• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pembentukan Identitas Sosial menjadi Straight Edge

HASIL DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN

B. ANALISA DATA PARTISIPAN 1 1 Latar Belakang Kehidupan1 Latar Belakang Kehidupan

B.4 Proses Pembentukan Identitas Sosial menjadi Straight Edge

Akhirnya rasa bingung SJ mengenai simbol X telah terjawab. SJ akhirnya mengenal eksistensi kelompok straight edge di lingkungan hardcore. Namun SJ semakin penasaran untuk lebih tahu mengenai straight edge secara detil. Informasi awal yang didapat SJ dari temannya, dipergunakannya untuk mencari seluk beluk straight edge dengan lebih dalam lagi. Internet merupakan media utama SJ dalam mencari informasi mengenai straight edge. Sumber informasi yang lain, termasuk membaca zine, saling bertukaran zine, serta bertukar pikiran dengan teman-temannya.

“…itu (straight edge) orang-orang yang gak ngerokok, gak minum, pake X di tangannya”.. Terus aku cari tahu-cari tahu-cari tahu lagi di internet”

(W1-SJ/b.55-57/hal.3)

“Terus aku penasaran, terus cari tahu-cari tahu. Waktu itu kan internet juga udah mulai berguna lah, udah bisa ngasi informasi cukup banyak lah tentang straight edge.”

(W1-SJ/b.41-44/hal.3)

“Habis itu, kan aku udah tau tuh itu (pergerakan) namanya straight edge, baru lah aku cari-cari.. ngulik lagi di zine kan.. cari tahu soal sejarahnya, band-band nya. Nah gitulah sebenarnya alur nya.”

(W2-SJ/b.30-33/hal.2)

“Dari internet lah. Internet kan udah mulai bermanfaat waktu itu. Aku cari.. baca-baca zine.”

(W2-SJ/b. 492-493/hal. 23)

“Tapi aku juga sharing sama yang lain, cerita-cerita.. sejarahnya.. barang-barang unik nya.. tuker-tukeran zine.”

(W2-SJ/b. 493-496/hal. 23-24)

Karena lebih banyak mencari informasi mengenai straight edge lewat internet, SJ merasa lebih banyak mencari informasi secara individualis, dengan usahanya sendiri.

“Dan aku mencari tahu sendiri di internet informasinya, gitu..” (W1-SJ/b.141-143 /hal.7)

“Aku lebih banyak cari sendiri kayaknya.” (W2-SJ/b. 490/hal. 23)

Hasil pengumpulan informasi sebelumnya, akhirnya membuat SJ mengenal banyak band-band straight edge, bahkan band straight edge di era 88-an. Selain mencari informasi melalui internet dan zine, SJ juga mencari informasi melalui lagu-lagu yang diciptakan oleh band straight edge. Dengan mendengarkan lagu-lagu, SJ juga membaca lirik lagu nya. Dengan membaca lirik dari band straight edge, membuat SJ semakin termotivasi untuk menjadi straight edge. SJ juga membaca buku-buku mengenai straight edge, dan kutipan-kutipan wawancara tokoh straight edge untuk memperkaya informasinya.

“Denger lagu, baca-baca liriknya, cerita-cerita waktu.. ada tuh kan.. itulah pernah ada yang buat straight edge bukunya. Cerita tentang

wawancara-(W1-SJ/b.428-431/hal.20)

“Terus selain itu ya ngumpulin informasi, denger-dengerin lagu, terus kalo aku kalo baca-baca liriknya, aku makin semangat.”

(W1-SJ/b.384-386/hal.18)

“Oh iya, ngubek-ngubek. Ya, waktu itu aku udah mulai tau Minor Threat,

dan band-band straight edge awal-awal era 88-an, atau bisa dibilang old

school-old school an.” (W1-SJ/b.136-139 /hal.7)

Mendengarkan dan membaca lirik lagu-lagu dari band straight edge, SJ semakin termotivasi untuk menjadi straight edge. Sebuah lagu berjudul “Make a

Change” dari band Youth of Today. Dari lagu Make A Change, SJ merasa harus

merubah diri nya sendiri sebelum merubah dunia. Lirik lagu Make A Change juga memberikan pesan pada SJ bahwa straight edge sebenarnya lebih ‘keras’ (garang) dari rokok, alkohol, dan narkoba. Straight edge lebih ‘keras’ (garang) daripada non-straight edge.

“Emm ada! Itulah yang buat straight edge’s revenge. Make a Change. Jadi ada video sebelum dia bawain lagu Make a Change, dia bilang “Before you wanna change the world you must change your self before. Make a change”. Nah gitu, jadi sebelum kau merubah dunia ini, kau harus merubah dirimu sendiri. Jadi Itulah yang buat straight edge’s revenge. Liriknya itu militant atau keras, memprofokasi kalau straight edge itu lebih ‘keras’ daripada apa yang mereka (non- straight edge) konsumsi, lebih ‘keras’ daripada emm.. serbuk lurus yang kau hisap, atau kokain yang kau hisap, nah itu..”

(W1-SJ/b.413-424/hal.20)

SJ mengumpulkan informasi secara detil mengenai straight edge untuk memastikan apakah straight edge merupakan sebuah pergerakan yang positif untuknya, dan apakah straight edge merupakan pergerakan yang pantas untuk diikutinya.

“Jadi aku ingin mencari tahu, aku gak cuma ingin ikut-ikutan asal tahu aja, rupanya yang aku ikutin itu salah. Makanya aku ya.. aku cari tahu semua nya secara detil.”

(W1-SJ/b.317-320/hal.15)

Setelah mencari informasi secara detil dan melakukan evaluasi mengenai pergerakan straight edge, SJ merasa kagum dengan budaya straight edge. Karakteristik identitas sosial mulai terbentuk dalam proses ini. SJ mulai merasakan adanya ethnocentrism, yang membuatnya berfikir bahwa straight edge lebih baik secara moral dibanding non straight edge.

“Perasaannya itu, yah bisa dibilang.. “Wah keren nih” kenapa ada suatu pergerakan yang gak ngonsumsi kek ngerokok, minum alkohol. Pergerakan yang muncul dimana musiknya yang malahan orang awam pikir (hardcore) dekat dengan itu (rokok, alkohol) semua?”

(W1-SJ/b.103-107 /hal.5-6)

Kekaguman tersebut membuat SJ merasakan ada ketertarikan dan kecocokan antara dirinya dan straight edge. Karena SJ sudah berhenti mengonsumsi rokok, alkohol, dan narkotika, SJ merasakan adanya kemiripan antara jalan hidup yang sedang dijalani nya dengan ideologi straight edge. Disinilah proses terjadinya self categorization. Proses ini merupakan awal yang mengubah individu menjadi group.

“Wahh cocok nih samaku. Karena aku pun dari.. udah berhenti semua itu (rokok, alkohol), aku suka musik-musik gitu (hardcore) juga. Kenapa aku gak coba cari tahu, dan aku jalanin gitu.”

(W1-SJ/b.108-114 /hal.6)

“Karena aku pada saat itu memang udah gak ngonsumsi rokok, alkohol dan nya. Karena aku ngerasa gak cocok dengan itu (rokok, alkohol). Gak cocok, aku gak suka.”

(W1-SJ/b. 114-116 /hal.6)

“Memang aku gak ngerokok, gak minum (alkohol). Aku gak suka dan gak butuh itu semua. Dan kebetulan juga aku suka hardcore. Jadi aku lebih ngerasa diriku ini cenderung di straight edge.”

(W2-SJ/b. 351-354/hal. 17)

SJ yang pada saat itu sudah berhenti dari konsumsi rokok, alkohol, dan narkotika, merasa dipertemukan dengan pergerakan straight edge dalam waktu yang pas. SJ merasa momen mengenal straight edge dengan pilihannya pada saat itu yang sudah berhenti mengonsumsi rokok, alkohol, dan narkoba sangat lah pas.

“Jadi di saat aku memang ibaratnya dalam momen ‘bersih’, dan aku nemukan pergerakan ini (straight edge). Jadi rasanya seperti sejalan gitu. Cocok kali momennya.”

(W1-SJ/b. 116-118 /hal.6)

“Iya sejalan dengan apa yang sedang aku jalanin di saat itu.” (W1-SJ/b.236/hal.11-12)

Rasa ketertarikan untuk menjadi straight edge yang muncul, membuat SJ ingin turut serta menjadi bagian dari straight edge. SJ mulai mengikuti ideologi straight edge dari informasi yang sudah dikumpulkannya. Dari menjadi pengikut, SJ ingin menjadi bagian dari straight edge karena SJ sudah memastikan yang diikutinya adalah sesuatu yang benar dan positif. Rasa yakin dengan evaluasi yang telah dilakukannyapun muncul. Di masa menjadi seorang pengikut atau poser, transisi peran SJ berubah dari non-member ke quasi member.

“Emm gak bisa dipungkiri, semua kita ini awalnya poser atau cuma pengikut. Ya.. (sambil melirik ke peneliti) cuma pengikut.Tapi balik lagi ke kita, kita ini cuma mau jadi pengikut, atau mencari.. Kita ini sebatas pengikut yang cuma ikut-ikutan, atau ingin mencari tahu, atau ingin menjadi bagian dari sebuah scene itu? Nah kalau aku, dulu aku pengikut. Kemudian aku ingin menjadi bagian dari scene (straight edge) itu. Jadi aku ingin mencari tahu, aku gak cuma ingin ikut-ikutan asal tahu aja, rupanya yang aku ikutin itu salah. Aku ya.. makanya aku cari tahu semua nya secara detil.”

(W1-SJ/b.310-320/hal.15)

Namun SJ masih merasa perlu menimbang-nimbang dalam meng-klaim dirinya sebagai straight edge. SJ merasa belum yakin mengklaim dirinya sebagai straight edge. SJ merasa dirinya harus mengetahui sejarah straight edge, band-band straight edge, secara lebih detil untuk mempersiapkan dirinya ketika berhadapan dengan straight edge lain di luar sana. SJ memiliki kecemasan jika nanti dirinya akan di-judge oleh straight edger lain. Oleh karena itu, SJ merasa belum perlu menggunakan simbol X ataupun meng-klaim dirinya sebagai straight edge. Selama masa ini, SJ berusaha menambah keyakinannya dengan mengumpulkan informasi lebih dalam lagi.

“Ya jadi kan, aku kepengen jadi straight edge. tapi masih belum terlalu yakin sama.. apa yang akan aku hadapin nanti. Makanya aku Cuma ngikutin diem-diem aja dulu. Gak usah terlalu pamer atau nge klaim duluan.”

(W2-SJ/b. 590-592/hal. 27)

“Ya kan lebih enak kalo aku bener-bener tahu semua hal tentang straight edge, sejarahnya, band-band nya... Jadi kalau pun aku ditanya sama straight edge lain, aku udah siap.”

(W2-SJ/b. 594-597/hal. 27)

“Aku harus yakinkan diri aku dulu lah, baru berani nge-klaim. Pake X kan berarti aku nge-klaim.”

(W2-SJ/b. 602-603/hal. 27)

“Yah gak ada, ngumpulin informasi aja lah. Tapi kalau buat simbol X, nanti aja dulu. Gitu”

(W2-SJ/b. 599-600/hal. 27)

SJ memilih untuk menjadi bagian dari budaya straight edge meskipun banyak budaya lain di lingkungan hardcore (mis: Positive Mental Attitude, veganism), karena straight edge merupakan budaya murni dari musik hardcore.

Straight edge lahir dari musik hardcore, sehingga SJ merasa hardcore tidak bisa

dipisahkan dari straight edge, serta straight edge tidak bisa dipisahkan dari

hardcore. Dari pernyataan di bawah, tampak SJ sedang melakukan social

comparison yang merupakan salah satu faktor pembentukan identitas sosial.

“Counter-culture yang betul-betul lahir atau murni lahir di hardcore punk itu ya straight edge. Kalau vegan itu, culture yang mainstream yang diserap oleh hardcore punk. Tapi straight edge ini betul-betul murni lahir dari budaya hardcore punk di Amerika.”

(W1-SJ/b. 254-258/hal.12)

“Aku rasa hardcore.. kau ngomongin hardcore, kau ngomongin straight edge. Kau ngomongin straight edge, kau ngomongin hardcore, itu gak bisa dipisahkan. Walaupun ada yang gak straight edge tapi dia mainin hardcore. Tapi kalau ngomongin hardcore, kau gak bisa memisahkan itu dari kultur straight edge.”

(W1-SJ/b.262-266/hal.13)

Sebagai bahan perbandingan sosial lain, SJ merasa bahwa straight edge mampu membedakannya dari penikmat hardcore lain. SJ menyadari bahwa masuk

ke lingkungan hardcore rentan akan konsumsi rokok, alkohol, dan obat-obatan terlarang. SJ juga menyadari bahwa stigma negatif mengenai kelompok hardcore yang dekat dengan rokok, alkohol, dan obat-obatan terlarang melekat di masyarakat. Dari hal tersebut, SJ ingin menunjukkan kepada lingkungannya, bahwa ia mampu mengontrol dirinya dari rokok, alkohol, dan obat-obatan terlarang, meskipun ia dekat dan rentan dengan itu (rokok, alkohol, dan obat-obatan terlarang) semua. SJ ingin berbeda dengan penikmat musik hardcore yang umumnya dekat dengan rokok, alkohol, dan obat-obatan terlarang, dengan pilihannya menjadi straight edge.

“Apa ya.. karena aku.. aku pengen nunjukin.. ke orang lain.. kau (aku) bisa main musik punk hardcore yang keras, yang dekat dengan obat-obatan, bir, alkohol, tapi kau (aku) nggak ngelakuin itu (obat-obatan, bir, rokok) semua. Semua orang bisa mengontrol dirinya sendiri, yaa walaupun kau (aku) dekat dengan yang merusak itu semua, gitulah.. Dan aku pun pengen beda dari yang lain.”

(W1-SJ/b.145-152 /hal.8)

Dengan membandingkan dengan kelompok penikmat hardcore, SJ merasa straight egde termasuk kelompok minoritas, berbeda dari kelompok yang umum/ yang banyak dikenal orang. Karena tidak banyak dikenal orang lain dan termasuk minoritas, SJ merasa straight edge termasuk budaya yang sangat unik di lingkungan hardcore, terutama mengenai simbol X nya.

“Straight edge karena kan pada saat itu belum banyak yang kenal ataupun

tahu straight edge.” (W2-SJ/b.70-72/hal.4)

“Karena straight edge ini minoritas, gak banyak yang tahu.” (W2-SJ/b. 377-378/hal. 18)

“Straight edge memang bukan mainstream dan gak akan pernah jadi mainstream.”

(W2-SJ/b. 537-538/hal. 25-26)

“Unik kan.. straight edge ini minoritas, belum banyak yang tahu.” (W2-SJ/b. 286-288/hal.14)

“Belum banyak orang tahu tentang simbol X, tentang straight edge. jadi ya kesannya unik gitu..”

(W2-SJ/b.77-79/hal.4)

Setelah dilakukan evaluasi awal di tahap investigetion, SJ merasa dirinya mampu menjadi straight edge. SJ merasa mampu menjadi straight edge karena SJ merasa memahami kapasitas dirinya sampai dimana. SJ paham dengan resiko yang akan diambilnya jika suatu saat dia break the edge. Namun dengan mengetahui kapastitas ataupun potensi yang dimilikinya, SJ memastikan dan meyakinkan dirinya tidak akan kembali mengonsumsi rokok, alkohol, dan narkotika. Keyakinan ini lah yang mengawali SJ untuk menjadi straight edge.

“Aku tau kapasitas ku sampai dimana. kayak aku bilang tadi.. Jadi aku gak suka rokok, alkohol, pokoknya itu gak enak dan aku gak akan kembali lagi kesitu (rokok, alkohol). Aku bisa yakinin diriku kalau aku gak akan kembali..”

(W2-SJ/b. 452-455/hal. 22)

“Aku bisa yakinin diriku kalau aku gak akan kembali..(dan) kalau aku mampu ngejalanin ini (straight edge) dengan segala resiko yang mungkin aku hadapi kalau misalnya suatu saat aku exit. Tapi kan pada dasarnya.. aku yang sadar kapasitasku sampai mana, jadi aku tahu kemampuanku ada dimana. Terus kenapa aku harus ragu? Yang ada aku malah yakin.”

(W2-SJ/b. 455-462/hal. 22)

Keyakinan SJ akan pilihannya menjadi straight edge dan keputusannya untuk tidak akan kembali ke masa lalu, merupakan dasar terbentuknya komitmen menjadi straight edge. Dari terbentuknya komitmen ini, SJ mulai berani meng-klaim dirinya sebagai straight edge di usia 15 tahun. Menurut SJ, dengan mengklaim dirinya sebagai straight edge berarti ia telah berkomitmen dengan pilihannya. Dengan berpegangan pada komitmen ini, SJ yakin bahwa straight edge bukan hanya untuk hari ini atau esok saja, tetapi untuk sepanjang kehidupannya. Komitmen juga menjadi pegangan SJ untuk mengontrol dirinya dari konsumsi-konsumsi negatif, serta mengeingatkan nya untuk menjadi orang yang lebih baik dari hari kemarin.

“Umur-umur 15 tahun aku pertama kali nge-klaim (sebagai straight edge)” (W1-SJ/b.206 /hal.10)

“Aku.. istilahnya dengan aku ngeklaim diri sebagai straight edge, berarti aku punya komitmen untuk jadi straight edge. Jadi straight edge itu bukan untuk hari ini atau besok aja, tapi seterusnya. Nah dengan ngeklaim kan berarti aku berkomitmen. Jadi aku bisa terus mengontrol diri aku dari konsumsi hal-hal negatif. Bisa mengingatkan diriku kalau aku harus bisa lebih baik di masa depan, harus bisa lebih baik dari aku yang kemaren.”

(W2-SJ/b. 407-415/hal. 20)

Setelah berkomitmen dan meng-klaim diri sebagai straight edge, SJ kemudian pergi ke sebuah acara gigs dengan melekatkan identitas straight edge pada dirinya. Berpatokan dengan sejarah straight edge yang telah diketahuinya, SJ membuat simbol X di kedua punggung tangannya (bukan hanya satu tangan) dengan menggunakan spidol. Perilaku SJ dalam menunjukkan identitasnya dengan membuat simbol X di punggung tanganya, merupakan salah proses identification dalam pembentukan identitasnya.

“Ya aku pake lah, buat tanda X di pergelangan tanganku pake spidol. Dua-dua nya aku buat.”

(W2-SJ/b. 293-296/hal.14)

“Aku sih, dua-dua nya aku buat. Yah balik lagi ke sejarah, semua rata-rata anak straight edge dari dulu make tanda X di kedua tangan, bukan cuma satu. Ya aku balik juga lah ke sejarahnya.”

(W2-SJ/b. 300-302/hal.15)

Menurut SJ, dengan menggunakan identitas straight edge, berarti ia telah menunjukkan identitasnya. Dengan menunjukkan identitasnya sebagai straight edge, SJ mengakui dirinya adalah straight edge. Selain pengakuan dari dirinya, SJ juga menginginkan pengakuan, atau ingin diakui oleh orang sekitarnya. SJ juga menggunakan identitas straight edge agar orang lain dapat mengetahui sikapnya (tidak merokok, minum alkohol, dan mengonsumsi narkoba). Sehingga diharapkan dapat saling menghargai dan tumbuh toleransi antara straight edge dan non-straight edge.

“Iya. Menurutku kalau dia mau make simbol X, berarti dia mau disebut sebagai straight edge. Kan berarti dia menunjukkan ke- straight edge an dia. Ingin diakui. Beda cerita lah kalo dia diem-diem aja.”

(W2-SJ/b. 390-393/hal. 19)

“(karena) waktu aku juga dalam posisi make simbol X, aku menunjukkan ke- straight edge an ku. Ku pikir semua orang cuma ingin diakui lah.”

(W2-SJ/b. 395-397/hal. 19)

“Straight edge ini sikap, attitude yang mengontrol diri dari perilaku yang negatif seperti rokok, alkohol, sex. Jadi supaya orang tahu sikap ku terhadap itu (rokok, alkohol, sex)”

(W2-SJ/b. 205-208/hal.10)

“Paling tidak kan ada sikap saling menghargai. Jadi kalo lagi nongkrong, aku gak usah lagi ditawarin minum atau rokok. Ya kan jadi timbul toleransi gitu lah. Aku pun walaupun mereka ngerokok di depanku juga sebenarnya gak masalah. Jadi kan intinya aku ngargain mereka, mereka ngargain aku.”

(W2-SJ/b. 216-221/hal.11)

“Ya itu tadi, kayak aku bilang kan. Jadi orang tahu sikapku. Jadi bisa saling menghargai dan bisa mentolerir satu dengan yang lain.”

(W2-SJ/b. 399-401/hal. 19)

Pengakuan dari diri sendiri dan orang lain bahwa SJ adalah straight edge, membuat self esteem nya meningkat. Ada rasa bangga saat pertama kali SJ memakai simbol X di punggung tangannya. SJ merasa bangga karena dirinya lebih diperhatikan dan menjadi pusat perhatian orang lain ketika memakai simbol X. SJ juga menilai dirinya semakin unik dan berbeda dengan anak-anak seumuran nya pada saat itu, ketika memakai simbol X. Hal ini semakin menumbuhkan rasa bangga pada diri SJ.

“Yang pertama apa ya.. bangga lah, karena aku straight edge karena kan pada saat itu belum banyak yang kenal ataupun tahu straight edge.”

(W2-SJ/b.70-73/hal.4)

“Ya bangga. Disitu aku jadi pusat perhatian orang, dilihatin kan karena aku pake X.”

(W2-SJ/b.74-75/hal.4)

“Hemm, bisa dibilang gitu juga sih, karena beda makanya bangga. Unik, berbeda dengan anak-anak seumuran aku pada saat itu. Ini aku ceritanya pas masa itu ya. Kan kau tanya nya kekmana perasaanku pas masa itu..”

Saat SJ mengenakan simbol X untuk pertama kalinya saat pergi ke sebuah acara gigs, SJ dihampiri oleh straight edger lain karena menggunakan simbol X di punggung tangannya. Straight edger lain menghampiri SJ karena melihat kesamaan antara SJ dengan kelompoknya. Maka kelompok straight edge mengkategorikan SJ sebagai straight edge. Dalam hal ini, kelompok straight edge melakukan categorization terhadap SJ. Simbol X merupakan ciri utama kelompok straight edge. “Terus pake X (di gigs). Walaupun aku belum ngeband, tapi pas di acara aku ketemu tuh sama straight edge-straight edge (lain). Dan untungnya straight

edge di Medan gak sombong. Jadi waktu itu aku pake X ditangan, terus

disamperin (oleh straight edger lain) “Eh straight edge juga ya?”. (W1-SJ/b.63-68 /hal.4)

“Haa.. abang-abang straight edge ini lah yang ‘apa’ aku “Eh straight edge juga ya?”.”

(W1-SJ/b.75-77 /hal.4)

SJ termasuk yang paling muda pada saat itu. Untungnya, Abang-abangan straight edge yang menghampiri SJ dinilai tidak sombong dan mau merangkul dirinya. Investigation yang sudah dilakukan SJ menghasilkan role transition dari new member menjadi full member saat dia meng-klaim dirinya sebagai straight edge dan menggunakan simbol X saat pergi ke gigs. Proses investigation yang sukses dari kelompok dalam merekrut SJ, menghasilkan role transition. SJ yang awalnya sebagai new member menjadi full member. Seiring dengan proses ini, pada awalnya kelompok juga melakukan socialization terhadap SJ yang merupakan new member. Saling mengevaluasi satu sama lain antara kelompok terhadap SJ, serta SJ terhadap kelompok, terjadi pada tahap socialization ini. Membaurnya SJ dan kelompok hardcore yang berjalan dengan sukses, menghasilkan acceptance dari kelompok.

“Karena dia yang lebih tua, karena aku juga paling muda kan waktu itu SMA kelas 1 awal tuh, awal tuh baru masuk SMA terus nonton acara (gigs) ya. Otomatis yang aku tonton atau yang banyak disitu yang lebih tua, bisa dibilang abang-abangan lah.”

(W1-SJ/b.70-75 /hal.4)

“Dan untungnya straight edge di Medan gak sombong. “ (W1-SJ/b.66 /hal.4)

“Jadi kayaknya ngerangkul gitu.” (W1-SJ/b.69 /hal.4)

Proses sosialisasi antara SJ dan kelompok straight edge terus terjadi. Kelompok memfasilitasi informasi yang lebih dalam mengenai straight edge kepada SJ. Dalam hal ini, kelompok merupakan sumber informasi untuk membuka wawasan SJ mengenai straight edge secara lebih luas. Kelompok memberikan referensi musik, dan berbagai pemikiran, serta sudut pandang mengenai straight edge secara lebih dalam.

“Ya abis ketemu itu, dia (straight edger lain) nanya-nanya lah dan ngasi tahu. Straight edge itu ‘begini-begini’ dan ‘ini-ini’ band-band nya. Mereka (abang-abangan straight edge) juga bilang kalo straight edge itu bukan ‘ini’ aja, tapi juga merangkap pemikiran positif. Ya gitu-gitu lah..”

(W1-SJ/b.75-81 /hal.4)

“Aku udah tahu banyak band straight edge, ya karena dikasih referensi-referensi sama temen-temen aku dan Abang-abangan yang udah straight edge duluan.”

(W1-SJ/b.139-141 /hal.7)

SJ merasa kelompok banyak membantunya mengumpulkan informasi lebih dalam lagi. Kelompok mempengaruhi SJ untuk memperdalam pengetahuan mengenai straight edge melalui komunikasi, sharing, dan referensi lagu-lagu, serta

band. Pada saat itu, SJ merasa Abang-abang straight edge yang dikenalnya sangat

membantu mengumpulkan informasi. Bang Yudha merupakan Abang-abangan yang menghampiri SJ saat pertama kali mengenakan simbol X. Melalui Bang Yudha, SJ dikenalkan dengan straight edge lain bernama Bang Yopie. Dengan dikenalkannya Bang Yopie oleh Bang Yudha, SJ merasa lebih memiliki kedekatan dengan Bang Yopie. Bang Yopie merupakan salah satu vegan straight edge di Kota Medan. Bang

band-band nya, terutama band millitant straight edge. Karena Bang Yopie merupakan orang yang paling banyak mengenalkan straight edge secara mendalam