• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : MERSI MEILINA

DAFTAR GAMBAR

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Proses Penciptaan Pengetahuan Organisas

Polanyi seorang ahli Kimia merupakan orang pertama yang memperkenalkan bahwa pengetahuan terdiri dari dua jenis, yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge (Sangkala, 2007).

1. Tacit knowledge (pengetahuan tacit)

Tacit knowledge merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dan sangat sulit untuk diformalisasikan, sulit untuk dikomunikasikan atau dibagi dengan orang lain. Pemahaman yang melekat di dalam pengetahuan individu tersebut masih bersifat subjektif. Pengetahuan yang dimiliki oleh individu tersebut masih dapat dikategorikan sebagai intuisi dan dugaan. Tacit knowledge berada

dan berakar di dalam tindakan maupun pengalaman seseorang, termasuk idealisme, nilai-nilai maupun emosionalnya. Tacit knowledge merupakan pengetahuan yang bersifat pribadi dan juga sangat susah dibentuk. Selain itu, juga sulit dikomunikasikan atau dibagi kepada orang lain.

Tacit knowledge memiliki dua dimensi. Pertama, yang disebut dengan dimensi teknis, yang mencakup berbagai macam keterampilan atau keahlian yang sulit diformalkan. Elemen dimensi teknis ini sering kali diistilahkan dengan terminologi “know-how, keahlian dan keterampilan”. Dimensi ini sangat subjektif dan pemahaman yang dimiliki oleh seseorang tersebut sangat bersifat pribadi, intuitif, dugaan, dan inspirasi yang muncul dari pengalaman. Oleh karena itu, dimensi ini lebih berdimensi pengalaman. Kedua, yang disebut dengan dimensi kognitif. Dimensi ini terdiri dari kepercayaan, persepsi, idealisme, nilai-nilai, emosi, dan mental model sehingga dimensi ini tidak mudah diartikulasikan. Dimensi ini membentuk cara individu menerima dunia sekelilingnya serta menunjuk kepada kesan atau gambaran seseorang terhadap realitas.

2. Explicit knowledge (pengetahuan eksplisit)

Explicit knowledge sangat berbeda dengan tacit knowledge karena explicit knowledge dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata, dapat dijumlahkan serta dapat dibagi dalam bentuk data, formula ilmu pengetahuan, spesifikasi produk, manual-manual, dan prinsip-prinsip universal. Pengetahuan ini senantiasa siap untuk ditransfer kepada orang lain secara formal dan sistematik.

Tacit knowledge dan explicit knowledge diciptakan oleh individu yang ada di dalam organisasi. Organisasi pada dasarnya tidak dapat menciptakan pengetahuan tanpa individu-individu yang ada dalam organisasi. Fungsi organisasi adalah memberi dukungan kepada kreativitas individu yang ada di dalam organisasi atau menyediakan suatu konteks bagi individu untuk menciptakan pengetahuan. Penciptaan pengetahuan harus dipahami dalam terminologi suatu proses yang secara organisasional memperbesar kemungkinan penciptaan pengetahuan individu dan mengkristalisasikan pengetahuan tersebut sebagai bagian dari jaringan pengetahuan organisasi.

17   

Berbagai pendekatan yang memungkinkan pengetahuan individual dapat diperbesar atau diperluas dan dinilai di dalam organisasi dapat dilakukan dalam beberapa langkah (Nonaka, 2000). Proses tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.

Gambar 2. Proses Penciptaan Pengetahuan Organisasi (Nonaka, 2000)

1. Memperluas dan Mengembangkan Pengetahuan Pribadi

Penggerak utama proses penciptaan pengetahuan di dalam organisasi adalah individu yang berada di dalam organisasi. Individu-individu tersebut mengakumulasi pengetahuan tacit melalui pengalaman yang mereka miliki. Kualitas pengalaman tacit dipengaruhi oleh dua hal penting, yaitu faktor keragaman pengalaman individu dan kualitas pengetahuan terhadap pengalaman yang merupakan penjelmaan pengetahuan ke dalam komitmen pribadi yang telah lama melekat di dalam pengalaman itu sendiri.

2. Berbagi Pengetahuan Tacit

Salah satu cara mengimplementasi penciptaan pengetahuan dalam organisasi adalah dengan menciptakan self-organizing team, dimana anggota organisasi berkolaborasi untuk menciptakan konsep baru. Self-organizing team yang dibentuk merupakan tim yang anggota-anggotanya berasal dari berbagai fungsi. Keragaman asal anggota tim sangat penting bagi organisasi dalam rangka memutuskan kapan dan bagaimana menentukan bidang interaksi, dimana dan kapan individu dapat berinteraksi. Self-organizing team dapat memicu penciptaan pengetahuan organisasi melalui dua proses, yaitu pertama, organisasi

Enabling Condition Intention Chaos/Fluctuation Autonomy Redundancy Requisite Variety Conceptualization Networking Knowledge Justification Enlaring Individual Knowledge Sharing Tacit Knowledge Crystallization

memfasilitasi tumbuhnya saling percaya diantara anggota organisasi dan mempercepat terciptanya perspektif yang secara eksplisit berasal dari anggota organisasi itu sendiri yang dikenal dengan pengetahuan tacit. Kedua, berbagi perspektif implisit yang dikonseptualisasikan melalui dialog yang kontinyu diantara anggota organisasi. Berbagi pengalaman juga mampu memfasilitasi penciptaan perspektif umum yang dapat dibagi oleh anggota tim sebagai bagian dari pengetahuan tacit masing-masing.

3. Pengonseptualisasian

Setelah tercipta saling percaya diantara anggota organisasi dan telah terbentuk secara implisit perspektif yang sama melalui berbagi pengalaman, tim selanjutnya memerlukan pengartikulasian perspektif melalui dialog yang kontinyu. Mode yang dominan dalam pengubahan pengetahuan dalam tahap ini adalah eksternalisasi. Teori organizational learning telah banyak memberikan perhatian terhadap proses ini. Perspektif tacit diubah ke dalam bentuk konsep eksplisit yang dapat dibagi kepada tim. Dialog secara langsung memfasilitasi proses ini dengan menggiatkan eksternalisasi pada level individual. Dialog dalam bentuk tatap muka merupakan salah satu upaya membangun konsep karena hal ini memberikan peluang bagi seseorang untuk menguji asumsi maupun hipotesisnya. Agar dialog tersebut produktif, dialog harus dilakukan oleh berbagai macam orang dan bersifat temporer sehingga ada ruang untuk perbaikan dan negosiasi serta para peserta dalam dialog harus dapat mengekspresikan ide-idenya secara bebas dan jujur.

Upaya konseptualisasi tidak hanya diciptakan melalui metode deduktif dan induktif, tetapi juga abduktif. Abduktif memiliki peranan penting di dalam proses konseptualisasi. Deduksi dan induksi secara vertikal berorientasi kepada proses memberi alasan, sementara abduksi merupakan perluasan secara lateral dari alasan dimana berpusat kepada penggunaan metafora-metafora. Biasanya proses induktif dan deduktif digunakan ketika sebuah pemikiran atau image direvisi atau memberi makna terhadap sebuah konsep baru.

4. Pengkristalisasian

Kristalisasi dapat dipandang sebagai proses dimana berbagai macam bagian atau departemen di dalam organisasi menguji realitas dan penerapan

19   

konsep yang diciptakan oleh tim. Proses ini biasanya difasilitasi biasanya oleh apa yang disebut dengan kegiatan percobaan. Kegiatan ini merupakan proses sosial dimana terjadi pada level kolektif yang biasanya disebut dengan dinamika hubungan kerja sama atau sinergis antara berbagai fungsi dan departemen dalam organisasi. Hubungan ini cenderung dapat dilakukan dengan efektif apabila tersedia informasi yang cukup. Jika tidak tersedia informasi yang cukup biasanya inisiatif dilakukan oleh para ahli yang dianggap memiliki informasi dan pengetahuan yang lebih.

Penciptaan pengetahuan berlangsung dalam interaksi para anggota tim untuk selanjutnya dikristalisasi dalam bentuk yang lebih konkrit, misalnya berupa produk, konsep, atau sistem. Kristalisasi ini merupakan bentuk pengubahan pengetahuan yang kegiatannya diistilahkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) sebagai model konversi internalisasi. Proses kristalisasi merupakan proses sosial yang terjadi pada tingkatan kolektif yang terealisasi melalui apa yang disebut “dynamic cooperative relation or synergetics” diantara berbagai fungsi dan departemen dalam organisasi.

5. Penilaian Pengetahuan

Penilaian merupakan tahap terakhir menyatukan dan menyaring apakah pengetahuan yang diciptakan dalam organisasi benar-benar bermanfaat bagi organisasi dan masyarakat. Artinya penilaian sangat menentukan kualitas pengetahuan yang diciptakan dan mencakup kriteria atau standar penilaian. Persoalan yang terkait dengan standar penilaian ini antara lain terkait dengan biaya, keuntungan minimalnya, tingkat dimana produk dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan perusahaan, termasuk nilai yang dijanjikan yang di luar fakta atau pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Hal ini bisa berupa opini yang lebih luas dan lebih dari sekedar penciptaan pengetahuan, misalnya visi organisasi dan persepsi yang terkait dengan perjalanan, romantisme, dan estetikanya. Di dalam organisasi biasanya yang paling menentukan adalah standar penilaian. Standar penilaian harus dilakukan dalam terminologi konsistensi dengan sistem nilai yang paling tinggi. Kemampuan pimpinan memelihara keberlanjutan refleksi diri dalam perspektif yang lebih luas sangat diperlukan apabila tetap menginginkan kualitas penciptaan pengetahuan terjadi.

6. Menjejaringkan Pengetahuan

Selama tahap penciptaan pengetahuan organisasi, konsep yang telah diciptakan, dikristalisasikan, selanjutnya dinilai dalam organisasi dan diintegrasikan ke dalam basis pengetahuan organisasi untuk disebarkan ke seluruh jaringan organisasi. Pengetahuan organisasi yang telah tercipta tersebut selanjutnya dikelola kembali melalui proses interaksi antara visi organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya dengan konsep baru yang telah diciptakan. Untuk menjembatani antara konsep besar dengan konsep yang baru tercipta diperlukan suatu konsep menengah (middle range concept). Jadi konsep menengah ini menghilangkan ketidakjelasan konsep besar ke tingkat konsep baru maupun sebaliknya. Kadang-kadang konsep besar tidak dimengerti dengan baik pada setiap tingkatan, kecuali konsep menengah memperjelas konsep yang sudah tercipta tersebut. Upaya memperjelas tersebut dilakukan melalui penciptaan atau penyusunan kembali konsep besar yang diberikan oleh pimpinan puncak serta konsep menengah yang diciptakan oleh pimpinan menengah. Interaksi ini dimediasi secara nyata dalam bentuk penyatuan informasi yang merupakan dinamika lain aktivitas self-organizing team untuk menjejaringkan pengetahuan yang terus-menerus menciptakan informasi dan makna baru.

Hal yang perlu dicatat bahwa proses penciptaan pengetahuan tidak pernah berakhir dan merupakan proses yang berputar baik yang terjadi dalam organisasi maupun dengan lingkungannya, karena lingkungan merupakan sumber pemicu penciptaan pengetahuan yang digambarkan dengan reaksi produk oleh pelanggan, pesaing, dan pemasok. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi berlangsung bagaikan sebuah siklus yang dimulai dari memperbesar pengetahuan individu, berbagi pengetahuan tacit dan konseptual, membangun tim mengelola dirinya sendiri, berbagi pengalaman, menyusunnya ke dalam bentuk konsep, mengkristalisasikan, menilai kualitasnya, menjaringkan ke seluruh organisasi baik internal maupun ke seluruh lingkungan organisasi.

Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), proses penciptaan pengetahuan organisasi terjadi karena adanya interaksi (konversi) antara pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit. Kedua jenis pengetahuan tersebut dapat dikonversi melalui

21   

empat jenis proses konversi, yaitu sosialisasi (socialization), eksternalisasi (externalization), kombinasi (combination), dan internalisasi (internalization). Keempat jenis proses konversi ini disebut proses SECI seperti yang dilukiskan pada Gambar 3.

Tacit Knowledge ke Explicit Knowledge   Tacit Knowledge dari Explicit Knowledge

Gambar 3. Model Konversi Pengetahuan (Nonaka & Takeuchi, 1995)

1. Sosialisasi (socialization)

Sosialisasi adalah pengubahan pengetahuan dari pengetahuan tacit ke pengetahuan tacit memungkinkan pengetahuan tacit diubah melalui interaksi antar individu. Kunci untuk mendapatkan pengetahuan tacit, yaitu dengan pengalaman. Tanpa melalui cara berbagi pengalaman akan sulit bagi orang yang memiliki pengetahuan tacit tersebut ditransfer ke orang lain. Hal ini sangat terkait dengan adanya unsur-unsur emosional dan konteks maupun nuansa.

2. Eksternalisasi (externalization)

Eksternalisasi adalah pengubahan pengetahuan dari pengetahuan tacit ke pengetahuan eksplisit melalui proses dialog dan refleksi. Melalui cara ini pengetahuan terkristalisasikan sehingga dapat didistribusikan ke pihak lain dan menjadi basis bagi pengetahuan baru. Pada tahap ini, pengetahuan tacit diekspresikan dan diterjemahkan menjadi metafora, konsep, hipotesis, diagram, model atau prototipe sehingga dapat dimengerti oleh pihak lain.

3. Kombinasi (combination)

Kombinasi adalah pengubahan pengetahuan dari pengetahuan eksplisit ke pengetahuan eksplisit terjadi melalui proses pengombinasian beragam pengetahuan eksplisit yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang mempertukarkan

Sosialisasi

Internalisasi

Eksternalisasi

dan mengombinasikan pengetahuan melalui semacam satu mekanisme pertukaran seperti pertemuan dan percakapan. Rekonfigurasi informasi yang ada tersebut selanjutnya disortir, dikategorisasi, dan dikontekstualisasikan kembali menjadi pengetahuan baru.

4. Internalisasi (internalization)

Internalisasi adalah pengubahan pengetahuan dari pengetahuan eksplisit ke pengetahuan tacit. Proses pembelajaran dan akuisisi pengetahuan yang dilakukan oleh anggota organisasi terhadap pengetahuan ekplisit yang disebarkan ke seluruh organisasi terhadap pengalaman sendiri sehingga menjadi pengetahuan tacit anggota organisasi.

Berdasarkan teori Nonaka & Takeuchi (2000), proses penciptaan pengetahuan dapat terjadi apabila difasilitasi oleh aset-aset pengetahuan. Adapun tipe-tipe aset pengetahuan, yaitu:

1. Aset Pengetahuan Eksperiensial (experiential asset)

Aset pengetahuan eksperiensial merupakan pengetahuan tacit yang dibangun melalui kebersamaan, pengalaman bersama dalam organisasi atau pengalaman bekerja sama diantara karyawan, pelanggan, pemasok, atau organisasi afiliasi. Aset pengetahuan eksperiensial dibagi lagi menjadi empat tipe pengetahuan, yaitu pengetahuan emosional, pengetahuan fisik, pengetahuan energetik, dan pengetahuan ritmik.

2. Aset Pengetahuan Konseptual (conceptual asset)

Aset pengetahuan konseptual merupakan pengetahuan eksplisit yang diartikulasikan melalui pencitraan, simbol, dan bahasa. Aset ini didasarkan pada persepsi pelanggan dan karyawan. Aset konseptual biasanya mempunyai bentuk tanwujud dan lebih mudah diartikulasikan dibanding aset eksperiensial, tetapi masih sulit dipahami apa yang dirasakan oleh pelanggan atau anggota organisasi. 3. Aset Pengetahuan Sistemik (systemic asset)

Aset pengetahuan sistemik merupakan pengetahuan eksplisit yang tersistemasi dan terkemas, seperti teknologi yang dirumuskan eksplisit, spesifikasi produk, manual atau informasi terdokumentasi tentang pelanggan dan pemasok. Termasuk juga proteksi hak intelektual secara legal, seperti lisensi atau paten.

23   

4. Aset Pengetahuan Rutin (routine asset)

Aset pengetahuan rutin merupakan pengetahuan tacit yang sudah rutin menyatu dan menjadi aturan dalam kegiatan atau praktik organisasi. Keterampilan, kegiatan rutin, dan budaya organisasi yang dilakukan sehari-hari. Melalui praktik berkesinambungan, pola pikir atau tindakan tertentu dikuatkan dan dilakukan bersama oleh anggota organisasi.

2.5 Penelitian Terdahulu

Purwanto (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor- Faktor Pendukung Proses Penciptaan Pengetahuan Organisasi di Koperasi Susu” meneliti enam koperasi susu, yaitu KPSBU, SAE, KUD Warga Mulya, KUD Jatinom, KUD Cepogo, dan KUD Musuk. Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan organisasi pada koperasi susu di Indonesia dan (2) menganalisis faktor-faktor pendukung bagi proses penciptaan pengetahuan koperasi susu di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data primer, yaitu berasal dari kuesioner dan wawancara dengan karyawan di enam koperasi serta data sekunder berasal dari data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pengumpul data primer maupun oleh pihak lain. Selain itu data sekunder berasal dari studi pustaka yang berkaitan dengan bahasan penelitian seperti buku, jurnal, dan internet. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (visi bersama, pengelolaan percakapan, penyebaran pengetahuan internal, dan variabel dummy) terhadap variabel dependen (pengetahuan organisasi koperasi susu).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan (keseluruhan), visi bersama, pengelolaan percakapan, dan penyebaran pengetahuan internal memiliki pengaruh nyata terhadap pengetahuan organisasi koperasi susu. Namun secara parsial, ternyata hanya pengelolaan percakapan dan penyebaran pengetahuan internal yang memiliki pengaruh nyata terhadap pengetahuan organisasi koperasi susu. Variabel dummy D1 dan D4 juga berpengaruh nyata terhadap pengetahuan organisasi koperasi susu. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum tingkat pengetahuan organisasi Koperasi KPSBU dibandingkan dengan Koperasi SAE dan Koperasi Warga Mulya adalah lebih tinggi. Dan secara umum, karakteristik

responden yang dilihat dari jenis kelamin, pengalaman, pendidikan, dan gaji tidak berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan organisasi koperasi susu. Untuk ukuran kebaikan model masih kurang bagus karena nilai koefisien determinasi (R2) = 29,7 persen yang artinya keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor X dalam model regresi di atas hanya 29,7 persen, sedangkan sisanya 70,3 persen dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

Sukmawati et al (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Model Kontribusi Aset Pengetahuan dalam Memfasilitasi Proses Penciptaan Pengetahuan pada Koperasi Susu” bertujuan untuk (1) mengidentifikasi aset-aset pengetahuan yang dimiliki Koperasi Susu dan (2) menganalisis peran aset-aset pengetahuan tersebut dalam proses konversi pengetahuan organisasi yang mendorong inovasi pada Koperasi Susu di Indonesia. Dalam penelitian ini, pengumpulan data primer berupa pendapat peternak, karyawan koperasi, dan pengurus koperasi dilakukan di tiga koperasi primer yang merupakan anggota Gabungan Koperasi Susu di Indonesia (GKSI), yaitu Koperasi Peternak Sapi Perah (KPS) Bogor di Bogor, Koperasi Susu Sinau Andandani Ekonomi (SAE) Pujon di Malang, dan Koperasi Sukamulya, Wates di Kediri. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan meminta 105 orang responden mengisi kuesioner. Sampel diambil secara acak sederhana (random sampling). Data sekunder meliputi anggota koperasi, data produksi, dan data penunjang lain. Penelitian ini menggunakan analisis korelasi kanonikal untuk mengetahui hubungan timbal balik antara empat kategori aset pengetahuan (aset pengetahuan eksperiensial, aset pengetahuan konseptual, aset pengetahuan sistemik, dan aset pengetahuan rutin) dengan empat model proses penciptaan pengetahuan (sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dibanding aset pengetahuan lainnya, aset pengetahuan konseptual memiliki korelasi yang lebih besar terhadap proses sosialisasi dan eksternalisasi. Aset pengetahuan rutin memiliki korelasi lebih besar terhadap proses eksternalisasi. Aset pengetahuan rutin ini merupakan pengetahuan tacit yang sudah menyatu dan menjadi aturan dalam praktik berkesinambungan dan pola pikir atau tindakan tertentu yang dikuatkan dan dilakukan bersama sehingga menjadi budaya organisasi. Aset pengetahuan eksperiensial memiliki korelasi lebih besar terhadap proses internalisasi dan

25   

kombinasi. Aset pengetahuan eksperiensial merupakan pengetahuan tacit yang dibangun melalui kebersamaan dan pengalaman bersama dalam organisasi atau pengalaman bekerja sama diantara karyawan, pelanggan, pemasok, atau organisasi afiliasi. Dibandingkan aset pengetahuan lainnya, pengetahuan sistemik terbukti memiliki korelasi paling lemah terhadap proses penciptaan pengetahuan. Aset pengetahuan sistemik merupakan aset pengetahuan yang bersifat pengetahuan eksplisit yang tersistemasi dan terkemas, seperti teknologi yang dirumuskan eksplisit, spesifikasi produk, manual atau informasi terdokumentasi tentang pelanggan dan pemasok, termasuk juga proteksi, dan hak kekayaan intelektual secara legal.

Raras (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Penerapan Manajemen Pengetahuan Untuk Menjadi Organisasi Pembelajar (Learning Organization) Studi Kasus Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia)” bertujuan untuk (1) mengkaji penerapan Manajemen Pengetahuan yang ada di Burung Indonesia dan (2) menganalisis gambaran pembelajaran organisasi yang ada di Burung Indonesia yang menjadi dasar organisasi untuk menilai kapasitas organisasi menjadi organisasi pembelajar (learning organization). Dua faktor digunakan dalam penelitian di Burung Indonesia untuk menilai penerapan manajemen pengetahuan. Dua faktor tersebut, yaitu kualitas pembelajaran di organisasi dan kualitas proses pengelolaan pengetahuan. Untuk melihat gambaran pembelajaran organisasi di Burung Indonesia yang merupakan organisasi non pemerintah digunakan organizational profile plot dari pembelajaran organisasi. Gambaran pembelajaran tersebut dilihat dari delapan fungsi kunci organisasi pembelajar, yaitu penciptaan budaya yang mendukung, pengumpulan pengalaman internal, pengaksesan pembelajaran eksternal, sistem komunikasi, mekanisme untuk menarik kesimpulan, pengembangan memori organisasi, pengintegrasian pembelajaran ke dalam strategi dan kebijakan, serta penerapan pembelajaran.

Hasil penelitian untuk kualitas pembelajaran di Burung Indonesia diperoleh skor sebesar 7,4 menunjukkan bahwa Burung Indonesia telah memiliki dasar yang baik untuk menjadi organisasi pembelajar, sedangkan untuk kualitas proses pembelajaran di Burung Indonesia diperoleh skor sebesar 46 yang

menunjukkan bahwa Burung Indonesia telah memiliki beberapa karakteristik untuk menjadi organisasi pembelajar. Gambaran pembelajaran organisasi (organization profile plot) dilihat secara keseluruhan dan menurut kelima divisi yang ada di Burung Indonesia. Kelima divisi tersebut, yaitu Knowledge Center, Conservation Programme, Communication and Business Development, Finance, dan General Affairs and Administration. Jika dilihat secara keseluruhan dimensi yang memiliki nilai tertinggi adalah pengaksesan pembelajaran eksternal yang bernilai 14,26 sedangkan skor terendah berada pada dimensi memori organisasi yang bernilai 11,83. Dari gambaran pembelajaran di masing-masing divisi terlihat bahwa empat divisi memiliki skor tertinggi pada pembelajaran eksternal, sedangkan tiga divisi memiliki skor terendah pada memori organisasi dan dua divisi memiliki skor terendah pada budaya yang mendukung. Hasil gambaran pembelajaran tersebut digunakan Burung Indonesia sebagai dasar untuk merefleksikan pembelajaran yang telah ada dan dapat melihat kekuatan dan kelemahan organisasi di dalam pembelajaran tersebut.

Dokumen terkait