(g) Penyusunan dan Pencetakan Buletin PHM Monitor 3 kali setiap tahun.

(h) Penyusunan dan Pencetakan Pedoman teknis Pengendalian dan Pemberantasan PHM yaitu Jembrana, IBR , Trypanosomiasis dan Avian Influenza serta PHM lainnya.

(i) Penerbitan media informasi kesehatan hewan. (j) Majalah Warta Kesehatan Hewan.

(k) Bulletin Pelayanan Kesehatan Hewan. (l) Bulettin Jabatan Fungsional.

(3) Pengembangan website Direktorat Kesehatan Hewan (http://www.keswan.ditjennak.go.id), yang mencakup :

(a) Pengembangan design dan program website keswan.ditjennak.go.id, sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan.

(b) Updating isi website dengan laporan dan berita terbaru sebagai layanan kepada publik sehingga masyarakat mendapatkan perkembangan informasi yang berkembang seputar masalah kesehatan hewan.

(c) Mengembangkan koordinasi dan komunikasi website Direktorat Kesehatan Hewan dengan website Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan dan website Departemen Pertanian.

(d) Pengembangan jaringan informasi antar instansi Kesehatan Hewan terkait baik UPT maupun Dinas yang Membidangi Kesehatan Hewan di daerah sebagai upaya mempercepat pelaporan yang masuk.

49 4. Program Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) Kesehatan Hewan

a. Pengadaan Pegawai yang Profesional

(1) Rekruitmen SDM sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan (2) Kaderisasi SDM berdasarkan jenis keahlian yang dibutuhkan. b. Peningkatan Mutu SDM melalui :

(1) Peninggkatan Kualitas SDM Laboratorium Kesehatan Hewan, dilaksanakan dengan cara:

(a) Magang pada berbagai UPT yang lebih maju. (b) Training non gelar (3-6 bulan).

(c) Pendidikan S2/S3 tenaga potensial.

(d) Program ini dilaksanakan melalui kerjasama formal dan indormal baik di dalam negeri maupun dengan luar negeri.

(2) Peningkatan Mutu SDM Direktorat Kesehatan Hewan, melalui:

(a) Pelatihan Analisa Resiko Kualitatif dan Kuantitatif untuk staf Direktorat Kesehatan Hewan

(b) Apresiasi Analisa Resiko untuk staf Dinas Peternakan Daerah dan BPPV.

(c) Peningkatan kualitas staf Direktorat Kesehatan Hewan dengan pendidikan pascasarjana di bidang penyakit eksotik

(d) Pelatihan pengenalan penyakit eksotik untuk dokter hewan kantor pusat, laboratorium dan lapangan

(e) Peningkatan staf Direktorat Kesehatan Hewan di bidang manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti studi banding pada perusahaan peternakan unggas, babi dan sapi perah

(f) Pelatihan auditor untuk akreditasi manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti pada unit usaha peternakan.

(3) Peningkatan Kualitas SDM Pengawas Obat Hewan

Dokumen terkait