• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEDIASI KOMUNITAS: JALAN MENUJU DAMAI

Bagan 5.5. Model Penyelesaian Sengketa

4. Upacara Perdamaian (Peudamee)

Upacara atau acara perdamaian, biasanya dilaksanakan untuk kasus-kasus yang berat dan memerlukan perbaikan lanjutan antara para pihak yang bersengketa. Jadi, tidak semua sengketa atau perselisihan diperlukan pelaksanaan upacara perdamaian. Untuk kasus-kasus ringan cukup hanya dengan proses peumat jaroe setelah adanya keputusan damai di tempat kejadian atau langsung setelah dimediasi.

Dari beberapa kasus yang telah disebutkan sebelumnya, proses pelaksanaannya upacara perdamaian, ditentukan secara khusus waktu dan tempat pelaksanaannya, yang biasanya dilaksanakan di meunasah, serta dihadiri oleh masyarakat gampong, pada umumnya, diadakan sejenis acara untuk memberitahukan kepada masyarakat secara luas bahwa mereka telah berdamai. Acara tersebut biasanya berbentuk seremonial, yaitu:

a. Mendengar kata-kata nasehat dari tokoh adat/agama/masyarakat. b. Kenduri/makan bersama.

c. Diadakan upacara peusijuek.10

9

Wawancara dengan Asyhari Hendri, Kapolsek Syiah Kuala Banda Aceh, tanggal 18 Oktober 2016.

10

Peusijuek bermakna sejuk dan menyejukkan, menyegarkan, tenang, dan menyenangkan, yang semuanya dilambangkan dalam percikan air tepung tawar melalui kuas tangkai dan daun sisijeuk, manek, mano, pineung sikemeu, mayang, tuba, dan naleung sambo. Tata cara pelaksanaan peusijuek dilakukan dengan urutan, pertama, menaburkan breuh pade (beras padi), kedua, menaburkan air tepung tawar, ketiga, peusunting bue lekat (nasi ketan) pada telinga sebelah kanan, keempat, melakukan teumeuteuk (pemberian uang) ala kadarnya. Biasanya acara peusijeuk diakhiri dengan do‟a bersama. Perlengkapan peusijeuk terdiri dari; talam satu buah, breuh pade satu mangkok,

182

d. Saling bermaaf-maafan dengan bersalaman (peumat jaroe). e. Di akhiri dengan doa dan salawat kepada Rasul.

Beberapa acara seremonial di atas memiliki arti yang cukup penting dalam pelaksanaan peradilan adat. Peusijuek misalnya, sebagaimana disampaikan oleh M. Nur, Keuchik Gampong Tanjong Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar bahwa peusijuek memiliki arti “puwoe roh”, artinya mengembalikan marwah (martabat) orang yang berperkara. Karena biasanya orang yang mengalami konflik, akan merasakan dirinya selalu dihantui oleh kesalahan, sedangkan korban merasa dirinya orang yang teraniaya, sehingga dengan adanya peusijuek maka para pihak dapat dikembalikan kepada pada keadaan semula.11

Selain peusijuek, juga dilakukan acara peumat jaroe, yaitu saling bersalaman dengan menjabat kedua belah tangan antara para pihak sebagai tanda telah menerima hasil putusan “damai” secara ikhlas, sekaligus bentuk pernyataan saling memaafkan dari ujung rambut sampai ujung kaki serta pengakuan telah hilangnya dendam di antara mereka. Jadi ini berbeda dengan puemat jaroe (bersalaman) biasa sehari-hari ketika saling berjumpa untuk bertegur sapa. Tujuan yang ingin dicapai dalam acara peumat jaroe adalah untuk mengumumkan kepada masyarakat dalam suatu gampong bahwa pihak yang bersengketa telah saling memaafkan. Di samping itu juga, untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa pertikaian di antara sesama warga merupakan hal yang tidak baik dan dapat mengakibatkan kerugian, baik secara materiil maupun imaterial. Dengan demikian

diharapkan kepada seluruh masyarakat untuk bertindak hati-hati serta

mempertimbangkan secara bijaksana sebelum melakukan hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain, baik dalam bentuk kata-kata atau ucapan, perilaku maupun dari tindakan.12

bu lekat satu dapeusi/talam, tumpo kelapa, daging ayam panggang, teupong taweu ngen ie (air), oun sisijeuk, oun manek mano, oun naleng sambo, glok air, dan sangee penutup. Juga ditambah perlengkapan lain, seperti: pureih, gapu ranup, sikin (pisau), dan lain-lain. Badruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Prov. 2002, hal. 161.

11

Wawancara dengan M. Nur, Keuchik Gampong Tanjong Kabupaten Aceh Besar, tanggal 11 Oktober 2016.

12

183

Tempat peudame yang lazim digunakan adalah meunasah,13 di samping tempat bermusyawarah, meunasah dipergunakan sebagai balai adat yang bertujuan untuk peudame dan memutuskan suatu perkara terhadap sengketa. Terhadap kasus-kasus yang dianggap besar, seperti tumpahnya darah pihak lain, maka meunasah menjadi alternatif yang tidak bisa ditinggalkan sebagai tempat peudame para pihak, karena dalam kehidupan masyarakat Aceh pada umumnya meunasah memiliki nilai tersendiri yang sangat khas. Peudame di meunasah memberikan pelajaran tersendiri baik kepada pelaku dan korban maupun kepada masyarakat banyak. Ini sesuai dengan pengertian meunasah berasal dari bahasa Arab yang disebut dengan “madrasah”, yang berarti tempat belajar.

Selain di meunasah, penentuan tempat perdamaian juga sangat ditentukan oleh kasus-kasus yang diselesaikan, dari kasus yang disebutkan di atas, seperti di rumah aparatur gampong, kantor camat, kantor polsek, kantor polres, kantor bupati, dan bahkan ada juga di tempat di mana terjadi peristiwa. Di antara beberapa tempat tersebut, penyelesaian di lingkungan meunasah memiliki nilai dan makna yang berbeda dengan tempat-tempat lainnya. Fungsi penyelesaian perkara di meunasah atau lingkungan meunasah terkandung makna dan filosofis kehidupan masyarakat Aceh, sebagai tempat yang memiliki martabat yang terkandung dan bersumber dari nilai-nilai adat dan syariat, yang tidak dimiliki oleh tempat-tempat lainnya.

13

Meunasah adalah simbol masyarakat Aceh, suatu fakta bahwa pada setiap gampong terdapat meunasah, sebagai sentral pengendalian tata kehidupan masyarakat gampong. Antara masyarakat Aceh dengan meunasah merupakan integritas dua sisi yaitu sisi meunasah dan sisi yang lain masyarakat Aceh, sehingga di mana ada masyarakat Aceh di situ ada meunasah. Badruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat Meunasah..., hal. 1. Sedangkan fungsi meunasah, yaitu sebagai: tempat mufakat/musyawarah berbagai keperluan; tempat penyelesaian sengketa; tempat istirahat/tidur para pemuda gampong; tempat menginap tamu-tamu yang kemalaman; tempat pengajian/pendidikan; dan tempat ibadah. Lihat: Badruzzaman Ismail, Asas-asas dan Perkembangan Hukum Adat, Banda Aceh: Gua Hira‟, 2003, hal. 16-17.

184