• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Ekonomi

Dalam dokumen OLEH : AHMAD AFANDI G 211 14 010 (Halaman 82-86)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4. Faktor-faktor Penyebab Petani Mengalihfungsikan

5.4.1. Faktor Ekonomi

Ratusan hektare tambak udang milik petani di Kelurahan Langnga, terserang penyakit. Akibatnya udang yang berumur dua bulan mati sehingga petani mengalami kerugian. Para petani tambak di daerah tersebut kesulitan untuk mengatasi penyakit yang menyerang puluhan hektar tambak udang, sebab penyakit yang menyerang pada udang belum bisa di atasi. Hal ini sesuai dengan yang diungkapakan oleh Bapak H.

Haking dan Bapak Zul :

“Sekarang dandoang e desiseng gaga wasselena itikkang, nasaba toli matei, pada je kalau depa nagana siulang e matesi, toli makkuamiro jadi iki cau to toli mappano mi bibit na degaga itikkang”….“Artinya, sekarang udang tidak bisa di panen, karna selalu mati, bahkan belum cukup umur udang satu bulan pasti mati, selalu begitu jadi saya juga tidak bisa selalu beli bibit tapi hasilnya tidak ada.”

Permasalahan yang sama juga dialamai oleh beberapa informan yang lain diantaranya adalah Bapak Aripais dan Bapak Sakka, selama mengelolah tambak mereka kehabisan cara untuk mengatasi penyakit udang yang beberapa tahun ini marak di rasakan para petambak yang lain, hal tersebut di ungkapakan bahwa :

64

“Inne cedde-cedde e toli manurung i wasselena pangempang e gara-gara penyaki e deyusseng i apa mapai na toli mate i doang e”….”Artinya, akhir-akhir ini hasil dari tambak sudah sangat menurun disebabkan oleh penyakit entah penyakit apa yang menyebabkan udang selalu mati”.

Para petani tambak di Kelurahan Langnga mengalami kasus yang sama bahkan hampir 100% petani tambak mengalami gagal panen akibat masalah penyakit udang, hal ini membuat para petani tambak berpikir keras dalam menghadapi masalah ini, bahkan penyuluh tidak bisa memberikan solusi terkait masalah penyakit udang yang di hadapi petani tambak di Kelurahan Langnga.

“Pura angka penyuluh sibawa insinyur tama aria Langnga nasang tau e dokter ahli dandoang, tapi apa cau siseng ada detto nusseng I lalanna kada apa pakkuai dandoang na toli mate. Nulle Puangantalami mitai kasi mapa nakkua, apa megaladdami kasi ipigau supaya adena mate dandoang e pura mi tau e mappaccing lunyya sibawa puratomi mappamatti tapi apa desiseng gagah berhasil (P. Basari, 2018)”….“Artinya, pernah ada penyuluh bersama insinyur datang di Kelurahan Langnga, orang bilang bahwa dia adalah dokter dari masalah udang, tapi ternyata dia tidak bisa mengatasi masalah penyakit tersebut.

Mungkin Allah Swt yang berkehendak, karna sudah banyak cara yang dilakukan petani tambak agar udang tidak mati diantaranya adalah pengangkatan lumpur pada tambak dan pengeringan pada tambak tapi tidak satupun cara yang dilakukan berhasil”.

Produksi udang tahun 2017 ini diperkirakan akan menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini disebabkan banyaknya tambak yang tutup pada akhir tahun 2016 dikarenakan terserang penyakit, terutama White Faces Disease (WFD), pertama kali ditemukan pada tahun 2014, dugaan penyebab penyakit ini adalah dominasi bakteri vibrio dalam organ pencernaan (lambung, hepatopankreas dan usus). Serangan

65 WFD menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi petambak karena menyebabkan kematian populasi hingga 90%. Minimnya pengetahuan petambak akan penyakit ini disertai buruknya manajemen kesehatan tambak, menjadi salah satu faktor tingginya kejadian wabah WFD di tahun 2016 (Tambakudang, 2017).

Para petani kesulitan untuk membasmi penyakit pada udang.

Sementara upaya yang dilakukannya selama ini tidak pernah membuahkan hasil. Sudah ada sosialsasi mengenai penanggulangan penyakit udang seperti memperhatikan umur benur yang sesuai. Namun itu dianggap tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi petani.

“Pura tomaki maccio pertemuan aria penyuluh e, isuroh maki perhatikan i umuruna bibi e sibawa rajanna bibi e nappa i pano pangempang e na toli mate leng mua (Syamsuddin dan Fahruddin, 2018)”….”(Artinya, kami sudah mengikuti pertemuan dengan penyuluh, penyuluh menyarankan bahwa sebelum menebar bibit ke tambak kita terlebih dahulu memperhatikan umur dan ukuran dari bibit tapi hasilnya belum juga berhasil”.

Selain itu, serangan penyakit dapat mempengaruhi ikan menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi lambat (kekerdilan), padat tebar sangat rendah, periode pemeliharaan lebih lama, yang berarti meningkatnya biaya produksi. Pada tahap tertentu, serangan penyakit tidak hanya menyebabkan menurunya hasil panen (produksi), tetapi pada tahap yang lebih jauh dapat menyebabkan kegagalan panen. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh informan Aripais bahwa :

“De’na siapa kalau pengeluaranna pangempang e, biasa e iyako napano bibi na dandoange 5.000 angkami wadding i tikkang 4.000.

tokkada e sipikulu itajang iyako 5.000 biasa. Iyako makukuae siaga-siaga I

66 pano bibi sikkuaroto cappu mate”….“Artinya, biaya yang dikeluarkan dalam mengelolah tambak tidak begitu besar, dulu jika bibit yang ditebar sekitar 5.000 pasti sudah ada yang akan di tangkap sekitar 4.000 atau sekitar 100 kg yang akan di tangkap. Tapi sekarang berapapun bibit yang kita tebar ke tambak segitupula yang mati”.

Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh beberapa informan seperti yang dikemukakan oleh informan Muh. Yusuf dan Zul bahwa :

“Kalau galung masalah roginna 50 %. Tapi kalau pangempang masalah salah ceddei 100 % roginna”….“Artinya, kalau sawah bermasalah, ruginya 50 %. Tapi kalau empang tidak berhasil gagal total 100 %”.

Berbeda dengan budidaya ikan dan udang di tambak, tanaman padi yang ditanam di sawah jika terserang hama penyakit, petani masih bisa menangani masalah tersebut dengan segera menyemprotkan pestisida atau obat-obat kimia lainnya. Sedangkan udang, petani tambak tidak tahu harus berbuat apa-apa. Dari pernyataan beberapa informan di atas, jelas bahwa penyakit udang, merupakan faktor utama petani tambak di Kelurahan Langnga mengalihfungsikan tambaknya menjadi sawah akibat adanya penyakit udang sehingga dalam mengelolah tambak memiliki resiko kegagalan yang besar dibandingkan mengelolah sawah.

Hal ini juga dikuatkan oleh salah satu peneliti yang bernama Pakpahan et al (2013), bahwa faktor-faktor penyebab alih fungsi lahan ada dua yaitu, faktor langsung dan tak langsung. Faktor langsung atau mikro yaitu faktor konvensi di tingkat petani dimana faktor tersebut mempengaruhi langsung keputusan petani. Faktor tersebut antara lain kondisi sosial ekonomi petani, seperti pendapatan, pendidikan,

67 kemampuan secara ekonomi. Sedangkan faktor tak langsung atau makro yaitu faktor konversi di tingkat wilayah dimana faktor tersebut tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani. Faktor ini mempengaruhi faktor-faktor lain yang nantinya berpengaruh terhadap keputusan petani.

Faktor tersebut antara lain seperti pertumbuhan penduduk yang mempengaruhi pertumbuhan pembagunan pemukiman dan perubahan struktur ekonomi ke arah industry dan jasa yang akan meningkatkan kebutuhan akan sarana transportasi dan lahan untuk industri.

Dalam dokumen OLEH : AHMAD AFANDI G 211 14 010 (Halaman 82-86)

Dokumen terkait