• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

A. Persiapan penelitian

II. Reaksi subyek ketika pertama kali mengetahui status HIV Tabel 5

II.1 Reaksi Subyek M

Subyek M mengetahui status HIV-nya setelah melakukan tes di klinik PKBI. Awalnya ia berpartisipasi dalam sebuah kampanye HIV/AIDS. M sadar bahwa pekerjaan yang dijalaninya sebagai seorang PSK adalah salah satu perilaku yang beresiko tertular HIV. Ia kemudian berinisiatif untuk melakukan tes HIV di Griya Lentera PKBI. M menjalani tes sesuai dengan prosedur, yaitu dengan melalui konseling pre-test. Setelah menjalani konseling pre-test kemudian sampel darah M diambil oleh petugas klinik. Seminggu kemudian M datang kembali untuk mengambil hasil test. Ternyata hasilnya positif.

“Kode-kode pengambilan darah, sampel, itu kan pakai kode. Ya, aku masih hapal sekali, masih inget sekali. Itu...terus selanjutnya yaa...positif! terus melakukan konseling lagi. Yaa... terus aku bingung to...sepulang dari Griya Lentera waktu itu aku bingung, stress kae lho....bingung kae lho. Aduh...

36

bingungnya itu,”Aku harus ngapain?” Apa yang harus aku lakukan sementara aku kan menjadi pekerja seks? Kalau aku nggak kerja, aku mau makan apa? Kalau aku masih melakukan pekerjaanku sebagai PSK, aku juga punya resiko akan menularkan ke orang lain.”

M masih tidak percaya dengan hasil yang diperolehnya, kemudian konselor menganjurkan untuk melakukan tes konfirmasi lagi, yang kemudian hasilnya tetap positif.

Subyek M merasa dirinya sudah melakukan seks yang aman, terutama selepas mengikuti pelatihan penurunan perilaku resiko IMS.

“Saya nggak kepikiran sekali, karena saya...karena selama saya menjadi pekerja seks, perasaan aku melakukan dengan seks aman.”

Sebetulnya subyek sudah mencoba menerapkan perilaku seks aman dengan menggunakan kondom dalam pekerjaannya. Tetapi ia sering mengalah pada konsumennya karena ia takut tidak mendapat pelanggan.

“Dan sepulang dari situ (pelatihan) kan tahu bahwa apa yang Saya selama ini Aku lakukan itu salah. Tetapi Aku jujur aja, setelah pulang ’95 itu Aku sering otot-ototan sama lelaki karena...ya piye ya...karena apa ya...misalnya pemakaian kondom, misalnya lelaki ditawari kondom terus lelaki itu nggak mau, kayak gitu lho. Kita coba terangkan ke lelaki itu, walaupun waktunya itu sempit sekali. Walaupun sambil bercanda di lokalisasi dengan tamu itu tetapi kalau misalnya tamu itu ngotot, lelaki itu ngotot,”Nggak mau mbak, nggak enak.” Misalnya kayak gitu, nah,”Kalau kamu nggak mau, masih banyak kok yang lain yang mau.” Nah akhirnya Saya disitu mau nggak pake kondom. Soalnya saya mikir,”Aduh...mengko nek dhek’e mlayu neng nggone liya Aku nggak dapet bayaran nih.” Yo wis lah..kayak gitu.”

Selama 5 bulan setelah melakukan tes HIV, subyek bingung dengan apa yang hendak dilakukan. Akhirnya subyek memutuskan untuk mengurangi intensitasnya keluar malam mencari pelanggan. Caranya, bila ia

mendapat uang yang jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama 3 hari, maka ia akan istirahat selama 3 hari.

“Waktu itu aku gini...eeee...memang sangat menyedihkan sekali ya..waktu itu...dalam kebingungan aku waktu itu, aku serba salah. Mau mejeng salah, nggak mejeng salah...kayak gitu. Akhirnya aku memutuskan keluar malam, sekali, misalnya saya dapat untuk 3 malem ya 3 malem istirahat.”

M juga mencoba mencari pekerjaan yang lain. Kebetulan ada keluarga di dekat tempat tinggal M yang membutuhkan pengasuh bayi, kemudian M bekerja di situ. Kesibukan merawat bayi sedikit banyak dapat membuat M melupakan pikiran tentang status HIV-nya. Tetapi pekerjaan itu hanya dilakukannya selama 3 bulan karena keluarga tersebut memutuskan untuk pindah keluar kota. M yang kehilangan kesibukan kemudian memutuskan untuk keluar malam lagi mencari pelanggan.

“Nah itu sambil menunggu proses, kebetulan depan rumah itu (menunjuk) punya adik bayi. Saya disuruh merawat bayinya, pokoke baby sitter-lah. Merawat bayi, anake kembar. Yaa..nggak selang lama, karena setelah 3 bulan bayinya dibawa ke B oleh ayahnya. Terus aku kan udah dapat kesibukan untuk melupakan statusku, aku udah dapat, akhirnya hilang lagi. Ya udah, pada akhirnya kembali ke selera asal, keluar semalam dapat untuk untuk 2 malam ya 2 malam nggak keluar, kayak gitu.”

Beban pikiran mengenai status HIV rupanya sangat dirasakan oleh M. Ia kemudian jatuh sakit. Kebetulan saat jatuh sakit itu keluarganya datang menengok. Lalu M dibawa pulang oleh keluarganya dan dirawat dengan menggunakan obat tradisional.

“Sampai selang saya jatuh sakit, bukan karena virusnya tapi karena pikiran saya. Jadi waktu itu badan saya panas sekali. November itu akhirnya, sebenarnya saya nggak berniat pulang, keluarga saya pas datang kesini,

38

pas saya sakit. Akhirnya saya pulang. Aku bilang karena panas, akhirnya aku sebulan dirumah. Apa yang dilakukan orangtuaku ke aku? Dua hari sekali membikinkan aku kunir asem, kental banget. Aku kan nggak ngerti apa itu ada sangkut pautnya dengan panasku apa nggak, tetapi minum itu akhirnya normal lagi.”

M tetap merahasiakan status HIV-nya kepada keluarganya. Karena M melihat bahwa keluarganya belum siap untuk menerima kenyataan itu, dan M sendiri juga tidak siap mengungkapkannya.

Setelah panas badannya mereda, ternyata rambut M mulai rontok, sampai hampir gundul. Berbagai cara sudah dilakukan M untuk mencegah supaya rambutnya tidak semakin rontok, tetapi tetap saja tidak ada hasilnya. Kemudian M membiarkan keadaan itu dan rambutnya malah tumbuh kembali. Hal ini yang membuat M yakin bahwa penyebab rambutnya rontok adalah beban pikiran tentang status barunya.

“Kemudian rambutku rontok. Rontok itu malah sampai gundul. Aku pegang aja rambutku rontok, 5 bulan setelah didiagnosis. Aku pegang aja rontok. Tak kurangi 10 cm rontok. Tak kurangi lagi 5 cm masih rontok. Kalau pendek kan bisa dirawat, aku kasi Neril, malah tambah rontok. Akhirnya aku ke Gowongan, tak suruh motong pendek, cepak. Itu pun masih rontok. Akhirnya 3 hari kemudian saya masih ke salon yang sama, ditipiskan masih rontok, ya sudah biar saja. Akhirnya tumbuh sendiri. Kan kelihatan gitu lho, bukan karena virusnya tapi stressnya.”

Selang beberapa waktu, M kemudian bertemu dengan salah seorang relawan dari sebuah LSM. Relawan itu, bersama dengan seorang rekan waria berkunjung ke kost M. M kemudian memutuskan untuk menungkapkan keresahan hatinya terkait dengan statusnya yang positif HIV kepada relawan itu setelah rekan waria yang mengantar pulang. Setelah 2

minggu, relawan itu berkunjung kembali ke kost M. Dia mengajak M untuk bertemu dengan seorang teman sesama HIV positif.

“ Dia dari PKBI, saya kepingin curhat karena lama nggak ketemu mbak A. Aku jujur sama mbak Ai, karena Yn kan udah pulang. Mbak Ai disini sama saya. Terus selang beberapa hari, 2 mingguan kali ya..saya masih tidur, mbak Ai itu kesini. Didhodog-dhodog, “mau nggak ketemu dengan teman sesama?” waktu itu saya sempat mikir. Tapi kenapa nggak mau? Dia bilang teman sesama positif. Saya bilang,”mau!” “Ya udah tunggu sebentar ya.” Waktu itu P di talud itu, mbak Ai kesini. Setelah aku oke, si P dipanggil kesini. Terus si P memberi informasi banyaklah ke aku. P juga salah satu orang nomor satu yang mendukung aku yang sesama positif.”

Dukungan dari rekan sesama positif HIV ini kemudian menguatkan M untuk mulai terlibat dalam kegiatan sosial. Tetapi M kadang-kadang masih keluar mencari pelanggan meski rekan relawan lain pernah menyarankan M untuk berhenti dari pekerjaan itu. M masih melakukan pekerjaannya karena ia tidak punya sumber penghasilan lain untuk menopang hidupnya.

“Jadi waktu itu kan saya masih aktif nih. Terus dapat 1, keluar semalam buat dua hari ya dua hari nggak keluar. Nah, sebenarnya si P itu sudah menyarankan aku (untuk berhenti), tapi dia juga...nggak memenuhi kebutuhanku”

Bersama dengan rekan barunya, M kemudian mulai terlibat dalam kegiatan sosial, dan semakin bertambah pula rekan-rekan lain yang positif HIV. “Ya itu, akhirnya saya ke PKBI, tambah 2 teman lagi. “Mau nggak ketemu dengan teman?” gitu. Ternyata...ketemu teman sendiri, waria satu lokasi, sama pasangannya. Terus setelah dari itu, mulailah kita bertemu sampai bulan Desember akhir, sampai terbentuknya JOY itu.”

40

Bagi M, bertemu dengan teman-teman sesama positif di satu sisi memang menguatkan, tetapi di sisi lain juga muncul kekhawatiran. Ia khawatir jika semakin banyak mengenal teman yang positif HIV, maka kemungkinan orang lain untuk membocorkan status HIV juga semakin besar.

“Ya itu, akhirnya penggalian kebutuhan dibantu mas N. Intinya yang satu komentar ini, yang satu komentar itu, saya komentar lain. Terus disimpulkan. Ternyata teman Odha itu membutuhkan dukungan, tempat, fasilitas. Terus mulailah pembentukan JOY itu. Nah setelah pembentukan JOY itu saya sempat putus asa.

Ya...karena..kok begini ya?....Kayak gitu lho. Banyak teman itu semakin banyak dukungan juga, tetapi banyak kekhawatiran juga gitu lho. Dalam arti semakin banyak yang tahu itu berarti semakin besar kebobolan gitu lho. Jadi waktu itu aku punya pikiran seperti itu. Waktu itu saya melarikan diri, saya pulang.”

Karena rasa khawatir dan putus asa, M kemudian pulang ke kota asalnya. Tetapi pulang ke kota asal juga tidak menyelesaikan masalah karena M menghadapi masalah yang lain. Ia harus bekerja di sawah, sebuah pekerjaan yang selalu dihindarinya sejak kecil. Kemudian setelah bertahan selama 6 bulan, M memutuskan untuk kembali ke Jogja.

Dokumen terkait