Manfaat Penelitian 1
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.4 Proses Pembuatan Agar-Agar
Pengolahan rumput laut menjadi agar-agar umumnya melalui beberapa tahapan yaitu pembersihan dan pencucian, perendaman dan pemucatan, pra-perlakuan asam, perebusan atau ekstraksi, penyaringan, penjedalan, dan pendinginan (Indriany 2000). Berikut ini adalah penjelasan singkat rincian proses diatas.
2.4.1 Pembersihan dan Pencucian
Rumput laut dibersihkan dan dicuci untuk menghilangkan batu-batuan, kerikil, lumpur, kerang dan benda-benda asing lainnya. Setelah dicuci, rumput laut harus segera dikeringkan sehingga kandungan airnya mencapai 20%. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya proses fermentasi yang dapat menurunkan mutu dan kandungan agar-agar. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari. Penjemuran juga dimaksudkanuntuk menghilangkan warna dari rumput laut (Putro 1991).
2.4.2 Perendaman dan Pemucatan
Perendaman dimaksudkan untuk melanjutkan pembersihan rumput laut dari kotoran-kotoran yang mungkin masih melekat. Perlakuan ini juga bertujuan untuk melunakkan jaringan rumput laut agar memudahkan ekstraksinya. Perendaman ini dapat dilakukan sekaligus dengan proses pemucatan (Indriany 2000).
Pada proses pemucatan, rumput laut direndam dalam larutan pemucat selama beberapa waktu disertai proses pengadukan (Indriany 2000). Larutan pemucat yang umum digunakan adalah larutan
kalsium hipoklorit (CaOCl3) 1% dengan lama perendaman 30 menit (Amnidar 1989), larutan kapur
tohor (CaO) 0,5% selama 5-10 menit (Nasran 1993), dan NaOCl 1% selama 30 menit ( Kosasih dan Suprijatna 1967). Larutan pemucat yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan kapur tohor (CaO) 0,5% selama 5-10 menit. Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Nasran et al. (1991), Asmarita (2000), dan Indriany (2000), larutan tersebut memberikan hasil pemucatan yang baik terhadap bahan baku. Untuk menghilangkan bau bahan pemucat yang digunakan, rumput laut dicuci sambil diremas-remas dan dibilas dengan air bersih.
2.4.3 Praperlakuan Ekstraksi
Praperlakuan sebelum ekstraksi adalah proses perendaman rumput laut yang dilakukan sebelum ekstraksi untuk mempermudah proses ekstraksi, serta untuk meningkatkan mutu rendemen produk agar-agar yang dihasilkan. Praperlakuan dapat dilaksanakan dengan menggunakan larutan alkali atau asam (Irawati 1994).
Proses perendaman dengan asam bertujuan untuk memecah dinding sel, sehingga agar-agar mudah diekstrak. Selain itu larutan asam tersebut diharapkan dapat menghancurkan dan melarutkan kotoran sehingga rumput laut lebih bersih. Larutan asam yang dapat digunakan pada perlakuan asam selain asam sulfat dapat juga digunakan asam asetat, asam sitrat, buah asam, dan daun asam (Winarno,
1990). Pada penelitian yang telah dilakukan Ameidy (1992) dengan menggunakan CH3COOH 1%
pada ekstraksi agar-agar rumput laut jenis Gracilaria verrucosa sebagai perlakuan asam telah terbukti dapat meningkatkan rendemen dan kekuatan gel agar-agar yang dihasilkan. Demikian pula percobaan yang dilakukan Priatama (1989), mendapatkan nilai kekuatan gel yang tertinggi pada Gracilaria sp
dengan menggunakan larutan CH3COOH 3% pada praperlakuan asam. Secara umum praperlakuan
asam dapat memperpendek waktu ekstraksi serta meningkatkan rendemen dan kekuatan gel agar-agar yang dihasilkan (Matsuhashi 1977).
Praperlakuan dengan alkali tidak selalu diikuti dengan peningkatan kekuatan gel. Praperlakuan
dengan alkali dapat menurunkan kekuatan gel agar-agar dari 138 gr/cm2 (tanpa perlakuan alkali)
menjadi 110 gr/cm2 (Whyte dan Englar, 1980 dalam Amnidar 1989) sedangkan menurut Cho et al.
(1975), praperlakuan dengan asam terhadap Gracilaria sp ternyata dapat menurunkan kandungan abu, total sulfur dan nitrogen serta dapat meningkatkan kekuatan gel agar-agar.
2.4.4 Ekstraksi
Ekstraksi agar-agar dari rumput laut dilakukan dengan air panas pada suhu didih. Hal ini didasarkan pada sifat kelarutan agar-agar, yaitu larut hanya dalam air panas dan tidak larut dalam air dingin (Furia 1975). Semua proses ekstraksi agar-agar dalam dunia perdagangan (secara komersial)
umumnya menggunakan air panas dengan suhu (90-150) oC, yang kemudian diikuti dengan proses
filtrasi dan pembekuan (Wheaton dan Lawson 1985).
Dalam proses ekstraksi diperlukan suasana sedikit asam, yang bertujuan untuk mengontrol pH karena pH dapat mempengaruhi kualitas agar-agar yang dihasilkan. Keasaman (pH) larutan ekstraksi harus diatur kurang lebih 6.5 dengan penambahan sedikit asam (Chapman 1970).
Proses ekstraksi dapat pula dilakukan pada pH netral atau tanpa penambahan asam, karena diduga pada pH netral ini proses ekstraksi akan lebih mudah dan dapat dilakukan pada pH kurang
lebih 7, suhu 100oC, selama 1-4 jam. Tetapi ekstraksi pada pH netral ini dilakukan hanya untuk
rumput laut yang telah mengalami proses praperlakuan asam (Matsuhashi 1977).
Produksi agar-agar dari rumput laut selain dipengaruhi oleh musim, juga dipengaruhi oleh lama waktu perebusan (waktu ekstraksi) (Chapman 1970). Waktu pendidihan yang terlalu lama dapat mengakibatkan degradasi hidrolitik yang berlebihan, meskipun pada proses normal degradasi hidrolitik tidak dapat dihindari seluruhnya (Matsuhashi 1977).
Pemasakan rumput laut dilakukan dalam suatu bejana dengan meggunakan air bersih (Winarno 1990). Banyaknya air yang digunakan sebagai pengekstrak dalam proses pemasakan agar-agar bervariasi menurut beberapa versi, tergantung jumlah dan jenis bahan baku rumput laut yang digunakan. Rumput laut jenis keras, seperi Gelidium sp membutuhkan air pengekstraksi yang relatif banyak dibandingkan rumput laut lunak seperti Gracilaria sp, sebab untuk memecah diding sel rumput laut yang keras dibutuhkan luas permukaaan kontak antara dinding sel dengan air pengekstrak yang besar (Sukamulyo 1989). Kisaran jumlah air untuk ekstraksi dapat bervariasi antara tujuh kali berat rumput laut sampai dengan 15 atau 20 kali berat rumput laut kering (Matsuhashi 1977). Lama ekstraksi umunya berlangsung selama 45 menit (Winarno 1990), kadang-kadang sampai 2-4 jam tergantung teknik pengadukannya.
Setelah proses ekstraksi selesai, larutan agar-agar langsung disaring (filtrasi) dalam keadaan panas. Untuk memperoleh hasil ekstraksi yang tinggi maka pada waktu penyaringan dapat dilakukan pemerasan atau pengepresan (Chapman 1970). Filtrat agar hasil penyaringan kemudian ditampung di tempat penampungan, sedangkan ampasnya masih dapat diekstraksi kembali satu atau dua kali. Gel yang terbentuk kemudian dibekukan, dan dicairkan (thawing). Air yang mencair akan membawa serta kotoran yang menyebabkan kekeruhan (Kosasih dan Suprijatna 1967).
2.4.5 Pemurnian Filtrat Agar
Permasalahan yang ada selama ini adalah metode produksi agar yang menghasilkan kadar sulfat yang masih tinggi. Kadar sulfat pada agar merupakan komponen yang dapat mengganggu, baik dalam penggunaan maupun dalam penyimpanan. Salah satu alternatif proses produksi yaitu melalui metode absorbsi impuriti dalam ekstraksi olek kitosan sebagai absorben sehingga dapat menghasilkan agar-agar bermutu tinggi untuk keperluan media kultur (Suptijah 2010).
Absorbsi merupakan suatu proses dimana suatu partikel terperangkap ke dalam suatu media dan seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan media tersebut. Absorbsi terdiri dari dua jenis yaitu absorbsi fisika dan absorbsi kimia. Absorbsi fisika dicirikan dengan tarik menarik antara absorbat dan absorben sangat lemah dengan energi kurang dari 40 Kj/mol dan antar keduanya tidak membentuk senyawa kimia. Absorbsi fisika umumnya reversible dan irreversible. Sifat ini ditemukan dalam batas antar muka kimia dengan medium gas, dimana ikatan yang terjadi diakibatkan dari gaya Van Der Walls dan gaya London (Prutton 1982).
Absorbsi kimia (chemosorbtion) ditandai dengan pertukaran elektron/electron exchange antara
absorbat dengan absorben. Interaksi yang terjadi sangat kuat sehingga terbentuk senyawa kimia dengan energi ikatnya sekitar 300 Kj/mol (Nieuwenhuizen dan Barendez 1987). Akibat dari berbagai perlakuan, ikatan dalam absorbsi fisik dan kimia dapat lepas, proses ini disebut desorbsi. Absorben adalah padatan berpori dengan berbagai ukuran. Contoh absorben yang sudah banyak digunakan diantanya: kitosan, bentonit, zeolit, tanah diatomea dan arang aktif. Suatu absorben dapat memisahkan molekul berdasarkan ukurannya (Suptijah 2012)
Kitosan adalah produk alami turunan dari kitin, polisakarida yang ditemukan dalam eksoskeleton krustasea seperti udang, rajungan dan kepiting. Kitosan diperoleh melalui proses dasitilasi kitindengan perlakuan alkali. Kitin merupakan polisakarida panjang yang tidak bercabang, bernama 2-asetil-2-amino dioksi-D-glukosa, yang monomernya berikatan satu sama lain melalui ikatan 1-4. Kitin diproduksi dari kulit udang melalui proses isolasi dan purifikasi yang didahului proses demineralisasi dan dilanjutkan dengan proses deproteinasi (Muzzarelli 1977).
Kerangka utama penyusun kitin dan kitosan adalah grup heksosa (glukosa) sama dengan selulosa, oleh karena itu kitin kitosan dikelompokan pada selulosa alam tetapi mempunyai muatan berlawanan dengan selulosa lainnya. Polimer kitin atau kitosan terdiri dari 2000-3000 monomer, sehingga menpunyai banyak muatan yang akan mempengaruhi sifat biologi dan sifat fungsionalnya melalui kemampuan berikatan dengan molekul lain (Ornum 1992).
Proses penyerapan berhubungan dengan adanya gugus hidrofilik (OH) dalam molekul kitosan, sehingga kitosan mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan bahan-bahan yang tersuspensi dalam air. Berdasarkan tinjauan pustaka, Olin et al. (1996) dan Bailey et al. (1997) telah mengidentifikasi penyerap yang murah untuk penanganan kontaminasi logam berat pada air dan limbah cair. Mereka mengidentifikasi dua belas penyerap yang potensial untuk Pb, Cd, Cu, Zn, dan Hg, diantaranya kitosan mempunyai kapasitas serapan yang tinggi untuk ion-ion metal (Masri et al. 1974). Kitosan mengikat atau mengkelat sejumlah logam lima kali lebih besar dari kitin. Hal ini ditandai oleh adanya grup amino bebas (NH3+) dalam kitosan (Muzarelli 1977).
Kitosan bersifat sebagai pembentuk kelat (zat pengikat) yang dapat mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga dapat mengalahkan sifat dan pengaruh negatif dari logam berat yang terdapat dalam suatu bahan. Molekul atau ion dengan pasangan elektron bebas dapat membentuk kompleks dengan ion logam, karena itulah senyawa-senyawa yang mempuyai dua atau lebih gugus fungsional seperti –OH, -SH, -COOH, -PO3H2, -C=O, -NR2, -S- dan –O- dapat mengkelat logam
dalam lingkungan yang sesuai. Proses pengikatan logam diatas merupakan proses keseimbangan pembentukan kompleks ion logam dengan sekuestran (Winarno 1993). Melalui reaksi pengikatan (chelating), kitosan mampu menyerap logam berat, hal ini dimungkinkan dengan adanya gugus
CH2OH dan NHCOCH3, yang merupakan gugus reaktif dari kitosan yang dapat mengikat ion logam,
Abdullah (2004) menggunakan kitosan sebagai bahan pemurni pada bakto agar. Pada penelitiannya diperoleh bahwa penggunaan kitosan dengan perlakuan 1% dengan waktu absorbsi 45 menit, menghasilkan bakto agar yang paling optimum (mendekati standar Difo bacto agar) yaitu kadar abu 3,45%, kadar air 16,89%, kekuatan gel 341,01 gram/cm2, dan nilai pH sebesar 5,88.
2.4.6 Pengeringan
Proses pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: metode pembekuan yang diikuti
dengan thawing dan dilanjutkan dengan pengeringan atau dengan cara dikeringkan dengan
menggunakan tekanan (Matsuhashi 1977). Pengeringan lebih baik dilakukan dengan menggunakan oven sehingga mempercepat proses pengeringan dan menurunkan kadar air yang terkandung didalamnya (Kosasih dna Suprijatna 1967).
Tujuan dari pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas tertentu sehingga perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti. Hal tersebut menyebabkan bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama (Aschtanasia 2010).
Indriany (2000) menggunakan pengering semprot dan pengering drum dalam modifikasi proses pembuatan tepung agar-agar. Pengering semprot yang terbaik dilakukan pada suhu inlet dan outlet sebesar 180oC dan 85oC dengan tekanan semprot 3 bar dimana pada perlakuan ini dihasilkan kekuatan gel dan derajat putih yang lebih baik, sedangkan pada pengering drum, perlakuan terbaik dihasilkan pada kecepatan putaran drum 8,6 rpm dan tekanan uap 3 bar.