• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses pembelajaran yang dibangun dalam mewujudkan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2) Proses pembelajaran yang dibangun dalam mewujudkan

Yogyakarta

TK Katolik Sang Timur Yogyakarta senantiasa membangun proses pembelajaran yang baik untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dicita-citakan, salah satunya adalah pendidikan multikultural. Proses pembelajaran yang diwujudkan TK Katolik Sang Timur Yogyakarta dilandaskan pada teori belajar yang memperhatikan keberagaman yang dimiliki oleh peserta didik, meliputi keberagaman sosial, budaya, politik, agama, dan keberagaman lainnya. Selain itu, TK Katolik Sang Timur Yogyakarta juga berupaya mewujudkan proses pembelajaran yang menghargai dan memfasilitasi minat dan bakat peserta didik. Pembelajaran yang dilaksanakan tidak boleh menempatkan peserta didik sebagai objek, melainkan sebagai subjek dengan karakteristik yang berbeda-beda. Perwujudan proses pembelajaran dengan menghargai bakat dan minat peserta didik dilakukan TK Katolik Sang Timur Yogyakarta melalui konsep pendidikan sentra yang diusung oleh sekolah.

92

Hal tersebut senada dengan pemaparan Suster M selaku kepala TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang mengungkapkan bahwa:

“Teori belajar dan proses belajar harus memperhatikan keragaman sosial, budaya, politik, dan ekonomi mbak. Tidak boleh menempatkan siswa sebagai objek, melainkan menempatkan mereka sebagai subjek dengan kekhasan masing-masing. Kemudian proses belajar yang berlangsung di sini mengacu pada penghargaan minat dan bakat anak yang berbeda-beda, inilah salah satu alasan kami menggunakan model belajar sentra. Di sini kami menggunakan pembelajaran sentra mbak. Model tersebut merupakan model yang kami rancang untuk memfasilitasi bakat dan minat anak yang berbeda-beda.”

(WAW/M.22/19/12/2016)

Keberadaan model pembelajara sentra sebagai salah satu strategi sekolah dalam mewujudkan pendidikan multikultural juga dipertegas oleh pendapat Ibu MW selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Proses belajar yang berlangsung di sini mengacu pada

penghargaan minat dan bakat anak yang berbeda-beda, inilah salah satu alasan kami menggunakan model belajar

sentra.” (WAW/MW.1/29/12/2016)

Selain hal-hal di atas, TK Katolik Sang Timur Yogyakarta berusaha mewujudkan proses belajar yang mampu membangun nilai-nilai kebersamaan pada diri peserta didik. Proses belajar yang mengandalkan peserta didik belajar secara individualistis dan bersaing secara kompetitif sebisa mungkin ditinggalkan, kemudian diganti dengan cara belajar yang mengandalkan kerjasama, seperti halnya kerja kelompok. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik

93

mampu hidup bersama dengan orang lain dalam suatu perbedaan, yaitu perbedaan budaya, status sosial, tingkat intelektualitas, ekonomi, dan lain sebagainya.

Hal tersebut senada dengan pemaparan Ibu MW selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Proses belajar yang mengandalkan siswa belajar secara individualistis dan bersaing secara kompetitif individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok, dan siswa terbiasa hidup dengan berbagai budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan lain

sebagainya.” (WAW/MW.2/29/12/2016)

Proses pembelajaran yang dibangun TK Katolik Yogyakarta adalah pembelajaran yang mampu menerima sifat-sifat kultural yang dibawa anak, seperti halnya yang disampaikan oleh Ibu MR selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang mengutarakan bahwa:

“Proses belajar yang menghargai minat dan bakat. Yang menerima sifat-sifat kultural yang dibawa anak.”

(WAW/MR.4/31/12/2016)

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa proses pembelajaran yang diselenggarakan TK Katolik Sang Timur Yogyakarta seluruhnya mengacu pada penghargaan terhadap perbedaan. Materi pembelajaran di kelas didesain dengan mengacu pada aspek multikultural, salah satunya adalah melalui penyampaian lagu yang menanamkan nilai saling menghargai. Hal ini dijadikan sebagai salah satu strategi dalam mewujudkan pendidikan multikultural di sekolah. Di mana anak usia dini lebih

94

mudah menerima materi melalui lagu. Berdasarkan hasil observasi, diketahui bahwa penyampaian materi lagu di kelas mencerminkan aspek multikultural untuk memantik sikap toleransi pada diri peserta didik. Penggalan lirik lagu yang dimaksud adalah:

“..…teman mari kita hormati dengan saudara beda agama,

dengan saudara beda pendapat. Islam Allohuakbar, Katolik

Kristen Haleluya, Hindu Homswastiwastu…..”.

(OBS.1/22/11/2016)

Kebenaran dari hasil penelitian ini senada dengan yang disampaikan oleh Ibu MW selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Menurut kami sangat mengacu. Multikultural kan tidak hanya semata-mata tentang agama dan budaya, tetapi juga termasuk kemampuan anak-anak yang berbeda-beda. Proses belajar kami secara keseluruhan mengacu pada penghargaan terhadap perbedaan. Pada proses belajar di kelas kami mendesain materi yang mencerminkan multikultural mbak. Yaitu dengan lagu pembelajaran yang sangat memantik peserta didik untuk toleransi. Lagu kan menjadi hal yang paling gampang diterima oleh anak TK. Salah satunya pada lirik lagu yang mbak dengarkan tadi di mana liriknya adalah “teman mari kita hormati dengan saudara beda agama, dengan saudara beda pendapat. Islma Allohuakbar, Katolik Kristen Haleluya, Hindu Homswastiwastu”. Jadi mbak dalam proses pembelajaran selalu kami masukkan aspek

multikulturalitas.” (WAW/MW.3/14/01/2017)

Pendapat di atas dipertegas oleh pemaparan Suster M selaku kepala TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang mengatakan bahwa:

“Proses belajar kami secara keseluruhan mengacu pada penghargaan terhadap perbedaan. Bahkan pada pembelarannya, lewat lagu, ada lirik yang mengatakan

95

Islam Allohuakbar, Katolik Haleluya, Hindu ….mari kita sayangi seluruh saudara kita”. Kami sengaja merancang itu semua untuk menumbuhkan pendidikan multikultural di

sekolah ini.” (WAW/M.23/19/12/2016)

Proses pembelajaran yang mengacu konsep multikultural juga diwujudkan TK Katolik Sang Timur Yogyakarta dengan cara memfasilitasi minat dan bakat anak dengan tetap disesuaikan pada tema pembelajaran. Hal ini diwujudkan oleh guru melalui sistem pemberian tugas pada peserta didik terkait dengan tema yang sudah disampaikan. Penugasan tersebut dikerjakan di kelas, terdiri dari tiga tugas. Metode yang dilakukan oleh guru adalah dengan mempersilakan peserta didik untuk memilih tugas sesuai minat atau bakat mereka. Akan tetapi, pada akhirnya seluruh peserta didik tetap harus menyelesaikan semua tugas yang diberikan dengan sistem belajar bersama dengan teman yang memilih tugas yang berbeda dengan peserta didik yang dimaksud. Hal ini dilakukan oleh guru untuk menumbuhkan nilai-nilai kerja sama pada diri peserta didik.

Hal tersebut senada dengan pemaparan Ibu MW selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Selain itu, dalam proses pembelajaran secara kognitif, kami juga terapkan aspek multikural. Dalam hal ini kami berusaha memfasilitasi minat dan bakat anak. sebagai contoh, pada materi air kami sediakan 3 jenis kegiatan pembelajaran (menggambar, menulis, memola) anak-anak disuruh memilih materi sesuai minatnya, tetapi pada akhirnya harus tetap menyelesaikan semua dengan sistem belajar bersama teman yang berbeda-beda (misal Abraham memilih memola,

96

maka dia harus belajar bersama Kael yang memilih menulis. Pada akhirnya jika mereka sama-sama sudah selesai, meraka harus bergantian tugas).” (WAW/MW.4/14/01/2017)

Perwujudan pendidikan multikultural dalam proses pembelajaran juga dilakukan melalui penanaman konsep kesetaraan gender. Meskipun tidak diberikan teori tentang kesetaraan gender, peserta didik diajarkan dan diberikan keteladanan tentang perilaku yang mencerminkan kesetaraan gender. Guru senantiasa menanamkan kepada peserta didik bahwa tugas apapun dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Hal itu juga diwujudkan dengan perlakukan guru kepada peserta didik. Guru selalu bersikap adil kepada peserta didik, salah satunya melalui pemberian tugas. Berdasarkan hasil observasi di kelas, guru senantiasa memberikan keseimbangan dalam hal pemberian tugas. Misalkan ketika akan makan, guru akan menunjuk petugas pemimpin doa dan pembawa sabun. Kedua petugas tersebut dipilih oleh guru dengan komposisi satu laki-laki dan satunya lagi perempuan. Penanaman nilai kesetaraan gender juga diwujudkan oleh guru di dalam kelas melalui pengaturan tempat duduk peserta didik. Guru menempatkan peserta didik laki laki dan perempuan dalam satu kelompok belajar.

Hal ini seanada dengan pemaparan Ibu MW selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang meyampaikan bahwa:

“Kami juga menerapkan konsep gender loh mbak. Di mana kami menanamkan pada siswa bahwa tugas apapun bisa

97

dilaksanakan laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya kami tidak pernah membedakan mana laki-laki mana perempuan. Pada saat duduk di kelas pun, antara laki-laki dan perempuan kami setting agar menjadi satu. Jadi tidak perempuan bergerombol sendiri dan laki-laki bergerombol sendiri.” (WAW/MW.5/14/01/2016) Dalam pembelajaran di kelas, tentu memunculkan suatu aktivitas dan tradisi yang melibatkan guru dan peserta didik. Guru kelas senantiasa menseting aktivitas dan tradisi yang berjalan di kelas dengan mengacu pada aspek multikultural. Secara garis besar, tradisi yang dilaksanakan di kelas meliputi berdoa, bernyanyi, penyampaian materi dan tanya jawab, serta penyampaian materi tentang perilaku positif, salah satunya sikap saling menghargai. Hal ini senada dengan pemaparan Ibu VE selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Sudah pasti berdoa dulu, menyanyi, habis itu ya tanya jawab tentang tema sub tema, terus tentang perilaku yang baik, salah satunya sikap menghargai sesama.”

(WAW/VE.2/23/11/2016)

Aktivitas dan tradisi di kelas dilakukan dengan melibatkan peserta didik, salah satunya ketika melakukan absensi. Sebelum kegiatan dimulai (setelah berdoa), peserta didik akan dipancing kepekaannya kepada teman lain dengan menyebutkan teman-teman mereka yang tidak berangkat. Hal ini dilakukan oleh guru dalam rangka membangun nilai-nilai kebersamaan pada diri peserta didik.

98

Hal tersebut senada dengan pemaparan Ibu MR selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang memaparkan bahwa:

“Sebelum memulai kegiatan berdoa dulu, setelah itu kami lakukan absensi dengan melibatkan anak-anak, yaitu dengan melihat siapa saja dari teman mereka yang tidak berangkat.” (WAW/MR.5/31/12/2016)

Pendapat senada disampaikan oleh Ibu MW selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Sebelum memulai kegiatan berdoa dulu, sebelum belajar, sebelum makan, sebelum pulang pasti berdoa dulu. Kemudian melakukan absensi, dengan cara anak-anak menyebutkan siapa saja temannya yang hari ini tidak masuk. Hal ini kami lakukan untuk membangun nilai-nilai kebersamaan pada diri anak. Kemudian kami menyanyikan lagu sebagai salah satu kegiatan belajar. Dan diteruskan dengan penyampaian materi.” (WAW/MW.6/14/01/2017) Aktivitas lain yang dijalankan di kelas berkaitan dengan pendidikan multikultural adalah pemberian kesempatan kepada seluruh peserta didik untuk berpendapat. Hal ini dilakukan ketika guru memulai pembelajaran. Guru memancing keaktifan peserta didik untuk berpendapat melalui “pelemparan” tema. Peserta didik diberikan kesempatan untuk mendiskripsikan tema yang diberikan sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Guru bersikap adil dan terbuka dengan tidak membatasi peserta didik untuk berpendapat. Apresiasi diberikan oleh guru atas keaktifan peserta didik. Hal itu dilakukan dengan tidak memberikan judgment “salah” pada deskripsi atau jawaban yang disampaikan oleh peserta didik. Guru

99

akan menginstruksikan peserta didik lain untuk menyempurnakan jawaban yang belum sempurna.

Hal tersebut senada dengan pemaparan Ibu MR selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Kemudian kegiatan pembelajaran saya mulai dengan melibatkan peserta didik juga mbak. Misalkan saya memberi materi udara ya mbak, maka saya akan mempersilakan anak untuk menjelaskan apa itu udara. Semua anak saya beri kesempatan. Tidak ada jawaban yang salah mbak. Sebisa mungkin juga pembelajaran kami selenggarakan dengan menyeimbangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Afektif saya bangun dengan sebisa mungkin mewujudkan suasana belajar yang penuh kebersamaan di antara peserta didik. Kemudia secara psikomotorik kami lakukan dengan pemberian materi bernyanyi atau memola. Intinya mbak, kalau ada tanya jawab, kami sebagai guru pasti menanyakan anak-anak terlebih dahulu, pendapatnya seperti apa, dengan tidak disanggah, maksudnya misalnya meskipun jawaban anak kurang tepat, kita tetap mengapresiasi dan juga bersama-sama membuat jawaban

yang lebih baik.” (WAW/MR.6/31/12/2016)

Sebelumnya telah disinggung bahwa berdoa merupakan salah satu aktivitas dan tradisi yang selalu dijalankan di kelas. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa sekolah ataupun guru di dalam kelas senantiasa memberikan kelonggaran dan kebebasan kepada peserta didik untuk berdoa sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa cara-cara berdoa di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta dilakukan menggunakan cara Katolik, karena memang sekolah ini merupakan sekolah swasta milik yayasan Katolik. Untuk mensikapi hal ini, guru menentukan standar seorang peserta

100

didik sudah bisa berdoa atau belum dari sikap mereka, bukan dari lafal doa yang mereka ucapkan.

Hal tersebut senada dengan pemaparan Ibu MR selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Karena di sini yayasan Katolik maka kami menggunakan cara-cara Katolik dalam berdoa. Tapi ini tidak menjadi sesuatu yang mutlak mbak. Bagi anak atau guru yang non- Katolik sangat kami persilakan untuk berdoa sesuai ajarannya masing-masing. Pedoman kami bahwa semua agama ataupun ajaran pasti mengajarkan cara-cara berdoa dan bertingkah laku yang baik.” (WAW/MR.7/04/01/2017) Kebenaran pendapat di atas dipertegas oleh pemaparan yang disampaikan Ibu VE selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Karena di sini yayasan Katolik mbak, otomatis berdoanya secara Katolik. Tapi penilaiaannya nggak harus seperti itu. Jadi kalau mereka, ada juga kan yang muslim, jadi saya menilai mereka dari sikapnya, bukan dari cara dia bisa mengucap doa secara Katolik, atau melakukan dengan tanda salib seperti kita, bukan seperti itu mbak. Tapi lebih ke sikap dia. Sikap dia berdoa, kan semua agama mengajarkan yang namanya sikap berdoa itu harus yang baik, iya kan? Misal ketika Sholat ataupun di gereja. Hindu, Budha kan semua tetap mengajarkan sikap berdoa yang baik. Berbicara dengan Tuhan tu harus dengan sikap ynag sopan. Kan seperti itu. Kalau berdoanya ya kami persilakan sesuai ajarannya di rumah. Kalau Hindhu ya Hindhu, Muslim ya Muslim. Jadi kita tu nggak terus mengkatolikkan atau mengkristenkan, enggak sama sekali mbak.” (WAW/VE.3/30/12/2016) Hal tersebut hampir senada dengan pendapat yang disampaikan oleh Ibu MW selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya bahwa karena di sini yayasan Katolik, kami menggunakan cara-cara

101

Katolik dalam beberapa kegiatan, salah satunya adalah ketika berdoa. Akan tetapi kami tidak ingin dibilang

mengkristenkan, karena kami memang tidak ingin

mengkristenkan mbak. Jadi anak-anak atau ibu guru yang

non-Katolik kami persilakan berdoa menggunakan cara-cara yang diyakini, yang penting kan nilainya ya mbak, bahwa sebelum berkegiatan berdoa. Mengenai bagaimana doa yang dipanjatkan, saya yakin semua agama mengajarkan cara-cara

berdoa yang baik.” (WAW/MW.7/31/01/2017)

Pelaksanaan proses pembelajaran yang mengacu pada konsep pendidikan multikultural tentu melibatkan cara-cara yang dipakai guru dalam menciptakan suasana belajar yang ideal di kelas. Suasana belajar yang berusaha diwujudkan di kelas adalah suasana belajar yang aktif, kondusif, penuh kerja sama, penuh kasih, dan toleran. Hal ini tidak terlepas dari keterbukaan pikir guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta. Guru meyakini bahwa suasana di kelas merupakan cerminan keadaan peserta didik di luar kelas. TK Katolik Sang Timur Yogyakarta berusaha mencetak peserta didik menjadi individu yang saling menghormati dan memiliki kepedulian dalam kelompok masyarakat. Cita-cita tersebut diwujudkan salah satunya melalui proses kegiatan belajar mengajar di kelas.

Hal tersebut senada dengan pemaparan Ibu MW selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Saya menghendaki suasana belajar yang kondusif, penuh kerjasama, penuh kasih, dan toleran mbak. Karena kelas kan cerminan perilaku anak di luar kelas. jadi sebisa mungkin kami menseting anak di dalam kelas untuk menjadi individu dalam kelompok yang memiliki rasa saling menghormati dan memiliki kepedulian tinggi terhadap sesama. Kemudian

102

setelah itu kami juga menghendaki suasana belajar yang seimbang, antara kognitif, perasaan, dan psikomotor.” (WAW/MW.8/31/01/2017)

Pendapat hampir senada disampaikan oleh Ibu MR selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Suasana belajar yang aktif, anak-anak bisa terlibat aktif, tidak semuanya bu guru yang mengatur kamu harus begini kamu harus begitu. Tapi dengan anak-anak memberikan masukan nanti kita bisa jalankan bersama-sama.” (WAW/MR.8/31/12/2016)

Guru di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta menghendaki suasana belajar di kelas yang nyaman bagi peserta didik. Hal itu senada dengan yang disampaikan oleh Ibu VE selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Suasana belajar yang kondusif, yang aktif, yang nyaman

bagi semuanya mbak.” (WAW/VE.4/30/12/2016)

Suasana belajar yang dikehendaki untuk berjalan di kelas akan terwujud jika diimbangi dengan cara-cara yang dilakukan guru dalam menyampaikan materi, cara dalam menggunakan konten-konten budaya, hingga cara yang dilakukan guru dalam menciptakan suasana kebersamaan di kelas. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, diketahui bahwa guru di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta senantiasa mempertimbangkan konsep multikulturalisme dalam menyampaikan materi. Hal itu dibuktikan dengan cara yang dilakukan guru dalam memberikan materi pembelajaran agar dapat diterima oleh seluruh peserta didik

103

dari golongan manapun. Penyampaian materi dilakukan dengan menggunakan konsep-konsep global. Secara praktik, penyampaian materi yang dilakukan oleh guru dengan menggunakan replika- replika ataupun gambar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa anak usia dini akan lebih mudah menyerap materi melaui pengamatan langsung. Selain itu, guru juga menyelipkan pesan- pesan moral keagamaan dalam setiap materi yang disampaikan, salah satunya dengan mengingatkan peserta didik agar senantiasa taat beribadah. Guru menyampaikan bahwa setiap hari Sabtu, peserta didik Katolik dan Kristen harus ke Gereja. Peserta didik muslim harus beribadah ke masjid, salah satunya melalui ibadah sholat Ju’mat. Hal itu dilakukan oleh guru untuk mencapai dua tujuan. Pertama, secara eksplisit bertujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan tentang nama-nama agama berikut tempat ibadahnya. Kedua, secara implisit hal ini dilakukan agar peserta didik memiliki nilai toleransi terhadap teman yang berbeda agama.

Hal ini senada pemaparan Ibu MR selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Ya kita lebih ke global sih mbak. Jadi penyampaian

materinya kami menggunakan konsep-konsep global yang dapat diterima oleh semua agama dan golongan apapun. Tapi karena memang ini yayasan Katolik, kami kalau contohnya saja kegiatan waktu hari senin itu pasti saya menanyakan siapa yang minggu ke gereja. Mungkin kalau ada yang beragama muslim, ya kita jelaskan kalau misalnya mbak atau mas yang ini tu nggak ke gereja lo temen-temen, mereka perginya ke mana kalau mau berdoa? Serentak anak- anak akan menjawab ke masjid. Jadi ya sekaligus

104

menjelaskan kepada mereka tentang tempat-tempat ibadah. Jadi dalam penyampaian materi kami juga mengajarkan anak-anak tentang agama dan macam-macam tempat ibadah. Jadi menurut saya hal tersebut sangat mengacu pada aspek penghargaan dan toleransi, tepatnya multikultural ya.” (WAW/MR.9/04/01/2017)

Hal senada juga dipaparkan oleh Ibu VE selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Penyampaian materi yang dapat diterima oleh semua anak, meggunakan konten yang ada di sekitar anak. jadi anak akan merasa keberadaanya dianggap. Jadi dengan lagu-lagu, terus dengan yang namanya diterangkan. Kan kita punya replika tempat-tempat ibadah. Bagaimana dengan perbedaan ini anak-anak mengenal semua tempat ibadah semua agama terus saling menghargai dengan yang berbeda. Jadi anak- anak tidak akan mengucilkan teman-temannya yang minoritas secara suku, agama, ras, maupun jenis kelamin. Terus memberikan nasihat dan keteladanan mbak. Kalau Katolik kan setiap sabtu minggu ke gereja, nah untuk saudara yang muslim kita nasihatkan untuk dia sholat, kalau

jumat ya harus ikut Jumatan.” (WAW/VE.5/04/01/2017)

Proses penyampaian materi yang dilakukan oleh guru dilakukan dengan mempertimbangakan konsep kesetaraan gender. Dalam materi apapun, guru pasti menyelipkan satu konsep bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Hal ini senada dengan pemaparan Ibu MW selaku guru di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Proses penyampaian materi saya lakukan menggunakan konten yang universal yang dapat diterima oleh semua kelompok agama, budaya, ras, maupun gender. Oh iya mbak, sedapat mungkin kami menyampaikan bahwa konten persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Agar anak tidak terjebak pada suasana laki-laki lebih dominan, ataupun sebaliknya.” (WAW/MW.9/14/01/2017)

105

Pada proses pembelajaran, guru juga dituntut agar memiliki cara-cara tertentu dalam menggunakan konten atau contoh dari berbagai budaya dan kelompok. Penggunaan konten atau contoh dari berbagai budaya dilakukan oleh guru untuk menyampaikan pada peserta didik bahwa setiap budaya atau agama selalu mengajarkan kebaikan. Secara fisik, dilakukan dengan

Dokumen terkait