• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Rumput Laut Gracilaria verrucosa Sebagai Produk Bakto Agar dan Aplikasinya Dalam Media Pertumbuhan Mikroorganisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Rumput Laut Gracilaria verrucosa Sebagai Produk Bakto Agar dan Aplikasinya Dalam Media Pertumbuhan Mikroorganisme"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

UTILIZATION OF Gracilaria verrucosa SEAWEED AS A BACTO AGAR PRODUCT AND ITS APPLICATION IN MICROBIAL GROWTH MEDIA

Luthfa Jamilah1), E. Gumbira Sa’id1), dan Purwoko1)

1)Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology and Engineering, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor West Java Indonesia

ABSTRACT

Gracilaria verrucosa is a kind of seaweed cultivated in brackish water with water salinity of 6-14 ppt. Gracilaria produces a primary compound hydrocoloid metabolite called agarophyt. The aim of this study was to utilize Gracilaria as a bacto agar product with three methods of drying and also to apply bacto agar as a gelling agent in the microbial growth media. The source of Gracilaria sp used in this study was a seaweed that is cultivated by farmers in the village of Langen Sari, Subang. Characterization of raw materials included analysis of moisture content, ash content, protein content, fat content, and carbohydrate content. Acid treatment was carried out before the extraction processing which the acid treatment used of 1% CH3COOH. Temperature and extraction time

constant were used at a temperature of 90oC for 45 minutes. Drying methods were done with three, oven dryer, spray dryer, and drum drier. The application of bacto agar as microbial growth media was applying the product by growing yeast and bacteria. Nutrient Agar has been used as a media for the growth of bacteria and Potato Dextrose Agar has been used as a media for the growth of yeast. The inoculation of microbial cultures performed in the plate agar media. In the plate agar media, syneresis occurred when the incubation was accomplished for 48 hours. Therefore additional tests were performed to determine the concentration of the bacto agar to reduce syneresis by testing the addition of gel strength with bacto concentration to 1.5%, 2%, and 2.5%.

(2)

Luthfa Jamilah. F34080065. Pemanfaatan Rumput Laut Gracilaria verrucosa Sebagai Produk Bakto Agar dan Aplikasinya Dalam Media Pertumbuhan Mikroorganisme. Di bawah bimbingan

E. Gumbira Sa’id dan Purwoko.

RINGKASAN

Rumput laut merupakan salah satu komoditas pertanian hasil budidaya laut yang dapat dihandalkan, mudah dibudidayakan dengan investasi relatif tidak besar dan mempunyai prospek pasar yang baik. Menurut Anggadiredja et al. (2006), rumput laut baru termanfaatkan sebesar 9,7% dari potensi lahan yang ada. Volume impor olahan rumput laut per tahun adalah 596 ton agar-agar, 200 ton karaginan, dan 1.275 ton alginat.

Jenis rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gracilaria verrucosa. Jenis Gracilaria paling banyak digunakan karena selain harganya murah dan mudah diperoleh, juga mampu menghasilkan agar-agar tiga kali lipat dari jenis lainnya. Salah satu potensi rumput laut yang dimiliki oleh rumput laut jenis Gracilaria adalah menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut agarofit. Agarofit dapat dimanfaatkan menjadi bakto agar yang merupakan agen pembentuk gel pada media agar pertumbuhan mikroorganisme.

Bakto agar merupakan agar yang telah dimurnikan dengan mereduksi kandungan pigmen-pigmen pengotor dan kandungan bahan-bahan asing (organik dan inorganik) serendah mungkin sehingga dapat mendukung pertumbuhan mikroorganisme secara umum. Bakto agar yang digunakan sebagai kultur media memiliki beberapa karakteristik yaitu memiliki kekuatan gel, tingkat elastisitas, kejernihan dan stabilitas yang baik. Bakto agar memiliki kisaran kekuatan gel antara 400 - 500 g/cm2 untuk reguler grade, 500 – 65 g/cm2 untuk standard grade dan di atas 650 g/cm2 untuk premium grade (FAO, 2004).

Tujuan penelitian ini adalah : (1) Memanfaatkan potensi rumput laut jenis Gracilaria sebagai produk bakto agar dengan menggunakan perlakuan asam. (2) Mengetahui karakteristik bakto agar yang dihasilkan oleh tiga jenis alat pengering, yaitu pengering oven, pengering drum, dan pengering semprot. (3) Mengaplikasikan bakto agar sebagai agen pembentuk gel dalam media pertumbuhan mikroorganisme.

Rumput laut Gracilaria sp yang digunakan dalam penelitian ini merupakan rumput laut yang dibudidayakan oleh petani di Desa Langen Sari, Kabupaten Subang. Karakterisasi bahan baku penelitian meliputi analisa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar protein, kadar serat, dan kadar koarbohidrat by difference. Adapun hasil yang diperoleh adalah kadar air 10.56%, kadar abu 35.10%, kadar protein 9.28%, kadar lemak 0.48% dan kadar karbohidrat 36.64%. Perlakuan asam dilakukan sebelum proses ekstraksi, menggunakan larutan asam asetat 1%. Suhu dan waktu ekstraksi yang digunakan konstan adalah yaitu pada suhu 90oC selama 45 menit.

(3)
(4)

I.

PEND

Latar Belakang

AHULUAN

1.1

Wilayah pesisir dan pantai Indonesia yang luas memiliki potensi rumput laut yang cukup besar. Rumput laut merupakan salah satu komoditas pertanian hasil budidaya laut yang dapat diandalkan, mudah dibudidayakan dengan investasi relatif tidak besar dan mempunyai prospek pasar yang baik. Rumput laut merupakan salah satu hasil perikanan laut yang dapat menghasilkan devisa negara dan merupakan sumber pendapatan masyarakat pesisir. Sampai saat ini, sebagian besar rumput laut diekspor dalam keadaan kering dan baru sebagian diolah menjadi agar-agar.

Menurut Anggadireja (2006), volume impor olahan rumput laut per tahun adalah 596 ton agar-agar, 200 ton karaginan, dan 1.275 ton alginat. Beberapa jenis rumput laut penghasil agar di Indonesia adalah kades (Gelidium sp), Bludru (Rhodymenia Cilialata), bulu merak (Gelidiella sp), dan agar merah (Gracilaria sp).

Berdasarkan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2011), perkembangan produksi rumput laut selama empat tahun ini mengalami kenaikan rata-rata sebesar 30,57% dan pada tahun 2010 lalu kenaikannya sebesar 32,11%. Bila ditelaah secara tonase, produksi rumput laut adalah sekitar satu juta ton pada tahun 2010, 800.000 ton pada tahun 2009 dan sekitar 500.000 ton pada tahun 2008. Rumput laut pada awal perkembangannya hanya dibudidayakan di beberapa provinsi saja. Produksi terbesar berada di provinsi Sulawesi Selatan. Namun, perkembangan budidaya rumput laut dan teknik budidaya yang mudah, membuat perkembangan produksi rumput laut menjadi sangat pesat. Saat ini rumput laut sudah dapat dibudidayakan hampir di seluruh provinsi Indonesia.

Jenis rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gracilaria verrucosa, yaitu jenis rumput laut yang dibudidayakan di air payau dengan salinitas air yang berkisar diantara 15-25 ppm dan pH yang berkisar antara 7,0-8,7. Jenis Gracilaria merupakan jenis yangpaling banyak digunakan karena selain harganya murah dan mudah diperoleh, juga mampu menghasilkan agar-agar tiga kali lipat dari jenis lainnya (Al-Bahri 2012).

Salah satu potensi rumput laut yang dimiliki oleh rumput laut jenis Gracilaria adalah menghasilkan metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut agarophyt (agarofit). Agarofit dapat dimanfaatkan sebagai penghasil agar-agar yang dapat diolah menjadi bakto agar untuk keperluan laboratorium mikrobiologi. Fungsi utama agar-agar adalah sebagai bahan penstabil, pengemulsi, pengisi, penjernih, dan pembentuk gel, yang digunakan oleh beraneka ragam jenis industri sesuai kebutuhannya.

Bakto agar adalah agar-agar yang memiliki kualitas tertentu sehingga memungkinkan untuk digunakan dalam keperluan mikrobiologi, misalnya media untuk pertumbuhan mikroorganisme. Sampai saat ini keperluan bakto agar dalam negeri masih sepenuhnya mengandalkan dari impor, meskipun produksi rumput laut penghasil agar di dalam negeri cukup tinggi. Menurut Winarno (1990), produksi bakto agar belum mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Salah satu solusi adalah dengan membuat bakto agar produksi dalam negeri dengan karakteristik mutu yang diharapkan sama dengan bakto agar impor.

Ekstraksi agar-agar Gracilaria sudah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Hasil penelitian tentang ekstraksi agar yang telah dilakukan umumnya baru menghasilkan agar untuk food

grade dan belum memenuhi kriteria untuk bakto agar. Dalam proses ekstraksi agar-agar digunakan

(5)

terhidrolisis menjadi monosakarida dalam suasana asam, karena suasana asam bersifat katalisator. Larutan asam yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan CH3COOH 1%. Dalam proses

pembuatan bakto agar, perlu dilakukan pemurnian filtrat agar untuk mereduksi bahan pengotor yang tidak ikut tersaring. Pada proses pemurnian agar-agar, digunakan kitosan yang berfungsi sebagai absorben untuk memperoleh filtrat agar yang lebih murni.

Pada penelitian Abdullah (2004), proses pengeringan pembuatan bakto agar dengan absorben kitosan dilakukan dengan menggunakan pengering oven. Penggunaan pengering oven membutuhkan waktu pengeringan yang lebih lama dan menghasilkan kadar air yang tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan modifikasi proses pengeringan filtrat bakto agar agar diperoleh tepung bakto agar yang memiliki karakteristik yang baik. Pada penelitian ini, proses pengeringan filtrat bakto agar dikeringkan dengan tiga jenis alat pengering yaitu pengering semprot (spray drier), pengering drum (drum drier), dan pengering oven (oven drier) sebagai pembanding hasil produk bakto agar.

Pengering semprot dan pengering drum merupakan alat pengering yang dapat mengubah bentuk suatu produk dari bentuk cairan atau pasta menjadi bentuk kering berupa tepung. Produk akhir yang dihasilkan dengan alat pengering semprot berupa tepung, butiran, atau gumpalan (Master 1979), sedangkan produk akhir yang dihasilkan dengan alat pengering drum berupa lapisan kering yang selanjutnya digiling menjadi bubuk yang lebih halus (Desrosier 1988). Penggunaan pengering semprot dan pengering drum dapat memepersingkat beberapa tahapan. Tahapan pengolahan seperti proses gelifikasi, proses pembekuan, dan proses thawing dapat dihilangkan sehingga, setelah filtrat bakto agar diperoleh proses pengeringan bakto dapat dilanjutkan, dan waktu pembuatan bakto agar menjadi lebih singkat.

Aplikasi produk bakto agar dilakukan dengan menumbuhkan bakteri Escherichia Coli dan

Saccharomyces cerevisiae. Pengujian dilakukan dengan melakukan uji Total Plate Count dalam

media agar cawan. Bakto agar digunakan sebagai agen pembentuk gel dalam aplikasinya sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa syarat nutrisi harus dipenuhi untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme, misalnya dengan penambahan nutrient broth dan nutrient agar yang dapat digunakan sebagai media pertumbuhan dasar.

(6)

Tujuan

Ruang Lingkup

Manfaat Penelitian

1.2

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memanfaatkan potensi rumput laut jenis Gracilaria sebagai produk bakto agar dengan menggunakan perlakuan asam.

2. Mengetahui karakteristik bakto agar yang dihasilkan oleh tiga jenis pengering, yaitu pengering oven, pengering drum, dan pengering semprot.

3. Mengaplikasikan bakto agar sebagai agen pembentuk gel dalam media pertumbuhan mikroorganisme.

1.3

Penelitian ini difokuskan pada pemanfaatan rumput laut Gracilaria verrucosa dalam pembuatan bakto agar dengan menggunakan pelarut asam yang dilanjutkan dengan pengeringan filtrat dengan menggunakan tiga jenis alat pengering. Bakto agar yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi sebagai produk akhir. Selain itu, pada penelitian ini dilakukan formulasi untuk menentukan formula bakto yang cocok dalam pembuatan agar media untuk pertumbuhan mikroorganisme.

1.4

Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui proses ekstraksi dan pengeringan filtrat rumput laut jenis Gracilaria verrucosa menjadi bakto agar terbaik dan formula terbaik pada bakto agar dalam proses aplikasinya dalam pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan.

(7)

II. TINJAUAN

PUSTAKA

2.1

Rumput Laut

Gracilaria verrucosa

Rumput laut Gracilaria verrucosa adalah rumput laut yang termasuk pada kelas alga merah

(Rhodophyta) dengan nama daerah yang bermacam-macam, seperti: sango-sango, rambu kasang, janggut dayung, dongi-dongi, bulung embulung, agar-agar karang, agar-agar jahe, bulung sangu dan lain-lain. Rumput laut marga Gracilaria banyak jenisnya, masing-masing memiliki sifat-sifat morfologi dan anatomi yang berbeda serta dengan nama ilmiah yang berbeda pula, seperti: Gracilaria confervoides, Gracilaria gigas, Gracilaria verucosa, Gracilaria lichenoides, Gracilaria crasa, Gracilaria blodgettii, Gracilaria arcuata, Gracilaria taenioides, Gracilaria eucheumoides, dan lain sebagainya (Anggadiredja 2006).

Rumput laut Gracilaria umumnya mengandung agar, atau disebut juga agarofit sebagai hasil metabolisme primernya. Agar-agar diperoleh dengan melakukan ekstraksi rumput laut pada suasana asam atau basa serta diproduksi dan dipasarkan dalam berbagai bentuk, misalnya, agar-agar tepung, agar-agar kertas dan agar-agar batangan dan diolah menjadi berbagai bentuk penganan (kue), puding, jelly, dan dijadikan bahan tambahan dalam industri farmasi. Kandungan serat agar-agar relatif tinggi, sehingga agar-agar dikonsumsi pula sebagai makanan diet. Melalui proses tertentu agar-agar diproduksi juga untuk kegunaan di laboratorium sebagai media kultur bakteri atau kultur jaringan (Angkasa et al. 2011).

Menurut Dawson (1946), yang dikutip oleh Soegiarto et al. (1978), rumput laut jenis gracilaria memiliki sistematika klasifikasi sebagai berikut :

Divisi : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Famili : Gracilariaceae

Genus : Gracilaria

Spesies : Gracilaria sp.

Di Indonesia jenis rumput laut penghasil agr-agar yang telah dimanfaatkan dan memiliki prospek cukup baik adalah Gracilaria sp, Gelidiella sp, dan Gelidium sp (Sedijoprapto 1997). Genus Gracilaria paling banyak digunakan karena selain jenis tersebut murah harganya dan mudah diperoleh. Keunggulan Gracilaria lainnya adalah warnanya yang putih sedangkan Gelidium berwarna cokelat kusam. Menurut Ahda et al. (2005), keistimewaan rumput laut Gracilaria adalah dapat dibudidayakan di tambak. Pemanenan dilakukan jika rumput laut tersebut sudah cukup umur yaitu setelah 90 hari dan panen berikutnya setelah rumput laut berumur 60 hari. Gambar 1 memperlihatkkan bentuk rumput laut jenis Gracilaria verrucosa yang baru dipanen di Desa Langensari, Kabupaten Subang.

(8)

Gambar 1. Rumput Laut jenis Gracilaria verrucosa (Al-Bahri 2012)

Ciri-ciri umum rumput laut marga Gracilaria adalah bentuk thallus yang memipih atau

silindris, membentuk rumpun dengan tipe percabangan yang tidak teratur, thallus menyempit pada pangkal percabangan. Sifat substansi thallus Gracilaria seperti tulang rawan (cartilagenous). Ujung-ujung thallus pada umumnya meruncing, permukaannya halus atau berbintil-bintil. Garis tengah thallus berkisar antara 0,5-4,0 mm. Panjang dari Gracilaria dapat mencapai 30 cm atau lebih. Ciri khusus secara morfologis memiliki duri yang tumbuh berderet melingkari thallus dengan interval yang bervariasi sehingga membentuk ruas-ruas thallus di antara lingkaran duri (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1990).

Goodwin (1974) mengungkapkan bahwa warna merah pada rumput laut kelas Rhodophyceae disebabkan oleh adanya senyawa biliprotein dalam bentuk fikosianin dan fikoeritrin. Selanjutnya kadi dan Atmadja (1988) mengemukakan bahwa G. verrucosa mempunyai warna hijau kemerahan. Warna pada rumput laut ini disebabkan oleh klorofil, karoten, dan biliprotein.

Seperti pada alga kelas lainnya, morfologi rumput laut Gracilaria tidak memiliki perbedaan antara akar, batang dan daun. Tanaman ini berbentuk batang yang disebut dengan thallus dengan berbagai bentuk percabangannya. Secara alami Gracilaria hidup dengan melekatkan thallusnya pada substrat yang berbentuk pasir, lumpur, karang, kulit kerang, karang mati, batu maupun kayu, pada kedalaman sampai sekitar 10 sampai 15 meter di bawah permukaan air yang mengandung garam laut pada konsentrasi sekitar 12-30 ppt. Sifat-sifat oseanografi, seperti sifat kimia-fisika air dan substrat, macamnya substrat serta dinamika atau pergerakan air, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan pertumbuhan Gracilaria (Angkasa et al. 2011).

Gracilaria membutuhkan substrat sebagai tempat menempel agar tetap pada tempatnya dan membutuhkan sinar matahari untuk proses fotosintesisis. Gracilaria umumnya tumbuh lebih baik di tempat yang dangkal daripada di tempat dalam. Substrat tempat melekat dapat berupa batu, pasir, lumpur, dan lain-lain. Kebanyakan lebih menyukai intensitas cahaya matahari yang tinggi. Suhu merupakan faktor penting untuk pembiakan dan pertumbuhan. Suhu optimum untuk pertumbuhan

adalah antara 20-28oC dan tumbuh pada kisaran kadar garam yang tinggi. Dalam keadaan basah, dapat

bertahan hidup di atas permukaan air (exposed) selama satu hari (Aslan 1991).

Persentase kandungan agar-agar pada Gracilaria berbeda-beda menurut jenis dan lokasi pertumbuhannya, serta tergantung pada umur, bibit, lingkungan, metode budidaya, panen dan cara penanganan primer, sehingga mempunyai tingkat mutu dan harga yang berbeda-beda pula. Umumnya kandungan agar-agar Gracilaria berkisar antara 16-45% (Kadi dan Atmadja 1988).

(9)

A (β-karoten), B1, B2, B6, B12, dan vitamin C serta mengandung mineral seperti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi, dan iodium (Anggadiredja et al. 2006). Komposisi kimia dari rumput laut kering dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan komposisi kimia Gracilaria dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Kandungan kimia rumput laut kering

Parameter Kandungan (per 100 g bahan)

Karbohidrat (g) 83,5

Protein (g) 1,3

Lemak (g) 1,2

Serat (g) 2,7

Abu (g) 4,0

Kalsium (mg) 756,0

Besi (mg) 7,8

Fosfor (mg) 18,0

Natrium (mg) 115,0

Kalium (mg) 107,0

Thiamin (mg) 0,01

Riboflavin (mg) 0,22

Niasin (mg) 0,20

Sumber : FAO (1972) dalam Fitri (1992)

Tabel 2. Komposisi kimia Gracilaria sp.

Parameter Kandungan (%)

Gracilaria spa Gracilaria spb

Kadar air 19,01 14,55-24,09

Protein 4,17c 3,05-4,05

Karbohidrat 42,49 -

Lemak 9,54 0,11-0,37

Serat kasar 10,51 -

Abu 14,18 7,64-13,75

Agar-agar - 74,36-97,55

Sumber : aSoegiarto et al. (1978), bSusanto et al. (1978), c6,25 x total N

2.2

Agar-Agar

agar adalah produk ekstraksi rumput laut merah (agarophyte) (Winarno, 1990). Agar-agar disebut sebagai gelosa atau gelosa bersulfat dengan rumus molekul C6H10O5 atau (C6H10O5)n

H2SO4. Selain mengandung polisakarida sebagai senyawa utama, agar-agar juga mengandung kalsium

(10)

Agar-agar adalah produk kering tidak berbentuk (amorphous), mempunyai sifat seperti gelatin. Alga laut makro kelompok agarophyte molekul agar-agar terdiri dari rantai linier galaktan. Galaktan adalah polimer dari galaktosa. Dalam menyusun senyawa agar-agar, galaktan dapat berupa rantai linier yang netral maupun sudah berasosiasi dengan metil atau asam sulfat. Galaktan yang sebagian monomer galaktosanya membentuk ester dengan metil disebut agarosa sedangkan galaktan yang tersesterkan dengan asam sulfat disebut agaropektin.

Agar-agar yang diperdagangkan di pasaran umumnya dijual dalam bentuk kering dengan deskripsi sebagai berikut : warnanya putih sampai kuning pucat, berbau khas agar-agar, serta dikemas dalam bentuk tepung, batangan, serpihan, butiran atau lembaran seperti kertas. Agar-agar yang diperdagangkan terdapat dalam berbagai bentuk, seperti dalam bentuk granula, bubuk, batang kuning pucat dan tidak berbau. Di Indonesia standar mutu agar-agar sudah dicantumkan dalam Standar Industri Indonesia (SII) pada Tabel 3. Spesifikasi fisik agar-agar juga dideskripsikan dalam ”Food Chemical Codex” (1981) yang meliputi kandungan arsen, kadar abu tidak larut asam, kadar abu total, gelatin, logam berat, bahan asing tidak larut, timah, susut pengeringan, pati dan penyerapan air. Persyaratan spesifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar Mutu Agar-Agar

Spesifikasi Persyaratan

SII(a) FCC(b)

Kadar air maks. (%) 15 – 21 -

Kadar abu maks. (%) 4 6.5

Abu tak larut asam maks. (%) - 0.3

Gelatin - Negatif

Pati - Negatif

Karbohidrat (galaktosa) (%) 30 -

Logam berat maks. (ppm) Negatif 10

Arsen maks. (ppm) Negatif 3

Bahan asing tidak larut maks. (%) - 1

Timah maks. (ppm) - 10

Susut pengeringan maks. (%) - 20

Penyerapan air - Negatif

Zat warna tambahan Yang diizinkan untuk

makanan dan minuman -

Sumber : (a) Departemen Perindustrian (1978) (b) Food Chemical Codex III (1981)

(11)

Tabel 4. Standar Mutu Salah Satu Jenis Agar-Agar di Jepang

Spesifikasi Tingkat mutu

Superior No.1 No.2 No.3

Warna Putih Putih kekuningan Putih kekuningan Kuning cokelat

Keseragaman Seragam mutu

dan ukuran

Seragam mutu

dan ukuran Kurang seragam Tidak seragam

Kekuatan gel

(g/cm2) >600 >350 >250 >150

Kadar air (%) < 22 < 22 < 22 < 22

Protein (%) < 0.5 < 1.5 < 2.0 < 3.0

Abu (%) < 4.0 < 4.0 < 4.0 < 4.0

Bahan tidak meleleh pada air mendidih

< 0.5 < 2.0 < 3.0 < 4.0

Sumber : Okazaki (1971)

2.2.1 Struktur Kimia Agar-Agar

Agar-agar merupakan salah satu dari gum polisakarida yang telah lama dikenal dan merupakan koloid hidrofilik yang diekstrak dari alga laut tertentu dari kelas Rhodophyceae (Peterson dan Johnson 1978). Struktur agar-agar terdiri atas dua komponen utama, yaitu agarosa dan agaropektin dalam jumlah yang bervariasi (Glicksman 1983). Unit gula dasar penyusun agar-agar dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Unit Gula Penyusun Agar-Agar

Agar Unit Gula Penyusun

Agarosa D-galaktosa L-galaktosa

3,6-anhidrogalaktosa D-xilosa

Agaropektin D-galaktosa L-galaktosa

3,6-anhidrogalaktosa D-xilosa

Galaktosa sulfat Asam piruvat Sumber : Glicksman (1983)

Agarosa merupakan komponen pembentuk gel yang netral dan tidak mengandung sulfat (Furia 1975). Agarosa bersifat netral yang merupakan pengulangan dari unit-unit agarobiosa. Agarobiosa sebagai gel esensial, merupakan fraksi dari agar yang mempunyai bobot molekul lebih dari 10.000

Dalton bahkan lebih dari 150.000 Dalton dengan kandungan sulfat yang rendah ≤ 0.5% (Armisen et

(12)

4-o-metil-galaktosa, semuanya tergantung pada spesies alga merah itu sendiri (Glicksman 1983). Adapun

Agaropektin merupakan suatu polisakarida sulfat yang tersusun dari agarosa dengan variasi ester asam sulfat; asam D-glukoronat dan sejumlah kecil asam piruvat. Kandungan sulfat bervariasi pada setiap jenis rumput laut dan biasanya sekitar 5-10% (Peterson dan Johnson 1978). Agaropektin sisa dari agarobiosa mempunyai bobot molekul < 20.000 Dalton (14.000 Dalton) dengan komponen sulfat yang lebih besar 5-8% (Armisen et al. 2000). Struktur molekul agar-agar dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Molekul Agar (Phillip 2000)

2.2.2 Pembentukan Gel Agar-Agar

Sifat gel agar-agar dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi, pH, kandungan gula, dan ester sulfat (Selby dan Wynne 1973). Penurunan pH akan menyebabkan kekuatan gel semakin berkurang (Glicksman 1983). Semakin tinggi kandungan gula akan menyebabkan gel menjadi keras dengan kohesifitas tekstur yang yang lebih rendah (Glicksman 1983). Peningkatan kandungan sulfat dalam agar-agar akan mengurangi kekuatan gelnya (Chapman dan Chapman 1980).

Menurut Glicksman (1983), peningkatan kekuatan gel dapat dihubungkan dengan peningkatan kadar agarosa atau penurunan kadar sulfat serta peningkatan kadar 3.6-anhydro-L-galaktosa. Karakteristik pembentukan gel agar-agar disebabkan oleh tiga buah atom H pada residu 3.6-anhydro-L-galaktosa yang memaksa molekul-molekul untuk membentuk struktur ”heliks”. Interaksi antar struktur heliks menyebabkan terbentuknya gel. Penggantian senyawa 3.6-anhydro-galaktosa oleh L-galaktosa sulfat menyebabkan kekacauan dalam struktur heliks dan dalam keadaan seperti ini kekuatan gel yang terendah terbentuk. Kekuatan gel yang lebih tinggi akan diperoleh bila grup sulfat dikonversi menjadi senyawa 3.6-anhydro-L-galaktosa, perlakuan alkali dapat mempercepat konversi senyawa tersebut diatas.

Gel agar-agar bersifat reversibel terhadap suhu, dimana pada suhu di atas titik leleh fase gel akan berubah menjadi fasa sol dan sebaliknya. Tetapi fasa transisi dari gel ke sol atau dari sol ke gel tidak berada pada suhu yang sama. Suhu pembentukan gel (gelling point) berada jauh di bawah suhu saat gel meleleh (melting point). Perbedaan yang jauh anatara suhu leleh dan suhu pembentukan gel disebut dengan gejala histeresis (Glicksman 1983). Daya gelasi agar-agar juga tergantung pada cara produksi, jenis algae, kandungan sulfat dan perbandingan agarosa terhadap agaropektin. Agar-agar

yang berasal dari rumput laut Gracilaria mempunyai kekuatan gel yang lebih rendah dari Gelidium

(Chapman 1970).

(13)

Kekuatan gel agar-agar sangat tergantung pada perbandingan kandungan agarosa terhadap agaropektin, gel yang terbentuk akan semakin kuat (Winarno 1990).

Gel agar-agar bersifat thermoreversible, yaitu pada suhu diatas titik leleh fase gel akan berubah menjadi fase sol dan sebaliknya, tetapi fase transisi tidak terjadi pada suhu yang sama. Gel agar-agar bersifat cukup stabil. Gel yang dibuat dari agar-agar dengan kekuatan gel yang tinggi dapat memiliki kestabilan yang sama dengan agar-agar kering jika disterilisasi dan disimpan secara hermatis. Gel agar-agar lebih stabil dibandingkan gel dari koloid alami lain karena hanya ada sedikit mikroorganisme dan enzim yang dapat mendegradasinya (Selby dan Wynne 1973).

2.3

Bakto Agar

Bakto agar merupakan agar yang telah dimurnikan dengan mereduksi kandungan pigmen-pigmen pengotor dan kandungan bahan-bahan asing (organik dan inorganik) serendah mungkin sehingga dapat mendukung pertumbuhan mikroba secara umum (Abdullah 2004). Pemanfaatan sebagai media kultur mikroorganisme tersebut belum berubah sejak Dr. Robert Koch memakai pertama kalinya tahun 1982 untuk kultur media bakteri tuberkulosa. Dengan kemajuan teknik rekombinasi DNA dan fusi sel, maka kegiatan seleksi, kloning dan propagasi mikroorganisme yang direkayasa juga dilakukan dalam media agar (Rasyid et al. 1998).

Bakto agar biasa digunakan untuk media kultur bakteri patogen maupun bakteri non-patogen. Sebanyak 1/6 dari total produksi agar-agar yang ada di Amerika Serikat digunakan untuk keperluan mikrobiologi sebagai media kultur bakteri (FAO 1990). Permintaan pasar internasional untuk agar-agar yang digunakan sebagai media kultur bakteri terus meningkat. Pemanfaatan bakto agar-agar untuk bidang mikrobiologi di dalam negeri juga semakin meningkat. Namun produksi bakto agar belum mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Salah satu solusi adalah dengan membuat bakto agar produksi dalam negeri dengan karakteristik mutu yang diharapkan sama dengan bakto agar impor (Winarno 1990).

Beberapa syarat nutrisi yang harus dipenuhi dalam media pertumbuhan bakteri sehingga dapat mendukung penguraian autotrof anorganik oleh bakteri pengurai anorganik, seperti vitamin dalam konsentrasi tinggi dan faktor–faktor tumbuhnya oleh bakteri patogen dan bakteri asam laktat. Oleh sebab itu, perlu diformulasikan suatu media yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme secara umum, contohnya adalah penambahan nutrient broth dan nutrient agar yang dapat digunakan sebagai media pertumbuhan dasar (Abdullah 2004)

Bakto agar yang digunakan sebagai kultur media memiliki beberapa karakteristik yaitu memiliki kekuatan gel, tingkat elastisitas, kejernihan dan stabilitas yang baik. Tabel 6 menunjukkan satandar mutu dari agar bakto Serva menurut ISO 9001.

Tabel 6. Standar Mutu Agar Bakto Serva Menurut ISO 9001

Analisis Nilai Standar Mutu

Kekuatan gel (g/cm2, 1.5%gel) 400-900

Kadar air (%) <15

Kadar abu (%) <6,5

Nilai pH 5,5-7

(14)

2.4

Proses Pembuatan Agar-Agar

Pengolahan rumput laut menjadi agar-agar umumnya melalui beberapa tahapan yaitu pembersihan dan pencucian, perendaman dan pemucatan, pra-perlakuan asam, perebusan atau ekstraksi, penyaringan, penjedalan, dan pendinginan (Indriany 2000). Berikut ini adalah penjelasan singkat rincian proses diatas.

2.4.1 Pembersihan dan Pencucian

Rumput laut dibersihkan dan dicuci untuk menghilangkan batu-batuan, kerikil, lumpur, kerang dan benda-benda asing lainnya. Setelah dicuci, rumput laut harus segera dikeringkan sehingga kandungan airnya mencapai 20%. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya proses fermentasi yang dapat menurunkan mutu dan kandungan agar-agar. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari. Penjemuran juga dimaksudkanuntuk menghilangkan warna dari rumput laut (Putro 1991).

2.4.2 Perendaman dan Pemucatan

Perendaman dimaksudkan untuk melanjutkan pembersihan rumput laut dari kotoran-kotoran yang mungkin masih melekat. Perlakuan ini juga bertujuan untuk melunakkan jaringan rumput laut agar memudahkan ekstraksinya. Perendaman ini dapat dilakukan sekaligus dengan proses pemucatan (Indriany 2000).

Pada proses pemucatan, rumput laut direndam dalam larutan pemucat selama beberapa waktu disertai proses pengadukan (Indriany 2000). Larutan pemucat yang umum digunakan adalah larutan

kalsium hipoklorit (CaOCl3) 1% dengan lama perendaman 30 menit (Amnidar 1989), larutan kapur

tohor (CaO) 0,5% selama 5-10 menit (Nasran 1993), dan NaOCl 1% selama 30 menit ( Kosasih dan Suprijatna 1967). Larutan pemucat yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan kapur tohor (CaO) 0,5% selama 5-10 menit. Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Nasran et al. (1991), Asmarita (2000), dan Indriany (2000), larutan tersebut memberikan hasil pemucatan yang baik terhadap bahan baku. Untuk menghilangkan bau bahan pemucat yang digunakan, rumput laut dicuci sambil diremas-remas dan dibilas dengan air bersih.

2.4.3 Praperlakuan Ekstraksi

Praperlakuan sebelum ekstraksi adalah proses perendaman rumput laut yang dilakukan sebelum ekstraksi untuk mempermudah proses ekstraksi, serta untuk meningkatkan mutu rendemen produk agar-agar yang dihasilkan. Praperlakuan dapat dilaksanakan dengan menggunakan larutan alkali atau asam (Irawati 1994).

Proses perendaman dengan asam bertujuan untuk memecah dinding sel, sehingga agar-agar mudah diekstrak. Selain itu larutan asam tersebut diharapkan dapat menghancurkan dan melarutkan kotoran sehingga rumput laut lebih bersih. Larutan asam yang dapat digunakan pada perlakuan asam selain asam sulfat dapat juga digunakan asam asetat, asam sitrat, buah asam, dan daun asam (Winarno,

1990). Pada penelitian yang telah dilakukan Ameidy (1992) dengan menggunakan CH3COOH 1%

pada ekstraksi agar-agar rumput laut jenis Gracilaria verrucosa sebagai perlakuan asam telah terbukti dapat meningkatkan rendemen dan kekuatan gel agar-agar yang dihasilkan. Demikian pula percobaan yang dilakukan Priatama (1989), mendapatkan nilai kekuatan gel yang tertinggi pada Gracilaria sp

dengan menggunakan larutan CH3COOH 3% pada praperlakuan asam. Secara umum praperlakuan

(15)

Praperlakuan dengan alkali tidak selalu diikuti dengan peningkatan kekuatan gel. Praperlakuan

dengan alkali dapat menurunkan kekuatan gel agar-agar dari 138 gr/cm2 (tanpa perlakuan alkali)

menjadi 110 gr/cm2 (Whyte dan Englar, 1980 dalam Amnidar 1989) sedangkan menurut Cho et al.

(1975), praperlakuan dengan asam terhadap Gracilaria sp ternyata dapat menurunkan kandungan abu, total sulfur dan nitrogen serta dapat meningkatkan kekuatan gel agar-agar.

2.4.4 Ekstraksi

Ekstraksi agar-agar dari rumput laut dilakukan dengan air panas pada suhu didih. Hal ini didasarkan pada sifat kelarutan agar-agar, yaitu larut hanya dalam air panas dan tidak larut dalam air dingin (Furia 1975). Semua proses ekstraksi agar-agar dalam dunia perdagangan (secara komersial)

umumnya menggunakan air panas dengan suhu (90-150) oC, yang kemudian diikuti dengan proses

filtrasi dan pembekuan (Wheaton dan Lawson 1985).

Dalam proses ekstraksi diperlukan suasana sedikit asam, yang bertujuan untuk mengontrol pH karena pH dapat mempengaruhi kualitas agar-agar yang dihasilkan. Keasaman (pH) larutan ekstraksi harus diatur kurang lebih 6.5 dengan penambahan sedikit asam (Chapman 1970).

Proses ekstraksi dapat pula dilakukan pada pH netral atau tanpa penambahan asam, karena diduga pada pH netral ini proses ekstraksi akan lebih mudah dan dapat dilakukan pada pH kurang

lebih 7, suhu 100oC, selama 1-4 jam. Tetapi ekstraksi pada pH netral ini dilakukan hanya untuk

rumput laut yang telah mengalami proses praperlakuan asam (Matsuhashi 1977).

Produksi agar-agar dari rumput laut selain dipengaruhi oleh musim, juga dipengaruhi oleh lama waktu perebusan (waktu ekstraksi) (Chapman 1970). Waktu pendidihan yang terlalu lama dapat mengakibatkan degradasi hidrolitik yang berlebihan, meskipun pada proses normal degradasi hidrolitik tidak dapat dihindari seluruhnya (Matsuhashi 1977).

Pemasakan rumput laut dilakukan dalam suatu bejana dengan meggunakan air bersih (Winarno 1990). Banyaknya air yang digunakan sebagai pengekstrak dalam proses pemasakan agar-agar bervariasi menurut beberapa versi, tergantung jumlah dan jenis bahan baku rumput laut yang digunakan. Rumput laut jenis keras, seperi Gelidium sp membutuhkan air pengekstraksi yang relatif banyak dibandingkan rumput laut lunak seperti Gracilaria sp, sebab untuk memecah diding sel rumput laut yang keras dibutuhkan luas permukaaan kontak antara dinding sel dengan air pengekstrak yang besar (Sukamulyo 1989). Kisaran jumlah air untuk ekstraksi dapat bervariasi antara tujuh kali berat rumput laut sampai dengan 15 atau 20 kali berat rumput laut kering (Matsuhashi 1977). Lama ekstraksi umunya berlangsung selama 45 menit (Winarno 1990), kadang-kadang sampai 2-4 jam tergantung teknik pengadukannya.

(16)

2.4.5 Pemurnian Filtrat Agar

Permasalahan yang ada selama ini adalah metode produksi agar yang menghasilkan kadar sulfat yang masih tinggi. Kadar sulfat pada agar merupakan komponen yang dapat mengganggu, baik dalam penggunaan maupun dalam penyimpanan. Salah satu alternatif proses produksi yaitu melalui metode absorbsi impuriti dalam ekstraksi olek kitosan sebagai absorben sehingga dapat menghasilkan agar-agar bermutu tinggi untuk keperluan media kultur (Suptijah 2010).

Absorbsi merupakan suatu proses dimana suatu partikel terperangkap ke dalam suatu media dan seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan media tersebut. Absorbsi terdiri dari dua jenis yaitu absorbsi fisika dan absorbsi kimia. Absorbsi fisika dicirikan dengan tarik menarik antara absorbat dan absorben sangat lemah dengan energi kurang dari 40 Kj/mol dan antar keduanya tidak membentuk senyawa kimia. Absorbsi fisika umumnya reversible dan irreversible. Sifat ini ditemukan dalam batas antar muka kimia dengan medium gas, dimana ikatan yang terjadi diakibatkan dari gaya Van Der Walls dan gaya London (Prutton 1982).

Absorbsi kimia (chemosorbtion) ditandai dengan pertukaran elektron/electron exchange antara

absorbat dengan absorben. Interaksi yang terjadi sangat kuat sehingga terbentuk senyawa kimia dengan energi ikatnya sekitar 300 Kj/mol (Nieuwenhuizen dan Barendez 1987). Akibat dari berbagai perlakuan, ikatan dalam absorbsi fisik dan kimia dapat lepas, proses ini disebut desorbsi. Absorben adalah padatan berpori dengan berbagai ukuran. Contoh absorben yang sudah banyak digunakan diantanya: kitosan, bentonit, zeolit, tanah diatomea dan arang aktif. Suatu absorben dapat memisahkan molekul berdasarkan ukurannya (Suptijah 2012)

Kitosan adalah produk alami turunan dari kitin, polisakarida yang ditemukan dalam eksoskeleton krustasea seperti udang, rajungan dan kepiting. Kitosan diperoleh melalui proses dasitilasi kitindengan perlakuan alkali. Kitin merupakan polisakarida panjang yang tidak bercabang, bernama 2-asetil-2-amino dioksi-D-glukosa, yang monomernya berikatan satu sama lain melalui ikatan 1-4. Kitin diproduksi dari kulit udang melalui proses isolasi dan purifikasi yang didahului proses demineralisasi dan dilanjutkan dengan proses deproteinasi (Muzzarelli 1977).

Kerangka utama penyusun kitin dan kitosan adalah grup heksosa (glukosa) sama dengan selulosa, oleh karena itu kitin kitosan dikelompokan pada selulosa alam tetapi mempunyai muatan berlawanan dengan selulosa lainnya. Polimer kitin atau kitosan terdiri dari 2000-3000 monomer, sehingga menpunyai banyak muatan yang akan mempengaruhi sifat biologi dan sifat fungsionalnya melalui kemampuan berikatan dengan molekul lain (Ornum 1992).

Proses penyerapan berhubungan dengan adanya gugus hidrofilik (OH) dalam molekul kitosan, sehingga kitosan mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan bahan-bahan yang tersuspensi dalam air. Berdasarkan tinjauan pustaka, Olin et al. (1996) dan Bailey et al. (1997) telah mengidentifikasi penyerap yang murah untuk penanganan kontaminasi logam berat pada air dan limbah cair. Mereka mengidentifikasi dua belas penyerap yang potensial untuk Pb, Cd, Cu, Zn, dan Hg, diantaranya kitosan mempunyai kapasitas serapan yang tinggi untuk ion-ion metal (Masri et al. 1974). Kitosan mengikat atau mengkelat sejumlah logam lima kali lebih besar dari kitin. Hal ini ditandai oleh adanya grup amino bebas (NH3+) dalam kitosan (Muzarelli 1977).

(17)

dalam lingkungan yang sesuai. Proses pengikatan logam diatas merupakan proses keseimbangan pembentukan kompleks ion logam dengan sekuestran (Winarno 1993). Melalui reaksi pengikatan (chelating), kitosan mampu menyerap logam berat, hal ini dimungkinkan dengan adanya gugus

CH2OH dan NHCOCH3, yang merupakan gugus reaktif dari kitosan yang dapat mengikat ion logam,

Abdullah (2004) menggunakan kitosan sebagai bahan pemurni pada bakto agar. Pada penelitiannya diperoleh bahwa penggunaan kitosan dengan perlakuan 1% dengan waktu absorbsi 45 menit, menghasilkan bakto agar yang paling optimum (mendekati standar Difo bacto agar) yaitu kadar abu 3,45%, kadar air 16,89%, kekuatan gel 341,01 gram/cm2, dan nilai pH sebesar 5,88.

2.4.6 Pengeringan

Proses pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: metode pembekuan yang diikuti

dengan thawing dan dilanjutkan dengan pengeringan atau dengan cara dikeringkan dengan

menggunakan tekanan (Matsuhashi 1977). Pengeringan lebih baik dilakukan dengan menggunakan oven sehingga mempercepat proses pengeringan dan menurunkan kadar air yang terkandung didalamnya (Kosasih dna Suprijatna 1967).

Tujuan dari pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas tertentu sehingga perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti. Hal tersebut menyebabkan bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama (Aschtanasia 2010).

Indriany (2000) menggunakan pengering semprot dan pengering drum dalam modifikasi proses pembuatan tepung agar-agar. Pengering semprot yang terbaik dilakukan pada suhu inlet dan outlet sebesar 180oC dan 85oC dengan tekanan semprot 3 bar dimana pada perlakuan ini dihasilkan kekuatan gel dan derajat putih yang lebih baik, sedangkan pada pengering drum, perlakuan terbaik dihasilkan pada kecepatan putaran drum 8,6 rpm dan tekanan uap 3 bar.

1. Pengering Semprot (SprayDrier)

Pengering semprot merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang merubah bentuk suatu produk dari bentuk cairan, bubur menjadi bentuk kering berupa tepung, butiran, atau gumpalan (Master 1979). Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pengering semprot yang uatama adalah tidak hanya dapat mengeringkan bahan dengan sangat cepat (waktu total padatan di dalam pengering dapat kurang dari 30 detik) tetapi juga menghasilkan produk yang kondisinya seragam. Selain itu, produk juga akan menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas. (Badger dan Banchero 1988).

(18)

Proses pengeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, kecepatan volumetrik aliran udara pengering, kelembaban udara, kadar air awal, dan tekanan. Untuk produk yang berbeda, kondisi pengering semprot yang digunakan berbeda pula. Untuk produk susu, suhu pengering semprot

yang digunakan berkisar antara 170oC sampai 200oC, sedangkan untuk produk kopi dan teh, suhu

yang umum digunakan adalah 250oC. Untuk produk buah-buahan, suhu yang umum digunakan

berkisar antara 135oC sampai dengan 180oC (Master 1979).

2. Pengering Drum (Drum Drier)

Alat pengering drum digunakan untuk mengeringkan bahan dalam bentuk bubur atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan dipanaskan secara internal dengan uap air atau medium pemanas lain. Kelebihan yang dimiliki alat pengering drum yaitu laju pemanasan yang tinggi serta penggunaan panas yang cukup ekonomis. Sedangkan kekurangan yang utama adalah produk yang dikeringkan hanya dapat berupa cairan atau bubur dan memiliki ketahanan terhadap suhu tinggi dalam waktu singkat. Faktor- faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dan kandungan uap air akhir dari partikel-partikel produk pada pengeringan drum adalah kecepatan putaran drum, tekanan uap air atau temperatur media pemanas, dan ketebalan lapisan produk (Brennan et al. 1974).

Produk yang akan dikeringkan dimasukkan melalui bagian atas drum sehingga terbentuk lapisan yang tipis. Pengeringan dapat dilakukan di dalam udara terbuka atau dalam keadaan hampa udara. Produk yang kering dilepaskan dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pengikis. Selanjutnya, lapisan yang kering tersebut digiling menjadi bubuk yang halus (Desrosier 1988).

Prinsip pengeringan dengan menggunakan alat pengering drum adalah logam drum kosong yang berputar perlahan, dan dipanaskan secara internal oleh tekanan uap hingga suhunya menjadi 120-170oC. Bahan akan dikeringkan pada tiap permukaan drum dalam bentuk lapisan tipis. Pada drum

tunggal, pembentukan lapisan tipis dilakukan dengan mencelupkan drum pada bubur atau larutan yang

akan dikeringkan, sedangkan pada drum ganda, larutan dimasukkan dari bagian atas pada daerah antara dua drum. Pengeringan berlangsung pada saat drum berputar. Drum berputar dengan arah yang berlawanan. Ketebalan lapisan dapat diatur dengan cara mengatur jarak antara kedua permukaan drum (Heldman et al. 1981). Produk kering akan dipindahkan dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pada saat perputaran drum mencapai titik 2/3-3/4 sejak bahan pertama kali dimasukkan ke dalam pertemuan dua permukaan drum (Brennan et al. 1974).

(19)

III. METODE PENELITIAN

3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret 2012 hingga September 2012. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pilot Plant, PAU, Institut Pertanian Bogor.

3.2. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut jenis Gracilaria verrucosa dalam bentuk kering yang diperoleh dari Desa Langensari, Kabupaten Subang. Bahan lain yang digunakan pada proses ekstraksi rumput laut adalah larutan CaO 0.5%, larutan asam asetat (CH3COOH) 1%, air destilata, dan kitosan serpih. Bahan yang digunakan untuk analisa produk adalah nutrient broth, potato dextrose broth, bacto difco, larutan H2O2 (1:10), larutan AgNO3 0.1N, larutan HCl 0.2N, dan larutan BaCl2 10%. Bahan yang digunakan uuntuk karakterisasi bahan baku rumput laut adalah katalis CuSO4 dan Na2SO4, indikator mengsel,H2SO4 pekat, asam borat, larutan NaOH 6N, larutan H2SO4 0.02N, larutan H2SO4 0.325N, NaOH 1.25N, hexane, dan alkohol.

Alat-alat yang digunakan dalam proses ekstraksi rumput laut adalah gelas piala, wadah (baskom), timbangan, panci aluminium, kompor, termometer, batang pengaduk, sudip, kain saring, hydraulic press (alat pengepres), laboratory mill, aluminium foil, dan plastik HDPE. Alat yang digunakan pada tahap analisa produk akhir dan karakterisasi bahan baku adalah cawan aluminium, cawan porselen, labu kjeldahl, labu lemak, soxhlet, erlenmeyer, pipet tetes, desikator, labu takar, pipet Mohr, gelas ukur, gelas arloji, oven, kertas saring, kondensor, penangas air, pH meter Beckman, alat ukur gel strength, tabung reaksi, jarum inokulasi, cawan petri, kapas, dan autoklaf.

3.3. TATA LAKSANA PENELITIAN

Tahapan awal dari penelitian ini adalah karakterisasi bahan baku rumput laut jenis Gracilaria verrucosa. Setelah proses karakterisasi, selanjutnya dilakukan proses ekstraksi agar dengan perlakuan pra ekstraksi menggunakan larutan asam. Setelah proses ekstraksi, diperoleh filtrat agar yang akan dimurnikan dengan penambahan kitosan yang berfungsi sebagai absorben. Filtrat agar yang telah dimurnikan selanjutnya akan dikeringkan dengan menggunakan tiga jenis pengering yaitu pengering semprot, pengering drum, dan pengering oven. Dari ketiga jenis pengering tersebut diperoleh tiga jenis bakto agar yang selanjutnya dikarakterisasi untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing produk. Tahapan akhir dari penelitian ini adalah proses aplikasi bakto agar sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Dalam proses aplikasinya, dilakukan formulasi untuk menentukan konsentrasi gel yang dapat ditambahkan agar menjadi media pertumbuhan mikroorganisme.

3.3.1. Karakterisasi Bahan Baku Gracilaria verrucosa

(20)

3.3.2. Proses Ekstraksi dan Absorbsi Bakto Agar

Setelah bahan baku dikarakterisasi, tahapan penelitian selanjutnya adalah ekstraksi rumput laut hingga diperoleh filtrat agar-agar. Rumput laut Gracilaria verrucosa terlebih dahulu dipisahkan dari kotoran berupa kerang dan batu-batuan yang menempel, setelah itu, rumput laut ditimbang sebanyak 100 g dalam setiap proses ekstraksinya. Selanjutnya dilakukan proses pencucian dengan air mengalir dan direndam dengan larutan CaO 0,5% selama lima menit. Setelah proses perendaman dengan larutan CaO, rumput laut kembali dicuci dengan air mengalir, dan dilanjutkan dengan proses perendaman dengan larutan asam asetat 1% (CH3COOH 1%) selama 60 menit. Setelah proses perendaman dengan larutan asam, selanjutnya dilakukan proses pencucian dengan air mengalir hingga pH netral. Rumput laut yang sudah netral selanjutnya dipotong-potong dan diekstrak dengan menggunakan air destilata. Perbandingan rumput laut dengan air destilata adalah 1:20 (b/v). Ekstraksi dilakukan pada suhu 80-90oC selama 45 menit. Proses penyaringan dilakukan dengan menggunakan alat pompa hidrolik (hydraulic press) tanpa menggunakan panas. Filtrat yang diperoleh selanjutnya dimurnikan dengan menggunakan kitosan 1% selama 45 menit, dan kemudian dilakukan penyaringan agar diperoleh filtrat yang lebih murni. Skema proses proses ekstraksi dan absorbsi dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.

3.3.3. Proses Pengeringan Filtrat Bakto Agar

Pengeringan filtrat agar-agar dilakukan dengan tiga jenis pengering yaitu pengering semprot, pengering drum, dan pengering rak (oven). Pada jenis pengering semprot, filtrat langsung di keringkan dalam kondisi panas ke dalam alat pengering semprot. Suhu inlet dan outlet yang digunakan adalah 180oC dan 85oC dengan tekanan semprot tiga bar. Pada jenis pengering drum, filtrat agar juga lagsung dikeringkan dalam keadaan panas dengan menggunakan kecepatan putaran drum 8,6 rpm dan tekanan uap tiga bar.

Filtrat agar yang akan dikeringkan dengan menggunakan oven, sebelumnya dilakukan penjedalan dengan suhu freezer selama satu malam. Proses gelifikasi diteruskan dengan proses thawing dan kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 45-50oC. Setelah kering, dilanjutkan dengan proses penepungan dengan laboratory mill. Gambar 5 memperlihatkan alat pengering yang digunakan pada proses pengeringan bakto agar.

3.3.4. Karakterisasi Produk Bakto Agar

(21)

Gambar 3. Skema Proses Pembuatan Bakto Agar Dengan Pengering Semprot dan Pengering Drum Absopsi khitosan [ 1%] t = 45 menit

Ampas Rumput laut

Gracilaria kering

Pencucian dengan air

Perendaman dan pemucatan CaO 0.5 % (5 menit)

Pra perlakuan asam (asam asetat 1%), t = 1 jam

Pencucian

Penghancuran

Ekstraksi (T = 80o-90oC, t = 45 menit) Perbandingan air dengan rumput laut 20 : 1

Filtrasi Pencucian

Pengeringan dengan Pengering Semprot dan Pengering Drum

Bakto Agar

(22)

Gambar 4. Skema Proses Pembuatan Bakto Agar Dengan Pengering Oven Absopsi khitosan [ 1%] t = 45 menit

Ampas Rumput laut Gracilaria

kering

Pencucian dengan air

Perendaman dan pemucatan CaO 0.5 % (5 menit)

Pra perlakuan asam (asam asetat 1%), t = 1 jam

Pencucian

Penghancuran

Ekstraksi (T = 80o-90oC, t = 45 menit) Perbandingan air dengan rumput laut 20 : 1

Filtrasi Pencucian

Pengeringan dengan Pengering Semprot dan Pengering Drum

Bakto Agar

(23)

(a) (b) (c)

Gambar 5. (a) Pengering Semprot (Spray Drier); (b) Pengering Rak; (c) Pengering Drum (Drum Drier)

3.3.5. Aplikasi Produk Bakto Agar

Aplikasi dari produk bakto agar dilakukan dengan membuat Nutrient Agar dan Potato Dextrose Agar untuk keperluan analisa Total Plate Count. Dalam proses aplikasi ini, dilakukan formulasi penambahan konsentrasi bakto agar untuk mendapatkan proporsi kekuatan gel yang baik formulasi kekuatan gel diujikan pada konsentrasi 1.5%, 2%, dan 2,5%. Nutrient Agar dibuat dengan menambahkan Nutrient Broth dan bakto agar dalam air destilata. Selanjutnya Nutrient Agar akan diujikan untuk menumbuhkan mikroorganisme E. coli. Potato Dextrose Agar dibuat dengan menambahkan Potato Dextrose Broth dengan bakto agar dalam air destilata dan kemudian diujikan untuk menumbuhkan mikroorganisme khamir.

3.4 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan satu faktor perlakuan pengeringan dengan tiga jenis alat pengering dengan dua kali pengulangan. Perlakuan pengeringan yang digunakan adalah sebagai berikut :

O = Pengering oven, dengan suhu 45-50oC selama 24 jam.

S = Pengering semprot, dengan suhu inlet 180oC dan suhu outlet 85oC, dan tekanan semprot 3 bar.

D = Pengering drum, dengan kecepatan putaran drum 8,6 rpm dan tekanan uap 3 bar.

Analisis Ragam (ANOVA) merupakan metode statistika untuk menguji signifikansi perbedaan dari dua atau lebih nilai rata-rata. Pada dasarnya metode ini merupakan proses aritmatika untuk membagi keragaman (jumlah kuadrat) total menjadi kompoen-kompenennya yang berhubungan dengan sumber keragaman yang diketahui. Bentuk hipotesis yang akan diuji ialah :

H0 : μ1 = μ2 = … = μt (nilai rata-rata dari semua perlakuan adalah sama)

(24)

Hasil perhitungan pada Analisis Ragam ditampilkan dalam bentuk tabel seperti yang terlihat dalam Tabel 7 berikut :

Tabel 7. Tabel Analisis Ragam (ANOVA)

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

(db)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat

rata-rata (KT) F Hitung

Perlakuan t-1 JKP KTP F

Error t(r-1) JKG KTG

Total rt-1 JKT Keterangan : t = jumlah perlakuan

r = jumlah ulangan dalam setiap perlakuan

Nilai-nilai jumlah kuadrat, kuadrat rata-rata dan F hitung dicari dengan rumus-rumus sebagai berikut :

Keterangan :

Yij = data pada perlakuan ke-1 dan ulangan ke-j Yi =total data pada perlakuan ke-i

Y.. = total data keseluruhan

Statistik uji yang digunakan adalah uji-F. F hitung merupakan nilai F yang diperoleh dari hasil perhitungan j dan merupakan rasio dari dua nilai dugaan yang bebas dari ragam yang sama. Selanjutnya F hitung ini dibandingkan dengan F tabel, yakni nilai-nilai yang ada pada tabel distribusi F pada derajat bebas yangs esuai dan taraf nyata yang telah ditentukan. Jika F hitung>F tabel, maka

keputusannya adalah tolak H0 dan terima H1, sedangkan jika F hitung ≤ F tabel maka keputusannya

adalah terima H0.

(25)

menentukan signifikan atau tidaknya selisih antara dua rata-rata perlakuan yang dibandingkan. Nilai LSD dicari dengan rumus :

Keterangan :

tα/2 = nilai distribuai t-student pada taraf nyata α dan derajat bebas galat

(26)

IV

. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik

Rumput

Laut

Gracilaria verrucosa

Rumput laut jenis Gracilaria verrucosa merupakan jenis rumput laut merah yang

menghasilkan agar-agar atau disebut agarofit. Gracilaria verrucosa yang digunakan berusia sekitar 1,5 bulan dan dibudidayakan pada air payau dengan salinitas air enam ppt. Rumput laut yang digunakan sudah dalam bentuk kering. Bentuk rumput laut yang dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Rumput Laut Gracilaria verrucosa dalam bentuk kering

Rumput laut memiliki karakter yang berbeda tergantung dari jenis dan tempat budidaya. Untuk mengetahui karakter rumput laut Gracilaria verrucosa yang digunakan, maka dilakukan analisisis proksimat pada rumput laut Gracilaria verrucosa kering. Analisis proksimat yang dilakukan merupakan analisis proksimat yang terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat by difference. Hasil analisis proksimat dari rumput laut Gracilaria verrucosa kering dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Analisis Proksimat Gracilaria verrucosa Kering

Parameter Uji Kandungan

Kadar Air (% bb) 10.56

Kadar Abu (% bb) 35.10

Kadar Lemak (% bb) 0.48

Kadar Protein (% bb) 9.28

Kadar Serat (% bb) 8.42

Karbohidrat by difference (% bb) 36.64

Berdasarkan hasil analisis proksimat rumput laut Gracilaria verrucosa kering pada Tabel 7

(27)

dihasilkan adalah 35.10% (bb), yang tergolong cukup tinggi. Tingginya kadar abu yang terdapat pada bahan dapat disebabkan karena proses pengeringan yang dilakukan secara langsung dibawah sinar matahari di jalan setapak sekitar tambak, sehingga memungkinkan adanya kontaminasi oleh pasir dan benda asing lainnya. Nilai kadar lemak dan protein berturut-turut adalah 0.48% (bb) dan 9.28% (bb). Menurut Kadi dan Atmadja (1988), kandungan utama pada rumput laut jenis gracilaria adalah agar-agar (agar-agarofit) yang berkisar antara 16-45% tergantung jenis dan lokasi pertumbuhannya. Nilai kadar serat dan karbohidrat berturut-turut adalah 8.42% (bb) dan 36.64% (bb). Dari hasil analisis, kadar karbohidrat merupakan nilai tertinggi yang terdapat pada bahan baku. Karbohidrat yang terkandung pada bahan baku merupakan unit polisakarida penyusun agar-agar sebagai senyawa utama yang dimanfaatkan pada penelitian ini.

4.2. Ekstraksi Bakto Agar

Dalam penelitian ini, untuk memperoleh ekstrak agar-agar, bahan baku terlebih dahulu dicuci dengan air mengalir karena bahan baku berupa rumput laut kering masih dalam keadaan tercampur dengan bahan pengotor lainnya seperti pasir, debu, kerang, batu-batuan dan lain sebagainya. Untuk membantu proses penghilangan kotoran dan juga menghilangkan pigmen klorofil pada bahan baku, digunakan perendaman dengan larutan CaO 0.5% selama lima menit. Larutan CaO berfungsi sebagai

agen swelling, dimana dalam proses perendaman, rumput laut menjadi mengembang, sehingga

pengotor yang menempel pada thalus terlepas dan mengendap dibawah permukaan wadah perendaman. Perendaman dengan larutan CaO juga bertujuan untuk melunakkan jaringan rumput laut sehingga proses ekstraksi menjadi lebih mudah.

Perlakuan perendaman dengan larutan asam asetat 1% selama 60 menit sebelum proses ekstraksi bertujuan untuk meningkatkan rendemen dan kekuatan gel pada produk akhir. Selain itu, proses perendaman dengan asam ini juga bertujuan untuk memecah dinding sel rumput laut sehingga memudahkan proses ekstraksi agar-agar. Larutan asam asetat ini juga dapat menghancurkan dan melarutkan kotoran sehingga rumput laut menjadi lebih bersih. Proses ekstraksi dilakukan dengan menambahkan air destilata dengan perbandingan air dengan rumput laut adalah 20 : 1. Ekstraksi rumput laut dilakukan dengan pemanasan bersuhu 80o-90oC selama 45 menit.

Proses filtrasi dilakukan dengan menggunakan alat pengepresan hidrolik tanpa menggunakan suhu. Sisa pengotor yang masih terdapat pada filtrat bakto agar diserap dengan bantuan absorben kitosan dengan konsentrasi kitosan 1%. Menurut Suptijah (2012), proses penyerapan berhubungan dengan adanya gugus hidrofilik (-OH) dalam molekul kitosan, sehingga kitosan mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan bahan-bahan yang tersuspensi dalam air. Kitosan bersifat sebagai pembentuk kelat (zat pengikat) yang dapat mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga dapat mengalahkan sifat dan pengaruh negatif dari logam berat yang terdapat dalam suatu bahan.

Filtrat agar yang telah dimurnikan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan tiga jenis pengering yaitu pengering oven, pengering semprot, dan pengering drum. Pada perlakuan dengan pengering oven, sebelum dikeringkan, filtrat bakto agar terlebih dahulu didiamkan dengan suhu

freezer selama satu malam. Gelifikasi dilakukan dengan cara mencetak filtrat hasil pemurnian pada

loyang dan selanjutnya dibiarkan pada suhu ruang hingga terbentuk gel dan kemudian dimasukkan ke dalam freezer. Selanjutnya dilakukan proses thawing untuk mengurangi jumlah ikatan air pada bakto agar dan memudahkan pada proses pengeringan. Pengeringan dengan oven dilakukan pada suhu

45-50oC. Bakto agar yang telah kering selanjutnya dilakukan proses penepungan dengan menggunkan

(28)

Pada jenis pengering semprot, setelah filtrat bakto agar diperoleh dari hasil pemurnian, filtrat bakto agar langsung dikeringkan dengan menggunakan suhu inlet 180oC dan suhu outlet 85oC dengan tekanan semprot tiga bar. Pada jenis pengering drum, filtrat agar juga lagsung dikeringkan dalam keadaan panas dengan menggunakan kecepatan putaran drum 8,6 rpm dan tekanan uap tiga bar. Filtrat agar yang dimasukkan dalam alat pengering semprot merupakan suatu larutan dengan kekentalan (viskositas) tertentu. Menurut Guiseley et al. (1980) viskositas merupakan daya aliran molekul dalam sistem larutan. Prinsip dari pengukuran viskositas adalah mengukur ketahanan gesekan antara dua molekul yang berdekatan.

Faktor kekentalan perlu diperhatikan dalam proses pembentukan tepung agar-agar, terutama dengan menggunakan pengering semprot. Larutan yang terlalu kental akan sulit disemprot oleh nozzle dan bahkan dapat menyumbat nozzle. Jika terjadi pembekuan filtrat di dalam nozzle maka akan terjadi suatu hambatan dalam proses pengeringan. Oleh sebeb itu, sewaktu akan di semprot filtrat agar-agar yang telah membeku dipanaskan terlebih dahulu hingga mencair. Viskositas yang diperoleh berbeda pada suhu yang berbeda-beda. Semakin tinggi suhu, maka viskositasnya semakin rendah. Filtrat agar-agar dapat dengan mudah disemprotkan pada viskositas rendah untuk menghindari terjadinya penyumbatan nozzle dan agar filtrat dapat disemprot dengan baik (Indriany 2000).

Pada penelitian ini, filtrat agar yg telah dimurnikan disimpan dalam blower dengan suhu 50oC yang bertujuan untuk menjaga kondisi filtrat agar tetap hangat sebelum dimasukkan ke dalam pengering semprot. Viskositas filtrat diujikan dengan menggunakan alat pengukuran viskositas

brookfield pada suhu 50oC. Hasil pengujian menunjukkan bahwa viskositas filtrat pada suhu 50oC

adalah 22 cps. Tabel 9 memperlihatkan data hasil pengukuran viskositas pada suhu 50oC.

Tabel 9. Hasil Pengukuran Viskositas (T = 50oC)

Sampel Viskositas (cP)

A1 21 A2 25 A3 20 Rata-rata 22

Standar Deviasi 2.65

Prinsip dari metode pengeringan dengan menggunakan pengering semprot adalah filtrat agar-agar yang akan dikeringkan, dimasukkan ke dalam ruang pengering dalam bentuk dikabutkan atau disemprotkan yang kemudian akan kontak dengan udara yang dipanaskan. Tepung yang telah terbentuk langsung dipindahkan ke dalam ruang pengering. Butiran halus (tepung) yang bercampur dengan udara kemudian akan dipisahkan di dalam ruang pemisah uadar dan tepung (separator) (Indriany 2000).

Faktor kekentalan bukanlah hal yang penting untuk jenis pengering drum. Semakin kental filtrat akan semakin mempermudah proses dan semakin baik produk yang diinginkan. Filtrat agar-agar yang akan dikeringkan dimasukkan ke dalam pertemuan antara dua permukaan drum yang telah

dipanaskan dengan tekanan uap hingga suhunya menjadi 120o-170oC. Pengeringan akan berlangsung

(29)

4.2. Karakteristik Tepung Bakto Agar

Produk yang dihasilkan pada penelitian ini berbentuk bubuk atau tepung. Produk yang berbentuk tepung memiliki kelebihan yaitu kadar air rendah sehingga lebih awet disimpan, praktis dalam penggunaannya, serta memudahkan dalam proses pengemasan dan pengangkutan. Tepung bakto agar yang dihasilkan dengan pengering oven bebentuk butiran-butiran kristal halus berwarna opaque. Warna tepung yang dihasilkan menyerupai warna asal filtrat bakto agar yang berwarna opaque. Tabel 10 dan Lampiran 2 memperlihatkan karakteristik bakto agar yang dihasilkan oleh ketiga perlakuan pengeringan.

Tabel 10. Karakteristik Fisik Bakto Agar

Jenis Pengering Karakteristik Bakto Agar

Pengering Oven Bau agar-agar segar, tekstur halus (++) dan kering, warna opaque

Pengering Semprot Bau agar-agar segar, tekstur halus (+++) dan kering, warna putih susu

Pengering Drum Bau agar-agar segar, tekstur halus (+) dan kering, warna opaque

Keterangan : tanda plus (+) menunjukkan tingkat kehalusan tepung bakto agar

Tepung bakto agar yang dihasilkan dengan alat pengering semprot berbentuk tepung halus dan warna tepung putih susu. Menurut Bluestein et al. (1989), filtrat agar-agar yang disemprotkan pada aliran udara panas dan waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan cukup singkat, sehingga dapat meminimalkan proses kegosongan pada jenis pengering semprot.

Tepung yang dihasilkan dengan pengering drum menghasilkan produk yang agak kasar sehingga memerlukan proses penggilingan untuk memperoleh tepung yang lebih halus. Tepung bakto agar yang dihasilkan oleh pengering oven menghasilkan tepung yang agak halus dan berbentuk kristal berwarna opaque.  

Produk bakto agar yang diperoleh dari tiga jenis pengering dilakukan analisis kimia yang meliputi analisis rendemen bakto agar, kadar air, kadar abu, nilai pH, kadar sulfat dan kekuatan gel agar. Hasil karakteristik kimia produk bakto agar dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11. Hasil Analisis Kimia Produk Bakto Agar

Parameter Jenis Pengeringan

Pengering Oven Pengering Semprot Pengering Drum

Rendemen (% bk) 9.93c 2.43a 7.22b

Kadar air (% bk) 14.03b 9.11b 7.42a

Kadar abu (% bk) 4.39a 6.26b 5.03b

Nilai pH 5.58a 5.96a 5.73a

Kadar sulfat (% bk) 1.86a 3.82b 3.48b

(30)

4.2.1 Rendemen Bakto agar

Rendemen bakto agar dihitung berdasarkan perbandingan antara bobot bakto agar kering dengan bobot rumput laut kering yang digunakan. Bahan baku yang digunakan dalam setiap ulangannya berjumlah 100 gram rumput laut kering. Berdasarkan data hasil penelitian, rendemen bakto agar yang diperoleh masih tergolong kecil. Dari ketiga jenis pengeringan, rendemen bakto agar yang paling tinggi dihasilkan oleh pengering oven. Rendemen bakto agar yang dihasilkan oleh pengering oven adalah 9.93% , pengering semprot 2.43% , dan pengering drum 7.22% .

Analisis ragam pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa ketiga perlakuan pengeringan pada

α=0.05 memberikan pengaruh yang signifikan terhadap rendemen bakto agar yang dihasilkan.

Rendemen yang dihasilkan berbeda-beda pada setiap jenis pengering. Rendemen bakto agar tertinggi diperoleh melalui jenis pengering oven. Pengering oven menggunakan suhu yang tidak terlalu tinggi yaitu 50oC. Pada jenis pengering ini, kemungkinan terjadinya kehilangan bobot sangat sedikit. Hal ini disebabkan karena dalam proses pengeringannya filtrat agar yang telah menjadi gel diletakkan langsung diatas wadah aluminium dan kemudian langsung dikeringkan, sehingga rendemen bakto agar yang dihasilkan mendapatkan hasil yang paling tinggi.

Pada pengering drum, filtrat agar dikeringkan langsung pada lempengan drum yang bersuhu

lebih dari 90oC. Pada alat pengering drum, hasil produk tepung banyak mengalami kehilangan bobot

pada alat pengering tersebut. Tekstur tepung yang dihasilkan lebih ringan dan sangat mudah terbang, sehingga hal tersebut juga dapat mengurangi rendemen bakto agar. Namun demikian, rendemen yang dihasilkan masih cukup baik dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan oleh pengering semprot. Pada pengering semprot yang menghasilkan rendemen yang sangat kecil, dilakukan pada suhu tinggi yaitu pada suhu inlet 180oC dan suhu outlet 85oC namun dengan kontak waktu yg cukup cepat. Tingkat kekentalan filtrat yang masuk melalui pengering semprot cukup kental, sehingga sering terjadi penyumbatan pada nozzle karena terdapatannya lapisan tipis gel agar pada nozzle. Kendala teknis tersebut mengakibatkan proses pengeringan terhenti dan filtrat agar banyak yang terbuang.

Analisis rendemen produk bakto agar yang diperoleh melalui ketiga proses pengeringan yaitu oven, drum, dan semprot memiliki jumlah rendemen yang berbeda. Oleh karena itu, untuk menghasilkan bakto agar dengan rendemen yang baik, tidak disarankan untuk menggunakan jenis pengering semprot. Jenis pengering semprot tidak cocok untuk jenis filtrat bakto agar. Jenis pengering oven atau drum memiliki nilai rendemen yang tinggi sehingga cocok digunakan untuk proses pengeringan filtrat agar.

4.2.2 Kadar Air

Berdasarkan hasil pengujian kadar air pada bakto agar diperoleh bahwa kadar air tertinggi diperoleh pada bakto agar yang dihasilkan dengan pengering oven. Pada jenis pengering oven, kadar air yang dihasilkan adalah 14.03%. Pada jenis pengering semprot, kadar air yang dihasilkan adalah 9.11%. Pada jenis pengering drum, kadar air yang dihasilkan adalah 7.42%. Analisis ragam pada

Lampiran 5 menunjukkan bahwa semua perlakuan pengeringan pada α=0.05 memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap kadar air bakto agar yang dihasilkan. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan dengan menggunakan pengering drum berbeda signifikan dengan perlakuan pengeringan lainnya.

(31)

udara, dan aliran udara dapat mempengaruhi proses pengeringan yang berlangsung. Faktor-faktor tersebut diduga sebagai penyebab terjadinya perbedaan kadar air pada produk bakto agar.

Nilai kadar air yang terdapat pada bakto agar sudah memenuhi standar mutu bakto agar Serva

menurut ISO 9001 yang dikutip dalam Abdullah (2004). Kadar air yang diperbolehkan adalah ≤ 15%.

Menurut Winarno (1995), semakin sedikit kandungan kadar air dalam bahan maka kemungkinan kerusakan bahan oleh mikroorganisme akan semakin kecil. Kadar air mempengaruhi daya tahan suatu bahan dan menunjukkan kestabilan serta indeks mutu bahan pangan. Kandungan air dalam bahan akan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap serangan mikroorganisme.

Bakto agar yang diperoleh melalui pengeringan drum, kadar airnya dipengaruhi oleh tekanan uap, suhu permukaan drum, dan waktu kontak (Indriani 2000). Kadar air yang dihasilkan oleh pengering drum memiliki nilai yang rendah karena tekanan uap yang tinggi, suhu permukaan drum yang lebih tinggi, dan waktu kontak sehingga penguapan air yang terjadi lebih banyak. Bakto agar yang diperoleh dengan pengering oven memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengering drum dan semprot. Pengering oven menggunakan suhu yang tidak terlalu tinggi yaitu pada suhu 50oC, sehingga jumlah air yang terdapat pada bahan tidak teralu banyak teruapkan seperti pada jenis pengering lainnya.

Bakto agar yang diproses dengan pengering semprot, kadar airnya dipengaruhi oleh suhu inlet

dan outlet pada pengering semprot. Suhu inlet yang tinggi menentukan kapasitas dari pengeringan.

Dengan suhu inlet yang lebih tinggi, maka efisiensi panas dari pengering akan semakin tinggi pula, dan jumlah air yang diuapkan akan semakin banyak. Walaupun efisiensi yang tinggi akan tercapai bila suhu inlet semakin tinggi, namun ada batasan suhu tertinggi yang masih dapat digunakan untuk dapat menghasilkan produk terbaik. Peningkatan suhu pada outlet akan menurunkan kandungan air pada aliran udara pengering konstan (Indriany 2000).

4.2.3 Kadar Abu

Nilai kadar abu yang diperoleh berkisar antara 4.39-6.26%. Bakto agar yang dihasilkan dari perlakuan pengering oven, semprot, dan pengering drum adalah 4.39%, 6.26%, dan 5.03%. Analisis ragam pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa semua perlakuan pengeringan baik pengering oven, pengering semprot, atau pengering drum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar abu pada bakto agar yang dihasilkan. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa perlakuan pengering oven berbeda signifikan dengan perlakuan pengering semprot dan pengering drum.

Abu atau mineral merupakan komponen yang tidak mudah menguap pada waktu pembakaran dan pemijaran senyawa organik atau bahan alam, sedangkan kadar abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral sebagai hasil pembakaran bahan organik (Fardiaz 1986). Kadar abu yang terkandung dalam suatu produk menunjukkan tingkat kemurnian produk tersebut. Tingkat kemurnian dipengaruhi oleh komposisi dan kandungan mineral. Unsur-unsur mineral seperti natrium, khlor, kalsium, fosfor, magnesium, belerang, dan sebagainya, yang dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Pada proses pembakaran, bahan-bahan organik akan terbakar, sedangkan zat anorganik tidak terbakar tapi membentuk abu (Abdullah 2004).

(32)

4.2.4 Nilai pH

Nilai pH media pertumbuhan mikroorganisme sangat mempengaruhi jasad renik yang dapat tumbuh. Jasad renik pada umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6 dan mendekati netral. Bakto agar yang dihasilkan oleh perlakuan pengering oven, pengering semprot, dan pengering drum menghasilkan nilai pH 5.58, 5.96, dan 5.73.

Analisis ragam pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa semua perlakuan pengeringan baik pengering oven, pengering semprot, dan pengering drum tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai pH pada bakto agar yang dihasilkan. Berdasarkan data tersebut, nilai pH tidak memberikan pengaruh terhadap jenis pengringan, hal ini disebabkan oleh seluruh proses ekstraksi menggunakan praperlakuan yang sama yaitu perendaman dengan larutan asam asetat 1%.

Standar mutu nilai pH agar bakto serva yang ditetapkan dalam ISO 9001 berkisar antara 5.5-7 (Gelrite 2003 dalam Abdullah 2004). Berdasarkan data hasil pengujian, nilai pH yang dihasilkan dari ketiga jenis pengering berkisar antara 5.58-5.96, sehingga nilai pH yang dihasilkan oleh ketiga perlakuan pengeringan ini sudah memenuhi standar bakto agar yang sudah komersial yaitu mendekati netral.

4.2.5 Kadar Sulfat

Sulfat merupakan salah satu zat pengotor dalam agar-agar yang dapat menghambat proses terbentuknya gel. Penurunan kadar sulfat dalam penelitian ini dilakukan dengan perlakuan sebelum ekstraksi yaitu dengaan proses perendaman dengan larutan asam asetat 1%. Selain itu, penurunan kadar sulfat juga dilakukan dengan penambahan absorben kitosan sebanyak 1% dalam filtrat agar selama 45 menit pada tahap pemurnian.

Berdasarkan data hasil pengujian, kadar sulfat yang dihasilkan oleh perlakuan pengering oven adalah 1.86%. Pada perlakuan pengering semprot kadar sulfat yang dihasilkan adalah 3.82%, sedangkan kadar sulfat yang dihasilkan oleh pengering drum adalah 3.48%. Pada pengujian ini, kontrol yang berupa bakto agar Difco juga diuji kadar sulfatnya. Hasil pengujian kadar sulfat pada kontrol bakto agar Difco adalah 0.73%.

Analisis ragam pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa semua perlakuan pengeringan baik pengering oven, pengering semprot, maupun pengering drum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar sulfat pada bakto agar yang dihasilkan. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan dengan menggunakan jenis pengering oven berbeda signifikan dengan jenis pengering semprot dan pengering drum. Pada pengering semprot dan pengering drum, filtrat bakto agar berkontakan dengan suhu yang cukup tinggi, diduga dapat berpengaruh pada kadar sulfat yang dihasilkan. Meskipun pengeringan dilakukan dengan suhu tinggi, namun waktu kontak alat pengering dengan filtrat bakto agar cukup singkat sehingga sulfat yang tertinggal pada filtrat ikut terbawa pada tepung bakto agar.

(33)

Kadar sulfat dalam agar dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis dan asal rumput laut, metode ekstraksi, serta umur panen. Peningkatan umur panen dapat memberi respon terhadap penurunan kandungan sulfat (Suryaningrum 1988). Pro

Gambar

Gambar 1. Rumput Laut jenis Gracilaria verrucosa
Tabel 1. Kandungan kimia rumput laut kering
Tabel 3. Standar Mutu Agar-Agar
Tabel 5. Unit Gula Penyusun Agar-Agar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tepung rumput laut yang dihasilkan interaksi bahan perendam dan alat pengering berengaruh sangat nyata (p&lt;O.Ol ) terhadap kadar air, kadar abu, kadar

menggunakan terung ungu. Parameter yang digunakan untuk mengevaluasi mutu keripik yang dihasilkan meliputi rendemen, kadar air, lemak, protein, kadar abu dan

Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap mutu pakan alami yang dihasilkan meliputi beta karoten, asam folat, minyak dan lemak, kadar lemak, lemak tak jenuh, protein, kadar

for an hour and then washed by running water. Simplex seaweed powder had extracted by distilled water for 45 minutes on pH=5 with adding 3% of acetic acid, then filtered it.

Sedangkan bakteri Gram negatif memiliki kandungan lipid yang lebih tinggi pada dinding sel dan lipid tersebut dapat larut dalam alkohol dan aseton. Larutnya lipid oleh zat pemucat

Parameter uji yang diamati selama penelitian meliputi kualitas rumput laut (rendemen agar, Clean Anhydrous Weed (CAW), kadar air, serat kasar, dan kadar abu), agar (viskositas,

menggunakan terung ungu. Parameter yang digunakan untuk mengevaluasi mutu keripik yang dihasilkan meliputi rendemen, kadar air, lemak, protein, kadar abu dan

Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap mutu pakan alami yang dihasilkan meliputi beta karoten, asam folat, minyak dan lemak, kadar lemak, lemak tak jenuh, protein, kadar