• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur sosial yang dibangun dalam mewujudkan pendidikan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1) Struktur sosial yang dibangun dalam mewujudkan pendidikan

TK Katolik Sang Timur Yogyakarta memiliki input yang beragam, baik dari segi agama, suku, bahasa, maupun yang lainnya. Tidak dipungkiri bahwa di sekolah ini terdapat golongan mayoritas. Dari segi agama, mayoritas adalah Katolik. Dari segi suku dan bahasa mayoritas adalah suku Jawa dan bahasa Jawa. Meski begitu, di sekolah ini juga hidup dan berkembang warga sekolah dari golongan agama Islam, Kristen, Hindhu, dan Budha. Kemudian ditambah juga warga sekolah dari suku di luar suku

82

Jawa. Sekolah mensikapi segala perbedaan sebagai hal yang posistif.

Hal ini sesuai dengan pemaparan Suster M selaku kepala TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang mengungkapkan bahwa:

“Di sini hidup dan berkembang warga sekolah dari beberapa agama mbak. Pak Sih, tukang kebun kami beragama muslim, terus si bagian PAUD ada satu orang guru (pengasuh) juga muslim. Untuk peserta didik sendiri ada yang Muslim, Kristen, Katolik, Buda, dan Hindu. Kalau untuk tahun ini, dari peserta didik ada yang beragama Muslim, Kristen, Katolik, dan Hindu. Kalau untuk ras, paling banyak memang dari Jawa. Tapi kami terbuka dengan siapa saja, kebetulan tahun ini juga ada beberapa yang dari

batak.” (WAW/M.9/19/12/2016)

Pendapat yang sama disampaikan oleh Ibu SE selaku staf tata usaha dan administrasi umum TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Di sini hidup beberapa keyakinan dalam artian agama ya mbak. Baik dari guru, karyawan, dan siswa, kami beragam. Dalam lima tahun terakhir kami memiliki siswa dengan latar belakang lima agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Hindu, Buda, dan Kristen. Semester ini siswa kami ada yang beragama Islam, Katolik, Kristen, dan Hindu. Meskipun masyoritas Katolik dan Kristen, tapi di sini pelabelan agama berusaha kami hilangkan dalam hal kehidupan yang ingin menjunjung tinggi pendidikan multikultural. Di sini kalau ras atau suku paling banyak memang Jawa mbak, tapi ada juga batak. Tapi perbedaan tersebut justru kami jadikan sebagai media pembelajaran langsung, misal dalam memperkenalkan suku-suku di Indonesia. (WAW/SE.6/28/12/2016)

Perbedaan-perbedaan di lingkungan TK Katolik Sang Timur Yogyakarta menciptakan situasi tersendiri bagi sekolah. Hal ini tentu menuntut sekolah menciptakan strategi dalam menghadapi

83

keadaan tersebut. Strategi yang digunakan tentu dengan memberdayakan seluruh keanekaragaman di lingkungan sekolah. Keanekaragaman yang dimiliiki warga sekolah dijadikan sebagai instrumen untuk membentuk struktur sosial baru dengan tidak menghilangkan karakteristik yang dimiliki setiap individu. Hal ini senada dengan pemaparan Suster M selaku kepala TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“…..perbedaan–perbedaan yang ada di sini justru kami pakai

untuk membentuk struktur sosial baru yang memasukkan semua karakteristik mereka mbak, dari agama, suku, gender, dan lain-lain. Kita ambil nilai-nilai positifnya dari semua golongan.” (WAW/M.10/14/08/2016)

Hal yang menjadi perhatian utama dalam membangun struktur sosial multikultural adalah dengan tidak menonjolkan satu golongan dibanding golongan lainnya. Perbedaan-perbedaan yang ada justru dimanfaatkan sebagai pendukung implementasi pendidikan multikultural. Hal ini senada dengan pemaparan Suster M selaku Kepala TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“……dengan tidak menganggap satu golongan lebih menonjol dari golongan lain. Karena perbedaan tersebut bukan menjadi masalah bagi kami. Kami malah menggunakan segala perbedaan yang ada sebagai aspek pendukung implementasi pendidikan, khususnya pendidikan multikultural. dengan adanya perbedaan di sini kan anak- anak tidak perlu jauh-jauh ketika ingin belajar kebinekaan”. (WAW/M.11/29/12/16)

TK Katolik Sang Timur Yogyakarta berupaya membangun struktur sosial baru dengan mengambil nilai-nilai positif dari setiap

84

agama, bahasa, dan budaya yang dibawa oleh peserta didik. Hal ini senada dengan pemaparan Suster M selaku Kepala TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“….dari segi bahasa, tentu terbanyak bahasa Jawa. Tapi kami selalu terbuka dan bangga dengan bahasa Ibu dari semua peserta didik. Misal peserta didik dari batak menggunakan bahasa batak, malah kami gunakan sebagai media untuk mengenalkan berbagai bahasa kepada teman-

temanya secara langsung.” (WAW/M.12/19/12/2016)

Pendapat yang sama disampaikan oleh Ibu SE selaku staf tata usaha dan administrasi umum TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Bahasa kami menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa. Tetapi kami juga memberikan kelonggaran bagi siswa yang memakai bahasa daerah mereka. Ini malah menjadi satu

ketertarikan bagi kami.” (WAW/SE.7/28/12/2016)

Komitmen TK Katolik Sang Timur Yogyakarta untuk tidak menonjolkan golongan tertentu di sekolah terlihat pada cara sekolah dalam mengambil sudut pandang suatu agama. Sekolah beranggapan bahwa agama merupakan urusan privat masing- masing orang. TK Katolik Sang Timur sedapat mungkin menghilangkan pelabelan agama, meskipun sekolah tersebut merupakan yayasan Katolik. Hal ini senada dengan pemaparan Suster M selaku Kepala TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang memamparkan bahwa:

“Satu lagi ya mbak, walaupun sekolah sendiri bernafaskan agama Katolik, pelabelan agama sedapat mungkin dihilangkan. Sekolah berpandangan bahwa agama merupakan masalah yang privat, diserahkan pada individu

85

masing-masing dan pada institusi yang berhak, seperti halnya masjid, gereja, wihara, pura, dan lain-lain.” (WAW/M.13/29/12/16)

TK Katolik Sang Timur Yogyakarta berusaha membangun struktur sosial baru yang ramah dan dapat diterima oleh seluruh warga sekolah. Salah satunya dilakukan dalam hal penyebutan

“Tuhan”. Warga sekolah TK Katolik Sang Timur Yogyakarta

menggunakan kata “Tuhan” sebagai kata untuk menyebut Sang Pencipta. Alasan sekolah menggunakan kata tersebut karena kata

“Tuhan” memiliki makna yang universal, dapat diterima oleh

semua golongan agama. Pada pelaksanaannya, sekolah tidak bisa memungkiri bahwa di lingkungan Katolik, tentu akan muncul beberapa kegiatan dengan cara-cara Katolik, misalkan saja ketika menyanyikan lagu pujian dengan kata “Tuhan Yesus”, “Bapa”, dan

“Bunda”. Akan tetapi, sekolah tidak pernah memaksakan peserta

didik ataupun guru yang non-Katolik untuk mengikuti cara tersebut.

Hal ini senada dengan pemaparan Suster M selaku kepala TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang mengungkapkan bahwa:

“Dengan kata “Tuhan” mbak. Karena menurut kami bahasa

ini universal untuk semua agama. Tapi karena ini yayasan Katolik ya mbak, pasti kami ada nuansa Katolik dalam cara berdoa. Akan tetapi untuk yang non-Katolik kami persilakan

berdoa dan menyebut “Tuhan” sesuai kepercayaan masing-

masing. Jadi kami di sini tidak mengkristianikan mbak.” (WAW/M.14/19/12/2016)

86

Pendapat yang sama disampaikan oleh Ibu VE selaku guru kelas di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

““Tuhan” mbak. Menurut saya itu penyebutan yang dapat

diterima oleh semuanya.” (WAW/VE.1/23/11/2016)

Hal senada juga dipaparkan oleh Ibu SE selaku staf tata usaha dan administrasi umum TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Tentu dengan kata “Tuhan” mbak. Karena kata tersebut

menggunakan makna yang universal.” (WAW/SE.8/28/12/2016)

Strategi selanjutnya dalam mewujudkan pendidikan multikultural melalui struktur sosial yang dibangun adalah dengan memfasilitasi warga sekolah merayakan setiap hari besar agama dan budaya yang dimiliki. Perayaan yang dilakukan bukan sekedar aktivitas fisik saja, melainkan ditambah dengan penanaman nilai- nilai karakter pada diri peserta didik. Nilai karakter yang dimaksud adalah nilai peghargaan dan toleransi pada setiap agama maupun budaya. Sekolah berusaha menanamkan pada peserta didik bahwa setiap agama (diwakili dengan hari besar agama) memberikan nilai-nilai dan ajaran yang baik.

Hal ini senada dengan pemaparan Suster M selaku kepala TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang mengungkapkan bahwa:

“Nah ini menurut saya masuk ke dalam inovasi kurikulum sekolah. Kurikulum kan nggak melulu tentang pembelajaran di kelas. Tapi menyangkut hal-hal yang dilakukan demi

87

mencapai tuuan pendidikan yang telah ditetapkan. Nah pada saat perayaan hari agama, kami rayakan semua mbak, dari Natal, Idul Fitri, Idul Adha, Imlek, dan lain-lain. Di dalam perayaan tersebut bukan maksud kami untuk menyuruh anak melakukan ibadah kepercayaan di luar dirinya. Tapi kami menggunakan momen perayaan agama sebagai ajang untuk saling bertoleransi. Kami kenalkan nilai-nilai moral dalam

setiap perayaan.” (WAW/M.15/19/12/16)

Pendapat hampir sama disampaikan oleh Ibu SE selaku staf tata usaha dan administrasi umum TK Katolik Sang Timur Yogyakarta, bahwa:

“……kegiatan perayaan mbak. Tapi bukan semata-mata perayaan saja. Kami menggunakan perayaan tersebut sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai moral. Ini termasuk dalam pengembangan kurikulum kami mbak, yaitu menanamkan nilai moral lewat perayaan agama dan hari jadi keagamaan lain. Misalnya ketika Idul Fitri kita ada kegiatan membuat ketupat. Kami ajarkan kepada anak-anak makna filosofis ketupat. Dalam hal ini, yaitu nyuwun ngapunten menawi lepat. Ketika Natal kita mengadakan juga pembuatan pohon kata. Kata-kata dibuat oleh guru dan Frater. Kata-kata motivasi tentunya.”

(WAW/SE.9/14/01/2017)

Perayaan hari besar agama berguna untuk mengenalkan macam-macam agama di Indonesia kepada peserta didik. Secara implisit juga untuk mengajarkan sikap toleransi dan saling menghargai. Nilai toleransi ditanamkan melalui pemberian keteladanan pada diri peserta didik untuk senantiasa menghargai tiap-tiap agama, salah satunya dengan memberikan ucapan bagi temannya yang sedang merayakan hari besar agama.

88

Hal ini senada dengan pemaparan Ibu MW selaku guru kelas di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Kami melakukan perayaan pada hari agama. Untuk mengenalkan pada siswa, selanjutnya menanamkan nilai- nilai moral yang muncul pada perayaan hari-hari agama mbak. Jadi bukan hanya perayaannya saja yang kami tonjolkan sebagai kegiatan saling toleransi. Tapi nilai moral yang dapat diambil. Lewat hari agama, kami juga menanamkan sikap saling menghargai pada diri anak dengan memberikan keteladanan saling mengucapkan ketika hari agama. Misal pada saat idul fitri, siswa Katolik mengucapkan selamat idul fitri pada temannya yang

merayakan, begitu juga sebaliknya.”

(WAW/MW.1/29/12/2016)

Kegiatan perayaan hari besar agama digunakan sekolah untuk menanamkan nilai-nilai positif bagi peserta didik. Hal ini dilakukan agar peserta didik memahami bahwa setiap agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Nilai yang sering dimunculkan oleh sekolah adalah nilai berbagi dan peduli terhadap sesama. Hal ini sesuai dengan pemaparan Ibu SE selaku staf tata usaha dan administrasi umum TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Selain itu kami juga mengajarkan kepada anak-anak arti

berbagi. Misal ketika Natal, kami menyuruh anak-anak untuk memberikan persembahan kepada Yesus Kecil berupa sembako, pada nantinya sembako tersebut kami berikan kepada masyarakat di sekitar sekolah. Ketika Idul Adha kami juga melakukan bakti sosial serupa. Jadi kegiatan pada saatn perayaan hari agama, kami jadikan momen untuk menanamkan nilai kebersamaan, toleransi, dan berbagi pada anak-anak.” (WAW/SE.10/14/01/2017)

89

Setiap kegiatan yang dilakukan sekolah sebagai upaya mewujudkan struktur sosial yang multikultural selalu diiringi dengan pemberian keteladanan oleh orang dewasa di sekolah (kepala sekolah, guru, staf, dan frater). Pada kegiatan sehari-hari, kepala sekolah, guru, karyawan, dan frater selalu mengingatkan peserta didik untuk senantiasa beribadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Hal ini senada dengan pendapat Suster M selaku Kepala TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“Dalam kehidupan sehari-hari, kami memberikan keteladanan bagi anak-anak mbak. Bagimana cara kita saling mengasihi dan lain-lain. Dari segi penajaman aspek keagamaan, kami selalu mengingatkan siswa yang beragama Katolik untuk senantiasa ke Gereja. Kemudian siswa muslim kami ingatkan untuk sholat, yang laki-laki sholat jumat. Pada saat puasa, Idul Fitri, Idul Adha, kami mengajarkan anak-anak untuk senantiasa berbakti pada ajaran Tuhan lewat kepercayaan masing-masing.” (WAW/M.16/29/12/16) Pentingnya keteladanan dalam mewujudkan pendidikan multikultural juga disampaikan oleh ibu SE selaku staf tata usaha dan administrasi umum TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang mengungkapkan bahwa:

“Jadi dengan kegiatan-kegiatan yang kami adakan,

pemberian keteladanan bagi siswa, pembiasaan untuk saling menghormati, mengucapkan terimakasih, meminta maaf itu menjadi strategi kami juga dalam menanamkan pendidikan

multikultural.” (WAW/SE.11/31/01/2017)

Respon yang diberikan TK Katolik Sang Timur Yogyakarta dalam mensikapi keberagaman dipertajam dengan cara-cara

90

sekolah dalam memberdayakan masing-masing karakteristik yang ada. Sekolah senantiasa memberikan kesempatan bagi seluruh warga sekolah untuk berpendapat, berkreasi, dan berekspresi. Sekolah memfasilitasi seluruh bakat dan minat yang dimiliki oleh seluruh warga sekolah, baik guru maupun peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari beranekaragamnya kegiatan pengembangan bakat yang diselenggarakan oleh sekolah.

Hal tersebut senada dengan pemaparan Suster M selaku kepala TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

“…..dengan memberikan kesempatan tiap-tiap orang untuk berpendapat, berkreasi, dan berekspresi. Kami tidak membatasi pendapat dan kreasi semua guru maupun peserta didik. Bahkan dalam hal pengembangan diri guru. Di sini sekolah sangat memberi kesempatan bagi semua warga sekolah untuk megembangkan diri. Sebagai contohnya, saat ini ada satu guru yang menjadi bendahara IGTK Umbulharjo. Kami senantiasa mendorong demi pengembangan diri mereka, kami tidak membatasi, kami memberikan kesempatan, jika memang mampu. Untuk setiap anak tentu memiliki karakter yang berbeda di bidang bakat ya mbak, kami fasilitasi mbak. Awalnya memang kita harus peka mbak dengan bakat mereka. Baru kita berikan fasilitas. Di sini ya mbak ada anak yang berbakat tari, kami datangkan guru tari. Ada satu anak yang bakat biola, kami fasilitasi. Makanya di sini prestasi siswa beraneka ragam. Nanti mbak bisa lihat datanya. Ada yang juara drumb band, tari tradisional klasik, gerak dan lagu, menggambar, mewarnai, biola, musik tunggal, dan lain-lain.”

(WAW/M.21/19/12/2016)

Pendapat hampir senada dipaparkan oleh Ibu MR selaku guru TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang menyampaikan bahwa:

91

“Ya dengan menerima setiap kekhasan yang dimiliki warga sekolah. Ditambah dengan cara sekolah yang memfasilitasi kami dalam merayakan hari-hari besar agama. Kemudian yang terpenting juga memfasilitasi bakat anak mbak. Mutikultural kan tidak melulu tentang agama, dengan menghargai tiap bakat anak merupakan tindakan

multikultural.” (WAW/MR.3/31/12/2016)

2) Proses pembelajaran yang dibangun dalam mewujudkan

Dokumen terkait