• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Belajar

Dalam dokumen PENGEMBANGAN KURIKULUM teori dan praktik (Halaman 160-172)

PROSES PENGAJARAN

C. Proses Belajar

Kegiatan mengajar tidak dapat dilepaskan dari belajar, sebab keduanya merupakan dua sisi dari sebuah mata uang. Mengajar merupakan suatu upaya yang dilakukan guru agar siswa belajar. Apabila kita mengkaji teoriteori mengajar yang ada, hampir seluruhnya dikembangkan atau bertolak dari teori belajar.

1. Belajar intuitif

Ada suatu pertanyaan mendasar berkenaan dengan proses belajar, yaitu apakah proses belajar lebih baik menekankan pada berpikir intuitif atau berpikir analitik?

Pengamatan menunjukkan bahwa dalam berbagai kegiatan belajar penilaian di sekolah, tekanan lebih banyak diberikan pada kemampuan untuk memformulasikan secara eksplisit, dan pada kemampuan anak memreproduksikan penguasaan secara verbal dan numerikal. Belum banyak diketahui apakah penekanan tersebut menghambat perkembangan pemahaman intuitif atau tidak. Kita dapat membedakan antara inarticulate genius dengan articulate idiocy. Inarticulate genius diperlihatkan oleh anak yang menguasai secara mendalam konsep-konsep bahan ajar, tetapi kurang mampu menyatakan secara verbal. Pada articulate ideocy anak pandai menyatakan dengan kata-kata tetapi tak punya kemampuan untuk menggunakan konsep-konsep tersebut. Dua contoh pemahaman intuitif, pertama seseorang telah cukup lama menghadapi suatu persoalan, tiba-tiba ia menemukan pemecahan walaupun belum didasarkan atas pembuktian formal, kedua, seorang dapat dengan cepat memberikan jawaban dugaan terhadap sesuatu persoalan dengan benar. Seseorang pemikir intuitif yang baik dilahirkan dengan kekhususan tertentu, tetapi efektivitas intuitifnya dilandasi oleh pengetahuan yang kuat tentang bidang yang berhubungan dengan kekhususan tersebut. Pengetahuan yang secara sistematis dikuasainya dapat menunjang berpikir intuitif, atau variabel-variabel yang mempengaruhinya.

Apakah berpikir intuitif?

Orang lebih mudah membahas atau melakukan pemikiran analitik yang lebih bersifat konkret daripada berpikir intuitif yang lebih abstrak. Berpikir analitik meliputi suatu rentetan langkah-langkah. Langkah-langkah tersebut bersifat eksplisit dan biasanya dapat disampaikan kepada orang lain. Hasil-hasil pemikiran ini berupa informasi atau suatu operasi. Model pemikiran ini menggunakan proses pemikiran secara deduktif dengan bantuan model konsep matematika atau logika, menggunakan prinsip penelitian, eksperimen dan analisis statistik.

Berpikir intuitif tidak memiliki langkah-langkah yang dapat dirumuskan secara pasti dan teliti, lebih merupakan suatu manuver yang didasarkan atas persepsi implisit dari keseluruhan masalah. Pemikir sampai pada suatu jawaban mungkin benar mungkin juga tidak, dengan sedikit pernyataan tentang proses

pencapaiannya. Ia sering jarang dapat menjelaskan bagaimana memperoleh jawaban, mungkin juga ia tidak menyadari aspek-aspek dari situasi masalah yang ia hadapi/kerjakan. Biasanya proses pemikiran intuitif ini berkenaan dengan domain kognitif, terutama dengan struktur pengetahuan, yang memungkinkan ia melangkah atau meloncat atau memotong jalan pendek untuk sampai pada suatu jawaban atau pemecahan. Hasil berpikir intuitif dapat dicek dengan kesimpulan dari hasil analitik, apakah induktif atau deduktif.

Kedua model pemikiran ini dapat saling komplemen. Melalui berpikir intuitif seseorang memungkinkan sampai pada jawaban atau pemecahan yang sama sekali tak dapat dipecahkan atau lambat sekali bila menggunakan pemecahan melalui proses analitik. Kemungkinan dapat teijadi pada suatu saat pemikir intuitif dapat menemukan masalah yang sama sekali tak dapat ditemukan oleh pemikir analitik. Pemecahan intuitif mungkin dapat lebih cepat dibandingkan dengan pemecahan analitik. Hasil pemecahan intuitif dapat dicek oleh hasil pemecahan analitik.

Intuisi sering diartikan sebagai immediate apprehension atau cognition. Immediate apprehension merupakan lawan dari mediate apprehension. Mediate apprehension menunjukkan penguasaan dan pengenalan tak langsung melalui penggunaan metode formal, analitis dan pembuktian-pembuktian. Immediate apprehension merupakan pengenalan atau penguasaan langsung tanpa mengikuti langkah-langkah formal. Menangkap pengertian dan struktur masalah atau situasi tanpa menggunakan alat atau cara analitis. Dalam berpikir intuitif, hipotesis dirumuskan dengan cepat, mengkombinasikan beberapa konsep sebelum diketahui faedahnya.

Di sekolah terutama dalam bidang science dan matematika dewasa ini sangat dipentingkan proses-proses berpikir analitik. Para perencana kurikulum perlu berusaha menemukan bagaimana mengembangkan pemikiran intuitif pada murid-murid seawal mungkin. Seharusnya sebelum murid-murid diperkenalkan dengan metode analitik terlebih dahulu ditanamkan pemahaman intuitif. Situasi belajar intuitif di sekolah akan sangat ditentukan oleh sifat bahan pelajaran. Bahan pelajaran yang berisi banyak perkiraan, memberikan kemungkinan pemahaman

dan pengalaman yang luas, mengundang spontanitas, dapat banyak membantu kegiatan berpikir intuitif bagi murid-muridnya.

Faktor-faktor apa yang mempengaruhi berpikir intuitif? Faktor pertama, adalah predisposisi, yang berkenaan dengan dimiliki atau tidak dimilikinya kemampuan intuitif dalam suatu bidang tertentu serta kekuatan intuitif pada bidang tersebut. Apakah perkembangan intuisi seorang siswa menyerupai gurunya yang berpikir itu? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Kemungkinan kemampuan intuitif seorang siswa berkembang melalui imitasi sederhana dengan gurunya, dapat juga berkembang melalui identifikasi yang cukup kompleks. Guru yang biasa menerka jawaban suatu persoalan, lalu mengeceknya dengan cara analitis kritis akan lebih mengembangkan kemampuan berpikir intuitifnya daripada guru yang memecahkan persoalan dengan cara analitis. Seseorang yang mempunyai pemahaman yang cukup luas dalam bidang tertentu akan mudah memberikan pemecahan intuitif dibandingkan dengan orang yang kurang menguasai.

Seorang spesialis dalam bidang kedokteran (dokter) dalam pertemuan pertamanya dengan pasiennya mengemukakan beberapa pertanyaan, mengadakan pemeriksaan singkat lalu memberikan diagnosis. Untuk pengalaman pertama diagnosis intuitif yang dilakukan dokter tersebut mungkin kurang sempurna dibandingkan dengan diagnosis yang bersifat analisis langkah-langkah formal yang dilakukan oleh seorang dokter muda. Untuk selanjutnya, diagnosis yang bersifat intuitif (clinical prediction) dapat Iebih berhasil dibandingkan dengan diagnosis analitis (actuarial prediciton). Hal itu juga tidak berarti bahwa prediksi intuitif selalu lebih berhasil daripada prediksi analitis. Dari uraian di atas tampak di samping variabel predisposisi yang mempengaruhi berpikir intuitif, juga imitasi atau identifikasi dengan seorang pengintuitif, penguasaan atau pemahaman dalam bidang tertentu serta pengalaman.

Bagaimana pengaruh atau peranan prosedur heuristik terhadap proses berpikir intuitif? Prosedur heuristik merupakan lawan dari prosedur algoritma. Algoritma merupakan prosedur pemecahan suatu masalah yang mengikuti urutan yang teliti, selangkah demi selangkah. Prosedur heuristik merupakan prosedur pemecahan masalah yang tidak mengikuti urutan langkah demi langkah pemecahan lebih bersifat menyeluruh dan fleksibel. Prosedur heuristik dengan

menggunakan analogi, simetri, pengujian kondisi, visualisasi pemecahan yang dilakukan secara berulang-ulang akan singat menunjang proses berpikir intuitif.

Apakah dengan berpikir intuitif anak dilatih untuk sekadar mengiratigira? Padahal di sekolah sering mengira-ngira dianggap suatu kemalasan. Dengan berpikir intuitif memang anak diminta untuk mengira-ngira, tetapi suatu perkiraan yang selalu dicek dengan pembuktian, dengan proses pemikiran analitis. Berpikir intuitif didasari oleh keyakinan pada diri sendiri dan keberanian dari siswa. Seorang yang berpikir intuitif tidak boleh takut berbuat salah, tetapi juga tidak boleh menutupi kesalahan. Pemikir intuitif harus jujur, pengecekan kesalahan dengan pembuktian melalui proses berpikir analitis dapat memperbaiki dan mengembangkan kemampuan berpikir intuitif seseorang.

2. Belajar bermakna

Ausubel dan Robinson (1969) membedakan dua dimensi dari proses belajar, yaitu dimensi cara menguasai pengetahuan dan cara menghubungkan pengetahuan baru dengan struktur ide yang telah ada. Pada dimensi yang pertama dibedakan tipe belajar yang bersifat mencari (discovery learning) dan yang bersifat menerima (reception learning). Pada dimensi kedua, dibedakan antara belajar yang bersifat menghafal (rote learning) dan belajar bermakna (meaningful! learning).

Dalam belajar menerima keseluruhan bahan pelajaran disajikan kepada si pelajar dalam bentuk yang sudah sempurna. Si pelajar tinggal menerima saja tanpa mengadakan usaha-usaha pengolahan, atau pemrosesan Iebih lanjut. Pada belajar mencari atau belajar diskoveri karena bahan ajar disajikan dalam, bentuk yang belum selesai, maka si pelajar harus berusaha mencari dan menyelesaikannya sendiri. Dalam belajar menghafal siswa berusaha menguasai bahan tanpa mengetahui maknanya, sedang pada belajar bermakna siswa mempelajari sesuatu bahan ajar dengan berusaha memahami makna atau artinya. Keempat tipe belajar tesebut sebenarnya hanya merupakan kencederungan- kecenderungan. Cenderung ke arah mencari atau menerima ke arah menghafal atau mendapatkan makna. Keseluruhan tipe belajar tersebut juga bisa

berkombinasi satu sama lain, membentuk tipe belajar menerima-bermakna, mencari bermakna, menghafal menerima, dan menghafal mencari.

a. Konsep-Konsep Dasar

Ada dua hal penting dalam konsep belajar bermakna, yaitu struktur kognitif dan materi pengetahuan baru. Struktur kognitif merupakan segala pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebagai hasil dari kegiatan belajar yang lalu. Dalam belajar bermakna pengetahuan baru harus mempunyai hubungan atau dihubungkan dengan struktur kognitifnya. Hubungan tersebut akan terjadi karena adanya kesamaan isi (substantiveness) dan secara beraturan (non-arbitrer). Kedua sifat hubungan tersebut menunjukkan adanya kebermaknaan logis materi yang akan dipelajari. Jadi kebermaknaan logis ini merupakan sifat dari materi yang akan dipelajari, tetapi tidak berarti menjamin bahwa itu bermakna bagi siswa. Agar hal itu bermakna bagi siswa, ada dua tambahan persyaratan. Pertama, suatu materi memiliki kebermaknaan logis berarti bahwa materi tersebut dapat dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada pada siswa. Agar materi baru dapat difahami siswa, maka is sendiri harus memiliki materi yang sesuai dengan hal itu. Bila siswa dalam struktur kognitifnya telah memiliki materi, ide-ide yang sesuai, yang memungkinkan materi baru dapat dihubungkan padanya secara subtantif dan non-arbitrer, maka materi tersebut telah memiliki kebermaknaan potensial (potential meaningfulness).Kedua, suatu materi memiliki kebermaknaan potensial, sebab siswa dapat memberikan makna, tetapi hal itu bergantung pada kemauan siswa untuk memberi makna atau tidak. Apabila si siswa mempunyai kesiapan untuk memberi makna maka terjadilah belajar bermakna (meaningful learning).

Kalau disimpulkan belajar bermakna ini menuntut tiga persyaratan:

1. Materi yang dipelajari harus dapat dihubungkan dengan struktur kognitif secara beraturan karena adanya kesamaan isi.

2. Siswa harus memiliki konsep yang sesuai dengan materi yang akan dipelajarinya.

3. Siswa harus mempunyai kemauan atau motif untuk menghubungkan konsep tersebut dengan struktur kognitifnya.

Makna merupakan hasil suatu proses belajar bermakna. Hal itu juga akan menjadi isi kognitif atau isi dari penyadaran yang muncul bila materi yang punya makna potensial dihubungkan dengan struktur kognitif. Belajar bermakna dan belajar manghafal bukan dua hal yang benar-benar bersifat dikotomis, tetapi hanya menunjukkan apakah sesuatu kegiatan belajar lebih mengarah pada bermakna atau kurang bermakna.

Suatu kegiatan belajar yang kurang bermakna akan muncul apabila: 1. Materi yang dipelajari kurang memilik kebermaknaan logis.

2. Siswa kurang memiliki konsep-konsep yang sesuai dalam struktur kognitifnya.

3. Siswa kurang memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan belajar bermakna.

Belajar bermakna akan menghasilkan konsep-konsep, ide-ide barn yang punya makna, penuh arti, jelas, nyata perbedaannya dengan yang lain. Konsep yang demikian tidak akan mudah digoyahkan dibandingkan dengan konsep- konsep yang dibentuk melalui hubungan atau asosiasi arbitrer. Dengan belajar bermakna, siswa akan menguasai dan mengingat konsep-konsep inti. Dalam belajar menghafal sering konsep inti dan konsep bukan inti berbaur dan saling menghambat, tetapi dalam belajar makna keduanya bisa dibedakan dengan jelas.

Mengapa seseorang melakukan kegiatan belajar dengan menghafal Minimal ada tiga sebab utama:

1) Mereka belajar dari pengelaman yang kurang menyenangkan yang secara material memberikan jawaban yang benar, tetapi kurang memberikan hubungan yang bermakna. Adanya tuntutan memberikan jawaban yang bersifat fakta-fakta sering mendorong siswa untuk belajar dengan cara mengingat dan menghafal.

2) Siswa mengalami kecemasan yang cukup besar. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena ia gagal dalam menguasai pelajaran, atau karena kurang yakin akan kemampuan belajar bermakna. Untuk mengatasi kecemasan tersebut ia belajar dengan cara menghafal.

3) Siswa berada dalam suatu tekanan untuk selalu memperhatikan keberhasilan dan kelancaran belajar, atau menyembunyikan kekurangan-kekurangannya.

b. Macam-Macam Belajar Bermakna

Makna merupakan isi dari struktur kognitif, yang terjadi karena materi yang memiliki kebermaknaan potensial disatukan dengan struktur kognitif. Proses penyatuan tersebut berbeda-beda dan dapat diletakkan dalam suatu hierarki dari yang bersifat represensional sampai dengan belajar tingkat tinggi, perbuatan belajar kreatif.

Belajar represensional merupakan suatu proses belajar untuk mendapatkan arti atau makna dari simbol-simbol. Kalau orang tua mengatakan kucing sambil menunjuk seekor kucing, maka pada struktur kognitif anak akan terbentuk rangsangan internal yang akan memberi makna pada kata kucing sebagai binatang kucing. Kata kucing menjadi simbol yang mewakili binatang kucing. Melalui proses representasi tersebut anak akan mengenal banyak nama dan tiap benda punya nama sendiri. Belajar represensional juga berlaku bagi nama-nama bukan benda. Kata depan terjadi melalui hubungan antara dua objek seperti kucing di atas meja, air di dalam gelas dsb.

Belajar konsep dapat mempunyai makna logis dan makna psikologis. Makna logis terbentuk melalui fenomena adanya benda-benda yang dikelompokkan karena memiliki ciri-ciri yang sama. Berbagai macam kucing dan harimau karena cirinya yang sama, dikelompokkan sebagai kucing. Dalam makna logis ada ciri-ciri utama yang menunjukkan sekumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap anggota suatu kelas konsep. Ciri-ciri utama tersebut berbeda antara suatu kelas konsep dengan kelas yang lain. Makna psikologis suatu konsep terbentuk dalam dua tahap. Pada tahap pertama konsep terbentuk melalui pengalaman nyata. Secara induktif anak menemukan ciri-ciri utama benda-benda tertentu. Melalui permainan dengan bermacam-macam warna dan bentuk kubus anak akan memiliki konsep tentang kubus, walaupun tidak tahu namanya. Pada tahap berikutnya bila anak telah bersekolah ia belajar makna konsep secara formal dari nama dan kata-kata. Kedua tahap proses pembentukan makna konsep tersebut terjadi hampir dalam semua kegiatan anak belajar konsep. Pembentukan konsep selanjutnya terjadi melalui proses asimilasi yaitu definisi-definisi.

Belajar proposisi. Proposisi atau kaidah merupakan suatu kalimat yang menunjukkan hubungan antara dua hal. Proposisi ini ada yang bersifat umum,

"binatang buas makan daging" yang berisi banyak konsep dan ada pula yang bersifat khusus, harimau makan kelinci yang hanya berisi satu konsep.

Dalam belajar proposisi yang bermakna, kalimat yang dipelajari dihubungkan dengan konsep yang ada dalam struktur kognitif. Ada tiga macam cara menghubungkan:

1) Hubungan antar-bagian. Bahan baru yang dipelajari siswa merupakan bagian dari konsep-konsep yang telah ada. Dalam belajar hubungan antar-bagian ini ada dua macam bagian, yaitu bagian yang bersifat derivative dan correlative. Pada bagian derivative siswa melukiskan atau meneruskan hal yang dicakup dalam sutu proposisi. Contoh: "kucing memanjat pohon", bagian derivative- nya "kucing tetangga memanjat pohon saya". Dalam bagian correlative, belajar berfungsi memperluas, mengelaborisasi, memodifikasi proposisi- proposisi yang telah ada. Contoh anak telah mengenal jajaran genjang, dengan correlative preposition anak akan mengenal belah ketupat.

2) Hubungan superordinat. Bahan yang dipelajari merupakan superordinat dari konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya. Anak telah mengenal besar sudut segi tiga siku-siku 180 derajat, segi tiga sama sisi 180 derajat, dan sebagainya, maka dalam kegiatan belajar sampai pada proposisi bahwa jumlah sudut setiap segi tiga besarnya 180 derajat.

3) Hubungan kombinasi. Bahan yang dipelajari bukan merupakan bagian bukan juga superordinat dari yang telah ada, akan tetapi merupakan kombinasi dari banyak hubungan. Contohnya adalah belajar model.

Belajar diskaveri atau mencari. Bahan yang dipelajari tidak disajikan secara tuntas tetapi membutuhkan beberapa kegia tan mental untuk menuntaskan dan menyatakannya dengan struktur kognitif. Belajar diskoveri terbagi atas dua macam kegiatan belajar, yaitu belajar pemecahan masalah dan belajar kreatif.

Belajar pemecahan masalah, memiliki proses psikologis yang lebih kompleks dibandingkan dengan belajar proposisi. Dalam belajar pemecahan masalah, anak dihadapkan pada masalah-masalah yang memerlukan pemecahan. Guru mengajukan beberapa pertanyaan yang mengarahkan siswa agar menemukan pemecahan atau jawabannya sendiri.

Belajar kreatif. Kreativitas merupakan suatu kemampuan untuk meng- hasilkan sesuatu yang baru, baik baru bagi dirinya maupun orang lain. Belajar kreatif adalah siswa proses belajar merencanakan, melaksanakan, dan membuktikan sendiri•percobaan-percobaan. Mereka berusaha mencari hubungan antara konsep-konsep yang baru dan konsep-konsep yang telah ada pada struktur kognitifnya.

3. Hubungan macam-macam belajar dengan taksonomi Bloom

Macam-macam belajar yang telah diuraikan sebelum ini, menunjukkan adanya beberapa kategori tingkah laku belajar, yaitu belajar bermakna, menghafal menerima, dan diskaveri. Belajar bermakna pun berbeda-beda pula dari yang bersifat represensional sampai dengan belajar kreatif. Karena adanya pengkategorian tersebut maka dapat dicari hubungannya dengan kategori belajar atau taksonomi dari. Bloom.

Karena pengetahuan atau knowledge Bloom lebih banyak berhubungan dengan ingatan maka dapat dikelompokkan sebagai belajar menghafal (rote learning). Mulai dari pemahaman sampai dengan evaluasi dapat dikategorikan sebagai belajar bermakna. Belajar konsep dan preposisi dapat disamakan dengan pemahaman, pemecahan masalah dengan analitis dan kreativitas dengan sintesis yang sukar dimasukkan dalam kategori tersebut adalah aplikasi dan evaluasi.

Dari pembandingan dengan taksonomi Bloom juga dapat ditarik kesimpulan bahwa macam-macam belajar bermakna ini, lebih menyangkut ranah kognitif. Ranah afektif dan psikomotor tidak tercakup dengan macam-macam kategori belajar ini.

4. Mengingat dan lupa

Belajar merupakan proses menguasai makna dari sesuatu bahan pelajaran yang secara potensial bermakna. Mengingat merupakan suatu proses memelihara penguasaan sesuatu makna baru. Lupa merupakan kemunduran atau kehilangan penguasaan suatu makna yang telah dikuasai.

Suatu konsep baru dipelajari oleh individu, diingat untuk beberapa saat dan sebagian ada yang terlupakan. Proses ini terjadi dalam dua langkah: (1) penguasaan dan penyimpanan, (2) mengingat dan lupa.

Penguasaan dan penyimpanan. Suatu konsep dipelajari dengan cara yang bermakna dan disatukan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Interaksi antara konsep baru dengan konsep-konsep yang telah ada menimbulkan suatu makna. Makna baru tersebut mungkin mengubah, memperluas, mempersempit konsep yang telah ada, tetapi dalam bebe rapa hal mungkin juga tidak mengubah konsep lama.

Dalam struktur kognitif suatu konsep baru, tidak hanya berhubungan dengan suatu konsep tetapi dengan beberapa konsep yang telah ada. Kekuatan hubungan dengan masing-masing konsep tidak selalu sama, ada yang kuat sekali, lemah sekali di samping yang tidak berhubungan sama sekali.

Mengingat dan lupa. Konsep-konsep baru yang kurang umum, melalui periode waktu bersatu atau berasimilasi dengan konsep-konsep yang telah ada. Keadaan tersebut dapat terjadinya pengurangan makna, karena terjadi pengurangan hubungan (reduksi). Karena proses asimilasi dan reduksi tersebut berjalan spontan dan berangsur-angsur maka konsep-konsep tersebut terlupakan.

Ada dua tingkat kritis untuk mengingat kembali konsep yang terlupakan. Tingkat yang tertinggi berada pada tingkat yang berhubungan dengan mengingat kembali (recall). Bila suatu konsep di bawah tingkat recall maka anak tidak dapat mengingatnya kembali. Suatu konsep yang berada di bawah tingkat recall, mungkin masih terletak di atas tingkat recognition. Sesuatu yang terlupakan sama sekali, kalau dipelajari kembali akan terjadi recognition.

Apabila dirangkumkan maka ada tiga faktor yang mempengaruhi penguasaan kembali konsep dari ingatan:

1) Kekuatan hubungan antara konsep yang telah ada dengan konsep baru. 2) Efektivitas usaha untuk menguasai kembali konsep yang terlupakan, baik

yang memperkuat penguasaan kembali, maupun yang menghambat lupa. 3) Macam penguasaan apakah pada tingkat recall atau recognition.

5. Kelebihan belajar bermakna

Suatu bahan dipelajari secara bermakna atau dihafal bergantung pada (1) sifat bahan apakah secara potensial bermakna atau tidak bermakna, (2) kesiapan si pelajar sendiri untuk melakukan belajar bermakna.

Hasil belajar bermakna lebih lama dikuasai daripada belajar menghafal. Dengan demikian belajar bermakna lebih efisien dibandingkan dengan belajar menghafal. Hal itu disebabkan adanya hubungan yang substantif dan non-arbitrer dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif. Keadaan demikian memungkinkan sejumlah besar bahan dapat disatukan dalam struktur kognitif dengan penguasaan yang lebih efektif. Hubungan suatu konsep yang dipelajari dengan bermakna dengan struktur kognitif menyebabkan konsep tersebut lebih lama dikuasai dalam ingatan. Dalam belajar yang bersifat menghafal hubungannya tidak mendalam, karena terjadi hubungan secara arbitrer, terputus- putus dan terisolasi.

6. Inhibisi proaktif dan retroaktif

Salah satu penyebab utama dari lupa pada belajar bermakna adalah pengu- rangan makna dari suatu konsep dalam struktur kognitif.

Pada belajar yang bersifat menghafal, masalah lupa disebabkan oleh hilangnya atau lemahnya asosiasi antara dua hal. Dalam belajar mengingat ada dua hambatan (inhibition) yang mungkin terjadi yaitu hambatan proaktif dan retroaktif. Hambatan proaktif merupakan hambatan dalam mengingat sesuatu karena adanya pengaruh dari bahan yang telah dipelajari lebih dahulu. Hambatan retroaktif merupakan hambatan dalam mengingat yang lama karena bahan baru. Ketimpangan isi yang diajarkan dan yang diingat. Sering terjadi perbedaan antara isi bahan yang diajarkan dengan diingat, hal itu dilatarbelakangi oleh beberapa

Dalam dokumen PENGEMBANGAN KURIKULUM teori dan praktik (Halaman 160-172)