• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pelembagaan

Dalam dokumen sma12sos Sosiologi3 SuhardiSriSsunarti (Halaman 109-112)

BAB III Hakikat Lembaga Sosial

B. Proses Pelembagaan dan Dinamika Lembaga Sosial

1. Proses Pelembagaan

Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1999), lembaga muncul sebagai produk kehidupan sosial secara tidak direncanakan. Proses itu bermula ketika orang-orang mencari cara yang praktis untuk memenuhi ke- butuhannya. Pada suatu saat mereka menemukan suatu pola yang dapat dilak- sanakan dan diterima secara umum. Karena dirasa sebagai cara yang paling praktis dan diterima secara umum, maka cara itu dilakukan secara terus-menerus atau diulang-ulang. Semakin lama, pola perilaku tertentu menjadi kebiasaan, menjadi sesuatu yang rutin dilakukan, diharapkan, dan disetujui bersama. Hal seperti itu berarti, perilaku tersebut telah melembaga atau dilembagakan.

Misalnya, sepasang pemuda dan pemudi yang berpacaran. Pada awalnya, pemuda dan pemudi berpacaran karena didorong rasa saling tertarik antarlawan jenis. Lama-kelamaan menjadi suatu cara yang diterima dan dibiasakan dalam masyarakat. Cara ini mereka lakukan untuk mencari kecocokan dalam mencari jodoh. Karena dianggap baik dan praktis, maka pacaran diterima di masyarakat sebagai bagian dari proses pembentukan keluarga (ikatan perkawinan). Dalam dunia bisnis, orang-orang yang terlibat dalam bisnis selalu mengadakan transaksi. Semakin lama, transaksi menjadi kebutuhan yang tak terelakkan, sehingga perlu dibentuk asosiasi yang bertugas melayani kebutuhan tersebut. Karena cara itu

5. Birokrasi yang berbelit-belit pada dasarnya

hanyalah cara yang diterapkan para pejabat pemerintah untuk mempersulit urusan. Tujuan- nya agar warga masyarakat yang jengkel ber- urusan dengan mereka mengambil jalan pintas dengan cara menyuap petugas (birokrat) agar urusannya dipermudah.

No. Pernyataan S TS R

Gambar 3.6 Upacara akad nikah dengan segala tata cara dan simbol-simbolnya merupakan salah satu proses pelembagaan.

101 Hakikat Lambaga Sosial

dirasa praktis, maka berkembang menjadi bank seperti yang sekarang, yaitu suatu lembaga yang dapat memenuhi kebutuhan untuk bertransaksi, menyetor, meminjam, mentransfer dan menyimpan uang.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa, lembaga sosial terbentuk sebagai akibat adanya norma-norma sosial yang mengalami proses pelembagaan (institusionalisasi). Di masyarakat selalu terdapat norma-norma sosial yang berfungsi sebagai pengatur perilaku warga masyarakat dalam berinteraksi. Suatu norma dikatakan mengalami proses pelembagaan, apabila norma tersebut telah diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati, dan dihargai oleh warga masyarakat. Proses institusionalisasi menjadikan norma sosial bersifat mengikat bagi warga masyarakat untuk mematuhinya.

Kelanjutan proses institusionalisasi norma adalah proses internalisasi norma- norma sosial. Artinya, norma-norma sosial mendarahdaging dalam jiwa atau kepribadian seseorang. Seseorang yang telah mengalami intenalisasi norma- norma sosial, sepanjang hidupnya akan mengikti aturan norma tersebut dan menjadi bagian dari kepribadiannya.

Seperti yang pernah Anda pelajari pada Kelas X, di masyarakat terdapat empat macam norma, yaitu cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan ( mores), dan adat-istiadat (custom). Norma adalah suatu tatanan yang mengatur seseorang agar berperilaku pantas. Perilaku yang tidak pantas akan mendapat sanksi berupa celaan atau kritik. Cara-cara yang baik akan diterima sebagai kebiasaan. Norma kebiasaan berupa perilaku yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama, misalnya berjalan menundukkan badan ketika melewati orang yang lebih tua. Karena kebiasaan dapat diterima oleh lebih banyak orang, maka mempunyai kekuatan lebih besat daripada cara.

Suatu kebiasaan dapat berkembang menjadi tata kelakuan, apabila dijadikan sarana pengontrol perilaku warga masyarakat. Sebagai sarana pengontrol, tata kelakuan sering dijadikan ukuran mengenai perilaku yang boleh dan yang tidak boleh. Tata kelakuan dapat memaksa agar seseorang berperilaku sesuai ke- laziman dalam masyarakat, sehingga tercipta solidaritas antaranggota masyarakat. Selanjutnya, tata kelakuan meningkat menjadi adat-istiadat apabila diterima secara permanen dan terintegrasi secara kuat dalam kebudayaan masyarakat. Sanksi berat akat diterima seseorang yang melanggar adat-istiadat. Tingkatan norma di atas menunjukkan proses diterimanya cara-cara menjadi kebiasaan, kemudian orang membuat tata kelakuan yang baku dan bersifat legal (memiliki dasar hukum pasti). Dengan demikian, kebiasaan telah berubah menjadi suatu lembaga. Proses pelembagaan mencakup juga penetapan norma- norma yang pasti. Norma-norma mengatur penentuan status dan posisi serta peranan seseorang dalam bertindak. Oleh karena itu, proses pelembagaan (institusionalisasi) berarti mengganti perilaku yang semula bersifat spontan atau coba-coba (eksperimental) menjadi perilaku yang teratur, berpola, dan sesuai dengan harapan semua orang sehingga dapat diramalkan. Pengertian dapat diramalkan adalah bahwa periku yang diharapkan tersebut seharusnya berjalan sebagaimana mestinya sesuai ketentuan (norma).

Di masyarakat, banyak terdapat kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores). Namun, tidak semua kebiasaan dan tata kelakuan dianggap penting. Hanya norma-norma yang penting akan mengalami pelembagaan. Misalnya norma yang mengatur hubungan antara pria dan wanita dinilai sangat penting sehingga mengalami institusionalisasi dan terbentuklah lembaga perkawinan.

Suatu kebiasaan atau tata kelakuan dianggap penting bila berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang lebih penting pula. Misal, pe- menuhan kebutuhan untuk membentuk keluarga sifatnya lebih penting daripada pemenuhan kebutuhan olah raga dan rekreasi. Oleh karena itu, kebiasaan dan tata kelakuan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan untuk mem- bentuk keluarga mengalami proses institusionalisasi. Setiap masyarakat telah melembagakan perkawinan. Sebaliknya, norma-norma tentang bermain layang- layang dinilai kurang penting sehingga belum melembaga. Apabila suatu saat masyarakat menganggapnya penting, norma tersebut juga dapat melembaga. Proses pelembagaan seperti dijelaskan di atas menunjukkan, bahwa lembaga sosial berhubungan erat dengan nilai-nilai dan cita-cita, norma-norma perilaku, dan sistem hubungan. Apabila suatu kebiasaan atau tata kelakuan telah melembaga berarti norma-norma yang mengaturnya bersifat memaksa dan mengikat. Orang yang berkeluarga terikat oleh norma-norma keluarga. Seorang ayah harus bertanggung jawab terhadap nafkah hidup anak dan isterinya. Seorang ibu terikat untuk mendidik dan membesarkan anaknya. Di antara ayah, ibu, dan anak-anak terdapat jaringan hubungan yang terorganisasi untuk me- wujudkan nilai-nilai kekeluargaan.

Selain mengikat, norma-norma yang telah melembaga tidak lagi bersifat spontan. Artinya, norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan tersebut mempunyai pola, teratur, dan dapat diramalkan. Kita semua akan dapat meramalkan apa yang terjadi terhadap sepasang suami isteri yang telah resmi menikah. Keduanya akan hidup bersama, saling menyayangi, membangun tempat tinggal bersama, dan mengasuh anak mereka apabila telah lahir. Begitulah yang seharusnya terjadi sesuai harapan masyarakat. Apabila harapan itu tidak terbukti, maka dapat dikatakan terjadi penyimpangan norma. Setiap penyimpangan norma akan menghadapi konsekuensi berupa kontrol sosial. Kontrol sosial mencakup segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai dan norma yang berlaku. Kontrol sosial dapat dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain.

Proses pelembagaan juga dapat dilihat dari sudut interaksi sosial. Walaupun, sebenarnya antara interaksi sosial dan norma sosial saling berkaitan. Norma sosial menjadi pedoman berlangsungnya interaksi, sementara itu interaksi diatur oleh norma sosial. Interaksi sosial juga dapat melahirkan norma sosial.

Seperangkat interaksi sosial dikatakan melembaga bila memenuhi kiteria berikut, ada suatu sistem yang dikembangkan untuk mengatur status dan peran,

103 Hakikat Lambaga Sosial

mengirimkannya ke sekolah termasuk perilaku yang melembaga karena diterima oleh masyarakat secara umum. Begitu juga cara mendidik anak dalam hal pengetahuan agama dengan mengirimkannya ke pondok pesantren atau sekolah minggu telah menjadi suatu kebiasaan yang diterima masyarakat dan melembaga. Pada hakikatnya, suatu sistem yang mengatur status dan peran sosial adalah norma.

Lembaga pendidikan terbentuk akibat adanya interaksi manusia dalam hal transformasi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sosial. Setiap orang tua menginginkan agar anak-anak mereka memiliki dan menguasai semua hal yang diperlukan dalam hidup di masyarakat. Sementara itu, setiap orang tua juga tidak cukup memiliki waktu dan kapasitas untuk melakukan semua itu sendiri, maka diperlukan adanya guru sebagai transformator. Terbentuklah kelompok orang yang tugasnya mendidik dan mengajar. Selain itu, diperlukan sarana, baik berupa gedung, kurikulum, buku sumber belajar, media ajar, maupun sarana lainnya. Diperlukan pula norma-norma yang mengatur semua aspek yang berhubungan dengan pendidikan. Bagaimana kewajiban seorang siswa. Apa hak dan wewenang guru. Bagaimana hubungan orang tua dan guru. Semua unsur ini membentuk apa yang dinamakan lembaga pendidikan.

Agar semua unsur tersebut berfungsi sebagaimana mestinya, maka diperlu- kan pengaturan kerja dalam bentuk organisasi atau asosiasi. Sekolah tempat Anda belajar kini tentu ada kepala sekolah, dewan guru, staf tata usaha, dan komite sekolah. Semua itu merupakan satu kesatuan yang disebut asosiasi. Organisasi atau asosiasi merupakan perwujudan lembaga pendidikan. Norma- norma sosial yang telah melembaga diwujudkan oleh asosiasi.

Di dalam sebuah asosiasi yang mewujudkan lembaga pendidikan terdapat pembagian status dan peran sosial. Ada yang menjadi kepala sekolah, guru, siswa, atau staf tata usaha. Setiap orang yang memperoleh status dan peran tertentu dalam asoasiasi tentu mengalami pembatasan perilaku Dia harus berperilaku sesuai dengan peran yang diembannya. Misalnya, seorang kepala sekolah harus bisa mencerminkan diri sebagai pemimpin yang adil, jujur, dan bertanggung jawab sekaligus sebagai pengelola sekolah yang cakap (kompeten). Peran sebagai guru atau pendidik juga mengalami pembatasan perilaku. Seorang guru harus menjadi teladan bagi siswa-siswanya. Sementara itu, para siswa dituntut rajin belajar dan mematuhi gurunya. Seiring melembaganya sekolah sebagai lembaga sosial, maka peran-peran tersebut pun dikatakan telah melembaga. Suatu peran dikatakan melembaga bila dikenal, diakui, dihargai, dan ditaati dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dokumen sma12sos Sosiologi3 SuhardiSriSsunarti (Halaman 109-112)