• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ILMU SOSIALPROFETIK KUNTOWIJOYO DAN

C. Implikasi Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo Bagi Pengembangan

3. Proses Belajar Mengajar

a. Humanisasi

Proses belajar mengajar mempertimbangkan kegiatan anak didik dan Pendidikan dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar itu anak sebaiknya tidak di biarkan sendidirian. Dibiarkan memang mungkin, tetapi hasil belajar oleh anak sendirian biasanya kurang maksimal. Karena itu para ahli menyebut proses belajar mengajar, Karena proses ini mmerupakan gabungan kegiatan anak belajar dan guru mengajar yang tidak terpisah (Rosyadi, 2004: 283).

Sebagaimana tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia (Kuntowijoyo, 2006: 87) oleh Karena itu, humanisasi sebagai proses belajar mengajar akan menghormati akan adanya kebebasan, bakat-bakat, kemampuan-kemampuan, kebutuhan-

152

kebutuhan, minat-minat, serta keinginan-kenginan antar individu (Muhaimin dan Mujib, 1993: 92).

Pentingya humanisasi sebagai proses belajar mengajar karena potensi dari setiap anak itu berbeda, serta dari kedua belah pihak yaitu pendidik dan peserta didik hendaknya tanpa adanya paksaan serta kekerasan. Berbicara tentang humanisasi maka akan ada kaitanya dengan psikologi, sebab keduanya membahas tentang manusia. Sebagaimana Asy-Syaibani menetapkan adanya dasar psikologi dalam kurikulum, dasar ini mempertimbanagkan tahapan psikis anak didik, yang berkaitan dengan perkembangan jasmaniah, kematangan, bakat-bakat jasmaniah, intelektual, bahasa, emosi, social, kebutuhan dan keninginan individu, minat dan kecakapan. Dasar psikologis terbagi atas dua macam, yaitu psikologi pelajar dan psikologi anak.

1) Psikologi pelajar, hakikat anak-anak itu dapat di didik, di belajarkan dan diberi sejumalah materi dan pengetahuan. Di samping itu hakikat anak-anak dapat mengubah sikapnya, serta

dapat menerima norma-norma, dapat mempelajari

keterampilan-keterampilan, berpijak dari kemampuan anak tersebut. Oleh Karena itu, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kurikulum memberikan peluang belajar untuk peserta didik, dan bagaimana proses belajar berlangsung, serta

153

dalam keadaan bagaimana anak itu memberi hasil yang sebaik- baiknya.

2) Psikologi anak, setiap anak mempunyai kepentingan yakni untuk mendapatkan situasi-situasi belajar pada anak-anak agar untuk mengembangkan bakatnya. Oleh karenaya, wajarlah jika anak merupakan factor penentu dalam pembinaan kurikulum yang berlangsung selama proses belajar mengajar (Muhaimin dan Mujib, 1993: 193).

b. Liberasi

Menurut Kuntowijoyo tujuan liberasi adalah pembebasan dari kekejaman kemiskinan structural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yag tergusur oleh ekonomi raksasa. Kita ingin Bersama-sama membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang kita bangun sendiri (Kuntowijoyo, 2006: 88).

Penulis mengartikan liberasi sebagai proses pembelajaran dalam kurikulum pendidikan Islam berarti memberi kebebasan penuh kepada peserta didik untuk mengambil keputusan untuk menentukan masa depanya sendiri. Tetapi dengan catatan peserta didik yang sudah mempunyai kriteria cukup. Liberasi tidak di pakai untuk peserta didik yang masih duduk dibangku TK sampai

154

SMP, karena pada usia tersebut peserta didik masih dalam tahap pendidikan jasmani dan pelatian pancaindra serta dalam tahap pembentukan watak dan pendidikan agama (Muhaimin dan Mujib, 1993: 178-179).

c. Transendensi

Dalam kaitanya transendensi sebagai proses belajar mengajar, penulis tidak akan terfokus pada pendidik dan peserta didiknya, karena buku yang membahas tentang pendidik dan peserta didik dalam Pendidikan Islam sudah teramat banyak.

Penulis akan membahas hal yang menjadi dasar atau landasan kegiatan pendidik dan peserta didik lakukan, yaitu proses belajar mengajar. Transendensi sebagai landasan kegiatan belajar mengajar dibagi menjadi tiga pilar, yaitu: kalam qauliyah (theological), ayat kauniyah (nomothetic), dan nafsiyah atau insaniyah (humaniora) (Kuntowijoyo, 2006: 25).

1) Pilar qauliyah (theological)

Pilar qauliyah digunakan oleh Kuntowijoyo sebagai landasan kegiatan belajar mengajar untuk mengakomodasi perintah dan larangan yang ada di al-Qur‟an dan al-Sunah dalam rangka menjadi landasan dasar pembentukan insan kamil atau khaira ummatin.

155 a) Al-Qur‟an

Syed Mahmudansir (1991: 429) menyebutkan bahwa al-Qur‟an diakui oleh orang-orang Islam sebagai firman Allah, dan karenanya ia merupakan dasar bagi hukum mereka. Sebenarnya, al-Qur‟an tidak diwahyukan secara keseluruhan, tetapi turun secara sebagian-sebagian, sesuai dengan timbulnya kebutuhn, dalam masa kira-kira dua puluh tiga tahun. Fazlurrahman (1987: 55) menambahkan bahwa pewahyuan total pada suatu waktu adalah mustahil, karena al-Qur‟a turun menjadi peunjuk bagi kaum muslimin dari waktu ke waktu yang selaras dan sejalan dengan kebutuhan yang terjadi (Rosaydi, 2004: 153).

Menurut Ash-Shidieqy (1980: 189), al-Qur‟an sebagai tempat pengambilan yang menjadi sandaran segala dasar cabang, yang menjelaskan tentang pranata susila yang benar bagi kehidupan manusia. Al-Qur‟an berisi aturan yang sangat lengkap dan tidak punya cela, mempunyai nilai universal dan tidak terikat ruang dan waktu, nilai ajaranya mampu membahas segala dimensi ruang dan waktu.

Semisal tentang ajaranya yang serba mencakup dan melingkupi, al-Qur‟an menyebut dirinya sebagai cahaya (4:

156

174); al-Qur‟an merupakan kitab pendidikan dan pengajaran secara umum, juga merupakan kitab pendidikan secara khusus, pendidikan sosial, moral, dan spiritual.

Menurut Al-Syaibany (1970: 40-41), jika falsafah berusaha mengkaji pangkal segala hal sampai keujungnya, juga mengkaji hubungan dan kaitan manusia dengan manusia, laluu antara manusia dengan alam jagad raya, antara manusia dan Sang Pencipta, maka falsafah Allah itu meliputi wujud secara keseluruhan; langit, bumi, benda- benda hidup, benda-benda spiritual dan material, yang zhahir dan yang bathin, yang awal dan yang akhir, meliputi segala wujud dengan keseluruhanya yang bersifat waktuu dan empat. Falsafal al-Qur‟an memadukan antara individu dan alam jagad, dan antara alam jagad dengan penciptanya. Inilah yang merupakan penjelmaan universalisme dan tauhid dalam al-Qur‟an (Rosyadi, 2004: 154).

Kalau al-Qur‟an merupakan sumber inspiasi dan aktivitas manusia dalam setiap sendi kehidupanya, yang akan mengantarkan manusia mampu berdialog secara ramah dengan dirinya sendiri, dengan alam sekitar, dan dengan Tuhanya, maka al-Qur‟an menjadi landasan yang kokoh dan paling strategis bagi orientasi pengembangan intelektual,

157

spiritual, dan keparipurnaan hidup manusia secara hakiki (Rosyadi, 2004: 155).

b) Al-Sunah

Rosyadi (2004: 155) menyamakan antara pengertian al-Sunah dan al-Hadist, karena perkemangan pengertian hadist dan sunah adalah menjadi sama. Secara substansial keduanya mengacu kepada segala perkataan, tindakan, dan persetujuan beliau Nabi Muhammad SAW terhadap hal-hal baik.

Menurut Rosyadi (2004: 155), dijadikanya al-Sunah sebagai sebagai dasar kegiatan belajar mengajar tidak lepas ddari fungsi al-Sunah itu sendiri terhadap al-Qur‟an. Funsi al-sunah terhadap al-Qur‟an ialah sangat peting. Ada beberapa pembenaran yang mendesak untuk segera ditampilkan, yaitu: pertama sunah menenrangakan ayat- ayat al-Qur‟an yang bersifat umum. Maka dengan sendirinya yang menerangkan itu terkemudian dari yang diterangkan. Kedua Sunah mengkhidmati al-Qur‟an.

Memang al-Sunah menjelaskan mujmal al-Qur‟an,

menerangkan musykilnya, dan memanjangkan

158

Al-Qur‟an menekankan bahwa rasulullah berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (16: 44). Abdul Halim Mahmud, dalam bukunya al-sunah fi makanatiha wa fi Tarikhiha, menulis bahwa al-Qur‟an mempunyai fungsi yang berhubungan dengan al-Qur‟an dan fungsi berkaitan dengan pembinaan hukum syara‟. Dengan menunjuk pendapat al-Syafi‟i dalam al-risalah, Abdul Halim menegaskan bahwa dalam kaitanya dengan al-Qur‟an ada dua fungsi al-Sunah yang tidak di perselisihkan, yaitu apa yang di distilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta‟kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekedar menguatkan atau menggaris bawahi kembali apa yang terdapat dalam al- Qur‟an, sedang yang kedua; memperjelas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur‟an (Shihab, 1992: 122).

2) Pilar Kauniyah (Nomothetic)

Selain menurunkan kalam qauliyah kepada umat manusia melalui penrantara Malaikat Jibril AS dan Nabi- Nabinya, ia membentangkan ayat-ayat kauniyah secara nyata, yaitu alam semesta dengan segala macam partikel dan heterogenitas berbagai entitas yang ada di dalamnya; langit yang begitu lua dengan gugusan-gugusan galaksinya, laut yag begitu membahana dengan kekayaan dan aneka aprimatan

159

yang di kandungnya, bumii yang bulat dengan segala yang di lahirkanya; pepohonan, bebukitan, pegunungan, dan berbagai macam binatang yang lainya.

Sebagai contoh dari ayat kauniyah tersebut ialah, “Dia- lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan guung- gunung dan sungai-sungai padanya. Dia menjadikan padanya buah-buahan berpasang-pasangan. Allah (jugalah) yang menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian ituu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” (al-Ra‟du: 3).

Dilihat secara pedagogis, hal tersebut amatlah penting bagi berlangsungnya proses pendidikan demi tercapainya (setidaknya) dan hal sekaligus; bukan hanya tumpukan ilmu dan kepandaian, tapi juga sikap arif dan kedewasaan jiwa (Rosyadi, 2004: 157-158).

3) Pilar Nafsiyah atau Insaniyah (Humaniora)

Pilar ketiga yang menjadi landasan kegiatan belajar mengajar adalah hal-hal yang berkenaan dengan makna, nilai, dan kesadaran atau biasa disebut dengan pilar nafsiyah. Maksudnya, segala makna, nilai dan kesadaran dalam pendidikan Islam bertolak dari landasan qauliyah dan kauniyah serta berakhir pula kepada Islam. sehingga pilar nafsiyah atau

160

insaniyah sebagai landasan dalam kegiatan belajar mengajar dapat memungknkan adanya ikhtiar, perubahan, dan transformasi sosial dalam rangka mendekatkan pendidikan kepada tujuanya.

Salah satu bentuk kemungkinan dari adanya pilar nafsiyah atau insaniyah sebagai landasan dalam kegiatan belajar mengajar adalah ijtihad. Menurut A.M. Saifudin (1991: 13), ijtihad sebagai langkah untuk memperbarui interpretasi dan pelembagaan ajaran Islam dalam kehidupan yang berkembang merupakan semangat kebudayaan Islami. Ijtihad yang dimaksud disini adalah pengertian yang luas, bukan ijtihad yang oleh sementara para ulama disebut sebagai ijtihad fardhi dan jama‟i. Kedua model ijtihad itu terjadi karena adanya keterikatan ruang dan waktu (Rosyadi, 2004: 158).

Menurut Soebahar (1992: 22), ijtihad yang diarahkan kepada interpretasi wahyu da al-kaun akan menghasilkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang menggembirakan. Sebab interpretasi manusia atas akan wahyu akan mengahsilkan pemahaman keagamaan atau agama yang aktual. Sementara interpretasi terhadap al-kaun akan menghasilkan ilmu pengetahuan (Munir, 2016: 93-95).

161

Seseorang yang melakukan kegiatan ijtihad disebut sebagai mujtahid. Seorang mujtahid senantiasa menggunakan akal budinya untuk memecahkan problematika kemanusiaan dalam kehidupanya. Orang yang senantiasa menggunakan akal budinya, oleh al-Qur‟an disebut sebagai ulul albab. Oleh Jalaludin Rakhmat (1991: 211) di jelaskan bahwa kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan berupa hikmah dan pengetahuan, di samping pengetahuan yang diperoleh secara empiris (Rosyadi, 2004: 159).

d. Objektivikasi

Suatu perbuatan dikatakan objektif bila perbuatan itu dirasakan oleh orang non-Muslim sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan termasuk amal. Objektivikasi juga dapat dilakukan oleh orang non-Islam, asal perbuatan itu dirasakan oleh orang Islam sebagai sesuatu yang objektif, sementara orang non-Islam dipersilakan menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan (Kuntowijoyo, 2006: 62).

Objektivikasi sebagai proses pembelajaran akan menghilangkan sikap subjektif pendidik terhadap peserta didiknya, seorang pendidik sudah selayaknya memiliki sikap objektif karena seorang pendidik bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran (Rosyadi, 2004: 172). Al-Ghazali dalam Mizanul Amal,

162

mengatakan bahwa orang-orang yang mempunyai ilmu

(Muta‟alim) berada dalam keadaan sebagai berikut: 1) Mencari faedah dan guna ilmu.

2) Mencari hail ilmu pengetahuan sehingga ia tidak bertanya- tanya.

3) Memberi wawasan ilmu dan mengajarkanya, dan inilah keadaan termulya baginya. Jadi, barang siapa telah mencaai ilmu pengetahuan, kemudian ia dapat mengambil faedahnya dan selanjutnya di ajarkan maka ia adalah laksana matahari bersinar yang menyinari lainya. Ia adalah laksana kasturi yang dapat mengahrumkan, dan ia sendiri harum (rosyadi, 2004: 175).

Dalam mencapai keadaan yang tersebut di atas, seorang pendidik harus memiliki sikap objektif. Jika pendidik tidak mempunyai sikap objektif maka sudah dipastikan tidak akan mencapai keadaan yang tersebut di atas, hanya akan menjadi pohon yang rindang tetapi tidak berbuah, dalam artian ilmunya tidak bermanfaat.

163 4. Evaluasi Pembelajaran

a. Humanisasi

Umat manusia sekarang ini sedang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial kita menjadikan kita sebagai bagian dari mayarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami objektivikasi ketika kita berada di tengah-tengah mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu ecenderungan reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial (Kuntowijoyo, 2006: 87-88).

Dari fenomena di atas, penulis akan menjadikan humanisasi sebagai fungsi dari evaluasi. Dimana tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia, dalam artian evaluasi pembelajaran humanisasi akan menyetarakan semua peserta didik, setara dalam tingkat pengetahuan maupun akhlak. Menurut Muhhaimin dan Mujib (1993: 277) fungsi evaluasi adalah membantu anak didik agar ia dapat mengubah dan mengembangkan tingkah akunya secara sadar, serta memberi bantuan padanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya. Dengan menambahkan humanisasi sebagai fungsi evaluasi maka antara peserta didik satu dengan yang lainya akan mendapatkan prilaku dan pengetahuan yang sama untuk bekal peserta didik dalam dunia pekerjaan maupun kehidupan bermasyarakat.

164 b. Transendensi

Kata kerja transcend, yang darinya kata transendental diambil, berasal dari bahasa latin transcendere yang artinya memanjat di/ke atas (Kuntowijoyo, 2006: 34). Dalam Islam tentu dapat di artikan hablumminallah yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan atau lebih tepatnya rasa keimanan.

Evaluasi pembelajaran merupakan komponen yang sangat penting dalam suatu kurikulum, sehingga seorang evaluator sudah seharusnya memiliki rasa keimanan, Rosyadi (2004: 285) menyebutkan salah satu dasar evaluasi adalah dasar religius. Bagaimana Islam dengan seperangkat norma dan ajaranya merupakan dasar yang fundamental bagi proses pendidikan Islam, khususnya dalam evaluasi, sebagaimana kita ketahui bahwa sifat manusia itu ada dua yang saling bertentangan, yaitu manusia makhluk yang dhaif dan lemah (QS, 4: 28; 6: 78; 17: 85); manusia makhluk yang mudah membantah dan ingkatr kepada Allah (QS. 18: 54; 17: 89) di satu pihak, dan manusia juga sebagai makhluk terbaik dari semua prestasi Tuhan tentang penciptaan (QS. 95: 4); manusia makhluk yang paling mulia (QS. 17: 70); manusia diangkat menjadi khalifah (QS. 2: 30; 6: 165) untuk mengelola alam serta isinya (QS. 2: 29; 31: 20) di lain pihak. Karena kondisi yang tarik menarik seperti inilah perlu adanya kontrol terus

165

menerus, yang dalam terminologi pendidikan kita sebut evaluasi (Rosyadi, 2004: 285).

c. Objektivikasi

Objektivikasi menempuh prosedur yang sama dengan eksternalisasi, tapi ada tambahan. Objektivikasi adalah juga konkretisasi dari keyakinan internal. Dengan objektifikasi akan dihindari dua hal: sekularisasi dan dominasi (Kuntowijoyo, 2006: 62). Umat Islam di tuntut untuk berprilaku objektif secara aktif. Islam adalah ramat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil „alamin-QS Al-Anbiya‟ 21: 107), dengan artian Islam di turunkan sebagai rahmat kepada siapapun, tanpa memandang agama, warna kulit, budaya, dan sebagainya. Demikian pula diperintahkan kepada umat Islam untuk berbuat adil, tanpa pandang bulu, kerabat, status, kelas, golongan (baca QS Al-Maidah 5: 8). Supaya Islam benar-benar dapat dirasakan sebagai rahmat yang adil kepada siapa pun (Kuntowijoyo, 2006: 61).

Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa sebuah prilaku dapat di katakan objektif jika prilaku tersebut dapat dirasakan oleh orang non-Islam, yang berarti dapat diraskan oleh seluruh umat manusia tanpa memandang agama, warna kulit, budaya, kerabat, status, kelas, dan golongan. Dimana prilaku objektivikasi menghindarkan dari sekularisasi dan dominasi.

166

Alangkah jauh lebih baik jika prilaku objektivikasi di terapkan dalam evaluasi pembelajaran, dimana evaluasi pembelajaran adalah suatu proses penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan anak didik untuk tujuan pendidikan (Muhaimin dan Mujib, 1993: 276). Sehingga pendidik selaku sebagai aktor dari evaluasi pembelajaran akan menilai setiap peserta didiknya tanpa memandang agama, warna kulit, budaya, kerabat, status, kelas, dan golongan yang berakibat evaluasi pembelajaran akan diraskan seadil-adilnya oleh perserta didik.

Dengan menerapkan prilaku objektivikasi dalam evaluasi pembelajaran, sasaran-sasaran evaluasi pembelajaran akan menjadi tepat. Dimana sasaran-sasaran evaluasi pembelajaran meliputi empat kemampuan peserta didik, yaitu:

1) Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.

2) Sikap dan pengalaman terhadap erti hubungan dirrinya dengan masyarakat.

3) Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupanya dengan alam sekitarnya.

4) Sikap dan pandanganya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah dan selaku angota masyarakat serta selaku khalifah Allah SWT di bumi (Muhaimin dan Mujib, 1993: 277).

167

Dalam bukunya Khoiron Rosyadi (2004: 290-292) disebutkan ada empat prinsip yang harus diperhatikan dalam evaluasi pembelajaran, yaitu: prinsip kontinyuitas, prinsip menyeluruh, prinsip objektivitas, dan prinsip mengacu pada tujuan. Namun penulis akan terfokus kepada satu prinsip yang berhubungan sengan sub pembahasan ini, yaitu prinsip objektivitas. Objektif dalam arti bahwa evaluasi itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, erdasarkan fakta dan data yang ada tanpa di pengaruhi oleh unsur-unsur subjektivitas dari evaluator. Objektiv dalam evaluasi itu antara lain ditunjukan dalam sikap sebagai berikut:

1) Sikap al-sidqah, yakni berlaku benar dan jujur dalam mengadakan evaluasi (QS. 9: 119). Dan dalam hadist Nabi saw disebutkan, yang artinya sebagaimna berikut:

Dari Ibnu Mas‟ud ra.

Sesungguhnya al-shidiq (bersikap benar) itu membawa kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang yang membiaskan diri bersikap benar, maka iiai akan tercatat di sisi Allahsebagai shidiq (orang-orang yang benar) (HR. Bukhari dan Muslim) (Al-Suyuthi, Jami‟us Shaghir I: 82).

168

2) Sikap amanah, yakni suatu sikap pribadi yang setia, tulus hati dan jujur dalam menjalankan sesuatu yang dioercayakan kepadanya (QS. 44: 58). Dan hadist Nabi saw yang artinya:

Dari Abu Hurairah ra.

Tunaikanah amanah itu kepada orang yang mempercayakan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang-orang yang yang mengkhianati engaku (HR. Turmudzi) (Al-Suyuthi, Jami‟us Shaghir I: 14).

3) Sikap ramah dan ta‟awun, yaitu sikap kasih sayang terhadap sesama dan saling tolong menolong menuju kebaikan. Sikap ini harus dimiliki oleh evaluator (QS. 90:17; 5: 2) dan hadist Nabi saw yang artinya:

Dari Anas ra., nabi saw bersabda:

Tidaklah (dipandang) beriman seseorang dari kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (Muttafaqun Alaihi) (Al-Suyuthi, Jami‟us Shaghir II: 204) (Rosaydi, 2004: 291-292).

.

169 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsep ilmuisasi Islam Kuntowijoyo ditandai dengan adanya pilar- pilar Ilmuisasi Islam, yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Pertama humanisasi, Manusia pada zaman industri mudah sekali terjatuh. Kehilangan kemanusiaan. Karenaya suatu usaha untu mangangkat kembali martabat manusia, (humanisasi) manusia, humanization (Fromm, 1968) sangat diperlukan. Dalam Qs Al-Tin (95):5, 6 di katatakan bahwa orang dapat terjatuh ketempat yang paling rendah. Kemudian ayat ituu mengecualikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Kiranya ayat ini merujuk pada humanisasi, yaitu iman dan amal saleh. Tentu saja implikasi dari iman dan amak saleh itu sangat luas (Kuntowijoyo, 2006: 102).

Kedua liberasi, sasaran liberasi ada empat, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik. Liberasi sistem pengetahuan adalah usaha untuk membebaskan orang dari sistem pengetahuan materialistis, dari domidonasi struktur, misalnya dari kelas dan seks. Pembebasan dari kesadaran kelas ini bertentangan dengan Marxisme Timur dan Barat yang menekankan kesadaran kelas sebagai objek penellitian. Demikian juga oembebasan dari dominasi seks ini bertentangan dengan gerakan feminisme barat yang serba anti pria. Islam

170

dalam hal ini mendukung suatu moderasi, yaitu kemitrasejajaran antara pria dan wanita, dengan perspektif gender. Justru karena itu studi tekstual maupun kontekstual mengenai hubungan seksual adalah perlu.

Ketiga transendensi, Bagi umat Islam sendiri tentu transendensi berarti beriman kepada Allah SWT, seseorang yang taat beragama dan mempelajari ilmu-ilmu alam (teknik, fisika, farmasi, pertanian, kedokteran) tidak banyak mempunyai persoalan dengan aspek muamalah dari agama. Sebaliknya, mereka yang belajar ilmu-ilmu kemanusiaan (sosiologi, antropologi, politik, sejarah, filsafat) akan mempunyai persoalan besar. Itu semua karena aspek muamalah dari agama termasuk wilayah ilmu-ilmu kemanusiaan. Bagi mereka yang mempelajari ilmu- ilmu agama saja mungkin terkejut dengan gejala “modern” seperti cadar, jubah, dan bermacam-macam aliran yang sedang berkembang saat ini. Bagaimana semua itu bisa terjadi pada zaman modern? Mereka dan para penganut sendiri tidak bisa membedakan “mana padi mana ganggang”, karena gejala-gejala itu berada di luar sistem pengetahuan mereka. Mereka cenderung melihat dari ilmu agama saja. Transendental akan berguna bagi ketiganya untuk menyadari adanya totalitas Islam dan adanya peruahan- perubahan.

Untuk mengimplikasikan Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo bagi pengembangan kurikulum pendidikan Islam, penulis memasukan dan merelevansikan konsep dan metodologi ilmuisasi Islam Kuntowijoyo yaitu humanisasi, liberasi transendensi, dan objektivikasi kedalam komponen-

171

komponen kurikulum yaitu tujuan, isi/materi, kegiatan pembelajaran, dan evaluasi. Dimana menurut kuntowijoyo tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Tujuan liberasi adalah pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, dan perampasan kelimpahan. Tujuan transendensi adalah memanmbahkan dimensi keimanan dalam kebudayaan. Dan tujuan objektivikasi adalah menghindari dari sikap sekularisasi dan dominasi.

B. Saran

Dengan adanya pembaharuan pemikiran dari Kuntowijoyo tentang ilmuisasi Islam/pengilmuan Islam, penulis berharap atau memberikan saran kepada:

1. Ilmuan Muslim

Seluruh ilmuan-ilmuan muslim dari berbagai penjuru dinia, harus meningggalkan istilah “Islamisasi pengetahuan” yang bergerak dari konteks ke teks, dan diganti dengan “Ilmuisasi Islam” yang bergerak dari teks ke konteks.

2. Sekolah atau Instansi Pendidikan

Sekolah merupakan suatu instansi pendidikan yang bertujuan mencetak generasi yang insan kamil, maka dalam mecapai tujuan tersebut pendidik sebagai salah satu foktor terbesar dalam menentukan keberhasilan tujuan harus menerapkan pengilmuan Islam atau ilmuisasi

172

Islam dalam pembelajaranya, yang artinya para pendidik tidak begitu

Dokumen terkait