• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN LEMBAGA DAN AKTOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

Bagan 4.1. Jenis-jenis Lembaga Adat

C. Relasi Lembaga Adat dan Aparat Penegak Hukum

3. Program Polmas: Kerja Mewujudkan Sinergitas

Pemolisian masyarakat (community policing)70 diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat. Aturan tersebut merupakan pembaharuan dari Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Keberadaan Pemolisian masyarakat yang diatur dalam kedua ketentuan di atas memiliki pengaruh besar terhadap kinerja lembaga adat Aceh yang sudah eksis dari dulu hingga sekarang dalam menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Visi misi yang ingin dicapai dalam Perkap tersebut memiliki persamaan dengan visi yang ingin diwujudkan oleh lembaga adat yaitu memelihara ketertiban dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Pasal 2 huruf (b) Perkap Nomor 3 Tahun 2015 menyatakan terwujudnya kemitraan Polri dan masyarakat yang didasarkan pada kesepakatan bersama untuk menangani masalah sosial yang dapat mengganggu Kamtibmas guna menciptakan rasa aman, tertib, dan tenteram. Begitu juga dengan tujuan yang ingin dicapai dengan adanya lembaga adat Aceh sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 98 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pemerintahan Aceh yaitu Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.

70

Pengertian Pemolisian Masyarakat (Community Policing) yang sering disingkat Polmas adalah suatu kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui kemitraan anggota Polri dan masyarakat, sehingga mampu mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya. Lihat Pasal 1 angka (2) Perkab Nomor 3 Tahun 2015.

120

Kedua lembaga tersebut merupakan dua lembaga yang berbeda. Kepolisian merupakan institusi pemerintahan yang bertugas memberikan perlindungan, menegakkan hukum dan mengayomi masyarakat. Sebagai alat negara, Kepolisian terikat dengan segala peraturan perundang-undangan yang ada (ius constitutum) di Indonesia. Berbeda halnya dengan lembaga adat yang memiliki karakteristik penyelesaian perkara dengan menitikberatkan pada musyawarah dan mufakat. Di samping itu, lembaga adat dalam menangani kasus dan mengakhiri perselisihan yang terjadi dalam suatu komunitas masyarakat Aceh tidak terikat dengan suatu pedoman tertulis. Akan tetapi cenderung mengedepankan kebijaksanaan para pemangku sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat.

Ketika lembaga Kepolisian yang identik dengan instansi formal bersinergi dengan lembaga adat yang notabenenya non formal memiliki visi misi yang sama yaitu menyelesaikan persoalan yang dialami masyarakat, maka akan menjadi suatu kekuatan yang sangat luar biasa dalam menciptakan ketertiban dan harmonisasi dalam masyarakat. Tujuan ini hanya dapat diraih bila kedua lembaga tersebut (formal dan non formal) saling menjadikan mitra kerjanya masing-masing dan saling menghormati batasan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, tujuan ini sangat mustahil terealisasikan jika masing-masing lembaga bekerja secara terpisah.

Secara praktis, sinergitas kinerja lembaga formal dan non formal selama ini telah berjalan secara baik di beberapa daerah. Sebagian daerah yang lain masih ditemukan kedua lembaga tersebut tidak berjalan secara beriringan, akan tetapi berjalan secara sendiri-sendiri. Namun, beberapa daerah lainnya dalam penelitian ini mengatakan bahwa saat ini sinergitas hubungan antara kepolisian dan masyarakat dalam penyelesaian sengketa sudah mulai berjalan secara baik. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Mawardi Nursa, salah seorang Bhabinkamtibmas yang bertugas di Polsek Keuramat Mufakat Kabupaten Aceh Tengah:

“Sejak adanya Bhabinkamtibmas di lingkungan gampong, maka lembaga formal (kepolisian), mendampingi dan menyesuaikan serta lebih mengedepankan hukum adat dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Babinkhatibmas memiliki peran penting di setiap Gampong yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum adat oleh lembaga adat atau sarak opat. Pihak-pihak yang dilibatkan dalam

121

penyelesaian sengketa biasanya terdiri dari Bhabinkamtibmas, reje dan

tokoh-tokoh adat lainnya dengan mengedepankan musyawarah”.71

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Asnawi, salah seorang Keuchik di Kabupaten Bireuen, ia mengungkapkan bahwa:

“Koordinasi dengan aparat Kepolisian berjalan dengan baik selama ini. Bahkan polisi memberi peluang sebesar-besarnya kepada aparatur adat menyelesaikan kasus-kasus ringan yang terjadi di Gampong. Keseriusan Kepolisian dalam menjembatani tokoh adat ditunjukkan dengan

mengirimkan Bhabinkamtibmas untuk pengamanan sidang”.72

Hal ini menunjukkan bahwa kinerja yang dilaksanakan oleh kepolisian sesuai dengan amanat Peraturan Kapolri di mana kepolisian merupakan mitra kerja masyarakat telah terwujud. Kepolisian ikut membantu dan berperan sebagai mediator dalam memfasilitasi pihak-pihak yang bersengketa di masyarakat. Aparat Kepolisian turut berkontribusi dalam meminimalkan konflik dan persoalan-persoalan dalam masyarakat. Peran kepolisian pada saat proses pemeriksaan berlangsung bertindak sebagai mediator dan pengamanan dalam upaya mengantisipasi dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Meskipun lembaga non formal telah diberikan kewenangan menangani kasus-kasus yang tergolong ke dalam kasus-kasus adat, bukan berarti tidak ditemukan lagi masyarakat yang mengajukan persoalannya kepada Kepolisian. Sebagian masyarakat masih melaporkan kasus-kasus yang dialaminya kepada Kepolisian. Setiap laporan yang diajukan oleh masyarakat tetap diterima, namun kepolisian akan menghubungi aparatur gampong bila kasus tersebut termasuk kasus-kasus adat. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Supriadi bahwa:

“Prinsipnya pihak kepolisian tetap menerima jika ada laporan dari masyarakat tetapi tidak langsung melanjutkan prosesnya ke tahapan penyelidikan, melainkan menghubungi aparatur gampong agar dapat diselesaikan secara musyawarah di tingkat gampong”.73

71

Wawancara dengan Mawardi Nursa, Bhabinkatibmas Keuramat Mufakat Kabupaten Aceh Tengah, tanggal 12 Oktober 2016.

72

Wawancara dengan Asnawi, Keusyik Gampong Rambong Payong Kecamatan Peulimbang Kabupaten Bireuen, tanggal 6 Oktober 2016.

73

Wawancara dengan Supriadi, Kanit Binmas Polsek Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar, tanggal 7 Oktober 2016.

122

Dengan demikian, kepolisian sangat menghormati keinginan korban dari suatu perbuatan yang merugikan pihak lain, sehingga ia menerima setiap laporan yang disampaikan oleh masyarakat. Di sisi lain kepolisian juga turut memperhatikan kearifan lokal dan adat istiadat masyarakat Aceh dalam penyelesaian sengketa. Karenanya, setelah perkara diterima akan diserahkan kembali kepada aparatur gampong guna mencarikan solusi yang terbaik bagi para pihak.

Di samping adanya koordinasi yang sudah berjalan dengan baik, ada juga kepolisian yang tidak mengindahkan ketentuan adat istiadat. Oleh karenanya, ketika kasus sudah dilaporkan kepadanya akan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme yang digunakan tidak berdasarkan ketentuan adat melainkan sesuai dengan mekanisme peradilan pidana yang dimulai dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga sampai kepada pengadilan. Oleh karenanya, sosialisasi kepada pihak kepolisian sangat diperlukan supaya dapat memahami kasus-kasus yang dapat ditangani oleh masyarakat.74

Sosialisasi ini sangat penting dilakukan kepada kepolisian, karena kepolisian menjadi awal masuknya suatu perkara sebelum dibawakan kepada tahap selanjutnya. Apalagi sekarang bagi Polri sendiri sudah memiliki acuan dalam membangun mitra dengan masyarakat dalam menegakkan ketertiban dan perlindungan hukum bagi masyarakat. Usaha-usaha Polri berkaitan dengan keikutsertaan masyarakat dalam penyelesaian masalah telah diatur dalam program Pemolisian Masyarakat (Polmas). Sebagai suatu strategi, Polmas merupakan model pemolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar, antara polisi dengan masyarakat lokal, dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban, guna meningkatkan kualitas hidup warga setempat.

Dalam pengertian ini, masyarakat diberdayakan untuk ikut serta dalam proses penyelesaian masalah, sehingga tidak lagi semata-mata sebagai obyek dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, melainkan sebagai subyek yang menentukan dalam mengelola sendiri upaya penciptaan lingkungan yang aman dan tertib yang difasilitasi oleh petugas kepolisian. Warga dan polisi berusaha menemukan,

74

123

mengidentifikasi, menganalisis dan mencari jalan keluar atas masalah gangguan keamanan dan ketertiban.

Operasionalisasi konsep Polmas pada tataran lokal, dimungkinkan bagi warga masyarakat setempat untuk memelihara dan menumbuh-kembangkan norma-norma sosial (adat istiadat setempat) dan kesepakatan-kesepakatan lokal dengan tetap mengindahkan peraturan-peraturan hukum yang bersifat nasional dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.

Program pemolisian masyarakat yang dijalankan di Aceh di dukung berbagai pihak. Di Aceh pihak yang terlibat terdiri dari Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Majelis Adat Aceh, DPRA, IAIN, KNPI, PWI, dan Balai Syura Ureung Inong Aceh. Kesembilan pilar program polmas merupakan pembuktian keseriusan mendukung jalan program polmas. Internasional Organisation Migration (IOM) dengan bantuan dana dari Uni Eropa (EU) menginisiasi dan melaksanakan police project bagi reformasi kepolisian di Indonesia. Bentuk bantuannya dalam hal, kegiatan lokakarya dan sosialisasi, pembentukan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), pelatihan instruktur Polmas dan hak asasi manusia, pelatihan gadik SPN. Konsep pemolisian masyarakat lahir dari pendekatan berbasiskan keikutsertaan masyarakat bersama polisi dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan di lingkungan sekitarnya untuk mencegah kejahatan.75

Berbicara konsep penerapan polmas (community policing) ala Indonesia, tidak lepas dari konsep Siskamswakarsa yang dikembangkan sesuai dengan kekinian penyelenggaraan fungsi kepolisian, sebagaimana diatur dalam SKEP Kapolri No. Pol: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Diperkuat lagi dengan Peraturan Kapolri No. 7 tahun 2008 tentang pedoman dasar strategi dan implementasi pemolisian dan masyarakat dalam penyelenggaraan tugas Polri.

Penerapan kegiatan polmas di Aceh bersinergi dengan nilai-nilai kelokalan. Banyak hal telah dilakukan Polri, khususnya Polda Aceh dalam mendekatkan diri

75

Harian Aceh, Polmas dan Revolusi Kepolisian, Rubrik Fokus, hal. 10, tanggal 6 Agutus 2011.

124

kepada masyarakat. Kegiatan-kegiatan antara lain: membentuk atau menitipkan peran dan fungsi Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) ke dalam pranata adat yang sudah terbentuk sebelumnya di Aceh. Prinsip FKPM menjunjung nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan. Peran dan fungsi FKPM memecahkan masalah dalam rangka mencegah kejahatan. Forum tersebut, dititipkan ke dalam lembaga lokal yang sudah ada di masyarakat Aceh. Lembaga masyarakat lokal yang dimaksud adalah

Tuha Puet atau nama lain. Pada hakikatnya lembaga lokal disebut dengan engenious,

maksudnya lembaga yang tumbuh dan terbentuk dari masyarakat lokal.

Kata “menitipkan”, maksudnya adalah polisi membangun komunikasi kepada masyarakat dalam upaya mencegah berbagai tindak kejahatan. Tertuang dalam Qanun No. 9 tahun 2008 tentang peran Tuha Peut. Tuha Peut atau nama lain dipercaya mampu mencegah tindakan dari pihak/orang tertentu dalam lingkungan masyarakat yang ingin berbuat jahat.

Adapun tugas FKPM dalam program tersebut adalah terkait dengan Kamtibmas, seperti:

a. Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan operasional Polmas dalam rangka mencegah gangguan Kamtibmas di masyarakat.

b. Mengumpulkan data, mengidentifikasi masalah yang ada di wilayahnya. c. Mengambil langkah-langkah proporsional dalam Binluh dan preventif. d. Membahas permasalahan sosial yang terjadi di wilayahnya.

e. Menetapkan ketentuan-ketentuan dalam FKPM dan melaksanakannya.

f. Memantau kegiatan warga dari aspek Kamtibmas.

g. Menampung keluhan warga dari gangguan Kamtibmas serta membahas dengan petugas Polmas guna pemecahannya.

h. Menampung keluhan warga dari masalah-masalah sosial serta menyalurkan dan koordinasi dengan aparat yang berkepentingan.

Selain itu, program Polmas juga melaksanakan kegiatan “Sawue Sikula” dan “Sawue Meunasah”.76

Program ini merupakan salah satu cara polisi melakukan kedekatan dengan masyarakat. Kegiatan Sawue Sikula sebagai upaya memberikan

76

Kementrian Agama Provinsi Aceh, Ketika Polisi Saweu Sikula, Majalah Santunan, Edisi 6 Juni 2011 M.

125

informasi akan fungsi dan tugas kepolisian serta membangun generasi yang peduli mencegah kejahatan. Sedangkan Sawue Meunasah untuk memberikan cerama, sebagai upaya mendorong kesadaran akan pentingnya suasana lingkungan yang aman dan tenteram. Selanjutnya kegiatan polisi dengan tokoh-tokoh masyarakat, kegiatan ini bertujuan memperkuat kapasitas tokoh-tokoh masyarakat yang lebih peduli akan lingkungan sekitarnya. Peran tokoh sangat penting untuk memfasilitasi atau menjadi mediator terhadap permasalahan sosial, ketertiban dan perselisihan yang terjadi di gampong untuk terwujudnya harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat.

126