• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penerimaan Diri Subyek Dalam Teori Tahapan Kematian Kubler RossKubler Ross

METODE PENELITIAN

A. Persiapan penelitian

II. Reaksi subyek ketika pertama kali mengetahui status HIV Tabel 5

I.2 Reaksi subyek V

1. Proses Penerimaan Diri Subyek Dalam Teori Tahapan Kematian Kubler RossKubler Ross

a. Tahap pertama: penyangkalan dan pengasingan diri Tabel 6.

Reaksi tahap pertama: penyangkalan dan pengasingan diri

Subyek M Subyek V Tahap 1: penyangkalan dan mengasingkan diri

Tidak percaya dengan hasil tes kemudian melakukan konfirmasi test HIV. Subyek sempat pulang ke desa asal karena sakit dan bingung dengan apa yang hendak dilakukan.

Tidak percaya dan bingung dengan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Subyek sempat pulang ke kota asal selama beberapa waktu.

Ketika mengetahui status HIV untuk pertama kali, kedua subyek M & V menampakkan reaksi yang hampir sama. Mereka bingung, apa yang hendak dilakukan setelah diketahui bahwa mereka positif HIV. Penyangkalan terhadap kenyataan yang harus mereka hadapi juga tampak. Subyek M meski melewati proses konseling pre test tetap mengalami shockdengan status yang baru.

“Kode-kode pengambilan darah, sampel, itu kan pakai kode. Ya, aku masih hapal sekali, masih inget sekali. Itu...terus selanjutnya yaa...positif!

46

terus melakukan konseling lagi. Yaa... terus aku bingung to...sepulang dari Griya Lentera waktu itu aku bingung, stress kae lho....bingung kae lho. Aduh... bingungnya itu,”aku harus ngapain?” apa yang harus aku lakukan sementara aku kan menjadi pekerja seks? Kalau aku nggak kerja, aku mau makan apa? Kalau aku masih melakukan pekerjaanku sebagai PSK, aku juga punya resiko akan menularkan ke orang lain. Itu...sementara aku sudah tahu kondisiku. Itu pada awalnya bingungnya disitu lho...”

M kemudian mencoba untuk memastikan lagi kebenaran hasil test itu dengan melakukan tes konfirmasi. Tetapi hasilnya masih tetap positif. Penyangkalan terhadap kenyataan bahwa dirinya mengidap HIV juga diungkapkan secara terbuka pada konselornya, meski ia juga menyadari bahwa ini adalah akibat dari perilaku beresiko yang ia lakukan.

“Mmmm..ya...iya. nggak perasaan sih, tetapi saya ungkapkan ke konselor. Padahal saya main dengan IMS, main dengan virus, main-main dengan seks, bekerja sebagai PSK. Tetapi ketika saya buka hasilnya positif itu saya juga menanyakan,”masak sih mbak? Jangan-jangan salah..” Saya sempat nggak percaya. Pada akhirnya saya disarankan sama konselor kalau untuk konfirmasi, terus keduanya tetap ya wis, terima nasib. Tetapi penolakan tetap ada. Waktu itu penolakan ada, yaa... karena belum ada penjelasannya...yaa..penolakan. tetapi saya banyak menyadari main-main dengan virus, saya main-main dengan IMS.”

Subyek V yang mengetahui status HIV-nya tidak melalui proses yang baku, menunjukkan reaksi yang tidak jauh berbeda.

“Perasaan pertama karena aku isih blank..apa..ora sadar..justru setelah 2 minggu keluar dari rumah sakit, Aku terus drop. Aku terus woooo…mbingungi kae…arep ngomong salah, ora ngomong salah. Aku piye yo…malah ora mabuk…Cuma malah dadi… meneng kae. Neng Jogja. Aku malah ora mabuk, akeh menenge. Pas kuwi malah Aku resik, ora nganggo blas. Ana setengah tahun ora nganggo blas. Malah ora kepikiran. Pikire iki piye? Ngomong salah, ora ngomong salah. Ya kuwi, mentale drop banget.”

Ia baru merasa bingung dan serba salah dengan kenyataan yang harus dihadapi justru setelah keluar dari rumah sakit, ketika kondisi badannya sudah cukup sehat.

Kedua subyek kemudian mengambil keputusan yang sama untuk pulang ke tempat asalnya, sebagai sebuah bentuk pengasingan diri dari rutinitas perilaku beresiko yang dilakukan di Jogja. Mereka masih bingung dengan langkah apa yang akan diambil setelah mengetahui status HIV-nya.

b. Tahap kedua : Marah Tabel 7.

Reaksi tahap kedua : Marah

Subyek M Subyek V

Tahap 2: marah

Subyek menyalahkan diri sendiri karena

keputusannya untuk menjadi pekerja seks komersial.

Subyek merasa marah karena mendapat perlakuan diskriminasi dari rumah sakit tempat ia dirawat. Selain perlakuan itu, ia juga diusir dari rumah temannya ketika bertamu.

Pernah terlintas dalam pikirannya untuk menularkan virus pada orang lain.

48

Menurut Ross (1969) bila penyangkalan pada tahap pertama tidak tertahankan lagi, itu akan digantikan dengan rasa marah, gusar, cemburu dan benci. Hal itu tampak dalam reaksi kedua subyek dalam menghadapi kenyataan terinfeksi HIV,meski pada subyek V rasa marah ini agak dominan karenaia mengalami perlakuan diskriminasi.

Subyek M marah akan kenyataan tertular HIV. Ia merasa kecewa dengan keputusan untuk terjun ke dunia malam yang pernah ia buat dahulu yang berakibat tertular virus.

“Ada, maksude menyalahkan diri sendiri, coba aku ra nglonthe, kayak gitu lho…kayak nggethuni, coba aku ndisik ora keluar malam, mungkin tidak akan seperti ini. Itu juga ada rasa kemarahan ya itu…saya bilang sedikit, nggak banyak. Itu proses penerimaannya lebih cepat karena tingkat kemarahannya sedikit, tapi ya sempat marah.”

Tapi M menyadari bahwa hal ini adalah resiko dari keputusan yang sudah ia buat, sehingga ia dapat mengendalikan rasa marah itu.

“Dari resiko aku main dengan virus? Iya, itu resiko dari aku main-main dengan virus. Melakukan hubungan seks bebas.”

Reaksi agak berbeda ditampakkan oleh subyek V yang merasa marah lebih karena dokter menyampaikan status HIV-nya dihadapan orang lain. Terlebih lagi kemudian ia mengalami perlakuan diskriminasi di rumah sakit tersebut. Ia di pindah ke ruang isolasi dan suatu ketika selang infusnya copot dan darah menetes di beberapa tempat, tidak ada paramedis yang menolong hingga pagi hari.

“Yen diskriminasi kerasa banget! Kuwi aku dipindah diruang isolasi. Karena sebenere aku dikon pindah neng S ora gelem. SDM-nya emang nurut suster durung siap. Dadine, karena diadvokasi maring Bu E, dan aku kuwi kerep ceramah, dadi aku oleh kelonggaran, cuman aku tetep dipindah-pindah neng ruangan isolasi. Aku selama 2 minggu 4 kali pindah. Pokoke angger ruangan isolasi kosong, pindah rene, pindah rene, kuwi ping empat. Pas kuwi aku sempat…infusku sempat…eh iya..infusku sempat ucul. Kuwi getihe ngantek esuk. Dilap ora wani kok… maksude ya aku mikir,”apa nggak ada cleaning service?” ora ngerti ya…memang pagi baru di pel.”

Selain di rumah sakit, perlakuan diskriminasi juga dialami V di rumah salah satu temannya. Ia diusir oleh orangtua teman itu ketika bertandang ke rumah mereka. Bahkan salah satu kamar mandi yang pernah dipakai V selama beberapa waktu tidak digunakan oleh keluarga itu.

“Aku diusir saka omahe kancaku.tapi karena ya piye…wong tuwane dicritani kancaku yen aku positif. Terus karepe mungkin arep ngomongi anake aja dolanan narkoba. Tapi wong tuane ki kadung ngerti aku. Karepe bocah sing diomongi kuwi…arep masalah konseling..tapi wonge wis kadung wedi kae..terus aku diusir kae.”

V juga kehilangan seorang sahabat, karena ia ingin menjaga agar rumah tangga sahabatnya tidak terganggu. Ia khawatir jika istri sahabatnya mengetahui bahwa V positif HIV.

“Aku kelangan kanca siji mergane bojone wedhi, nek ngerti aku positif dhekne wedhi. Aku trima ngadoh merga dhekne wis nikah kok…malah ribut..mending aku kelangan kanca siji merga kuwi…kanca cedhak!” Ketika sendirian, pernah terlintas dalam pikiran V untuk menularkan virus kepada orang lain.

“Aku pemikiranku dadi dhewe karena ora eneng kanca liyane, wis tak tularke wae ben kancane akeh…ha..ha..ha..ha. Ya kuwi pemikiranku wis elek kae.”

50

c. Tahap ketiga:Tawar-menawar Tabel 8.

Reaksi tahap ketiga: tawar-menawar

Subyek M Subyek V

Tahap 3: tawar menawar

Subyek berjanji ikut dalam kampanye pencegahan HIV/AIDS

Subyek berjanji

menghentikan konsumsi narkoba, tetapi ternyata tidak berhasil.

Proses tahap ketiga ini menurut Kubler Ross adalah sebuah usaha untuk menunda kejadian yang tidak diharapkan. Proses ini biasanya tersirat dan terjadi hanya beberapa saat.

Subyek M berencana untuk terlibat dalam kampanye HIV/AIDS sebagai bentuk penebusan akan apa yang telah ia lakukan.

“Ada, tapi aku janjinya lain. Setelah terinfeksi HIV…kayak gitu…waktu itu aku berjanji pada diri sendiri dalam hati…kalau janjinya sih ingin ikut terlibat menanggulangi HIV; apa pun kampanyenya. Jadi biar memberi banyak info tentang HIV/AIDS. Jadi janjinya itu intinya biar saya aja, yang lain jangan. Ya walau pun belum banyak kan saya udah ikut-ikutan terlibat. Janjinya itu yang positif. Tapi kalo janji yang negatif itu gak ada, misalnya saya akan menularkan pada banyak orang…kayaknya aku ingin menebus dosa-dosaku…ha..ha..ha…yang selama ini menggunung didalam hidupku…bener...saya takut mati.”

Sementara subyek V tidak tampak serius dengan dengan janjinya untuk mengurangi konsumsi narkoba. Saat ayah V meninggal 1 bulan setelah

status HIV diketahui, ia sempat berjanji untuk tidak menggunakan narkoba lagi. Meski sebenarnya ia setengah hati ketika mengucapjanji itu. “Pas Papahku ora enek, aku krasa mak dheg! “Wis ya ora sah dolanan, wis dikubur sisan ambi Papah!” aku…aduh!!!

Kematian ayah V juga belum cukup membuatnya sadar untuk tidak mengkonsumsi narkoba. Beberapa waktu kemudian, karena pengaruh lingkungan yang semuanya pengguna narkoba, V kembali pada kebiasaanya bahkan ia sempat menjadi pengedar.

“Durung! Ha..ha..ha…saiki isih kaya kiye kok! Malah aku kumat meneh kok. Bar positif kuwi aku 6 wulanan clean, bar kuwi kumat meneh kok. Nek aku dasare wis nganggo. Lingkunganku ki nggon BD kabeh, malah sempat ngedarke…wedhus to..”

Suatu ketika ia tertangkap polisi dan harus menjalani tahanan di kantor polisi. Selepas dari tahanan, dalam keadaan sakaw ia memaksa kakaknya untuk mengambil barang (narkoba)

“Aku metu saka Polres ki aku kudune mulih, aku sakaw berat kae kok. Aku karo mas-ku. Mas-ku nganti tak ajak njupuk kok, nganti mas-ku,”iki terakhir ya!” “Iya!” jenenge junkie, terakhire……

d. Tahap keempat : Depresi Tabel 9.

Reaksi tahap keempat: depresi

Subyek M Subyek V

Tahap 4: depresi

Subyek mengalami depresi karena membayangkan kematian akibat AIDS

Subyek menjadi perokok berat dan sering melamun. Ia merasa ngeri karena

52

yang menakutkan. Hal itu dipicu oleh foto-foto yang menampakkan keadaan pengidap AIDS. Selain itu, subyek juga merasa takut jika mengalami

diskriminasi dari orang lain terkait status HIV-nya.

dalam benaknya

HIV/AIDS sama dengan kematian.

Reaksi tahap keempat yang dialami subyek adalah gejala depresi. Reaksi ini muncul ketika mereka menyadari bahwa tidak mungkin menghindari kenyataan bahwa mereka positif HIV.

Subyek V setelah mengetahui bahwa dirinya positif HIV, menjadi perokok berat selama 2 tahun. Ia sebetulnya bukan perokok berat. Terakhir kali ia merokok adalah ketika duduk di bangku SMP. Ia sebetulnya tidak menikmati rasa rokok dalam masa depresi ini. Ia hanya mencari kesibukan ketika sendiri. Subyek V juga berada dalam kondisi clean (tidak menggunakan narkoba) selama 6 bulan setelah positif.

“Aku piye yo…malah ora mabuk…Cuma malah dadi… meneng kae. Sing jelas aku dadi perokok. 2 tahun. Ya ngerokok pas positif kuwi. Malah ngantek 2 bungkus je sedina. Boros banget! Wis mulai…soale aku nek numpak mobil AC wis bingung..aduh kok ora isa ngerokok…”

Subyek V merasa bahwa ia sendirian dan tidak punya tempat untuk bercerita sehingga merokok menjadi semacam pelarian baginya. Menghadapi kenyataan bahwa dirinya positif HIV dan beberapa perlakuan

diskriminatif yang sebelumnya ia terima membuat V merasa serba salah dengan langkah yang akan diambilnya.

“Pertamane karena kuwi, aku stress kuwi, depresi. Pertama ki..neng ruang tamu kancaku, dhewe, ngerokok. Aku kerep dhewe. Jane durung bisa nikmati rokok, ming dienggo kesibukan dhewe.

Yaa…enggak. Cuma karena aku lebih senang sendiri waktu

itu…cenderung sendiri.”

Selain merasa sendirian, bayangan tentang HIV/AIDS yang sering digambarkan sebagai penyakit yang sangat mematikan juga sering mengganggu pikiran V. Sebelum status HIV-nya diketahui, V memang pernah melihat foto-foto pengidap HIV dalam kondisi yang menyedihkan yang sudah berada dalam fase AIDS. V sempat berpikir, dengan cara apa aku akan mati? Ketika melihat gambar-gambar semacam itu.

“Iya tapi yaa..mung sesuk aku matine piye? Kuwi..he..he..he, kuwi sempat. Tapi ya piye..ya wis lah, ora tak pikir banget. Nek tak pikir malah stress. Nek kuwi sih sempat,”wahh..iki malah lara kaya iki, piye aku mati?” kadang ya iya..kepikiran sempat iya. Apa lara sik apa piye? Dadine kuwi sempat kepikiran. Wah nek sesuk nganti kaya iki….ya mungkin iku ya karena ndhelok foto-foto kuwi ya…”

Perasaan ngeri jika harus menghadapi kematian juga muncul dalam pikiran V.

“Ya mung ngeri thok wae, nek misale kaya kuwi piye…Cuma paling kepikire suk matine kaya apa?ha..ha..ha..ha..mung kuwi thok!”

Rasa ngeri itu muncul karena saat itu V belum paham cara kerja virus HIV. Ia beranggapan bahwa HIV sama dengan AIDS dan jika mengidap

54

penyakit tersebut, kecenderungannya adalah meninggal dalam waktu yang singkat. Informasi itu ia dapatkan ketika membaca berita di media massa yang memuat tentang Odha yang meninggal. Sebagian besar Odha yang diberitakan meninggal adalah Odha yang sudah berada dalam fase AIDS. Sementara saat itu V belum memahami tahapan dalam fase AIDS sehingga ia berkesimpulan bahwa pengidap HIV pasti cepat meninggal dunia.

“Memang pas durung ngerti..iki HIV, prosese piye ki maksude CD4-e medhun iki ora dong. HIV ya AIDS iki kecenderungane ndang cepet mati. Karena aku macane ndilalahe sing ana neng media massa ndhisik to..nah ngertine kan wis mlebu masa AIDS. Dan aku kan durung ngerti, maksude tahap-tahapnya nggak tahu. Ya pikirane sempat kaya kuwi. Tapi pas wis ngerti ya ora. Pas durung ngerti ya memang iya! Aku dhewe iya, pikirku,”ah..iki dhelet engkas modhar!” iya!..ha..ha..ha..ha ngertine ya sing jelas ki Freddy Mercury, karena aku seneng musik, kae kan wis mlebu masa AIDS to.. Kuwi mikire ndang modhar, paling sedhela meneh! Ora kepikiran suwi.”

Subyek M mengalami sakit dan rambutnya kemudian rontok setelah ia tahu status HIV-nya. Selama 5 bulan awal ia tidak tahu harus melakukan apa. Bayangan tentang keadaan Odha yang berada dalam kondisi yang menyedihkan juga sering muncul dalam pikirannya.

“Awal-awale iya dan sangat banget....seperti... jangan-jangan aku seperti itu, jangan-jangan itu aku, jangan-jangan...kayak gitu intinya”

Gambaran tentang kondisi Odha yang mengerikan ia dapatkan dari buku-buku atau media lain yang menyajikan gambar-gambar mengenai Odha yang terkena infeksi oportunis. Gambar itu bagi M sangat mengerikan.

“Aha...iya! sangat mengerikan. Karena saat saya ikut pelatihan, ikut kampanye itu, mengenai gambar-gambar itu sangat..yang mengenai infeksi oportunistik sekali, yang sangat eeee.... dying-dying. Nek Odha ki wis Odha wasting. Terus saya punya pikiran saya akan seperti itu, nggak lama lagi akan seperti itu.”

Selain gambar yang mengerikan, pikiran tentang kemungkinan mengalami stigma dan diskriminasi juga membebaninya. Pernah terlintas dalam pikirannya bahwa ada kemungkinan ia akan mengalami pengusiran dari lingkungan dan dianiaya jika orang lain tahu statusnya. Ia membayangkan hal itu dapat saja terjadi pada dirinya, seperti kasus-kasus diskriminasi yang dialami Odha di daerah lain yang dimuat di media massa. Ia akhirnya berkeputusan untuk menutup rapat soal status HIV-nya.

“Ya! Itu pernah terlintas dan sangat membebani. Ih jangan-jangan...kalau orang lain tahu saya akan diusir, akan digebuki, saya akan dibakar... karena informasi itu karena media. Nek wong wis kena HIV kuwi dibakar. Ada kasus kena HIV/AIDS dibakar, ada kasus kena HIV digebuki massa, kayak gitu. Jadi terlintas dipikiran itu pernah. Tapi akhirnya kan aku bisu tho...meneng wae.”

Pikiran mengenai sakit yang mengerikan dan kemungkinan mengalami diskriminasi pada subyek M muncul ketika ia dalam kondisi yang lelah dan sendirian. Ketakutan-ketakutan itu kemudian terlintas dalam pikiran M

“Ya nggak...justru nek kepikiran itu pas saya capek mas...badan capek, tidur nggak bisa merem karena capek, banyak pikiran, nah itu lho malah pikiranku kemana-mana melayang-layang. Membayangkan yang sudah-sudah gitu lho...dalam arti membayangkan Odha-odha sing wasting....”

56

Penyesalan tentang jalan hidup yang ia jalani juga kadang timbul ketika M mengingat tentang masa lalu. Ia kadang merasa nelangsa, setelah melalui perjalanan hidup yang penuh perjuangan dan liku-liku, bukan hasilyang menggembirakan yang ia petik tetapi justru status sebagai Odha yang ia dapatkan.

“Yaa..ampun perjalanan hidup..aku kan kadang sok ngenes kuwi lho...kok ya ujung-ujunge ki kok ya...kopiahe..sebutane ki kok Odha..ngono kuwi lho... Kayane ki ora sepadan karo kehidupan masa laluku yang menyakitkan, kayak gitu lho mas! Yang seharusnya itu harus...harus diunduh karo buah segar kok predikate malah Odha. Kadang aku punya perasaan penyesalan yang abadi lah.... kalo dibilang melihat background kehidupanku yang menyedihkan, suka-duka...aku juga kadang-kadang pengin nangis, tapi ngapain sih urip kok ditangisi?”

e. Tahap kelima : Menerima Tabel 10.

Reaksi tahap kelima: Menerima

Subyek M Subyek V

Tahap 5: menerima

Subyek M kemudian memahami bahwa HIV/AIDS tidak sama dengan mati. Ia sudah siap lahir batin jika harus mati. Subyek mulai berani membuka status HIV-nya pada orang lain.

Subyek V mulai membuka status pada orang lain. Ia juga memahami bahwa HIV/AIDS tidak sama dengan siap dengan kematian.

Kedua subyek, M dan V, mempunyai waktu yang cukup untuk mulai menerima keadaan dirinya dengan status HIV positif. Pada awalnya memang mereka menyangka bahwa Odha pasti akan cepat meninggal

dunia dan dengan cara yang menyakitkan dan mengerikan. Seperti yang dituturkan subyek M,

“Bukan cuma masyarakat luas aja, saya sendiri pun seperti itu. Saya pikir, dulu, HIV itu sama dengan mati, AIDS,... kayak gitu....dan AIDS juga akan cepat mati. Tapi ternyata setelah saya banyak tahu tentang itu ya nggak seperti itu...jadi mungkin masyarakat perlu tahu bahwa HIV tidak sama dengan AIDS dan AIDS tidak sama dengan mati.”

Informasi yang memadai dan pengetahuan yang cukup mengenai HIV/AIDS sangat membantu subyek M dalam tahapan ini. Ia kemudian tahu bahwa salah satu kunci untuk mempertahankan hidup adalah dengan menjaga kondisi tubuh. Ia juga berusaha bersikap tegar dalam menghadapi kenyataan, ia melihat bahwa ada orang-orang lain yang kondisinya jauh lebih parah dari dirinya.

“ Tapi setelah tahu banyak malah sebaliknya. Dengan melihat teman-teman yang lain lebih parah daripada aku membuat aku percaya, bukan saya akan seperti...dalam arti tegar, tapi kalau bisa jangan sampai saya seperti itu dalam hal menjaga kesehatan, terapi, tapi kalo kita nggak biasa malah stress melihat gambar-gambar atau teman-teman yang sudah sakit, terkapar dan waktu itu ya aku sempat stress...”

Bayangan tentang memang pernah menghantui pikiran subyek M. Tapi dalam perjalannya, ia kemudian menemukan dan menyadari bahwa semua orang memang harus mati. Sebab kematian bisa bermacam-macam, tidak hanya karena HIV/AIDS.

“itu pernah terjadi...tetapi sekarang nggak...sudah siap lahir batin. Mikir setelah tsunami, semua orang pasti akan mati...tetapi yang nggak Odha pun akan mati.”

58

Subyek M masih sangat optimis bahwa suatu saat akan ditemukan obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS. M percaya bahwa Yang Maha Kuasa ketika memberikan penyakit pasti akan memberikan obatnya, meski ia tidak tahu kapan waktunya dan apakah dia akan menikmati obat itu. “ya nek sing kuwasa ngekek’i penyakit mesthi mengko yo ngekke’i obate…optimis banget.”

(ya jika Yang Maha Kuasa memberi penyakit, pasti nanti memberi obatnya)

Subyek M kemudian merasa lebih lega setelah ia dapat sedikit demi sedikit memilah-milah pikiran-pikiran yang menderanya. Ia optimis bahwa waktunya masih panjang.

“Nek aku, mikire semua orang akan mati, semua orang akan kesana. Tetapi setelah saya tahu ini bisa ditaruh disini, disini, malah jadi optimis bahwa saya akan panjang umur.”

Subyek V awalnya juga takut dengan bayangan kematian dan sakit yang berkepanjangan akibat HIV/AIDS. Tetapi dalam perjalanannya ia kemudian menemukan bahwa sebetulnya hal itu tidak terlalu menakutkan. Bahkan ia merasa bahwa sebetulnya efek secara langsung dari HIV belum ia rasakan.

“Setelah wis ngerti nah..ternyata malah dadi….oooo ternyata tidak, bukan sesuatu yang menakutkan seperti yang diperkirakan, seperti waktu pertama tahu ya justru aku wedhi tenan…wahh bajigur! Setelah ngerti

Dokumen terkait