• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.3 Pembahasan

4.3.3 Dampak Perlakuan terhadap Siswa

4.3.3.1 Proses Belajar

Observasi kelas dilaksanakan pada tanggal 1 Februari untuk mengetahui kondisi lingkungan kelas sebelum diadakannya ekperimen. Peneliti mengamati bagaimana guru menyampaikan materi ajar kepada siswa. Dalam proses pembelajaran guru terlihat dapat menguasai kelas dengan baik dan siswa dapat mematuhi apa yang diperintahkan oleh guru. Siswa dapat tenang sehingga suasana kelas cukup kondusif untuk belajar. Guru dapat menyampaikan materi dengan

66

baik hingga jam pelajaran usai, tetapi proses pembelajaran terkesan kurang efektif. Guru menyampaikan materi dengan menggunakan metode ceramah sehingga proses pembelajaran hanya terpusat pada guru. Siswa hanya mendengarkan dan sekali-kali melakukan tanya jawab. Dalam observasi aktifitas pembelajaran yang menuntut siswa berperan aktif tidak terlihat seperti bekerja dalam kelompok atau memperagakan media pembelajaran. Untuk mengetahui hasil belajar, guru memberikan latihan soal yang ada dalam buku paket. Proses pembelajaran terkesan monoton atau membosankan sehingga guru ditengah-tengah proses pembelajaran kerap kali memberikan motivasi berupa lelucon untuk menyegarkan pikiran siswa.

Setelah observasi, kegiatan dilanjutkan dengan wawancara kepada guru kelas. Peneliti melakukan tanya jawab kepada guru tentang proses pembelajaran yang biasa dilakukan di dalam kelas. “Pembelajaran biasa saja. Maksudnya itu

guru berbicara, siswa mendengarkan, jika ditanya juga menjawab”, ungkap guru mitra (wawancara dengan guru, 6 Februari 2014). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa guru sudah terbiasa menggunakan metode ceramah. Guru terkesan aktif menjelaskan materi pelajaran, sedangkan siswa pasif dengan mendengarkan guru. Siswa sudah terbiasa menjawab jika guru memberikan pertanyaan. Dapat terlihat tidak adanya kegiatan yang membuat siswa lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran.

Saat proses pembelajaran berlangsung tentunya kerap muncul kesulitan dalam mengajar. Untuk itu peneliti menanyakan kepada guru kelas apakah ada kesulitan dalam mengajar, khususnya dalam mata pelajaran IPA. “Kalo untuk pelajaran IPA kesulitanya terkadang anak-anak itu susah menghafal. Apalagi kalau anak sudah malas membaca dan menulis! Jadi saya sering memberi soal

untuk memancing siswa yang terlihat kurang aktif agar mau belajar”, ungkap guru mitra (wawancara dengan guru, 5 Februari 2014). Dari pernyataan tersebut, kesulitan siswa adalah menghafal materi pelajaran. Guru sering kali hanya menyuruh siswa untuk membaca dan menulis, sehingga siswa menjadi bosan dalam menjalani proses pembelajaran. Untuk memancing keaktifan siswa, guru memberikan soal kepada siswa yang malas. Pertanyaan selanjutnya yaitu tentang media pembelajaran yang sering digunakan guru. “Paling pol mentok gambar”,

67

ungkap guru mitra (wawancara dengan guru, 5 Februari 2014). Guru hanya menggunakan gambar untuk membantu menjelaskan materi pada siswa tanpa menggunakan media yang lebih konkrit.

Setelah melakukan wawancara kepada guru, penelitian dilanjutkan dengan wawancara kepada 5 siswa tentang proses pembelajaran yang biasa dilakukan. Peneliti menanyakan apakah siswa senang dalam belajar IPA. “Senang, karena

tidak begitu sulit”, ungkap salah satu siswa (wawancara dengan siswa, 5 Februari 2014). Semua siswa merasa senang belajar IPA karena dianggap mudah untuk dipelajari. Selanjutnya peneliti menanyakan cara guru mengajarka IPA selama ini pada siswa. “Dengan lisan dan merangkum”, jawab siswa (wawancara dengan siswa, 5 Februari 2014). Berdasarkan pernyataan dari guru kelas dan juga pernyataan dari siswa terlihat adanya kesesuaian bahwa guru memang mengajar menggunakan metode ceramah. Siswa lebih banyak mendengarkan penjelasan guru dan merangkum dalam buku catatan.

Berdasarkan hasil observasi kelas dan wawancara terhadap guru dan siswa, terdapat persamaan data yang diperoleh. Data tersebut memperlihatkan dimana guru yang berperan aktif dalam proses pembelajaran sedangkan siswa hanya menjadi pendengar. Tidak terlihat kegiatan yang mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran seperti bekerja dalam kelompok sehingga siswa mudah bosan dalam mengikuti pembelajaran. Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti menerapkan metode mind map dalam pembelajaran bekerjasama dengan guru kelas sebagai guru mitra. Peneliti ingin mengetahui bagaimana dampak dari penggunaan mind map terhadap kemampuan evaluasi dan inferensi serta perilaku siswa selama mengikuti proses pembelajaran.

Kegiatan observasi dilakukan kembali pada tanggal 6 Februari 2014, saat pembelajaran menggunakan metode mind map. Sebelum siswa membuat mind map guru memberikan contoh mind map dengan materi gaya. Siswa terlihat tertarik dengan mind map yang memiliki warna dan bentuk yang menarik. Setelah guru menjelaskan cara membuat mind map siswa mencoba membuat mind map bersama kelompok yang telah ditentukan guru. Siswa terlihat antusias saat membuat mind map bersama kelompok. Guru hanya berperan sebagai pengarah, sedangkan siswa berperan aktif dalam kegiatan membuat mind map. Walaupun

68

siswa terlihat sibuk dengan menghias mind map bersama kelompoknya, kondisi kelas dapat dikelola guru dengan baik. Siswa dapat bekerjasama dalam kelompoknya untuk membuat mind map. Setelah siswa selesai membuat mind map, dilanjutkan dengan mempresentasikan mind map kelompok di depan kelas. Tiap kelompok saling berebut untuk mempresentasikan mind map terlebih dahulu. Hingga proses pembelajaran selesai siswa dapat mengikutinya dengan baik dan bersemangat.

Peneliti kembali melakukan wawancara kepada guru untuk mengetahui tanggapan guru setelah menggunakan metode mind map dalam pembelajaran. “Anak-anak lebih senang karena, satu anak anak lebih suka mengambar. Yang kedua mereka lebih dong, apa yang ingin mereka tuliskan. Terus lebih singkat,

padat, dan jelas buat mereka”, ungkap guru mitra (wawancara dengan guru, 24 Februari 2014). Berdasarkan pernyataan guru mitra, mind map berdampak positif bagi siswa. Siswa lebih termotivasi dalam belajar karena siswa dapat belajar sambil menggambar. Menurut guru penggunaan mind map lebih efektif dan efisien jika diterapkan dalam pembelajaran. Peneliti juga bertanya apakah mind map membantu guru dalam mengajar. “Membantu! IPA kalau memakai mind map

saya tidak terlalu banyak bicara. Yang kedua anak-anak lebih mau membaca, lalu

mengeluarkan apa yang mereka pengen tulis”, ungkap guru mitra (wawancara dengan guru, 24 Februari 2014). Penggunaan mind map membantu guru dalam pembelajaran. Guru tidak perlu menjelaskan materi terlalu banyak dan guru hanya berperan sebagai pengarah atau fasilitator. Selain itu guru merasa bahwa minat siswa untuk membaca lebih besar, siswa juga lebih aktif untuk mengeluarkan pemikiran mereka dengan menuliskannya pada mind map.

Setelah melakukan wawancara kepada guru, peneliti juga melakukan wawancara kepada 5 siswa yang sama pada saat wawancara sebelum menggunakan mind map. Peneliti ingin mengetahui apakah siswa senang membuat 5 siswa yang sama pada saat wawancara sebelum menggunakan mind map pada awal pertemuan. ” Senang , karena kreatif bisa menggambar”,ungkap salah siswa (wawancara dengan siswa, 24 Februari, 2014). Dari ke-5 siswa yang diwawancarai, semua berpendapat bahwa penggunaan mind map dalam permbelajaran membuat mereka lebih senang. Pertanyaan berikutnya ingin

69

mengetahui apakah siswa bosan menggunakan mind map setelah 6 kali pertemuan. ” Tidak, karena menyenangkan”. Jawaban dari siswa lainya sama, yaitu siswa tidak merasa bosan selama menggunakan mind map dalam pembelajaran.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara kepada guru dan wawancara kepada 5 siswa, terlihat adanya persamaan yaitu mind map berdampak positif terhadap minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Penggunaan mind map dapat melatih kerja sama siswa saat membuat mind map dalam kelompok. Selain itu siswa merasa dapat memahami materi dengan mudah saat menggunakan mind map.

Dokumen terkait