• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

B. Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator

1. Prosedur Pengungkapan 91

Ada sejumlah pilihan mekanisme prosedur pengungkapan adanya tindakan penyalahgunaan, perilaku tidak etis, maupun kegiatan yang membahayakan keselamatan dan kepentingan publik, kesalahan dan perilaku tidak etis yang sudah dipraktekkan. Prosedur tersebut mulai dari layanan hotline yang khusus ditujukan menerima laporan-laporan ataupun secara elektronik, seperti yang dikembangkan KPK.164

163 Ibid.,

164

Komisi Pemberantasan Korupsi mempublikasikan cara-cara menjadi whistleblower atau pemberi informasi yang aman, terkait kejahatan korupsi. Saat ini bisa lewat KWS atau KPK Whistleblower`s System. Website kws.kpk.go.id. KWS ini diadakan terutama untuk mereka yang ingin identitasnya tetap dirahasiakan, lalu tidak punya waktu karena berbagai alasan, dan juga tidak ingin publikasi. Itu juga salah satu alasan mengapa layanan ini diadakan, agar masyarakt bisa lebih dekat dan lebih mudah menghubungi KPK.

Dengan mengikuti petunjuk yang tertera di halaman internet kws.kpk.go.id tersebut, bagi pengungkap fakta yang ingin melapor, tinggal mengunjungi laman kws.kpk.go.id. Di halaman kws.kpk,go.id tersebut ada petunjuk lengkap bagaimana cara membuat laporan dan apa-apa saja isi laporannya.

Untuk melakukan pengaduan,

Namun demikian , tidak setiap informasi yang disampaikan kepada KPK melalui kws.kpk.go.id bisa ditindaklanjuti oleh KPK. Komisi Pemberantasan Korupsi menyematkan sejumlah syarat sebelum seeseorang bisa menjadi whistleblower. Salah satu syarat seorang menjadi whistle blower harus punya akses informasi yang memadai atas terjadinya korupsi di kantor atau unit kerjanya tersebut. Nilai korupsinya yang dilaporkan pun sekurang-kurangnya Rp1 milar.

whistleblower dapat menyampaikan informasi secara elektronik terkait penyimpangan dengan memberikan kronologis dan melampirkan bukti yang dapat mendukung adanya penyimpangan, seperti data, dokumen kontrak gambar dan/atau rekaman.165

165 R Ghita Intan Permatasari , LKPP Luncurkan Whistle Blower Sistem- Okezone 13 April 2012, diaskes pada bulan September 2012.

2. Informasi Yang Dapat Diungkap.

Saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang spesifik mengatur jenis tindakan-tindakan yang dilarang, bertentangan dan membahayakan kepentingan publik. Ketentuan mengenai tindakan yang dimaksud masih tersebar di sejumlah UU. Beberapa UU inilah yang dapat dijadikan pedoman bagi seorang whistleblower untuk menentukan tindakan yang hendak diungkap itu masuk kategori dilarang, bertentangan maupun membahayakan kepentingan publik.166

Contoh perbuatan-perbuatan yang dilarang berdasarkan peraturan-perundang-undangan di Indonesia, yakni:167

1. Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam KUHP;

2. Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi; 3. Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam UU Tindak Pidana Narkotika; 4. Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam UU Terorisme;

5. Perbuatan-perbuatan yang diatur dalam UU Pengelolaan Hidup; 6. Tindakan-tindakan yang dilarang dalam UU Kesehatan;

7. Tindakan-tindakan yang dilarang dalam UU Konsumen, dan UU lainnya yang berkaitan dengan perlindungan kepentingan publik.

Keberadaan whistleblower tidak hanya pada kasus-kasus tindak pidana saja, tetapi banyak juga yang berhubungan dengan masalah etika dalam perusahaan, cord of conduct, kentenetuan-ketentuan dan pedoman-pedoman dalam bekerja yang tidak

166

Abdul Haris Semendawai et al., Op.Cit., hal.82

167 Ibid.,

harus merupakan pelanggaran pidana, karena awalnya orang tidak mengenal whistleblower tetapi etichal resistor yaitu orang yang mempertahankan etika.

3. Lembaga Yang Berwenang.

Whistleblower dalam mengungkapkan fakta harus diajukan kepada lembaga yang tepat. Tiap lembaga publik adalah lembaga yang tepat untuk menerima suatu pengungkapan demi kepentingan umum. Media massa merupakan pelabuhan terkahir bagi pengungkap fakta.168

Di Indonesia, pengungkapan sebuah skandal dapat dilakukan dengan melapor kepada lembaga-lembaga yang berdasarkan UU memiliki kewenangan untuk menangani kasus-kasus whistleblowing, seperti LPSK, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Yudisial, PPATK, Komisi Kepolisian Nasional, dan Komisi Kejaksaan.

169

Namun lembaga yang tepat jika cermati adalah Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, kemudian lembaga ini ketika menerima laporan tersebut melakukan investigasi meneliti laporan yang diungkapkan dan melakukan wawancara terhadap pengungkap fakta dan apabila pengungkap fakta tersebut diyakini masuk pada kriteria whistleblower Pimpinan Lembaga tersebut menetapkan pelapor sebagai whistleblower selanjutnya lembaga tersebut membuat surat permohonan kepada Lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) untuk dimasukan pada program perlindungan.

168

Quentin Dempster, Op.Cit,hal. 247

169

Mengapa hanya beberapa lembaga tersebut merupakan yang paling tepat, karena lembaga seperti ombudsman, komisi yudisial dan PPATK akhirnya juga akan melimpahkan kepada salah satu dari tiga lembaga tersebut, sehingga untuk lebih mempersingkat administrasi dan mempercepat penanganan perkara lebih efektif ketiga lembaga tersebut. Sedangkan untuk LPSK, jelas bukan kewenangnannya untuk menerima laporan telah terjadinya suatu tindak pidana tetapi pada akhirnya LPSK merupakan lembaga yang akan menjamin perlindungan saksi dan korban serta whistleblower dan justice collaborator.

Keuntungan system seperti adalah ini untuk pengembalian apa yang dinamakan Integrity of the system of institutionslized trust, dalam kerangka perspketif komunal. Whistleblower akan merasa dijamin kembali kepentingannya dalam suasana tertib social yang adil. Sistem ini dapat menghemat biaya sebab dengan bantuan pedoman yang baku, peradilan pidana dapat mempertimbangkan kompensasi kepada whistleblower dan justice collaborator.170

Untuk menghindari pembebanan kepada penyidik, perlu adanya pembagian tugas aparat penegak hukum dimana secara professional penyidik dapat menginvestigasi keterangan yang diterima dan perlindungan hukum terhadap whistleblower dilakukan oleh LPSK sementara kompensasi yang diberikan dijamin pengadilan sesuai dengan UU whistleblower dan justice collaborator.

170

Muhadar et al., Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, hal 176., Model Pelayanan (the Service Model) untuk perlindungan korban kejahatan, menurut penulis dapat diterapkan terhadap whistleblower dan justice collaborator.

Beberapa hak saksi dan korban dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban dapat juga diterapkan terhadap Whistleblower. Pasal 5 ayat (1) menyebutkan :

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menetukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah;

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembembangan kasus; g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. Mendapatkan identitas baru; j. Mendapatkan kediaman baru;

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapatkan nasehat hukum; dan atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Penjelasan pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kasus-kasus tertentu antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.171

171

4. Praktik Whistleblowing System

Meskipun Whistleblower belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, sistem whistleblowing telah banyak diterapkan oleh lembaga publik dan perusahan-perusahan besar baik BUMN maupun swasta. Hal ini merupakan budaya hukum (legal culture) yang sangat posistif yang telah tumbuh atas kesadaran masyarakat.

Di sini hukum menyadari kekuarangannya sehingga menyediakan berbagai mekanisme untuk menyelamatkan eksistensinya. Terkait permasalahan luar biasa yang sedang dihadapi hukum di Indonesia, disarankan untuk tidak ragu-ragu mengambil langkah-langkah progresif. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan kita dari belenggu kerangkeng hukum. Kita memang membutuhkan hukum, tetapi jangan sampai terjadi hukum itu justru membelenggu kita.172

Untuk mempraktikan whistleblowing system diperlukan adanya pernyataan komitmen kesediaan dari seluruh karyawan untuk melaksanakan sistem pelaporan pelanggaran. Karyawan juga dituntut untuk berpartisipasi aktif untuk ikut melaporkan bila menemukan adanya pelanggaran. Secara teknis, pernyataan ini dapat dibuat tersendiri, atau dij adikan dari bagian perjanjian kerja bersama, atau bagian dari pernyataan ketaatan terhadap pedoman etika perusahaan.173

Sementara itu, perusahaan juga harus memiliki komitmen untuk membuat kebijakan untuk melindungi pelapor. Kebijakan ini harus dinyatakan secara tegas,

172

Satjipto Rajardjo, Op.Cit., hal 140.

173

sehingga para karyawan atau pelapor dari luar dapat melaporkan tanpa dihantui rasa takut dipecat atau diberi sanksi tertentu. Selain itu kebij akan ini juga dapat menjelaskan maksud dari perlindungan tersebut adalah untuk mendorong terjadinya pelaporan pelanggaran dan menjamin keamanan si pelapor maupun keluarganya.174

Dalam kebijakan ini harus dijelaskan secara tegas saluran pelaporan mana yang tersedia untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi. Selain itu juga ada pernyataan bahwa semua laporan pelanggaran akan dijamin kerahasiaan dan keamanannya oleh perusahaan. Bila pelapor menyertakan identitasnya secara jelas ia juga dijamin haknya untuk memperoleh informasi mengenai tindak lanjut atas laporannya.175

Kebijakan ini juga menjelaskan bagaimana seorang pelapor dapat mengadukan bila mendapatkan balasan berupa tekanan atau ancaman atau tindakan pembalasan lain yang dialaminya. Saluran pelaporan pengaduan ini harus jelas dan kepada siapa harus mengajukan pengaduan, misalnya, Komite Integritas, Komite Pemantau Sistem Pelaporan Pelanggaran, Komite Audit atau yang lainnya. Dalam hal masalah ini tidak dapat dipecahkan secara internal, pelapor dijamin haknya untuk membawa ke lembaga independen di luar perusahaan, seperti misalnya mediator atau arbitrase atas biaya perusahaan.176

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) meluncurkan whistleblower

174

Ibid.,

sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peluncuran ini, ditandai

175

Ibid.,

176 Ibid.,

dengan beroperasinya website resmi whistleblower sistem Pengadaan Barang/Jasa pemerintah melalui www.wbs.lkpp.go.id.177

Jumlah surat pengaduan yang masuk ke LKPP pun cukup signifikan. Pada triwulan-I 2011 jumlah surat pengaduan yang masuk ke LKPP sebanyak 57 surat, jumlah ini meningkat pada triwulan-II, III, IV masing-masing sebesar 153, 177, dan 197 surat pengaduan sehingga total surat pengaduan di 2011 sebanyak 584 surat.178

Tujuan pengembangan whistleblower system di LKPP adalah untuk memperbaiki sistem pengawasan dan pencegahan administrasi, kerugian perdata dan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.179 Pada peluncuran whistleblower sistem pengadaan barang/jasa pemerintah tahap awal, whistleblower sistem masih terpusat di LKPP. Ke depan, whistleblower sistem diharapkan dapat terpasang di setiap Kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, dan kabupaten/kota.180

5. Whistleblowing System menurut Komite Nasional Kebijakan Governance

Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) mengeluarkan Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System) yang dikeluarkan tanggal 10 November 2008. Dalam konsep tersebut ada dua kata kunci yang berkaitan dengan whistleblowing system, yaitu pelapor dan pelanggaran. Dalam prakteknya kedua kata ini dipadankan menjadi pelapor pelanggaran dan kemudian disebut

177

R Ghita Intan Permatasari , Loc.Cit.,

178 Ibid., 179 Ibid., 180 Ibid.,

sebagai whistleblower. Pelapor pelanggaran ini bisa karyawan dari organisasi itu sendiri (pihak internal). Akan tetapi tidak tertutup adanya pelapor berasal dari pihak eksternal (pelanggaran, pemasok, masyarakat). 181

Syarat dari seorang whistleblower dalam konsep ini adalah memiliki informasi, bukti, atau indikasi yang akurat mengenai terjadinya pelanggaran yang dilaporkan oleh itikad baik serta bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu kebijakan perusahaan tertentu ataupun didasari oleh kehendak buruk atau fitnah sehingga informasi yang diungkap dapat ditelusuri atau ditindaklanjuti.182

Tujuan dari sistem pelaporan pelanggaran ini adalah untuk mengungkap tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melanggar hukum, perbuatan tidak etis atau tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia (confidential).183

Yang lebih penting lagi bahwa menurut ketentuan di dalam KNKG, kebijakan perlindungan harus menyatakan secara jelas bahwa seorang pelapor pelanggaran akan

181

Muhammad Fajri Meka Putra, Makalah, Whistleblower dan Peran Strategis di Korporasi Indonesia. 27 September 2009, Penulis adalah Partner MUC Consulting Group - Governance Consultant dan Direktur Riset & Pengembangan POLIGG (Policy & Law Institute for Good Governance). Diakses pada muc.gcg-risk.blogspot.com pada 23 Oktober 20012.

182

Abdul Haris Semnedawai et al.,Op. Cit.hal.70

183

mendapatkan perlindungan dari perusahaan terhadap perlakuan yang merugikan seperti:184

1. Pemecatan yang tidak adil 2. Penurunan jabatan atau pangkat

3. Pelecahan atau diskriminasi dalam segala bentuknya

4. Catatan yang merugikan dalam file data pribadinya (personal file record) Sementara yang disebut sebagai pelanggaran adalah perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, peraturan/standar industri terkait dengan peraturan internal organisasi, serta dapat dilaporkan.185

1. Melanggar peraturan perundang-undangan.

Yang termasuk di dalam aktivitas pelanggaran adalah sebagai berikut:

2. Melanggar kode etik perusahaan.

3. Melanggar prinsip akuntasi yang berlaku umum.

4. Melanggar kebijakan dan prosedur operasional perusahaan, ataupun kebijakan, prosedur, peraturan lain yang dianggap perlu oleh perusahaan.

5. Tindakan kecurangan lain yang dianggap perlu oleh perusahaan. Tindakan kecurangan lainnya yang dapat menimbulkan kerugian finansial ataupun non finansial.

6. Tindakan yang membahayakan keselamatan kerja. 6. Penerapan System Whistleblowing di Pertamina

184

Ibid.,

185

Pertamina adalah satu perusahaan yang membangun dan menerapkan sistem whistleblower sebagai salah satu mekanisme kontrol atas jalannya perusahaan. Sistem ini dibangun pada tahun 2008, diluncurkan pada 12 Agustus 2008. Beberapa hal penting yang menjadi topik di dalam sistem whistleblower di Pertamina adalah sebagai berikut:186

1. korupsi; 2. kecurangan; 3. conflict of interest; 4. code of conduct; dan 5. peningkatan kedisiplinan

Sistem ini merupakan salah satu bagian yang dibangun dalam rangka pelaksanaan Pertamina Clean, yang ditujukan untuk membangun atau menciptakan etika bisnis yang baik di lingkungan Pertamina. Inisiator dari sistem whistleblower ini adalah direksi Pertamina. Namun demikian yang menjadi pelaksana sistem ini adalah pihak ketiga.

Sistem whistleblower yang dibangun oleh Pertamina merupakan komplementer atau pelengkap dari mekanisme kontrol perusahaan yang telah ada. Pelaporan diusahakan dilakukan menggunakan sistem kontrol internal yang berlaku selama ini, baru jika memang tidak tersedia mekanismenya, maka dapat melalui sistem whistleblower ini.187 186 Ibid., hal.76 187 Ibid., hal 77

Prinsip-prinsip sistem whistleblower di Pertamina adalah sebagai berikut: a. cepat dan tepat, maksudnya adalah penanganan adanya laporan terhadap

pelanggaran, korupsi, dll di Pertamina harus ditangani dengan cepat dan tepat. b. Komunikatif, maksudnya Pertamina harus melakukan komunikasi terhadap

pelapor terkait dengan perkembangan laporannya.

c. rahasia, maksudnya semua laporan yang masuk ke sistem ini adalah bersifat rahasia, termasuk identitas pelapor akan dirahasiakan.

d. akurat, maksudnya penanganan yang dilakukan terkait dengan hal-hal yang akurat bukan berdasarkan asumsi atau analisa pribadi tertentu.

e. itikad baik, maksudnya bahwa pelapor harus memiliki itikad yang baik dan bukan berdasarkan dendam atau orientasi tertentu pelapor untuk melaporkan pelanggaran seseorang.

f. proteksi, maksudnya semua orang yang melaporkan pelanggaran-pelanggaran atau kecurangan di Pertamina akan dilindungi oleh Pertamina.

g. tidak ada diskriminasi, maksudnya semua orang dapat melaporkan dan tidak ada diskriminasi penanganan atas laporan-laporan tersebut.

Sedangkan informasi yang disyaratkan untuk pengajuan laporan harus memuat 5W (what, when, where, who ,why ), dan 1H (how). Faktanya, meski laporan-laporan tersebut telah memuat unsur 5W dan 1H, tidak semua merupakan laporan-laporan yang akurat. Paling banyak laporan yang masuk adalah informasi sampah atau tidak

disertai bukti, hanya analisa atau asumsi. Lebih lanjut didapat informasi bahwa laporan yang didapat adalah berkaitan dengan pelanggaran (fraud).188

Selanjutnya penanganannya ada dua, yaitu bisa dilakukan dengan menerapkan sistem kontrol internal yang sudah ada dan bisa juga dilakukan oleh pihak ketiga yang khusus menangani whistleblower system di Pertamina. Lebih lanjut dijelaskan oleh sumber dari Pertamina, jika yang melakukan kesalahan berposisi di bawah jajaran direktur, maka yang bertanggung jawab untuk menangani adalah direksinya. Sementara jika yang melakukan kesalahan adalah berposisi di atas direktur, tetapi di bawah komisaris, maka tanggung jawab penanganannya dilakukan oleh komisaris.189

Hal lainnya yang penting adalah mengenai ukuran nilai atau dapat tidak dianggapnya seseorang melakukan kesalahan. Pengalaman Pertamina menyatakan bahwa ukuran tersebut ditentukan sendiri oleh perusahaan atau organisasi itu sendiri. Sejauhmana nilai tersebut dianggap penting atau harus ditegakkan, juga tergantung dari perusahaan atau organisasi tersebut. Pertamina sendiri menggunakan ukuran etika bisnis dan code of conduct dari perusahaan sendiri. Batasan ini tidak ditentukan lebih dahulu sebelum ada whistleblower, namun dapat dilaksanakan secara bersamaan. Karena ini juga untuk membangun etika bisnis yang baik dan lingkungan kerja yang kondusif.190 188 Ibid., 189 Ibid., 78 190 Ibid.,

TYPICAL WHISTLEBLOWER DI PT PERTAMINA191

Pelapor Deloitte Pertamina Clean

191

Sumber: Ir. Waluyo, Direktur PT. Pertamina, dalam sebuah presentasi yang dikutip dalam buku Memahami Whistleblwer, LPSK.

Pelapor menghubungi Pertamina Clean melalui:

Tlp, email, fax, surat, dll

Pelapor menghubungi Pertamina Clean untuk tindak

Dokumen terkait