• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reaksi pada saat mengetahui bahwa

KESIMPULAN DAN SARAN

3. Reaksi pada saat mengetahui bahwa

dirinya positif HIV Subyek pertama kali membuka status pada orang lain

Ya pas ada pelatihan, terus ada testimoni.

J: Trus ada yang nanya, “mbak Ai, jujur aja, M itu positif tho?” “Ooo, nggak tahu ya..”

13 reaksi teman atas

pengakuan subyek

- Bagaimana reaksi subyek ketika pertama kali mengetahui bahwa dirinya HIV positif?

Awal ketertarikan subyek untuk tes HIV

Proses konseling pre-test HIV

kuwi, A karo Yn. “Ini Cuma buat Mbak A dan Yn aja. Setelah Mbak Mn dan A tahu, buat sendiri aja.” Ning ya ra ngerti. ning selama iki biasa-biasa wae.

T: Nek kanca-kanca yang lain selain mereka? J: Ora...ora ngerti.

T: Reaksi mereka?

J: Ya..santai aja. Aku santai sih orangnya. Yo kuwi, yen aku bar siaran atau bar ngapa terus aku make-up-kan diri, golek korban...

T: Mbiyen ketika Mbak M memutuskan aku tak arang-arang metu ki awal-awale piye? Mereka mulai dho takon ra? Ketika jarang metu mbengi?

J: Oooo...ndhisik...dia Cuma menduga-duga bahwa cucuk. Cucuk ki piye yo...nek bahasa banci yoo...wis duwe dhuwitlah. Mula ora metu. Padahal aku durung neng JOY. Sebenarnya yang menguatkan aku neng kene ki nganu...yang menguatkan posisiku ki merga aku kerja wae. Maksude aku gabung di JOY, tapi ngertine kan aku kerja. Iki sida arep crita neng kene? T: Ya mengko, sithik-sithik wae. Mbiyen ki ketika pertama kali ngerti ki piye mbak, statuse?

J: Direncanakan.

T: Direncanakan? Maksude?

J: Karena...dadi critane ngene...awal mulane aku kan wektu itu dadi dampingane PKBI neng wariane. Terus Malam Renungan AIDS Nusantara, Mei, kan PKBI bikin aksi kota.

T: Tahun?

J: Tahun 2001 aksi kota.

PKBI ada MRAN, aksi kota dari teteg ke benteng, nyebarke leaflet, booklet, kaos. Tekan benteng dikek’i kaos ABC, kampanye ABC...kuwi. nah itu 2001. Nah terus waktu itu aku ada infeksi dikulit. Biasa, infeksi dikulit aku dah biasa...ada infeksi dikulit. Malam itu habis kampanye, aksi kota, sorenya aku ke GL, Griya Lentera. Nah...akulah konseling sama ibu konselor. Aku konseling disana, sampai disetujui mereka memberikan informasi ke aku. Sampai disetujui, sampai penandatanganan informed

consent...eh..ndisik ki ora ana penandatanganan informed consent sih....ming persetujuan, perjanjian

14 Subyek mengetahui

statusnya

Perasaan subyek setelah mengetahui status HIV

Mencoba konfirmasi test

Subyek merasa sudah melakukan seks aman

Subyek pernah mendapat pelatihan penurunan resiko IMS

lisan aja. Kayaknya aku nggak merasa menandatangani, 2001 itu, tapi persetujuan, perjanjian. Nah...terus aku mau diambil darahnya. Terus ya..sembari aku minta obat untuk infeksi kulit itu aku dikasi saran kalau seminggu lagi kesini. Waktu itu nggak ngerti apa-apa. Terus seminggu lagi aku kesana. Kesana dengan mengambil hasil melalui pos konseling kalau jaman sekarang. Nek dulu ya pos konseling juga. Terus dijelasin, kan aku masih hafal kode-kodenya, seperti itu. Kode-kode pengambilan darah, sampel, itu kan pakai kode. Ya, aku masih hapal sekali, masih inget sekali. Itu...terus selanjutnya yaa...positif! terus melakukan konseling lagi. Yaa... terus aku bingung to...sepulang dari Griya Lentera waktu itu aku bingung, stress kae lho....bingung kae lho. Aduh... bingungnya itu,”aku harus ngapain?” apa yang harus aku lakukan sementara aku kan menjadi pekerja seks? Kalau aku nggak kerja, aku mau makan apa? Kalau aku masih melakukan

pekerjaanku sebagai PSK, aku juga punya resiko akan menularkan ke orang lain. Saya juga takut tertular untuk yang kedua kali. Itu...sementara aku sudah tahu kondisiku. Itu pada awalnya bingungnya disitu lho... Tetapi disaat pulang dari sana dikasi tahu sama mbak A,”Mbak M, coba konfirmasi lagi.” Tapi nggak pakai ambil darah lagi. Tapi seminggu sesudahnya

memang... T: Tetap positif? J: Ho’o.

T: Selama jeda 1 minggu setelah tes darah itu ada pikiran yang terlintas soal status? Jangan-jangan.... J: Saya nggak kepikiran sekali, karena saya...karena selama saya menjadi pekerja seks, perasaan aku melakukan dengan seks aman. Apalagi kan saya orangnya jarang sekali eee....seks memakai anus ya. Saya hanya memakai oral saja. Jarang-jarang sekali. Saya waktu itu melihat ukuran. Jadi kalau ukuran itu mampu saya lakukan, saya mau melayani lelaki dengan anal seks. Tapi kalau lihat kondisi kelamin laki-laki yang besar aku nggak mau.

T: Tapi tetap menggunakan pengaman? Kondom? J: Tetap. Karena tahun ’95 itu aku udah ikut pelatihan penurunan resiko, di PKBI juga. Tahun’95.

T: Sebelum ikut pelatihan itu kamu sudah aktif? J: Udah aktif. Saya mulai aktif itu perjalanan saya ke Jogja itu 2 Juli ’92. Itu saya langsung aktif terjun

15 Subyek mencoba

menerapkan seks aman dalam pekerjaanya

J: Waktu itu kayaknya nggak sama sekali. Kayaknya nggak peduli, gitu.

T: Pokoknya kerja?

J: Ya cuek aja. Pokoknya bekerja, melayani, dan kayaknya waktu itu belum gencar deh masalah-masalah kayak gitu.

T: Kok terus tergerak, ooo..ini ada pelatihan aku tak melu?

J: Karena kita ada...’95? karena waktu itu

sebelumnya, tahun ’94 udah ditawarin tapi saya belum siap karena waktu itu saya belum ada

kesiapan...belum ada kesiapan mental gitu lho, untuk mengikuti keluar.

T: Di forum?

J: Ya...itu belum punya kesiapan aku. Tetapi yang tahun ’94 itu, kan berarti senior saya, kayak gitu, yang udah pernah ikut pelatihan ini ditahun ’94,

cerita...nanti kalau ikut pelatihan itu dapat informasi. Setelah ikut pelatihan ini dapat kartu anggota dan kartu anggota itu bisa bermanfaat untuk periksa ke GL, untuk kalau ada razia. Pada akhirnya aku tertarik untuk itu. Dan sepulang dari situ kan tahu bahwa apa yang saya selama ini aku lakukan itu salah. Tetapi aku jujur aja, setelah pulang ’95 itu aku sering otot-ototan sama lelaki karena...ya piye ya...karena apa

ya...misalnya pemakaian kondom, misalnya lelaki ditawari kondom terus lelaki itu nggak mau, kayak gitu lho. Kita coba terangkan ke lelaki itu, walaupun waktunya itu sempit sekali. Walaupun sambil

berjanda-berjanda di lokalisasi dengan tamu itu tetapi kalau misalnya tamu itu ngotot, lelaki itu

ngotot,”nggak mau mbak, nggak enak.” Misalnya kayak gitu, nah,”kalau kamu nggak mau, masih banyak kok yang lain yang mau.” Nah akhirnya saya disitu mau nggak pake kondom. Soalnya saya

mikir,”aduh...mengko nek dhek’e mlayu neng nggone liya aku nggak dapet bayaran nih.” Yo wis lah..kayak gitu. Itu sepulang dari mendapat info tahun ’95, bahwa ini juga berbahaya...gitu.

T: Tapi sering nggak? mereka ngotot nggak mau pakai kondom atau setelah Mbak M kasih info,

16 Perasaan setelah subyek

tahu status HIV

Subyek mencoba mencari pekerjaan lain

Subyek kembali lagi pada pekerjaannya

seringan mana?

J: Seringan nggak pernah make. Seringan nggak mau pakai kondom gitu lho. Saya mau pakai kondomnya kalau anal seks. Kalau oral seks nggak. Sedangkan kalau anal seks itu saya jarang-jarang sekali. Belum tentu sebulan dua kali.

T: Dan itu Mbak M ngasih saran kalau anal musti pakai kondom?

J: Setiap tamu yang mau anal, saya mencoba menawarkan pakai kondom. Mau nggak mau itu haknya dia. Saya sudah memberikan informasi, tetapi kalau dia nggak mau, tidak memakai kondom pun saya layani waktu itu.

T: Anal juga?

J: Anal juga, kadang suka nggak pakai kondom. T: Itu pada klien yang sama atau beda-beda? J: Selalu berbeda. Langganan tetap saya itu malah jarang sekali untuk anal seks, karena saya tidak lihai untuk melayani. Nggak bisa goyang

ngebor...ha..ha..ha..nggak bisa goyang

inul...ha..ha..ha. Nggak ada variasi gitu lho...anal. tapi untuk oral yaa..aku bisa bervariasi. Aku minta meng-oral, tidak minta meng-anal.

T: Tesnya sekitar Mei 2001, bar post test Mbak M bingung, dan lain-lain itu sampai berapa lama punya perasaan itu? “Aku meh ngapa?”

J: Sampai 5 bulanan...

T: Apa yang Mbak M lakukan?

J: Waktu itu aku gini...eeee...memang sangat menyedihkan sekali ya..waktu itu...dalam

kebingungan aku waktu itu, aku serba salah. Mau mejeng salah, nggak mejeng salah...kayak gitu. Akhirnya aku memutuskan keluar malam, sekali, misalnya saya dapat untuk 3 malem ya 3 malem istirahat. Nah itu sambil menunggu proses, kebetulan depan rumah itu (menunjuk) punya adik bayi. Saya disuruh merawat bayinya, pokoke baby sitter-lah. Merawat bayi, anake kembar. Yaa..nggak selang lama, karena setelah 3 bulan bayinya dibawa ke B oleh ayahnya. Terus aku kan udah dapat kesibukan untuk melupakan statusku, aku udah dapat, akhirnya hilang lagi. Ya udah, pada akhirnya kembali ke selera asal, keluar semalam dapat untuk untuk 2 malam ya 2 malam nggak keluar, kayak gitu. Sampai selang saya jatuh sakit, bukan karena virusnya tapi karena pikiran

17 Subyek jatuh sakit

Subyek mulai menemukan teman senasib yang menguatkan

saya nggak berniat pulang, keluarga saya pas datang kesini, pas saya sakit. Akhirnya saya pulang. Aku bilang karena panas, akhirnya aku sebulan dirumah. Apa yang dilakukan orangtuaku ke aku? Dua hari sekali membikinkan aku kunir asem, kental banget. Aku kan nggak ngerti apa itu ada sangkut pautnya dengan panasku apa nggak, tetapi minum itu akhirnya normal lagi. Kemudian rambutku rontok. Rontok itu malah sampai gundul. Aku pegang aja rambutku rontok, 5 bulan setelah didiagnosis. Aku pegang aja rontok. Tak kurangi 10 cm rontok. Tak kurangi lagi 5 cm masih rontok. Kalau pendek kan bisa dirawat, aku kasi Neril, malah tambah rontok. Akhirnya aku ke Gowongan, tak suruh motong pendek, cepak. Itu pun masih rontok. Akhirnya 3 hari kemudian saya masih ke salon yang sama, ditipiskan masih rontok, ya sudah biar saja. Akhirnya tumbuh sendiri. Kan kelihatan gitu lho, bukan karena virusya tapi stressnya.

T: Dari kebingungan itu apa yang membuat Mbak M menemukan sesuatu? Maksude,”aku ra bingung neh.” J: Waktu itu kan aku disini. Terus saya nggak ngerti, aku ketemu dengan si Ai untuk yang kedua kalinya. Jadi gini, mb Ai itu kan jadi relawannya PKBI, mungkin regenerasinya mbak Ana. Terus mbak Ai itu nengok sama Yn ngasi kondom ke aku terus ngasi swike, itu lho pelicin yang kayak odol. Dia dari PKBI, saya kepingin curhat karena lama nggak ketemu mbak Ana. Aku jujur sama mbak Ai, karena Yn kan udah pulang. Mbak Ai disini sama saya. Terus selang beberapa hari, 2 mingguan kali ya..saya masih tidur, mbak Ai itu kesini. Didhodog-dhodog, “mau nggak ketemu dengan teman sesama?” waktu itu saya sempat mikir. Tapi kenapa nggak mau? Dia bilang teman sesama positif. Saya bilang,”mau!” “Ya udah tunggu sebentar ya.” Waktu itu P di talud itu, mbak Ai kesini. Setelah aku oke, si P dipanggil kesini. Terus si P memberi informasi banyaklah ke aku. P juga salah satu orang nomor satu yang mendukung aku yang sesama positif.

T: Waktu itu JOY sudah ada?

18 Perasaan putus asa dan

khawatir jika semakin banyak orang yang tahu status HIV-nya

setelah kenal P itu saya sakit. Sakit infeksi telinga. Terus sama P diajak, diperiksa di Sardjito. Aku juga nggak ngertilah, sempat anusku jebol.

Jadi waktu itu kan saya masih aktif nih. Terus dapat 1, keluar semalam buat dua hari ya dua hari nggak keluar. Nah, sebenarnya si P itu sudah menyarankan aku (untuk berhenti), tapi dia juga...nggak memenuhi kebutuhanku. Ya udah, akhirnya aku dibawa ke dokter. Diantar P dan Ai. Jadi kadang-kadang aku nggak enak sama mereka yang ke hulu ke hilir, kesana-kemari, ya...itu...terus kadang-kadang kita ketemu nanti kita ketemu dimana, nanti kamu saya jemput. Sama mbak Ai, sama mas P. Nah terus

biasanya saya dijemput diatas, kebetulan kakanya mas P punya mobil, bisa muter-muter kesana-kesini. Ya itu, akhirnya saya ke PKBI, tambah 2 teman lagi. “Mau nggak ketemu dengan teman?” gitu.

Ternyata...ketemu teman sendiri, waria satu lokasi, sama pasangannya. Terus setelah dari itu, mulailah kita bertemu sampai bulan Desember akhir, sampai terbentuknya JOY itu.

++++++++++++++++++

T: Jadi JOY terbentuk Desember itu?

J: Sebenarnya Desember 2001 itu wis ana...apa ya...Odha itu saling ketemu.

T: Tapi secara resmi belum?

J: Durung...dadi waktu itu janjian di Timoho, kadang saya datang, P datang yang 2 itu nggak datang....ya itu, akhirnya penggalian kebutuhan dibantu mas N. Intinya yang satu komentar ini, yang satu komentar itu, saya komentar lain. Terus disimpulkan. Ternyata teman Odha itu membutuhkan dukungan, tempat, fasilitas. Terus mulailah pembentukan JOY itu. Nah setelah pembentukan JOY itu saya sempat putus asa. T: Justru putus asa?

J: Ya...karena..kok begini ya?....Kayak gitu lho. Banyak teman itu semakin banyak dukungan juga, tetapi banyak kekhawatiran juga gitu lho. Dalam arti semakin banyak yang tahu itu berarti semakin besar kebobolan gitu lho. Jadi waktu itu aku punya pikiran seperti itu. Waktu itu saya melarikan diri, saya pulang. Pulang ke Amb. Kalau nggak salah saya kesini lagi Mei 2002. Jadi tahun baru saya pulang ke Amb. Nah, disana kan saya bermaksud menghindari masalah, ternyata disana kan tempat masalah. Karena latar belakang yang berbeda dengan aku kon neng

19 Pikiran tentang

kematian

Reaksi penolakan subyek ketika pertama kali tahu tentang statusnya

Manfaat konseling bagi subyek

M mikire HIV kuwi dekat dengan kematian juga? J: Aha...iya! sangat mengerikan. Karena saat saya ikut pelatihan, ikut kampanye itu, mengenai gambar-gambar itu sangat..yang mengenai infeksi oportunistik sekali, yang sangat eeee.... dying-dying. Nek Odha ki wis Odha wasting. Terus saya punya pikiran saya akan seperti itu, nggak lama lagi akan seperti itu. Nah, intinya itu positifnya disitu, manfaatnya saya terlibat, Oooo..ini mendapat jawaban O besar. Tetapi

menguraikan kata-katanya ki kepiye? Perasaane ki le arep ngungkapke ki kepiye? Misalnya nggak lama lagi aku akan seperti itu, misalnya nggak lama lagi aku juga akan kesana. Nek aku, mikire semua orang akan mati, semua orang akan kesana. Tetapi setelah saya tahu ini bisa ditaruh disini, disini, malah jadi optimis bahwa saya akan panjang umur.

+++++++++++++

T: Waktu post test, terus hasile dibuka, sempat ada penolakan nggak dari Mbak M,”kok aku?” sempat ada perasan-perasaan itu?

J: Mmmm..ya...iya. nggak perasaan sih, tetapi saya ungkapkan ke konselor. Padahal saya main-main dengan IMS, main-main dengan virus, main-main dengan seks, bekerja sebagai PSK. Tetapi ketika saya buka hasilnya positif itu saya juga

menanyakan,”masak sih mbak? Jangan-jangan salah..” Saya sempat nggak percaya. Pada akhirnya saya disarankan sama konselor kalau untuk

konfirmasi, terus keduanya tetap ya wis, terima nasib. Tetapi penolakan tetap ada. Waktu itu penolakan ada, yaa... karena belum ada

penjelasannya...yaa..penolakan. tetapi saya banyak menyadari main-main dengan virus, saya main-main dengan IMS.

T: Menurut Mbak M, konseling itu seberapa banyak membantu?

J: Banyak ya...50% kayak gitu dengan dia...dengan support, mendukung, apalagi waktu itu kita lagi depresi, stress, ada teman yang mendukung ya disambutlah..gitu. Kayak gitu itu sangat membantu sekali, jadi kita nggak ngerasa sendiri. Waktu 2001

20 Tentang stigma dan

diskriminasi

saya benar-benar sendiri, nggak ada siapa-siapa. Dan saya memang itu...momok gendruwo sekali buat saya. Goyang salah, diem salah. Semakin kita

membungkam, diam, semakin stress, semakin ketidaktahuan. Tetapi saya mau buka mulut, stigma diskriminasi di sekeliling kuat tentang HIV. Jadi bingungnya disitu, serba salah. Tapi dengan adanya konselor, curhatnya sama konselor.

++++++++++++++

T: Tentang stigma dan diskriminasi, nek Mbak M sendiri pernah ngalami atau cuma bayangan aja? J: Bayangan.

T: Untuk Mbak M bayangan? J: Nek saya pribadi....

T: Ya! Ini pribadi lho...

J: Ho’o...nek saya pribadi cuman bayangan. Karena saya selama ini belum pernah mendapat diskriminasi kitannya dengan HIV/AIDS. Padahal kalau dituruti itu sudah berpuluh-puluh kali buka status, tetapi menurut saya tidak ada dampak negatif buat diri saya sendiri. Memang disaat saya mau buka status, saya cari orang yang tepat. Disaat dia peduli sama HIV/AIDS saya baru mau mau. Atau itu diforum tertutup karena itu membantu mereka meluruskan mitos misale kayak gitu, aku mau. Dan itu tidak dipublikasikan, ya aku mau. Pada akhirnya saya kan nggak dapet

diskriminasi. Jadi itu selama ini, aku nggak tahu kalau kita yang mendapat perlakuan, niat saya membantu malah kebakaran jenggot ya.... Selama ini hanya bayangan, tapi memang perlu diantisipasi. Nanti dengan kecerobohan kita dengan mengobral status malah menjadi bumerang yaa..itu malah...selama ini karena saya tidak pernah mengalami diskriminasi tentang status ke-Odha-an, ya ini saya anggap baru bayangan. Kalau diskriminasi kewariaan itu sudah biasa. Contoh kasus, misalnya saya mau berangkat mejeng, dia pakai motor, saya ditrotoar

diludahin...kayak gitu kan nggak adil kan! Wis biasa gitu.

T: Nek iki tentang orientasi seks dan pekerjaan, justru yang dialami. Nek tentang HIV sampai saat ini belum?

J: Belum. Ya jangan sampailah.

T: Mbiyen ketika pas awal-awal, itu sempat jadi pikiran banget? Setelah didiagnosa positif, pada saat jeda 5 bulan. Nek istilahku nggak bisa ngapa-ngapa

21 Menyalahkan diri

sendiri ketika tahu status HIV

Subyek sadar akan konsekuensi pekerjaanya

T: Kok muncul pemikiran itu kenapa mbak? Karena sebelumnya wis tau ngerti? dikandhani?

J: karena informasi itu karena media. Nek wong wis kena HIV kuwi dibakar. Ada kasus kena HIV/AIDS dibakar, ada kasus kena HIV digebuki massa, kayak gitu. Jadi terlintas dipikiran itu pernah. Tapi akhirnya kan aku bisu tho...meneng wae. Kalau si V itu pernah entuk diskriminasi. Nek uwong sing pernah entuk diskriminasi ki memang seru. Karena aku kan kaitannya dengan kewariaan aja. Nek status durung. Aku pengin kerjasama karo kene misale ibu-ibu PKK, arisan, misale penyuluhan. Karena pernah ada orang bawah itu sakit, disini kan kalo dari pekerjaan kan kebanyakan resiko tinggi. Sakit, kemudian nggak lama mati. Tapi kan kalau dari ciri-ciri kan kita tahu dari latar belakang dia. Nyambut gawe neng Sarkem, tapi kok meninggalnya itu nggak lama. Iso kaposi sarkoma, tekan nggon mripat barang....ning yo oleh karena mereka nggak ngerti dari awal ya wis.... ++++++++++++++

Saat mulai terinfeksi, selain sempat ada penolakan, maksude ‘kok aku?’,Mbak M pernah ada rasa marah terhadap diri sendiri?

J: Memarahi diri sendiri? Ada tapi dikit nggak banyak.

T: Ho’o piye?

J: Ada, maksude menyalahkan diri sendiri, coba aku ra nglonthe, kayak gitu lho…kayak nggethuni, coba aku ndisik ora keluar malam, mungkin tidak akan seperti ini. Itu juga ada rasa kemarahan ya itu…saya bilang sedikit, nggak banyak….itu proses

penerimaannya lebih cepat karena tingkat kemarahannya sedikit, tapi ya sempat marah.

T: Apa karena sebelumnya karena Mbak M dari awal sudah menyadari resiko dari apa yang sudah terjadi? J: Dari resiko aku main-main dengan virus? Iya, itu resiko dari aku main-main dengan virus. Melakukan hubungan seks bebas.

22 Cara subyek

menghadapi lingkungan

Pikiran tentang kematian

T: Tapi mbak, sori, saat ini Mbak M menyandang 2 status. Nek dari tatanan umum kuwi dianggap berada diluar. Kuwi sok membuat Mbak M tertekan juga? J: Kalo statusku akan menekan aku, ya... itu kodrat. Tetapi kalo aku disuruh tertekan oleh statusku, aku nggak mau. Jadi aku bukan melawan status, tetapi melawan tekanan. Jadi contoh kasus, untuk menghindari pelecehan, aku berpakaian seperti ini (menunjuk badan), karena aku seorang waria. Toh seorang waria bukan berarti harus pakai make up, rok, itu juga termasuk mengurangi tekanan kan? Agar aku tidak terdiskriminasi. Ning tentang ke-Odha-an, untuk menekan masyarakat tentang Odha, ya... tutup mulut. Tidak membuka status. Dan disaat kita mau membuka status, cari tempat, waktu, dan orang yang tepat, supaya kita nyaman dan kita juga tidak tertekan. Bener!... nek (agak lama) waria-ne dhewe kan alam.... Tapi dengan untuk.... opo.... nek tertekan karena keadaan... emoh!!! Selalu menghindar dari tekanan-tekanan. Ya biarlah mereka beropini “Y itu waria, Y itu kayak gini” itu hak dia, tapi aku EGP gitu....,

Dokumen terkait