• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI DESKRIPTIF TENTANG PROSES PENERIMAAN DIRI PADA ORANG DENGAN HIVAIDS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI DESKRIPTIF TENTANG PROSES PENERIMAAN DIRI PADA ORANG DENGAN HIVAIDS"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

YB. Anggono Susilo NIM : 999114069

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Karya ini aku persembahkan untuk

Keluargaku, teman-teman Odha &

semua pihak yang tengah berjuang,

mencurahkan pikiran,

(5)
(6)

vi ABSTRAK YB. Anggono Susilo

Studi Deskriptif Tentang Proses Penerimaan Diri Pada Orang Dengan HIV/AIDS Fakultas Psikologi

Universitas Sanata DharmaYogyakarta 2007

Mengadapi kenyataan mengidap penyakit yang membahayakan seperti HIV/AIDS bukanlah hal yang mudah. Bagi sebagian besar Orang dengan HIV/AIDS (Odha), mengidap penyakit ini berarti menghadapi bayangan kematian yang lebih cepat dari orang lain.

Kubler-Ross melalui teori Tahapan kematian-nya mengemukakan bahwa seorang individu akan melewati 5 fase spesifik menjelang kematian. Kelima fase tersebut adalah penyangkalan, kemarahan, tawar menawar, depresi dan penerimaan. Selain itu, konsep Rogers mengenai aktualisasi diri juga digunakan untuk melihat cara kedua responden menghadapi kenyataan bahwa mereka sudah terinfeksi HIV. Penelitian ini berusaha untuk memahami proses penerimaan diri pada 2 Odha dan bagaimana reaksi mereka ketika pertama kali mengetahui statusnya.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam (depth intervie). Data yang diperoleh melalui wawancara, diperiksa kembali kejelasan dan relevansi dengan permasalahan penelitian. Koding digunakan untuk membantu memetakan tema-tema yang muncul dalam proses penerimaan diri pada Odha.

(7)

vii

Self Acceptance Process on People Living With HIV/AIDS (a Descriptive Study)

Psychology Faculty

Sanata Dharma University, Yogyakarta

2007

It is not easy for someone to face the reality that they are infected by a deadly disease such as HIV/AIDS. For most people living with HIV/AIDS (PLWHA), being infected by this disease means that they are facing the death faster than other people. Kubler-Ross with the stages of death theory, said that someone will pass 5 spesifik phase before they died. They are: Denial, Anger, Bargaining, Depression ang Acceptance. Rogers theory on self actualization also used to see how these two PLWHA facing the truth that they are already infected by HIV. This research is trying to describe the self acceptance process on two PLWHA and how was their first time reaction when they knew that they are HIV positive.

Data gathering method that is used in this research is depth interview. Data analysis method that is used to analyze is qualitative data analysis,which is to analyze data that based on relevant quality of data and the main problem of this research. Coding is used to help organizing the theme which found in the self acceptance process.

(8)
(9)

ix

banyak masalah Odha yang masih sering terjadi ketika mengakses pusat layanan

kesehatan. Dalam proses penyelesaiannya, tentu saja ada beberapa kendala yang dihadapi, namun berkat kerja keras dan dukungan dari banyak pihak semuanya dapat diatasi dengan baik. Atas semua kebaikan tersebut dilembar ini juga penulis ingin

menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Ibu Lusia Pratidarmanastiti, M.Si, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

memberi masukan dan dukungan kepada saya hingga karya ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. Bp. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si, Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma.

3. Ibu Sylvia CMYM, S.Psi., M.Si. Kaprodi Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Mbak Nanik, Mas Gandung, Pak Giyono, Mas Muji, Mas Doni, dan semua staf/ karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu kelancaran administrasi dan studi saya selama ini.

5. Semua dosen di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

6. Mbak Christin dan Mas Ardhian untuk support yang tidak pernah ada habisnya.

7. Bapak dan Ibu untuk doa-doanya. Terimakasih untuk semuanya. 8. Mas Tom, Mbak Rina, Salila, Mbak Rita, Mbak Retno juga Mas Bayu.

9. Dyd, terimakasih untuk segala pengertian, dan kesediaan untuk berbagi dalam

(10)

x

10. Mbak Yani dan Mas Yayang, 2 orang sahabat yang telah memberi inspirasi untuk menyelesaikan penulisan karya ini. Semoga kalian mendapat tempat yang layak

disisi-Nya.

11. Kawan-kawan di Sanggar Anak Alam, Nitiprayan.

12. Mas Onny dan Mbak Christin, Haryo, Nandha dan Cacha, untuk tempat yang disediakan di waktu penat.

13. Lik No sekeluarga, yang setia menggarap sawah.

14. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu saya yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.

Saya sangat menyadari bahwa seketat apapun kontrol yang dilakukan pada setiap proses pasti masih saja ada hal-hal yang luput dari perhatian, begitu juga dengan karya ini yang pasti masih jauh dari sempurna. Untuk itu saya sangat

mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran demi perbaikan di masa mendatang. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Salam,

(11)

xi

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. v

ABSTRAK ………... vi

ABSTRACT ……… vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... viii

KATA PENGANTAR ………. ix

DAFTAR ISI ……… xi

DAFTAR TABEL ………... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...………... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang Masalah ...………. 1

B. Rumusan Masalah ……….... 7

C. Tujuan Penelitian ……….. 7

D. Manfaat Penelitian ………... 8

BAB II. DASAR TEORI ………. 9

A. Orang dengan HIV/AIDS (Odha) ... 9

1. Definisi Orang dengan HIV/AIDS (Odha) ...……... 9

2. HIV/AIDS ...………..…… 9

3. Tahap dan Gejala HIV/AIDS ...………... 10

4. Penularan dan Pencegahan ...……….... 11

5. Tes HIV... ……….... 13

6. Stigma dan Diskriminasi ...……. 16

B. Proses Penerimaan Diri ... 17

(12)

xii

2. Proses Penerimaan Diri Menurut Carl R. Rogers ... 19

C. Proses Penerimaan Diri pada Orang dengan HIV/AIDS ... 22

BAB III. METODE PENELITIAN ...………... 24

A. Jenis Penelitian ………...…. 24

B. Variabel Penelitian ...……….... 24

C. Definisi Operasional ... 24

D. Subyek Penelitian ...………. 24

E. Batasan Kajian Penelitian ... ……….. 25

F. Metode Pengumpulan Data ... 25

G. Prosedur Penelitian ... 26

H. Metode Analisis Data ... 27

BAB IV. HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN 29 A. Persiapan Penelitian ... 29

B. Deskripsi Penemuan ... 29

1. Latar Belakang Subyek ... 29

1.1 Subyek M ... 30

1.2 Subyek V ... 33

2. Reaksi dan proses penerimaan diri subyek ketika mengetahui status HIV ... 34

2.1 Reaksi Subyek M ... 35

2.2 Reaksi Subyek V ... 40

C. Pembahasan ... ... ... 45

1. Proses penerimaan diri subyek dalam teori tahapan kematian Kübler Ross ... 45

a. Tahap pertama : Penyangkalan dan pengasingan diri .... 45

b. Tahap kedua : Marah ... 47

c. Tahap ketiga : Tawar-menawar ... 50

d. Tahap keempat : Depresi ... 51

e. Tahap kelima : Menerima ... 56

(13)

xiii

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur ... 3

Tabel 2. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS/HIV Menurut Faktor Risiko .... 3

Tabel 3. Guideline Interview ... 27

Tabel 4. Profil masing-masing Subyek ... 30

Tabel 5. Reaksi subyek pertama kali mengetahui status HIV... 34

Tabel 6. Reaksi tahap pertama: penyangkalan dan pengasingan diri... 45

Tabel 7. Reaksi tahap kedua : Marah ... 47

Tabel 8. Reaksi tahap ketiga: Tawar-menawar ... 50

Tabel 9. Reaksi tahap keempat: Depresi ... 51

Tabel 10. Reaksi tahap kelima: Menerima ... 56

Tabel 11. Aktualisasi diri kedua subyek ... 61

L A M P I R A N

1. Guideline Wawancara

(15)

A. Latar Belakang Masalah

Sejak pertama kali HIV/AIDS dipublikasikan sudah sarat dengan stigma yang berujung pada diskriminasi terhadap mereka yang mengidap virus

tersebut. Awalnya, pada bulan Juni 1981, laporan pertama mengenai kasus yang menyerupai sindroma Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) dipublikasikan di Amerika Serikat. Laporan tersebut memuat kasus tentang

gejala penyakit yang tidak biasa yaitu pneumocystis pneumonia dan sarcoma Kaposi serta penurunan daya tahan tubuh yang tidak jelas sebabnya yang

ditemukan di kalangan lelaki homoseksual. Berbagai pihak merespon laporan tersebut, terutama media massa. Bagian yang mendapat porsi besar dalam berita adalah bagian yang menyebutkan para penderita adalah homoseksual.

Berita tersebut direspon oleh seorang pendeta evangelis melalui acara televisi di Amerika dengan mengatakan bahwa penyakit ini adalah penyakit kaum

pendosa. Sejak itu kaitan AIDS dengan homoseks menjadi topik diseluruh dunia. Pemuka-pemuka agama lainnya pun percaya bahwa AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan terhadap kaum homoseksual (Mohammad, 2003).

Saat penyakit ini ditemukan juga diantara perempuan pekerja seks di New York, semakin kuat alasan untuk mengaitkan AIDS dengan rusaknya

moralitas.

(16)

2

menular dengan banyak cara. Beban stigmatisasi ini antara lain berperan dalam penanggulangan dan pencegahan terhadap HIV menjadi lebih lambat

dibandingkan kecepatan penyebarannya. Di Indonesia, pejabat-pejabat pemerintah pernah menyanggah AIDS bisa masuk ke negara ini karena bangsa

ini adalah bangsa yang beragama dan ber-Pancasila. Banyak diantara kita yakin bahwa HIV/AIDS adalah penyakit orang asing atau turis, dan orang “baik-baik” tidak akan tertular. Sikap penyanggahan dan menyalahkan orang

lain masih terus berlangsung hingga saat ini. Banyak diantara kita yang tidak menyadari bahwa penyebaran HIV secara perlahan akan menggerogoti sumber

daya manusia yang masih berada dalam usia produktif, karena HIV/AIDS menyerang dengan sangat perlahan. (Mohammad, 2003)

Kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia ditemukan tahun 1987,

ketika seorang warga negara Belanda meninggal di Bali karena AIDS. Tahun berikutnya warga negara Indonesia yang pertama meninggal karena AIDS di

propinsi yang sama. Kasus-kasus baru terus bermunculan dan semakin hari semakin meningkat. Secara kumulatif pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS di Indonesia dari bulan April 1987 hingga 31 Juni 2007, terdiri dari: 5.813

kasus HIV dan 9.689 kasus AIDS, Jumlah kasus HIV dan AIDS: 15.502 dengan kematian: 2.118 orang. Dari total jumlah tersebut, kasus AIDS paling

(17)

Tabel 1

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur Golongan Umur AIDS AIDS/IDU

< 1 38 0

1 - 4 88 0

5 - 14 32 3

15 - 19 258 101

20 - 29 5219 3269

30 – 39 2688 1083

40 - 49 787 164

50 - 59 210 25

> 60 49 6

Tak Diketahui/ Unknown

320 107

Sumber: Ditjen PPM & PL Depkes RI, 31 Juni 2007,www.lp3y.org

Ket: AIDS/IDU: Jumlah kasus AIDS yang berasal dari IDU(intravenous drugs user)

Sementara, berdasarkan faktor risiko penularan, kasus paling banyak terjadi melalui hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik (intravenous drug user/IDU atau dikenal pula dengan istilah pengguna narkoba suntik yang

disingkat: penasun).

Tabel 2

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS/HIV Menurut Faktor Risiko Faktor Risiko AIDS

Heteroseksual 4079 Homo-Biseksual 397

IDU 4757

Transfusi Darah 10 Transmisi Perinatal 155 Tak Diketahui/

Unknown

291

Tak Disebut/ Not Reported

0

(18)

4

Tabel diatas sangat menarik karena kita dapat melihat dengan jelas bahwa kasus HIV/ AIDS yang paling banyak justru tidak terjadi di kalangan

homoseksual. Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS di Indonesia masih amat jarang dan sebagian besar berasal dari kelompok homoseksual. Sejak

pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam terutama akibat penularan melalui narkotika suntik. Data yang ada memperlihatkan bahwa epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah berada dalam tahap lanjut. Penularan

terjadi melalui berbagai cara, baik melalui hubungan homoseksual, heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen

darah, dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Infeksi HIV/AIDS juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar

odha berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika

semakin meningkat.

Di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan laporan dari Direktorat Jenderal PPM & PL Departemen Kesehatan, hingga 31 Juni 2007

tercatat jumlah kumulatif 102 kasus AIDS, 61 kasus diantaranya berasal dari penasun (pengguna narkoba suntik). Dari jumlah tersebut, tercatat 15 orang meninggal dunia.

(19)

istilah fenomena gunung es, yaitu kasus yang diketahui hanyalah sebagian kecil dari jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi. Lonjakan jumlah kasus

kumulatif HIV/AIDS secara tiba-tiba pada suatu daerah disebabkan oleh masa inkubasi HIV yang relatif lama. Kenyataannya, sebenarnya lebih banyak yang

terinfeksi daripada jumlah yang tercantum dalam statistik. Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan pernah memperkirakan bahwa dari satu kasus HIV positif di suatu wilayah yang tingkat prevalensi HIV-nya tinggi, terdapat

seratus kasus HIV lain yang tidak terdeteksi (Harahap, 2000).

Mitos, salah pengertian, stigma, diskriminasi serta berbagai perlakuan yang kurang mengenakkan bagi mereka yang terinfeksi HIV/AIDS

ternyata belum berubah dari sejak pertama kali virus ini ditemukan hingga saat ini. Stigma dan diskriminasi ini membuat banyak Orang dengan HIV/AIDS

(Odha) tidak mendapat hak-haknya sebagai manusia, misalnya dikeluarkan dari pekerjaan, dikucilkan dari pergaulan, mendapat perlakuan yang berbeda saat berobat dan sebagainya. Sebagai contoh, pada awal tahun 2007, 43 Odha

dilarang melakukan kegiatan pertemuan di hotel Fujita, Manokwari Provinsi Irian Jaya Barat. Alasan pihak manajemen hotel adalah pertemuan para Odha

itu akan membawa citra negatif pada hotel yang baru berdiri tiga bulan itu.

Kasus lain menimpa pasangan N dan S di Sulawesi Selatan. S adalah lelaki sehat yang secara sadar memilih N, perempuan yang HIV positif

(20)

6

Odha. Tak ada penjelasan lain dari pimpinannya, yang hanya mengatakan bahwa S terkena kasus sehingga tidak diperbolehkan lagi bekerja. Cercaan

dari orang tua dan kerabatnya juga harus dihadapi, tradisi mengunjungi orang tua seusai akad nikah berakhir tragis karena pengantin baru ini justru diusir

karena mereka dianggap membawa aib (Julianto, 2002; 319).

Ketertarikan penulis untuk membuat penelitian mengenai proses penerimaan diri pada Odha diawali dari cerita mengenai perlakuan

diskriminatif yang dialami oleh V, seorang Odha yang tinggal di Yogyakarta. Ketika itu ia sedang sakit dan dirawat disebuah rumah sakit swasta. Tanpa

sepengetahuannya, karena waktu itu ia dalam keadaan setengah sadar, darahnya diambil untuk dites. Petugas rumah sakit pun tidak meminta ijin kepada rekan V yang menjaga. Beberapa hari kemudian, ketika dokter

melakukanvisite,dihadapan keluarga V yang saat itu berada diruangan, dokter tersebut mengatakan bahwa V positif HIV. Setelah itu perlakuan yang

diterima V dari pihak rumah sakit sangat berbeda. Ia dipindahkan beberapa kali di ruang isolasi. Suatu kali jarum infus ditangan V letaknya bergeser sehingga mengakibatkan darah keluar dan jatuh berceceran di lantai, tidak ada

perawat yang membantu membenahi jarum atau pun sekedar membersihkan ceceran darah yang ada. Beberapa perawat tampak ragu-ragu dan takut bila

(21)

Bagi Odha, perlakuan diskriminatif dan stigma negatif dari masyarakat menjadi bayangan yang lebih menakutkan dan menyakitkan

dibandingkan virus HIV itu sendiri. Seseorang yang mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV, biasanya mengalami stres dan depresi karena selain

harus menghadapi bayangan stigma dan diskriminasi juga ada anggapan bahwa terinfeksi HIV sama dengan sebuah vonis kematian. Ketakutan-ketakutan itulah yang membuat relasi dengan orang lain menjadi agak

terhambat. Berangkat dari fenomena tersebut, saya ingin meneliti lebih jauh mengenai proses penerimaan diri Odha.

B. Rumusan Masalah

Masalah pokok penelitian ini saya rumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana reaksi Odha ketika pertama kali mengetahui statusnya? 2. Bagaimana proses penerimaan diri Odha?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan reaksi Odha pada saat mengetahui statusnya.

2. Mendeskripsikan proses penerimaan diri pada Orang dengan HIV/AIDS

(22)

8

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dalam

proses dalam pendampingan Odha oleh lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap Odha.

2. Manfaat Teoretis:

Bagi ilmu psikologi, penelitian ini dapat memberikan masukan bagi khasanah psikologi mengenai proses penerimaan diri khususnya pada

(23)

A. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

1. Definisi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

Orang yang terinfeksi HIV dalam disebutkan dalam bahasa Inggris PLWA (People Living with AIDS) sedangkan yang baru pada tahap

terinfeksi dan orang disekitarnya disebut PLWHA (People Living with HIV/AIDS). Di Indonesia, masing-masing kategori ini diberi nama Odha

(Orang dengan HIV/AIDS) dan Ohidha (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS), yaitu Odha sendiri, keluarga serta lingkungannya. Tetapi belakangan ini disepakati untuk hanya memakai istilah Odha. Istilah Odha

diperkenalkan oleh Prof. Anton M. Moeliono, dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud setelah diskusi dengan staf Yayasan

Pelita Ilmu. Istilah ini dinilai lebih netral dan dinamis daripada menyebut penderita, pengidap, korban dan lain-lain (Harahap, 2000).

2. HIV/AIDS

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan

kumpulan gejala-gejala penyakit yang diidap seseorang yang sudah terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency virus). Acquired Immune Deficiency Syndromebila diindonesiakan berarti sindrom cacat kekebalan

(24)

10

berarti, AIDS bukan penyakit keturunan tetapi cacat karena sistem kekebalan tubuh dirusak setelah seseorang terinfeksi HIV (Harahap,

2000).

3. Tahap dan Gejala HIV/AIDS

Setelah seseorang terinfeksi HIV, kekebalan tubuh akan berangsur-angsur berkurang dan akhirnya akan menghilang. Pada fase I, orang yang

terinfeksi HIV sama kondisinya dengan orang yang sehat. Pada fase ini belum ada gejala yang tampak sebagai gejala AIDS. Fase ini berlangsung

5-7 tahun tergantung dengan kondisi sistem kekebalan tubuh seseorang. Setelah fase tanpa gejala, pada fase II muncul gejala-gejala awal penyakit yang berkaitan dengan HIV (HIV related illnes). Tahap ini belum dapat

disebut dengan gejala AIDS. Gejala dalam fase II antara lain : a. Hilang selera makan

b. Berkeringat berlebihan di malam hari c. Diare terus menerus

d. Flu tidak sembuh-sembuh

e. Tubuh lemah

f. Pembengkakan kelenjar getah bening

Fase ini berlangsung 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Meski demikian sebenarnya tidak ada gejala yang pasti dalam fase ini. Fase III atau Fase AIDS baru dapat terdeteksi ketika kekebalan tubuh sudah sangat

(25)

oportunistik antara lain: TBC, pneumonia, sarcoma Kaposi, herpes, dan sebagainya. Harus diperhatikan bahwa seseorang yang mengidap penyakit

itu belum tentu dapat dipastikan AIDS karena penyakit tersebut juga dapat menyerang orang yang tidak terinfeksi HIV. Fase III ini biasanya

berlangsung 3-6 bulan (PKBI, 1995).

4. Penularan dan Pencegahan

Karena AIDS bukan penyakit, AIDS tidak menular. Yang menular adalah HIV, yaitu virus yang menyebabkan tubuh mencapai masa AIDS.

Virus ini terdapat dalam darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain konsentrasi HIV sangat rendah sehingga tidak dapat menjadi media penularan. Tidak ada gejala khusus jika seseorang

terinfeksi HIV. Gejala klinis baru tampak pada tahap AIDS. Meski tanpa gejala-gejala klinis, seseorang yang sudah positif HIV dapat menularkan

virus ini pada orang lain melalui cara-cara dan kondisi yang sangat spesifik.

Ada empat cara penularan HIV. Pertama, melalui hubungan

seksual dengan seorang pengidap HIV tanpa menggunakan kondom. Kedua, HIV dapat menular melalui transfusi darah yang yang sudah

tercemar virus tersebut. Cara ketiga, dari seorang ibu yang mengidap HIV dapat pula menularkan pada anak yang dikandungnya. Penularan ini terjadi pada saat darah atau cairan vagina ibu membuat kontak dengan

(26)

12

proses melahirkan. Dan cara keempat, orang dapat terinfeksi melalui penggunaan jarum suntik, tindik dan tato yang sudah dipakai oleh orang

yang terinfeksi HIV tanpa disterilkan terlebih dahulu (Harahap, 2000). HIV sangat mudah mati diluar tubuh manusia dan sangat sensitif

terhadap suhu. HIV tidak menular melalui:

a. Bersentuhan, bersenggolan, berpelukan, berciuman, bersalaman dengan Odha

b. Menggunakan peralatan makan bersama Odha c. Terkena ludah, keringat atau air mata Odha

d. Berenang atau menggunakan fasilitas umum lain seperti telepon umum, angkutan umum bersama Odha.

e. Gigitan nyamuk atau serangga

Risiko penularan HIV dapat dikurangi dengan beberapa cara:

a. Bagi yang belum aktif melakukan kegiatan seksual: tidak melakukan hubungan seks sama sekali.

b. Bagi yang sudah aktif melakukan kegiatan seksual:

1) Hubungan seks mitra tunggal 2) Mengurangi pasangan seksual

c. Menggunakan kondom

d. Mengobati infeksi menular seksual (bila ada)

e. Mensterilkan alat-alat yang dapat menularkan HIV (jarum suntik,

(27)

f. Hanya melakukan transfusi darah yang bebas HIV.

g. Ibu hamil yang positif HIV memerlukan pendampingan khusus.

5. Tes HIV

Status HIV seseorang hanya dapat dipastikan melalui tes HIV. Tenggang waktu pertama setelah HIV masuk ke dalam tubuh disebut masa jendela atau window period. Pada rentang waktu ini tes HIV akan

menunjukkan hasil yang negatif. Meski seseorang yang terinfeksi HIV baru berada masa jendela, tetap saja dia bisa menularkan pada orang lain

(Harahap, 2000).

Jika seseorang terinfeksi oleh suatu virus, maka tubuhnya akan memproduksi antibodi untuk melawan infeksi tersebut. Antibodi ini

diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh. Antibodi jauh lebih mudah dideteksi daripada virusnya. Sebagian besar tes antibodi HIV mendeteksi

antibodi terhadap HIV dalam sampel darah. Jika tidak ada antibodi yang terdeteksi, hasilnya adalah seronegatif atau HIV negatif. Sebaliknya, jika ada antibodi terhadap HIV, berarti hasilnya seropositif atau HIV positif.

Walau pun demikian, suatu tes bisa saja memberi hasil negatif bila orang yang dites baru saja terinfeksi. Hal ini dapat terjadi karena tubuh kita

membutuhkan waktu beberapa minggu untuk mulai menghasilkan antibodi sejak terjadinya infeksi. Antibodi biasanya dapat dideteksi sekitar 3-8 minggu setelah terinfeksi, dan masa ini disebut periode jendela (window

(28)

14

negatif karena antibodinya belum terbentuk sehingga belum dapat dideteksi , tapi ia sudah bis menularkan HIV pada orang lain lewat

cara-cara yang sudah disebutkan terdahulu. Tes darah yang dilakukan biasanya menggunakan tes ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) yang

memiliki sensitivitas tinggi - namun spesifikasinya rendah. Bila pada saat tes ELISA hasilnya positif, maka harus dikonfirmasi dengan tes Western Blot, yaitu jenis tes yang mempunyai spesifikasi tinggi namun

sensitivitasnya rendah. Karena sifat kedua tes ini berbeda, maka biasanya harus dipadukan untuk mendapatkan hasil yang akurat. Selain kedua jenis

tes tadi, ada juga jenis tes lain yang mampu mendeteksi antigen (bagian dari virus), yaitu NAT (nucleic acid amplification technologies) dan PCR (polymerase chain reaction).

Selain untuk mengetahui status HIV seseorang, tes HIV merupakan cara untuk menyeleksi darah donor supaya diketahui apakah darah yang

disumbangkan benar-benar layak dan bebas HIV. Disamping itu, tes HIV digunakan untuk surveillance test, yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh epidemi HIV/AIDS tersebar dalam kelompok masyarakat.

Status HIV seseorang terbagi menjadi tiga: posistif, negatif dan tidak diketahui. Orang-orang yang belum menjalani tes HIV statusnya

(29)

menjaga diri agar tidak terinfeksi, meski hasil tes sebelumnya negatif, bisa jadi disaat lain masuk kategori positif.

Tidak semua orang harus menjalani tes HIV. Tes tersebut disarankan bagi mereka yang mempunyai perilaku berisiko tinggi tertular

HIV. Yang dimaksud dengan perilaku berisiko adalah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan berganti-ganti pasangan, menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, atau memakai jarum

suntik bersama. Selain itu, tes dianjurkan oleh dokter yang menemukan gejala minor atau mayor AIDS pada pasiennya. Tes HIV harus bersifat :

1. Sukarela : artinya bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV harus berdasarkan atas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan atau tekanan orang lain. Ini juga berarti bahwa seseorang setuju untuk dites setelah

mengetahui hal-hal apa saja yang tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian dari testing, serta apa saja impilkasi dari hasil tes baik positif

atau pun hasil negatif.

2. Rahasia : artinya, apa pun hasil tes ini nantinya (baik positif maupun negatif) hasilnya hanya boleh di beritahu langsung kepada orang yang

bersangkutan. Tidak boleh diwakilkan kepada siapa pun, baik orang tua, pasangan, atasan atau siapapun.

Sebelum seseorang melakukan tes HIV, diberikan konseling pretes. Saat konseling akan ditanyakan apakah seseorang yang akan melakukan tes pernah melakukan perilaku berisiko. Bila tidak maka diambil

(30)

16

yang memiliki gejala mayor atau minor jelas disebabkan penyakit lain. Kejujuran seseorang terhadap diri sendiri dan konselor memegang peranan

sangat penting dalam proses ini. Berdasarkan pertukaran informasi saat konseling pretes, orang dapat dengan bebas menentukan apakah proses

akan dilanjutkan atau tidak. Tes HIV baru dapat dilakukan jika sudah ada pernyataan tertulis (informed consent) dari orang yang akan dites. Pernyataan tertulis itu dibuat setelah dijelaskan prosedur dan dampak atau

konsekuensi hasil tes itu kelak (Harahap, 2000).

Tes HIV harus dilakukan dengan menjaga asas konfidensialitas dan

harus menjamin hak asasi orang yang dites. Dengan kata lain data harus anonim dan hasil tes hanya boleh diketahui oleh dokter atau konselor yang bersangkutan. Hak menolak tes maupun hak atas kerahasiaan identitas

adalah hak asasi yang tidak boleh diganggu gugat. Odha berhak untuk memilih orang lain yang akan diberi tahu mengenai statusnya.

6. Stigma dan diskriminasi

Pernyataan Bruyn (1988) dalam Dokumentasi tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Orang dengan HIV/AIDS di Indonesia (Yayasan

Spiritia, 2001), Stigma adalah ekspresi dari norma sosial dan budaya, yang membentuk hubungan antar manusia menurut norma-norma tersebut.

(31)

Diskriminasi didefinisikan oleh UNAIDS pada tahun 1988 sebagai tindakan yang disebabkan pembedaan yang menghakimi terhadap

orang-orang berdasarkan status HIV mereka, baik yang pasti maupun yang diperkirakan atau keadaan kesehatan mereka. Definisi operasional yang

lebih luas menurut Anti-Discrimination Board di New South Wales, Australia, tahun 1992, berkisar dari kekasaran sikap, yang hampir tak kelihatan sampai kekerasan fisik. Bisa bermanifestasi dalam

bentuk-bentuk yang nampak bisa diterima dan dibenarkan, atau dalam perilaku yang patologi ekstrim, kadang-kadang bisa sangat eksplisit, tetapi lebih

sering halus, canggih dan sulit didefinisikan.

B. Proses Penerimaan Diri

1. Proses Penerimaan Diri dalam menghadapi penyakit yang mematikan menurut Elizabeth Kübler Ross

Menerima kenyataan mengidap penyakit mematikan membutuhkan proses tersendiri. Elizabeth Kübler Ross (1969) mengemukakan lima tahap yang biasanya dialami oleh pasien ketika menghadapi kenyataan bahwa

dirinya mengidap penyakit yang mematikan. Tahap tersebut adalah sebagai berikut :

a. Tahap pertama adalah penyangkalan dan pengasingan diri, terjadi pada awal pasien diberitahu tentang penyakitnya sejak awal maupun pada mereka yang tidak secara eksplisit diberitahu

(32)

18

kemudian. Fungsi penyangkalan sebagai sebuah penahan setelah berita mengejutkan yang tidak diharapkan.

Penyangkalan membiarkan pasien menguasai diri dan, seiring dengan waktu, menggerakkan yang lain, menjadikan

pertahanan tidak terlalu radikal. Biasanya penyangkalan merupakan pertahanan sementara yang akan digantikan oleh penerimaan yang bersifat parsial.

b. Tahap kedua adalah marah. Bila penyangkalan pada tahap pertama tidak tertahankan lagi, itu akan digantikan dengan rasa

marah, gusar, cemburu dan benci. Pertanyaan yang masuk akal adalah: “Mengapa aku?” Berlawanan dengan tahap penyangkalan, tahap marah ini sangat sulit diatasi dari sisi

pandang keluarga dan paramedis karena kemarahan itu terjadi di segala penjuru dan diproyeksikan kepada lingkungan pada

saat-saat tak terduga.

c. Tahap ketiga, tawar-menawar, tidak terlalu dikenal namun sebenarnya sangat menolong pasien, meskipun hanya terjadi

beberapa saat. Ketika kita tidak mampu menghadapi kenyataan menyedihkan pada awal periode dan menjadi marah terhadap

orang-orang sekitar dan Tuhan pada fase kedua, boleh jadi kita akan berhasil membuat perjanjian yang mungkin menunda terjadinya hal yang tidak diharapkan: “Bila Tuhan memutuskan

(33)

permintaan yang kuajukan dengan rasa marah, Ia mungkin akan lebih berkenan bila aku mengajukan permintaan itu dengan

lebih baik.” Hampir semua tawar-menawar itu dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan secara

tersirat.

d. Tahap keempat adalah depresi. Ketika pasien tidak mampu lagi menghindari penyakitnya, ketika ia harus menjalani berbagai

pembedahan atau perawatan, ia semakin lemah dan kurus-pasien tersebut tidak akan dapat tersenyum lagi. Sikap mati rasa

atau tabah, serta kemarahannya segera akan digantikan rasa kehilangan. Depresi tersebut muncul seiring dengan perawatan yang semakin luas dan kebutuhan finansial yang bertambah,

selain juga perasaan sedih yang diakibatkan perpisahan pasien dengan dunia.

e. Tahap kelima menerima. Jika pasien mempunyai cukup waktu (misalnya tidak menghadapi kematian yang mendadak) dan dibantu untuk melewati tahap-tahap yang dijelaskan terdahulu,

ia akan mencapai tahap dimana ia tidak merasa depresi maupun marah terhadap “nasibnya”. (Ross, 1969).

2. Proses Penerimaan Diri Menurut Carl R.Rogers

Diri (self) menurut Carl R. Rogers merupakan gestalt konseptual

(34)

20

sifat-sifat dari diri subyek dan diri obyek dan persepsi-persepsi keduanya dengan orang-orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta

nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini. Dalam diri juga terdapat diri ideal (ideal self) yaitu apa yang diinginkan seseorang tentang

dirinya. Apabila pengalaman-pengalaman yang dilambangkan yang membentuk diri benar-benar mencerminkan pengalaman-pengalaman organisme, maka orang bersangkutan disebut berpenyesuaian baik,

matang, berfungsi sepenuhnya. Orang semacam itu menerima seluruh pengalaman organismik tanpa merasakan ancaman atau kecemasan.

Inkongruensi antara diri dan organisme menyebabkan individu merasa terancam dan cemas. Dalam teori Rogers secara implisit terdapat dua manifestasi lain dari kongruensi-inkongruensi. Pertama adalah kongruensi

atau inkongruensi antara kenyataan subyektif (medan fenomenal) dan kenyataan luar (dunia sebagaimana adanya). Kedua adalah tingkat

kesesuaian antara diri dan diri ideal. Apabila perbedaan antara diri dan diri ideal adalah besar, maka orang merasa tidak puas dan tidak dapat menyesuaikan diri. Dalam salah satu dalilnya, Rogers menunjukkan

bagaimana pentingnya orang tetap selalu meneliti nilai-nilai yang dimilikinya untuk menjaga penyesuaian diri yang sehat.

(35)

Tekanannya terletak pada dua kata, yakni sistem dan proses. Sistem menunjukkan sesuatu yang tetap dan statik, sedangkan proses

menunjukkan sesuatu tengah berlangsung. Demi penyesuaian diri yang sehat dan terintegrasi orang harus selalu memeriksa

pengalaman-pengalamannya untuk mengetahui apakah pengalaman tersebut membutuhkan perubahan dalam struktur nilai. Setiap kumpulan nilai yang tetap akan cenderung mencegah orang untuk bereaksi secara efektif

terhadap pengalaman-pengalaman baru. Orang harus fleksibel untuk menyesuaikan diri secara tepat terhadap kondisi-kondisi kehidupan yang

berubah (Hall, 1993).

Tiga hal yang dikemukakan Rogers mengenai pribadi yang sehat (Schultz; 1991):

1. Pribadi yang sehat itu bukan suatu keadaan yang ada, melainkan suatu proses, suatu arah bukan suatu tujuan. Aktualisasi

berlangsung terus-menerus; tidak pernah merupakan suatu kondisi yang selesai atau statis.

2. Aktualisasi diri itu merupakan hal yang sukar bahkan

kadang-kadang menyakitkan. Aktualisasi diri merupakan keberanian untuk ada. Hal ini berarti meluncurkan diri sendiri sepenuhnya dalam

arus kehidupan. Orang itu terbenam dalam dan terbuka kepada seluruh ruang lingkup emosi dan pengalaman manusia dan merasakan lebih dalam hal-hal ini jauh lebih dalam daripada orang

(36)

orang-22

orang yang mengaktualisasikan diri itu terus-menerus atau juga hampir setiap saat bahagia dan puas, meski mereka benar-benar

mengalami perasaan-perasaan itu. Rogers melihat bahwa kebahagiaan sebagai hasil sampingan dari perjuangan aktualisasi

diri; kebahagiaan bukan suatu tujuan dalam dirinya sendiri.

3. Orang yang mengaktualisasikan diri yakni mereka benar-benar adalah diri mereka sendiri. Mereka tidak bersembunyi di belakang

topeng-topeng atau kedok-kedok, yang berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan mereka atau menyembunyikan sebagian diri

mereka. Mereka bebas dari harapan-harapan dan rintangan-rintangan yang diletakkan oleh masyarakat mereka atau orangtua mereka; mereka telah mengatasi aturan ini. Rogers tidak percaya

bahwa orang-orang yang telah mengaktualisasikan diri hidup dibawah aturan-aturan yang diletakkan orang lain. Arah yang

dipilih, tingkah laku yang diperlihatkan semata-mata ditentukan oleh individu-individu mereka sendiri. Diri adalah tuan dari kepribadian dan beroperasi terlepas dari norma-norma yang

ditentukan orang-orang lain.

C. Proses Penerimaan Diri Pada Orang dengan HIV/AIDS

Menghadapi kenyataan terinfeksi virus yang mematikan merupakan hal yang sangat tidak mudah. Berbagai reaksi akan muncul dari seseorang

(37)

diri mereka yang harus menghadapi situasi tersebut. Teori yang dikemukakan oleh Elizabeth Kübler Ross (1969) dalam buku On Death and Dying

mengenai lima tahap menuju kematian digunakan untuk melihat berbagai tahapan reaksi yang muncul pada Odha di saat awal menerima kenyataan

bahwa dirinya terinfeksi HIV hingga saat mereka bisa menerima keadaan itu. Teori Ross digunakan karena ada anggapan bahwa terinfeksi HIV adalah sama dengan harus menghadapi kematian. Sementara, berbagai kriteria mengenai

pribadi yang sehat yang dikemukakan oleh Carl R. Rogers (dalam Hall, 1978) digunakan untuk melihat potensi aktualisasi diri yang ada pada Odha pasca

infeksi. Teori Rogers digunakan untuk melihat bagaimana upaya Odha mengaktualisasikan dirinya ditengah hambatan bayangan stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS. Melalui pendekatan yang menggunakan dua

teori tersebut diharapkan dapat muncul gambaran yang dapat menjelaskan proses penerimaan diri pada Odha.

Proses penerimaan diri yang diharapkan dapat digambarkan dalam penelitian ini adalah deskripsi dinamika psikologis yang dialami subyek dari awal dirinya mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV, hingga saat subyek

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

deskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk membuat deskripsi mengenai

situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk

membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta

(Suryabrata, 1983).

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada proses penerimaan diri dan aktualisasi diri

pada Odha, yang secara operasional dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana

Odha dapat menerima kenyataan bahwa dirinya terinfeksi HIV namun kondisi ini

tidak menghambat dirinya untuk berkarya seperti layaknya orang lain yang tidak

terinfeksi HIV.

C. Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah Orang dengan HIV/AIDS yang

tinggal di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Subyek yang terlibat

adalah Odha yang mau secara terbuka bekerjasama dengan peneliti, karena tidak

semua Odha mau menceritakan kepada orang lain mengenai dirinya secara

(39)

D. Batasan Kajian Penelitian

Dalam penelitian ini, variabel yang hendak diteliti terdiri dari 4 aspek

yaitu:

1. Riwayat masa lalu

2. Reaksi saat mengetahui bahwa dirinya positif HIV

3. Kondisi saat ini

4. Aspirasi dan harapan masa depan

Keempat aspek tersebut merupakan sebuah rentang proses penerimaan

diri dari Odha.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara (depth

interview). Metode ini digunakan dengan tujuan untuk memberi keleluasaan

kepada subjek menjelaskan situasi yang dihadapi secara bebas. Pertanyaan

diarahkan pada seputar proses penerimaan diri yang dialami oleh subjek, peran

keluarga dan lingkungan dalam proses tersebut. Alat yang digunakan adalah

wawancara berdasarkan guide line wawancara yang disampaikan secara tidak

terstruktur.

Aspek yang hendak digali dalam wawancara antara lain:

a. Masa lalu

1) Latar belakang keluarga

(40)

26

3) Reaksi pada saat mengetahui bahwa dirinya positif HIV

b. Masa kini

1) Relasi sosial (dengan orang lain selain keluarga)

2) Sikap keluarga terhadap subyek

3) Kondisi diri subyek saat ini

c. Masa depan

1) Aspirasi atau harapan di masa depan

F. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Meminta ijin kesediaan Odha sebagai subyek penelitian.

2. Melakukan tahap persiapan penelitian dengan membuat interview guide

yang relevan.

3. Melakukan penelitian dengan wawancara dan observasi.

4. Melakukan transkripsi data wawancara dan observasi, kemudian

dilanjutkan dengan analisis data.

5. Menarik kesimpulan dari data berdasarkan teori yang terkait.

G. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik kualitatif-deskriptif sehingga analisis

(41)

wawancara, observasi serta dokumen lain yang relevan kemudian dianalisis

dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Kategorisasi data sejenis

Kategorisasi data dilakukan setelah membuat verbatim hasil wawancara

dan data lapangan. Dari verbatim tersebut, kemudian dibuat kode-kode

atau catatan transkrip untuk memilah data, kemudian data disusun dan

digolongkan dalam tema atau kategori yang sama.

2. Rekapitulasi data

Data kategorisasi diolah dengan menyusunnya sehingga diperoleh data

yang menampilkan pola hubungan.

3. Interpretasi dan penarikan kesimpulan

Interpretasi dilakukan dengan melihat dan membandingkan beberapa

teori yang berkaitan dengan hal yang sedang diteliti.

Tabel 3.Guide line interview

Aspek Deskripsi Pertanyaan

Masa lalu 1. Latar belakang keluarga Bagaimana riwayat hidup subyek?

2. Latar belakang

lingkungan keluarga

- Bagaimana kondisi lingkungan

sekitar keluarga subyek tinggal?

- Bagaimana relasi keluarga subyek

dan subyek sendiri dengan

(42)

28

3. Reaksi pada saat

mengetahui bahwa

dirinya positif HIV

- Bagaimana reaksi subyek ketika

pertama kali mengetahui bahwa

dirinya HIV positif?

- Perasaan apa yang muncul dalam diri

subyek saat itu?

- Bagaimana sikap keluarga saat itu?

Masa kini 1. Relasi sosial - Bagaimana relasi subyek dengan

lingkungan sekitar saat ini?

- Pernahkah mengalami penolakan,

diskriminasi?

2. Sikap keluarga terhadap

subyek

- Bagaimana sikap keluarga terhadap

subyek saat ini?

3. Kondisi subyek saat ini - Bagaimana kondisi subyek saat ini?

Masa depan 1. Aspirasi dan harapan

untuk masa depan

- Apa dan bagaimana harapan dan

aspirasi subyek terhadap masa depan

terkait dengan status HIV positif

(43)

A. Persiapan penelitian

Persiapan penelitian dilakukan dengan membuat guideline interview dan

melakukan pendekatan terhadap subyek penelitian. Proses pendekatan ini

membutuhkan waktu yang agak lama, karena subyek membutuhkan rasa percaya

untuk menceritakan pengalaman hidupnya terkait dengan status HIV mereka.

Proses wawancara dilakukan dalam beberapa pertemuan selama beberapa

waktu. Tempat wawancara dipilih agar nyaman bagi subyek, untuk memberi

suasana yang membantu dalam memberi jawaban. Selain itu, tempat yang

nyaman, membantu peneliti untuk mengamati ekspresi dan reaksi psikologis

subyek. Selama proses wawancara ini, pembicaraan berkisar pada status HIV

subyek, yang disadari atau tidak, tentu tidak mudah bagi subyek. Dalam

penelitian ini,wawancara dilakukan di rumah tempat tinggal subyek dan tempat

umum (taman) yang tidak mengganggu proses wawancara.

B. Deskripsi Penemuan

I. Latar belakang subyek

Penelitian ini melibatkan 2 orang subyek (M dan V) yang kooperatif.

(44)

30

Tabel 4.

Profil masing-masing subyek

Subyek M Subyek V

Jenis kelamin Laki-laki Laki-laki

Usia 32 tahun 36 tahun

Orientasi seksual Homoseksual Heteroseksual Pendidikan SMP tidak tamat Kuliah (tidak tamat) Pekerjaan Aktif di LSM Sempat aktif di LSM Pekerjaan orangtua Petani Pedagang

Tertular HIV dari Perilaku seks beresiko

Pengguna narkoba suntik (penasun)

I.1. Subyek M

Subyek M berasal dari keluarga petani di Jawa Tengah. M

mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang perempuan sejak sebelum

masuk SD. Ketika di SD, M mulai dipanggil Tessy (nama pelawak laki-laki

yang selalu berperan sebagai perempuan). Awalnya ia marah dan tidak

masuk sekolah 2 hari. Selepas SD, M melanjutkan sekolah ke sebuah SMP.

Disini dia hanya bertahan hingga kelas 2, karena dia mulai resah dengan

orientasi seksualnya. Secara fisik M adalah seorang laki-laki, tetapi secara

mental ia mengidentifikasi diri sebagai seorang perempuan. Setelah

memutuskan keluar dari SMP, orangtua M mencoba mengirim M ke sebuah

pondok pesantren. Tetapi di pondok pesantren ini M hanya bertahan 1 hari

saja. M kemudian memutuskan untuk bekerja di sebuah toko mebel di

kotanya. Ketika bekerja di kota ini M mulai berani mengungkapkan

(45)

dengan beberapa orang laki-laki, M memutuskan kabur dari rumahnya

menuju Jogja karena laki-laki terakhir yang mengencaninya menguras habis

barang-barang dan tabungan hasil kerjanya. M merasa bersalah dan pergi

tanpa pamit dari rumahnya. Atas bantuan waria yang lain, M kemudian

diajak ke Jogja untuk sebuah pekerjaan yang dijanjikan sangat menarik

hasilnya. M tidak menyangka ketika tiba di Jogja, ternyata pekerjaan yang

dimaksud adalah menjadi pekerja seks komersial (PSK). Karena tidak punya

keterampilan dan pekerjaan, akhirnya M mau bekerja sebagai PSK. M saat

ini sudah mengurangi intensitasnya untuk keluar malam sebagai PSK sejak

ia mengetahui bahwa dirinya positif HIV.

Subyek adalah anak kedua dari tiga bersaudara, ia adalah anak

laki-laki pertama dalam keluarga itu, kakaknya seorang perempuan. Subyek

menyadari bahwa sebagai seorang yang dilahirkan dalam bentuk fisik

laki-laki ia harus bisa membantu kedua orangtuanya dalam hal finansial. Kedua

orangtua subyek masih berharap agar subyek menikah (dengan seorang

perempuan) suatu saat nanti. Subyek hanya menjawab bahwa suatu saat

nanti akan menikah, untuk membesarkan hati orangtuanya. Subyek selalu

berusaha sebisa mungkin untuk membantu orangtuanya secara finansial.

Meski uang itu kadang ia dapat dari meminjam pada tetangga kost di jogja

atau rentenir. Sejauh ini keluarga subyek tidak tahu apa pekerjaan subyek

(46)

32

menjawab bahwa ia bekerja sebagai penyanyi dangdut di Purawisata, atau

membantu di sebuah warung lesehan.

Saat ini, sehari-hari bila M bekerja di sebuah LSM, biasanya ia

menggunakan celana panjang dan kaos atau kemeja. Ia jarang berdandan

kecuali bila ada acara-acara khusus waria. Ia selalu berusaha untuk

menyamarkan status kewariaannya dengan tidak berperilaku atau berdandan

berlebihan seperti beberapa waria lain. Meski demikian bila diamati dengan

cermat, gaya bicara dan bahasa tubuh yang lemah gemulai sering kali

tampak.

M tinggal di rumah kost yang berada di lingkungan padat penduduk di

pinggir sebuah sungai yang membelah kota Jogja. Kamar kost-nya agak

sempit, berukuran 2x2 m. Terdapat sebuah dipan, sebuah lemari dan

berbagai piagam penghargaan menghiasi dinding kamar yang terbuat dari

gedeg (dinding dari bambu). Di kamar itu, terdapat banyak selebaran

maupun buku-buku mengenai informasi HIV/AIDS. Sekat antar kamar

(dengan ruang yang lain) hanya dinding bambu itu, sehingga suara orang

yang sedang ngobrol dapat terdengar dengan jelas. Tetangga disekitar kost

M kebanyakan sudah berkeluarga. Pekerjaan mereka bervariasi, pemulung,

pengemis, preman, pengamen, pekerja seks komersial (perempuan atau pun

waria), dan sebagainya. Jalan menuju rumah kost berupa gang sempit

berukuran 1 m yang sebagian menyusuri pinggir sungai. Relasi subyek

(47)

subyek yang cukup lembut selayaknya perempuan, tetapi mereka tidak

pernah mempermasalahkan.

I.2 Subyek V

Subyek V mulai mencoba mengkonsumsi narkoba sejak SMP.

Awalnya ia penasaran ingin merasakan apa efeknya. Sejak saat itu V mulai

kecanduan. V adalah anak ketiga dari sebuah keluarga pedagang. Sejak

remaja, V gemar sekali dengan perilaku-perilaku destruktif seperti berkelahi

dan mengkonsumsi obat-obat terlarang. Selepas SMA, V melanjutkan studi

di sebuah universitas di Jogja. Kebiasaannya untuk mengkonsumsi narkoba

belum hilang, malah semakin menjadi-jadi bahkan ia mulai menggunakan

narkoba jenis putaw yang saat itu baru mulai marak. Ia juga menemukan

teman-teman yang mempunyai hobi yang sama. Selain sebagai pengguna, V

juga pernah menjadi pengedar. Jaringannya cukup luas dan rapi. Ia beberapa

kali ditangkap polisi terkait dengan kasus narkoba. Tetapi hal itu tidak

membuatnya jera. Setelah mengalami sebuah kecelakaan yang cukup hebat,

V kemudian mencoba mengurangi konsumsi narkoba, meski ajakan dari

teman-teman sering tak dapat dihindarinya. Subyek V pernah aktif di sebuah

LSM yang mengkampanyekan tentang isu anti narkoba.

Subyek tinggal di rumah seorang sahabatnya, yang terletak dipinggir

(48)

34

pedesaan yang asri masih dapat ditemui disini. Kondisi rumah cukup bagus

dan tertata rapi, dengan arsitektur rumah yang cukup unik.

V adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Orangtua V bekerja sebagai

pedagang. Perilaku destruktif V mulai muncul sejak SMP. Ketika itu ia

mulai sering berkelahi, mencoba obat-obat terlarang. V selalu merasa berada

dalam keadaan terancam. Ia sering membawa senjata tajam bahkan ketika

akan tidur dia juga harus memegang sesuatu sebagai senjata.

Perkara-perkara kecil sering menjadi pemicu V untuk memulai perkelahian, apalagi

ketika ia berada dibawah pengaruh narkoba. Ia pernah menusuk seseorang

di Jogja hanya karena motor yang dikendarainya didahului oleh pengendara

yang lain. Ia juga pernah menantang polisi yang sedang bertugas jaga, hanya

karena polisi itu sedang memperhatikan V. Rekan-rekan V yang lain sering

harus menahan diri untuk tidak menimbulkan amarah V, karena mereka tahu

bahwa ia sering bertindak nekat.

II. Reaksi subyek ketika pertama kali mengetahui status HIV

Tabel 5.

Reaksi subyek pertama kali mengetahui status HIV

Subyek M Subyek V

Awal mengetahui status

Melalui tes HIV di sebuah klinik. Subyek menjalani tes sesuai dengan prosedur, yaitu diawali dengan konseling pre-test kemudian tes HIV dan

(49)

konseling post test. Hasil tes HIV disampaikan secara personal dalam konseling post test.

disampaikan di depan orang lain yang ada di kamar tempat subyek V dirawat.

Reaksi subyek

Kaget & tidak percaya. Takut jika menularkan pada orang lain. Stres dan depresi hingga sakit dan rambut rontok selama beberapa bulan. Sempat pulang ke daerah asal karena takut status HIV-nya diketahui oleh baHIV-nyak orang.

Kaget dan marah karena dokter menyampaikan hasil dihadapan keluarga. Setelah keluar dari rumah sakit, bingung dengan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Subyek justru bersih tidak menggunakan narkoba selama 6 bulan setelah mengetahui status. Subyek menjadi perokok berat.

II.1 Reaksi Subyek M

Subyek M mengetahui status HIV-nya setelah melakukan tes di klinik

PKBI. Awalnya ia berpartisipasi dalam sebuah kampanye HIV/AIDS. M

sadar bahwa pekerjaan yang dijalaninya sebagai seorang PSK adalah salah

satu perilaku yang beresiko tertular HIV. Ia kemudian berinisiatif untuk

melakukan tes HIV di Griya Lentera PKBI. M menjalani tes sesuai dengan

prosedur, yaitu dengan melalui konseling pre-test. Setelah menjalani

konseling pre-test kemudian sampel darah M diambil oleh petugas klinik.

Seminggu kemudian M datang kembali untuk mengambil hasil test.

Ternyata hasilnya positif.

(50)

36

bingungnya itu,”Aku harus ngapain?” Apa yang harus aku lakukan sementara aku kan menjadi pekerja seks? Kalau aku nggak kerja, aku mau makan apa? Kalau aku masih melakukan pekerjaanku sebagai PSK, aku juga punya resiko akan menularkan ke orang lain.”

M masih tidak percaya dengan hasil yang diperolehnya, kemudian konselor

menganjurkan untuk melakukan tes konfirmasi lagi, yang kemudian hasilnya tetap

positif.

Subyek M merasa dirinya sudah melakukan seks yang aman, terutama

selepas mengikuti pelatihan penurunan perilaku resiko IMS.

“Saya nggak kepikiran sekali, karena saya...karena selama saya menjadi pekerja seks, perasaan aku melakukan dengan seks aman.”

Sebetulnya subyek sudah mencoba menerapkan perilaku seks aman dengan

menggunakan kondom dalam pekerjaannya. Tetapi ia sering mengalah pada

konsumennya karena ia takut tidak mendapat pelanggan.

“Dan sepulang dari situ (pelatihan) kan tahu bahwa apa yang Saya selama ini Aku lakukan itu salah. Tetapi Aku jujur aja, setelah pulang ’95 itu Aku sering otot-ototan sama lelaki karena...ya piye ya...karena apa ya...misalnya pemakaian kondom, misalnya lelaki ditawari kondom terus lelaki itu nggak mau, kayak gitu lho. Kita coba terangkan ke lelaki itu, walaupun waktunya itu sempit sekali. Walaupun sambil bercanda di lokalisasi dengan tamu itu tetapi kalau misalnya tamu itu ngotot, lelaki itu ngotot,”Nggak mau mbak, nggak enak.” Misalnya kayak gitu, nah,”Kalau kamu nggak mau, masih banyak kok yang lain yang mau.” Nah akhirnya Saya disitu mau nggak pake kondom. Soalnya saya mikir,”Aduh...mengko nek dhek’e mlayu neng nggone liya Aku nggak dapet bayaran nih.” Yo wis lah..kayak gitu.”

Selama 5 bulan setelah melakukan tes HIV, subyek bingung dengan

apa yang hendak dilakukan. Akhirnya subyek memutuskan untuk

(51)

mendapat uang yang jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup

selama 3 hari, maka ia akan istirahat selama 3 hari.

“Waktu itu aku gini...eeee...memang sangat menyedihkan sekali ya..waktu itu...dalam kebingungan aku waktu itu, aku serba salah. Mau mejeng salah, nggak mejeng salah...kayak gitu. Akhirnya aku memutuskan keluar malam, sekali, misalnya saya dapat untuk 3 malem ya 3 malem istirahat.”

M juga mencoba mencari pekerjaan yang lain. Kebetulan ada keluarga

di dekat tempat tinggal M yang membutuhkan pengasuh bayi, kemudian M

bekerja di situ. Kesibukan merawat bayi sedikit banyak dapat membuat M

melupakan pikiran tentang status HIV-nya. Tetapi pekerjaan itu hanya

dilakukannya selama 3 bulan karena keluarga tersebut memutuskan untuk

pindah keluar kota. M yang kehilangan kesibukan kemudian memutuskan

untuk keluar malam lagi mencari pelanggan.

“Nah itu sambil menunggu proses, kebetulan depan rumah itu (menunjuk) punya adik bayi. Saya disuruh merawat bayinya, pokoke baby sitter-lah. Merawat bayi, anake kembar. Yaa..nggak selang lama, karena setelah 3 bulan bayinya dibawa ke B oleh ayahnya. Terus aku kan udah dapat kesibukan untuk melupakan statusku, aku udah dapat, akhirnya hilang lagi. Ya udah, pada akhirnya kembali ke selera asal, keluar semalam dapat untuk untuk 2 malam ya 2 malam nggak keluar, kayak gitu.”

Beban pikiran mengenai status HIV rupanya sangat dirasakan oleh M.

Ia kemudian jatuh sakit. Kebetulan saat jatuh sakit itu keluarganya datang

menengok. Lalu M dibawa pulang oleh keluarganya dan dirawat dengan

menggunakan obat tradisional.

(52)

38

pas saya sakit. Akhirnya saya pulang. Aku bilang karena panas, akhirnya aku sebulan dirumah. Apa yang dilakukan orangtuaku ke aku? Dua hari sekali membikinkan aku kunir asem, kental banget. Aku kan nggak ngerti apa itu ada sangkut pautnya dengan panasku apa nggak, tetapi minum itu akhirnya normal lagi.”

M tetap merahasiakan status HIV-nya kepada keluarganya. Karena M

melihat bahwa keluarganya belum siap untuk menerima kenyataan itu, dan

M sendiri juga tidak siap mengungkapkannya.

Setelah panas badannya mereda, ternyata rambut M mulai rontok, sampai

hampir gundul. Berbagai cara sudah dilakukan M untuk mencegah supaya

rambutnya tidak semakin rontok, tetapi tetap saja tidak ada hasilnya.

Kemudian M membiarkan keadaan itu dan rambutnya malah tumbuh

kembali. Hal ini yang membuat M yakin bahwa penyebab rambutnya rontok

adalah beban pikiran tentang status barunya.

“Kemudian rambutku rontok. Rontok itu malah sampai gundul. Aku pegang aja rambutku rontok, 5 bulan setelah didiagnosis. Aku pegang aja rontok. Tak kurangi 10 cm rontok. Tak kurangi lagi 5 cm masih rontok. Kalau pendek kan bisa dirawat, aku kasi Neril, malah tambah rontok. Akhirnya aku ke Gowongan, tak suruh motong pendek, cepak. Itu pun masih rontok. Akhirnya 3 hari kemudian saya masih ke salon yang sama, ditipiskan masih rontok, ya sudah biar saja. Akhirnya tumbuh sendiri. Kan kelihatan gitu lho, bukan karena virusnya tapi stressnya.”

Selang beberapa waktu, M kemudian bertemu dengan salah seorang

relawan dari sebuah LSM. Relawan itu, bersama dengan seorang rekan

waria berkunjung ke kost M. M kemudian memutuskan untuk

menungkapkan keresahan hatinya terkait dengan statusnya yang positif HIV

(53)

minggu, relawan itu berkunjung kembali ke kost M. Dia mengajak M untuk

bertemu dengan seorang teman sesama HIV positif.

“ Dia dari PKBI, saya kepingin curhat karena lama nggak ketemu mbak A. Aku jujur sama mbak Ai, karena Yn kan udah pulang. Mbak Ai disini sama saya. Terus selang beberapa hari, 2 mingguan kali ya..saya masih tidur, mbak Ai itu kesini. Didhodog-dhodog, “mau nggak ketemu dengan teman sesama?” waktu itu saya sempat mikir. Tapi kenapa nggak mau? Dia bilang teman sesama positif. Saya bilang,”mau!” “Ya udah tunggu sebentar ya.” Waktu itu P di talud itu, mbak Ai kesini. Setelah aku oke, si P dipanggil kesini. Terus si P memberi informasi banyaklah ke aku. P juga salah satu orang nomor satu yang mendukung aku yang sesama positif.”

Dukungan dari rekan sesama positif HIV ini kemudian menguatkan M

untuk mulai terlibat dalam kegiatan sosial. Tetapi M kadang-kadang masih

keluar mencari pelanggan meski rekan relawan lain pernah menyarankan M

untuk berhenti dari pekerjaan itu. M masih melakukan pekerjaannya karena

ia tidak punya sumber penghasilan lain untuk menopang hidupnya.

“Jadi waktu itu kan saya masih aktif nih. Terus dapat 1, keluar semalam buat dua hari ya dua hari nggak keluar. Nah, sebenarnya si P itu sudah menyarankan aku (untuk berhenti), tapi dia juga...nggak memenuhi kebutuhanku”

Bersama dengan rekan barunya, M kemudian mulai terlibat dalam kegiatan

sosial, dan semakin bertambah pula rekan-rekan lain yang positif HIV.

(54)

40

Bagi M, bertemu dengan teman-teman sesama positif di satu sisi memang

menguatkan, tetapi di sisi lain juga muncul kekhawatiran. Ia khawatir jika

semakin banyak mengenal teman yang positif HIV, maka kemungkinan

orang lain untuk membocorkan status HIV juga semakin besar.

“Ya itu, akhirnya penggalian kebutuhan dibantu mas N. Intinya yang satu komentar ini, yang satu komentar itu, saya komentar lain. Terus disimpulkan. Ternyata teman Odha itu membutuhkan dukungan, tempat, fasilitas. Terus mulailah pembentukan JOY itu. Nah setelah pembentukan JOY itu saya sempat putus asa.

Ya...karena..kok begini ya?....Kayak gitu lho. Banyak teman itu semakin banyak dukungan juga, tetapi banyak kekhawatiran juga gitu lho. Dalam arti semakin banyak yang tahu itu berarti semakin besar kebobolan gitu lho. Jadi waktu itu aku punya pikiran seperti itu. Waktu itu saya melarikan diri, saya pulang.”

Karena rasa khawatir dan putus asa, M kemudian pulang ke kota asalnya.

Tetapi pulang ke kota asal juga tidak menyelesaikan masalah karena M

menghadapi masalah yang lain. Ia harus bekerja di sawah, sebuah pekerjaan

yang selalu dihindarinya sejak kecil. Kemudian setelah bertahan selama 6

bulan, M memutuskan untuk kembali ke Jogja.

I.2 Reaksi subyek V

Subyek V mengetahui status HIV-nya tanpa melalui prosedur yang

baku. Ketika itu V jatuh sakit dan dirawat intensif di sebuah rumah sakit

besar di Jogja. V didiagnosa mengalami radang paru-paru dan radang

jantung dan V dalam kondisi tidak sadar yang disebabkan panas tubuhnya

(55)

sampel darah V. Beberapa hari kemudian, ketika dokter tersebut berkunjung

ke ruangan tempat V dirawat, dokter itu langsung mengatakan status HIV

subyek V dihadapan keluarganya.

“Dadine piye ya…ya ora ijin kancaku (yang menunggu V), kan eneng tho, kuwi ya ora. Langsung tes. Dadine bar kuwi aku ngertine pas ibuku teka, doktere visite langsung ngomong. Ngomong langsung! “Kamu sering ganti-ganti pasangan ya?” otomatis tho…neng rumah sakit tapi takone masalah hubungan seks…aku nyambunge langsung negatif, “ apa saya positif?” “Ya, kamu positif!”

Anggota keluarga V kemudian tahu tentang status V saat itu juga dan

mereka tetap menerima V apa adanya.

“Ngerti kabeh. Malah posisine pas neng kuwi…pas nglumpuk kabeh, pas doktere ngomong kuwi. Aku kelingan kuwi soale pas doktere ngomong seru tenan..ya wis.

Ya (shock)mungkin iya..tapi ora..memang ora.. ibuku soale ya ngerti aku sih ya…Nek mamaku nganggep, “piye-piye kuwi tetep anakku.” Ibuku pernah ngomong. Ya piye..ngerasa sebagai orangtua, sebagai ibu ya…,”elek-elek tetep anakku.

Ya kaget…ya apa ya…keluargaku terutama mama, mungkin sebetule shock sih…tapi ora diketokke. Ya mungkin sebenere iya, mung ora wae. Pasti,”Kok anakku dadi kaya iki?” tapi ora. Aku ndhelokke ora pati diketokke ibuku. Justru iku sing mbangun aku.”

Perasaan bingung dan stress baru dirasakan V setelah keluar dari

rumah sakit. Ia bingung akan melakukan apa. Dalam kondisi itu V justru

tidak berpikir untuk menggunakan narkoba. Ia bersih dari narkoba selama 6

bulan sejak saat dokter memberitahu status HIV-nya.

(56)

42

Aku malah ora mabuk, akeh menenge. Pas kuwi malah Aku resik, ora nganggo blas. Ana setengah tahun ora nganggo blas. Malah ora kepikiran. Pikire iki piye? Ngomong salah, ora ngomong salah. Ya kuwi, mentale drop banget.”

Satu bulan setelah status HIV subyek V diketahui, Ayah V meninggal

dunia karena sakit. Hal ini menambah beban V, tetapi saat itu ia masih bisa

bertahan tidak menggunakan narkoba sebagai bentuk pelarian. Ketegaran

yang diperlihatkan oleh Ibu V memberikan kekuatan bagi V saat itu. Selain

keluarga, teman-teman juga berperan dalam menguatkan mental V.

Sing pas kuwi ngancani aku P karo N. aku isih kelingan kuwi sing

ngancani pertama. Nganti diundang Spiritia. Nah kuwi mentalku mulai munggah.”

V pernah aktif di sebuah LSM yang mengkampayekan isu anti narkoba. Jadi

ia tahu resiko sebagai pengguna narkoba suntik (penasun). Tapi ia sering

tidak ambil pusing dengan resiko itu. Ia tahu tentang cara penularan HIV,

tetapi belum terlalu memahami.

“Ngerti-ngerti thok. Ya ngerti saka bacaan, tapi ora ngerti gejalane. Perilaku yang beresiko ngerti tapi nggak nggagas. Aku berpikirnya dulu, nek saka pertukaran jarum suntik kuwi isa tapi aku isih rada blank…ora ngerti banget. Sing penting dikumbah resik bar. Pikirane iku …dadi kalo dibilang nol ya nol, kalo yang tentang HIV nol, ya awam biasalah.”

Ia masih beranggapan bahwa HIV hanya ditularkan melalui perilaku seks

tanpa pengaman, bukan dari jarum suntik. Ia merasa bahwa dirinya bukan

penganut seks bebas, jadi dia tidak terlalu memikirkan resiko sebagai

(57)

“Tahu! Tapi mikire nggak potensial sekali. Disini kan dulu terkenalnya dari seks tho… Nah! Dan saya itu beranggapan, bukannya saya sok baik, nggak. Tapi aku tu nggak suka free seks. Maksude aku mabuk, mabuk thok! Ya wis. Ora terus bar mabuk terus free seks, kuwi kan rata-rata. Ya kuwi kan cah-cah emang kuwi, tapi aku kerap diarani yo wis terserah! Nah terus ora dong, ya kuwi, ngertine saka seks ya yang potensial waktu itu. Nek yang jarum suntik itu nggak dong…maksude dong tapi nggak kepikir kalo itu potensial sekali untuk nulari. Yaaa…ternyata terbukti tho…positif tho..ha..ha..ha. Tapi ya jenenge wong edan ya isih nganggo kuwi..hi..hi..hi..pertama itu Odha ya? Ora! Tapi sidane ya Odha tenan….tapi ketularane kapan ya ora dong..ora ngerti.”

Setelah tahu bahwa dirinya positif HIV, subyek V mulai berpikir

untuk menerapkan kebersihan pada peralatan suntik narkoba yang ia

gunakan. Meski kadang cara yang ia gunakan sangat sederhana, mencuci

peralatan suntik dengan cairan alkohol.

“Nek aku dhewe ki..nggo aku pikirane..ya iki nggo aku dhewe. Paling ya wis kebiasaanlah paling ming dikumbah thok…paling alkohol, mentok. Ora kepikiran bayclean.”

Selain berusaha menerapkan prinsip kebersihan pada peralatan, V juga

mulai berpikir untuk sedikit mengurangi konsumsi narkoba. Karena dia tahu

jika kondisi fisiknya menurun akibat mengkonsumsi narkoba, maka jumlah

CD-4 juga akan semakin turun.

“Iya! Dan rada mikir nek drop kondisine. Wahh..iki nek muthuse dhuwur terus, iki drop aku, ndang cepet. Soale kan wis ngerti fase-fasene to…iki otomatis CD4-ku isa drop. Kuwi mikire tekan kono, tapi ora banget sih, tapi sempat kepikir juga.”

Menghilangkan kebiasaan untuk mabuk dengan cara mengkonsumsi

(58)

44

bertemu dengan teman-teman sesama positif HIV, pernah terlintas dalam

pikirannya untuk menularkan virusnya ke orang lain. Tetapi pikiran itu bisa

ditepisnya ketika sedang berkumpul dengan teman-temanya dalam pesta

narkoba. Ia dengan tegas melarang temannya yang akan menggunakan

jarum suntik yang ia pakai. Namun ketika pulang ke rumah dan dalam

keadaan sendiri, pikiran untuk menularkan virus kadang muncul lagi.

“Kuwi malah sempat…malah kuwalik…malah piye ya…pas dhewe kuwi aku dadi sempat pikiranku…aku neng C, wis ndang…karena aku ngerasa yen aku kaya iki terus, dhewe. Aku pemikiranku dadi dhewe karena ora eneng kanca liyane, wis tak tularke wae ben kancane akeh…ha..ha..ha..ha. Ya kuwi pemikiranku wis elek kae. Aku nganti kancaku…dadi bekase aku dienggo kancaku ki nganti tak larang. Tapi mbasan aku neng omah ki dadi malah nyeleneh kae. Dadi batinku..aku kok kaya iki?”

Dalam keadaan tidak memiliki pekerjaan tetap sementara harus

mengkonsumsi ARV (antiretroviral; obat penghambat virus HIV), membuat

V pernah berpikir untuk nekat melakukan tindakan kriminal. Ia saat itu

ditawari pekerjaan oleh rekannya sebagai pencuri motor di kota C. Semua

peralatan sudah tersedia, pembagian tugas sudah jelas dan sudah ada

penadah yang akan menampung barang curian.

“Ya justru malah saiki-saiki kuwi. Karena aku ngerasa aku nganggur. pikiranku dhisik …iki durung ana subsidi, iki kudu 450 sewulan. Ho’o iku wis mikire kuwi…edan po..aku ngasilke ora, ngabot-aboti. Nek wani tekati wae ra papa. Ya wis aku mikire bres wae. Ya kuwi, mungkin karo ra kerja barang kuwi. Kakang adhiku kerja. Aku bingung…aduh piye ya?

(59)

Tapi niat itu kemudian ia batalkan dan V memutuskan untuk kembali ke

Jogja.

C. Pembahasan

1. Proses Penerimaan Diri Subyek Dalam Teori Tahapan Kematian

Kubler Ross

a. Tahap pertama: penyangkalan dan pengasingan diri

Tabel 6.

Reaksi tahap pertama: penyangkalan dan pengasingan diri

Subyek M Subyek V

Tahap 1: penyangkalan dan

mengasingkan diri

Tidak percaya dengan hasil tes kemudian melakukan konfirmasi test HIV. Subyek sempat pulang ke desa asal karena sakit dan bingung dengan apa yang hendak dilakukan.

Tidak percaya dan bingung dengan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Subyek sempat pulang ke kota asal selama beberapa waktu.

Ketika mengetahui status HIV untuk pertama kali, kedua subyek M &

V menampakkan reaksi yang hampir sama. Mereka bingung, apa yang

hendak dilakukan setelah diketahui bahwa mereka positif HIV.

Penyangkalan terhadap kenyataan yang harus mereka hadapi juga tampak.

Subyek M meski melewati proses konseling pre test tetap mengalami

shockdengan status yang baru.

(60)

46

terus melakukan konseling lagi. Yaa... terus aku bingung to...sepulang dari Griya Lentera waktu itu aku bingung, stress kae lho....bingung kae lho. Aduh... bingungnya itu,”aku harus ngapain?” apa yang harus aku lakukan sementara aku kan menjadi pekerja seks? Kalau aku nggak kerja, aku mau makan apa? Kalau aku masih melakukan pekerjaanku sebagai PSK, aku juga punya resiko akan menularkan ke orang lain. Itu...sementara aku sudah tahu kondisiku. Itu pada awalnya bingungnya disitu lho...”

M kemudian mencoba untuk memastikan lagi kebenaran hasil test itu

dengan melakukan tes konfirmasi. Tetapi hasilnya masih tetap positif.

Penyangkalan terhadap kenyataan bahwa dirinya mengidap HIV juga

diungkapkan secara terbuka pada konselornya, meski ia juga menyadari

bahwa ini adalah akibat dari perilaku beresiko yang ia lakukan.

“Mmmm..ya...iya. nggak perasaan sih, tetapi saya ungkapkan ke konselor. Padahal saya main dengan IMS, main dengan virus, main-main dengan seks, bekerja sebagai PSK. Tetapi ketika saya buka hasilnya positif itu saya juga menanyakan,”masak sih mbak? Jangan-jangan salah..” Saya sempat nggak percaya. Pada akhirnya saya disarankan sama konselor kalau untuk konfirmasi, terus keduanya tetap ya wis, terima nasib. Tetapi penolakan tetap ada. Waktu itu penolakan ada, yaa... karena belum ada penjelasannya...yaa..penolakan. tetapi saya banyak menyadari main-main dengan virus, saya main-main dengan IMS.”

Subyek V yang mengetahui status HIV-nya tidak melalui proses yang

baku, menunjukkan reaksi yang tidak jauh berbeda.

(61)

Ia baru merasa bingung dan serba salah dengan kenyataan yang harus

dihadapi justru setelah keluar dari rumah sakit, ketika kondisi badannya

sudah cukup sehat.

Kedua subyek kemudian mengambil keputusan yang sama untuk

pulang ke tempat asalnya, sebagai sebuah bentuk pengasingan diri dari

rutinitas perilaku beresiko yang dilakukan di Jogja. Mereka masih bingung

dengan langkah apa yang akan diambil setelah mengetahui status

HIV-nya.

b. Tahap kedua : Marah

Tabel 7.

Reaksi tahap kedua : Marah

Subyek M Subyek V

Tahap 2: marah

Subyek menyalahkan diri sendiri karena

keputusannya untuk menjadi pekerja seks komersial.

Subyek merasa marah karena mendapat perlakuan diskriminasi dari rumah sakit tempat ia dirawat. Selain perlakuan itu, ia juga diusir dari rumah temannya ketika bertamu.

Gambar

Tabel 1
Tabel 3. Guide line interview
Tabel 4.Profil masing-masing subyek
Tabel 5.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Teknik alternatif yang digunakan seperti dispersi padat dapat digunakan untuk meningkatkan laju disolusi bahan obat dengan kelarutan yang buruk dan telah dibuktikan

bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka untuk kelancaran tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Flores Timur

Adapun sanksi terhadap PIHAK KEDUA sebagai penerimaan bantuan, apabila penerima bantuan tidak mempergunakan dan atau menyalahi penggunaan dana bantuan tidak sesuai dengan

Seorang tokoh pendidikan anak gangguan dari Amerika yang terkenal dengan penemuannya dalam pengajaran bahasa untuk anak yang mengalami gangguan pendengaran dengan menggunakan

“Baiklah,bu cara mengontrol marah itu ada 5 cara yaitu cara mengontrol marah dengan tarik nafas dalam, yang ke 2 dengan konversi energi misalnya mencabur

Selisih antara jumlah tercatat yang dialokasikan pada bagian yang tidak lagi diakui dan jumlah dari pembayaran yang diterima untuk bagian yang yang tidak lagi

Jenis Observasi Berdasarkan Partisipasi.. Langkah-langkah dalam melakukan observasi adalah sebagai berikut. a) Harus diketahui di mana observasi itu dapat dilakukan. b) Harus

Average Length of Stay (ALOS) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan