• Tidak ada hasil yang ditemukan

MIGRASI BATAK TOBA KE SUMBUL PEGAGAN

3.2. Proses Migrasi

Kehadiran kolonial Belanda dan usaha misioner Jerman yang ingin memperluas daerah kerjanya sangat berpengaruh terhadap etnis Batak Toba. Pemerintah kolonial yang ingin memperluas daerah kolonialnya dan ingin menguasai daerah- daerah Batak lainnya termasuk Dairi yang pada saat itu masih merdeka dari kekuasaan lain, akhirnya melakukan perang. Perang Batak pada waktu itu dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII. Perang ini merupakan jawaban terhadap rencana Belanda yang mau menguasai seluruh Tanah Batak. Pada Tahun 1906 tentara Belanda membawa 400 orang pembantunya dari Tarutung yang pada umumnya adalah etnis Batak Toba, dengan tujuan untuk membantu Belanda.12

Setelah Dairi dikuasai dan tugas Civil Gezaghebber yang telah ditempatkan dua tahun sebelumnya di Dairi semakin banyak mengeluarkan tenaga kerja. Maka tahun1907 pemerintah kolonial membawa beberapa orang dari Tarutung menjadi pengawai pemerintahan ke Sidikalang.Hal ini mengakibatkan semakin banyak etnis Batak Toba yang tinggal di Dairi. Dalam kurun waktu dua tahun orang- orang dari Humbang. Silindung, maupun Toba Holbung datang ke Sidikalang untuk melihat keadaan sekaligus bertempat tinggal disana. Kehadiran mereka mempercepat Sidikalang menjadi kampung yang ramai.13

12

Elvis. F. Purba., O.H.S., Purba, Migrasi Batak Toba: di Luar Tapanuli Utara (Suatu Deskripsi), Medan, 1997, hlm. 50.

13

Pada tahun 1908 jumlah orang Batak Toba yang tinggal dan menetap di Dairi sudah ratusan dan tahun- tahun selanjutnya jumlah Batak Toba yang mengadakan migrasi ke Dairi terus meningkat, dari Sidikaling mereka berangkat menuju arah barat laut dan membentuk perkampungan baru seperti Buluduri,Kanopan, Kintara Jumahteguh dan ada yang sampai Tigalingga, dan kemudian ke Panji. Hingga dasawarsa (1916- 1925) jumlah pendatang Batak Toba sekitar 1.500 orang pertahunnya.

Semakin banyak jumlah pendatang semakin banyak sumber berita tentang Dairi kepada saudara- saudara mereka yang ada di Bonapasogit.Sejak tahun 1925 Dairi semakin di kenal sebagai daerah panombangan. Orang- orang dari Holbung, Silindung, dan Toba Holbung tidak hanya berbondong- bondong ke Sidikalang atau daerah- daerah yang sudah ditempati pendatang yang sudah lebih duluan, tetapi juga mencari daerah- daerah baru ke seluruh pelosok Dairi bahkan ada yang sampai ke Tanah Alas dan Singkil.Mereka mendirikan rumah- rumah sederhana di ladang- ladang mereka atau beberapa marga dari daerah asal yang sama mendirikan satu kampung di daerah yang baru ditempati. Maka tidak heran kalau di temukan pada satu tempat yang semuanya satu marga(klen). Pendatang dari Humbang dan Toba Holbung ada yang membuka lahan persawahan dan tentu lebih banyak yang membuka kebun kopi karena kondisi daerah.

Tahun 1929 dimulai pembukaan jalan Dairiweg dari Merek (Merek pada

Sumbul Pegagan dan kemudian Sidikalang. Arus perpindahan juga semakin meningkat setelah pembukaan jalan raya tersebut. Demikian juga dari Simalungun karena hubungan lalu lintas dari Pematang Siantar , Merek ke Sidikalang sudah semakin baik.14

Keanekaragaman suku bangsa yang tinggal di Dairi didominasi oleh etnis- etnis Batak Toba. Menurut data sensus 1930, penduduk utama Dairi adalah Batak Toba, Pakpak, dan Karo. Jumlah penduduknya pada waktu itu sebanyak 54.037 jiwa yang terdiri dari 53.307 orang Batak Toba, 277 orang Cina, dan 20 orang Eropah. Dari antara Etnis Batak, orang Toba sebanyak 24.893 jiwa, Pakpak sebanyak 18.888 jiwa, Karo sebanyak 8.892 jiwa, Simalungun sebanyak 548jiwa,

Memang tidak terjadi perpindahan besar- besaran seperti ke Sumatera Timur setelah pembukaan jalan tersebut karena tidak banyak dijumpai lahan persawahan. Namun dikemudian hari, keterbatasan lahan persawahan menjadi faktor pendorong bagi mereka untuk meninggalkan daerah yang baru ditempati di Dairi. Bagi sebagian orang, kebun kopi kurang menarik perhatian mereka, sehingga setelah beberapa tahun, yaitu tahun lima atau sepuluh tahun, berdomisili di suatu tempat mereka pindah lagi untuk mencari lahan persawahan yang lebih luas. Sementara itu Sidikalang sudah berubah menjadi kota dan paling ramai di Dairi. Kota ini menjadi daerah transit pendatang- pendatang baru dari Toba Holbung, Humbang, dan Silindung, untuk meneruskan perjalanan ke daerah lainnya.

14

Angkola sebanyak 42 jiwa, Mandailing sebanyak 29 jiwa dan Batak lainnya 15 jiwa. Pada waktu itu penduduk kota Sidikalang sudah ada sekitar 3.000 jiwa. Dilihat dari agama yang dianut penduduk Dairi terdapat 13.561 yang menganut agama Kristen, 6.449 menganut agama Islam, dan 33.246 menganut agama suku.Angka- angka ini menunjukkan bahwa 46 persen dari penduduk Dairi adalah etnis Batak Toba, yang jumlahnya lebih banyak dari penduduk setempat(Pakpak). Disamping itu banyak di antara mereka yang belum menganut agama Kristen sewaktu datang, tetapi setelah sampai di Dairi sebagian ada yang telah belajar kekristenan dan pendatang yang lebih belakangan sudah lebih banyak yang beragama sehingga mempercepat munculnya jemaat- jemaat baru.15

Semasa kolonial Belanda banyak orang Batak pindah dari Dairi ke Tanah Alas, sebagian kecil ke Singkil (Aceh Selatan). Salah satu penyebabnya adalah lahan persawahan yang terbatas. Banyak dari antara petani Batak Toba di Dairi adalah para peladang yang sering tidak dapat bertahan lama di satu- satu daerah. Tahun 1931 telah ada 38 jemaat HKBP di seluruh Dairi, yang tersebar di seluruh pelosok daerah. Banyaknya jemaat tidak terlepas dari banyaknya pendatang- pendatang baru.Tidak ketinggalan juga dengan missi Katolik, yang kebanyakan datang dari Simalungun dan Sumatera Timur yang pindah karena mutasi pegawai ke Sidikalang.Sebaliknya yang datang dari Humbang atau Samosir juga mempercepat jemaat- jemaat Katolik muncul dan tersebar di Dairi.

15

Tanaman kopi mendominasi tanaman penduduk, sementara orang- orang yamg datang dari Toba Holbung dan Silindung lebih suka bekerja di persawahan. Dari daerah- daerah yang tidak memiliki lahan persawahan yang luas, sebagian penduduknya pindah ke Tanah Alas dan Sumatera Timur.16

Migrasi Batak Toba ke Sumbul Pegagan terjadi pada tahun 1910. Migrasi Batak Toba pada awal kedatangannya ke Sumbul Pegagan berjumlah 25-40 kepala keluarga. Kedatangan mereka ada yang berkelompok, individu dengan ikatan persaudaraan yang sama dan juga ada yang berbeda marga. Misalnya migran yang tinggal di Pegagan Julu I kebanyakan bermarga Simbolon. Sedangkan di daerah Silalahi hampir seluruhnya bermarga Silalahi sehingga desa ini di sebut desa Silalahi. 17

Melalui wawancara dengan anak dari orang yang pertama sekali datang ke Sumbul Pegagan yang masih hidup adalah migran yang meninggalkan kampung halamannya karena semakin sempitnya lahan pertanian di Silindung menjadikan mereka harus bergerak untuk mencari lahan yang bisa di tanami lagi. Hal ini di sebabkan karena hampir tiap Rumah tangga memiliki 10 orang anak mengakibatkan sempitnya lahan. Kondisi tanah yang kurang subur mengakibatkan hasil panen padi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari termasuk untuk menyekolahkan anak- anak mereka.Didorong rasa tidak puas dan keinginan untuk maju maka mereka meninggalkan kampung halaman mereka dan

16

Wawancara dengan Viktor Sianipar, Tanjung Beringin, tanggal 27 agustus 2007. 17

keluarga- keluarga lainnya dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan mapan. Sumbul Pegagan menjadi tujuan maereka karena daerah ini masih memungkinkan untuk didiami melihat daerah ini masih banyak lahan yang kosong dan subur.18

Proses migrasi etnis Batak Toba ke Sumbul Pegagan dari Tapanuli terjadi tahun 1910 dan terjadi secara langsung ke daerah tujuan dan ada pula migrasi yang terjadi secara tidak langsung atau migrasi ke daerah lain terlebih dahulu baru

Selain itu Sumbul Pegagan sangat strategis wilayahnya karena menghubungkan jalan ke Merek sampai ke Sidikalang hingga ke Singkil (Aceh). Lahan di Sumbul Pegagan masih banyak yang belum dijamah atau masih hutan belukar. Kondisi tanah di daerah ini cukup bagus, hanya saja lahan di daerah ini kebanyakan lahan kering yang hanya cocok untuk tanaman kopi dan sayur- sayuran. Hal ini membuat para petani Batak Toba yang datang ke daerah ini harus mencocokkan diri untuk mulai beralih ke perladangan. Awal kedatangan petani Batak ini mereka menebang hutan untuk lahan pertanian. Mereka bekerja keras untuk membuka lahan baru untuk di tanami tanaman kopi. Hal ini merupakan pekerjaan yang biasa bagi mereka karena di kampung halamannya Batak Toba sudah biasa bekerja keras. Dengan cara seperti ini memberi harapan baru kepada para migran Batak Toba, sehingga mereka gigih bekerja untuk mendapatkan hasil yang lebih baik yang akan memperbaiki hidup dan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dan anak- anaknya.

18

bermigrasi ke Sumbul Pegagan. Dalam proses bermigrasi langsung maupun secara tidak langsung biasanya para migran yang sudah berumah tangga tidak langsung memboyong keluarganya ke daerah tujuan migrasi, tetapi di antara mereka yang terlebih dahulu bermigrasi adalah para suami karena mereka belum mempunyai tempat tinggal menetap dan biasanya mereka tinggal di rumah- rumah saudaranya dan di rumah penduduk Asli (Pakpak) yang mempunyai ladang yang luas untuk dijadikan sebagai pekerjanya.19

a. migrasi etnis Batak Toba secara langsung

Setelah dirasa mampu untuk membiayai keluarganya, maka mereka menjemput istri dan keluarganya untuk pindah ke tempat tujuan yaitu ke Sumbul. Untuk lebih jelasnya proses migrasi tersebut akan dibahas dalam dua cara yakni:

Migrasi ini terjadi akibat dibukanya seperti jaringan perrhubungan dan pembukaan jalan- jalan yang menghubungkan daerah Sumbul Pegagan dengan daerah lainnya sehingga turut mempermudah dan mempercepat arus perpindahan secara langsung bagi etnis Batak Toba ke daerah ini. Selain faktor di atas faktor penyebab migrasi Batak Toba di daerah ini secara langsung yaitu keadaan ekonomi karena keterbatasan lahan pertanian di daerah asalnya dimana peduduk sudah semakin banyak, sementara di daerah Sumbul Pegagan lahan pertanian masih sangat luas. Disamping itu yang tidak bisa diabaikan adalah falsafah hidup atau nilai budaya yang

19

dianut Batak Toba yang di kenal dengan istilah 3H seperti yang dijabarkan di atas,yaitu hamoraon, hagabeon, dan hasangapon, hal inilah yang sekarang ini memotivasi etnis Batak Toba melakukan migrasi.

b. migrasi etnis Batak Toba secara tidak langsung

Keputusan untuk bermigrasi yang diwujudkan dalam tindakan untuk meninggalkan kampung halamannya, dan biasanya diambil dengan tidak memperhitungkan bahwa kehidupan mereka yang baru akan lebih baik dari pada di tempat asalnya (baik dalam arti jasmani, sosial maupun kejiwaan). Namun kadang kala apa yang diidamkan itu lain dari kenyataannya yang mereka alami. Terutama mereka yang bermigrasi tidak memiliki pendidikan atau pengetahuan khusus seperti buruh tani. Sehingga mereka mencari daerah yang sesuai dengan keahlian mereka. Begitu jugalah halnya dengan para migran Batak Toba, karena alasan keadaan lingkungan, keadaan ekonomi, sosial budaya di daerah Toba mempersulit kehidupan mereka sehingga mendorong mereka meninggalkan kampung halaman, Bahkan diantara mereka ada yang tanpa memperhitungkan lebih dulu atau tidak mempersiapkan diri sebelum merantau ke daerah lain. Para migran Batak Toba baik yang sudah berumah tangga maupun yang belum, banyak diantara mereka yang terlebih dahulu bermigrasi ke daerah lain tetapi karena beberapa alasan mereka meninggalkan daerah tersebut. Seperti pengalaman seorang Responden yang bermigrasi pertama sekali ke kota

Jakarta mengatakan: bahwa dirinya telah termakan rayuan teman, sehingga apa yang ada dalam benaknya semasa di kampung berbeda dengan yang dialaminya di kota tersebut. Sehingga dia kembali ke kampung dan mengikuti temannya untuk menambah pengalaman di daerah Sumbul Pegagan. Maka untuk bertahan hidup dan dapat menwujudkan apa yang menjadi impian orang Batak Toba, lalu mereka mencari daerah lain yang sesuai dengan keahliannya sebagai petani dan salah satu daerah yang masih luas lahan pertaniannya adalah Sumbul Pegagan. Seperti yang dikemukakan oleh Sianturi yang bermigrasi dari daerah Muara yaitu:

“Tumangon ma marhassit- hassit di taon di huta ni halak on daripada mulak muse tu huta,dang tarbereng annon dongan di huta molo pe ingkon pindah unang be tuhuta, niluluan ma huta na asing”.

Bila diterjemahkan kira- kira artinya: lebih baik menderita di daerah perantauan dari pada harus kembali ke daerah asal, sebab kemungkinan besar akan mendapat ejekan dari teman- teman sekampung bila tidak berhasil.

Dokumen terkait