• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengeringan

Pengeringan atau dehidrasi merupakan proses pengeluaran air dari bahan hasil pertanian atau bahan pangan. Pengeringan didefinisikan sebagai suatu metoda untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menggunakan energi panas, sehingga tingkat kadar air kesetimbangan dengan kondisi udara (atmosfir) normal atau tingkat kadar air yang setara dengan nilai aktifitas air (Aw) yang aman dari kerusakan mikrobiologi, enzimatis atau kimiawi (Wirakartakusumah et al., 1989). Menurut Cánovas dan Mercado (1996) tujuan utama dari pengeringan/dehidrasi bahan pangan adalah untuk memperpanjang umur simpan dari produk akhir. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi kadar air produk hingga tingkatan tertentu yang dapat membatasi pertumbuhan mikroba dan reaksi kimia. Penghilangan air dari bahan pangan dapat mencegah pertumbuhan dan reproduksi mikroorganisme penyebab kebusukan dan juga dapat meminimalisir banyak reaksi pengrusakan dengan medium air. Selain itu, pengeringan juga dapat mengurangi berat dan volume bahan, meminimalisir pengemasan, penyimpanan dan biaya transportasi dan juga memungkinkan penyimpanan produk dibawah suhu ambient (Jayaraman dan Das Gupta, 1995)

Proses pengeringan suatu bahan dapat dijelaskan sebagai rangkaian tahapan yang dipengaruhi oleh laju pengeringannya. Laju pengeringan menentukan waktu untuk menurunkan kadar air produk sampai kadar air yang diinginkan. Parameter yang mempengaruhi laju pengeringan adalah suhu, kecepatan aliran, kelembaban relatif udara, kadar air awal dan akhir bahan, dan lain-lain (Brooker et al., 1982). Menurut Henderson dan Perry (1976) proses pengeringan dapat dibagi menjadi dua periode yaitu periode laju pengeringan konstan (constant rate period) dan periode laju pengeringan menurun (falling rate period) seperti yang terlihat pada Gambar 3. Sebelum memasuki laju pengeringan tetap, biasanya pada proses pengeringan didahului oleh periode pemanasan atau pendinginan. Periode ini sukar sekali diamati karena proses pengeringan berlangsung dengan sangat cepat, dan dilanjutkan dengan periode berikutnya yaitu dimana terjadi proses pengeringan dengan laju pengeringan tetap (Wirakartakusumah et al., 1992).

Gambar 3. Kurva karakteristik pengeringan

Dalam periode laju pengeringan tetap, bahan atau massa dari bahan berisi sedemikian banyak air sehingga air yang berada dipermukaan akan menguap dengan cara yang serupa seperti penguapan pada permukaan air bebas, dimana kecepatan penguapannya sama dengan kecepatan air yang dipindahkan dari dalam bahan ke permukaan bahan. Kadar air pada saat

LAJU PENGERINGAN KONSTAN KADAR AIR LAJU PENGERINGAN MENURUN (pertama) LAJU PENGERINGAN MENURUN (kedua) LAJ U PENGERI N GAN

periode laju pengeringan tetap berakhir dikenal sebagai kadar air kritis. Pada kadar air kritis ini, air pada permukaan bahan terdapat kecil sekali dan mekanisme pengeringan dengan laju yang tetap tidak dapat dipertahankan lagi (Wirakartakusumah et al., 1992). Kadar air kritis bahan tergantung dari karakteristik padatan bahan, seperti bentuk dan ukuran dan juga kondisi pengeringan. Menurut Henderson dan Perry (1976) laju pengeringan tetap merupakan periode yang singkat, sehingga dalam perhitungan keseluruhan proses pengeringan dapat diabaikan.

Pengeringan pada buah dan sayuran biasanya terjadi pada periode falling rate. Menurut Heldman (1975) dan Senadeera et al. (2003), pada periode ini mekanisme utama yang terkait dalam pergerakan air ke permukaan untuk penguapan adalah difusi. Difusi ini dapat meliputi difusi likuid, difusi uap, difusi molekular dan faktor lain yang akan berpengaruh terhadap karakteristik pengeringan. Model matematik untuk menunjukkan periode laju pengeringan menurun adalah sebagai berikut (Hall, 1979): = ... (1)

Dimana DL adalah koefisien difusivitas (m2/s), t adalah waktu, ℓ adalah ketebalan bahan (m), M adalah kadar air rata-rata pada waktu t (%bk), Me adalah kadar air kesetimbangan (%bk) dan Mo adalah kadar air pada permulaan periode laju menurun (%bk).

Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui bahwa laju pengeringan secara langsung bergantung kepada perbedaan antara kadar air pada waktu tertentu, dengan kadar air kesetimbangan dan berbanding terbalik pada kuadrat ketebalan bahan. Apabila persamaan tersebut diintegrasikan akan diperoleh persamaan sebagai berikut :

= ... (2) atau = ... (3) dM dt π2 DL 4ℓ2 – (M-Me) ln (M-Me) (Mo-Me) – π 2 DL 4ℓ2 t (M-Me) (Mo-Me) exp π2 DL 4ℓ2 – t

Jika nilai Me rendah sekali mendekati nol dan bernilai konstan, maka kadar air M mendekati Mo . exp (–kt), sehingga kadar air merupakan fungsi ekponensial dari waktu pengeringan, yang berarti selama pengeringan terjadi penurunan kadar air dengan laju yang menurun.

Salah satu jenis pengering yang sering digunakan pada industri pangan adalah pengering tipe fluidized bed. Menurut Jayaraman dan Das Gupta (1995) keuntungan menggunakan alat ini diantaranya adalah intensitas pengeringan yang tinggi; suhu yang seragam dan secara keseluruhan dapat dikontrol; efisiensi pemanasan tinggi; durasi waktu pengeringan dapat diubah-ubah; waktu pengeringannya lebih cepat dibandingkan tipe pengering lain; operasi dan perawatan alat yang relatif mudah; proses dapat diotomatisasi. Lebih lanjut menurut Devahastin (2001), pengeringan dengan cara ini menjanjikan cara pengeringan yang kontinu, terkontrol otomatis, dan skala operasi yang besar dengan penanganan yang mudah terhadap input dan produk.

Keuntungan yang lain adalah pertukaran panas dan massa yang cepat antara udara panas dan partikel bahan yang dikeringkan serta tingkat pemanasan yang berlebih pada bahan yang tidak diinginkan relatif dapat dicegah. Selain itu, pengeringan dengan cara ini memungkinkan pencampuran yang cepat dan mendorong untuk menuju ke keadaan isotermal sehingga pengontrolan relatif lebih mudah.

Prinsip kerja alat ini adalah mengalirkan udara panas yang berasal dari pemanas elektrik atau pemanas lain dengan bantuan kipas angin. Aliran udara ini bergerak vertikal, dengan kekuatan tinggi yang akan mengenai bahan yang berada diatasnya. Karena menggunakan kecepatan angin berkekuatan tinggi bahan akan terangkat mengakibatkan seluruh permukaan bahan akan bersentuhan dengan udara panas. Untuk mengefektifkan proses pengeringan, diperlukan kontak panas yang maksimum antara media dengan bahan. Salah satu caranya adalah dengan memperbesar luas permukaan yang terkena oleh panas, prinsip inilah yang digunakan pada pengering tipe fluidized bed ini.

π2 DL 4ℓ2

2. Gaplek Sukun

Buah sukun mempunyai daging buah tebal, rasanya manis dan kandungan airnya tinggi, sehingga tidak tahan lama untuk disimpan. Sekitar tujuh hari setelah dipetik buah menjadi matang, dan selanjutnya akan rusak karena proses kimiawi (Pitojo, 1992). Apabila akan dimanfaatkan dalam jangka waktu relatif lama, buah sukun perlu diproses terlebih dahulu menjadi gaplek sukun, tepung sukun atau berbagai masakan sukun. Pada penelitian ini, buah sukun dibuat menjadi gaplek sukun sebagai bahan baku pembuatan tepung sukun. Pembuatan sukun menjadi tepung sukun merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya guna dan daya tahan buah sukun sebagai bahan baku industri. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern saat ini yang ingin serba praktis.

Ada beberapa metode dalam pembuatan gaplek sukun, mulai dari cara yang tradisional sampai cara modern. Pada dasarnya prinsip pembuatan gaplek sukun adalah pengupasan, pembersihan, pengirisan dan pengeringan. Buah sukun yang telah tua dihilangkan tangkai buahnya, dibersihkan dari kotoran, dikupas dan kemudian dicuci bersih. Buah dipotong-potong dan diiris-iris tipis dengan menggunakan pisau tajam. Kemudian irisan tersebut harus segera dihamparkan secara merata ditempat pengeringan dan dijemur dipanas matahari. Setiap tiga jam sekali jemuran dibalik, agar proses pengeringan dapat merata. Setelah kadar air tinggal 14%, maka gaplek siap disimpan di dalam kantong plastik (Pitojo, 1992).

Namun, pada prakteknya ditemukan beberapa kendala dalam pembuatan gaplek sukun yaitu terjadinya warna coklat saat pemrosesan sehingga apabila diolah menjadi tepung akan dihasilkan tepung yang berwarna coklat. Untuk menghindari terbentuknya warna coklat tersebut, maka harus diusahakan sesedikit mungkin terjadinya kontak antara bahan dengan udara. Caranya yaitu dengan merendam buah yang telah dikupas dalam air bersih, dan menonaktifkan enzim dengan cara diblansir yaitu dikukus (Widowati, 2003). Lama pengkukusan tergantung sedikit banyaknya

bahan, berkisar antara 10-20 menit. Tingkat ketuaan buah juga sangat berperan terhadap warna tepung yang dihasilkan. Buah yang muda menghasilkan tepung sukun berwarna putih kecoklatan. Semakin tua buah semakin putih warna tepungnya. Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum (Widowati et al., 2001). Selain itu, dapat juga dilakukan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0.3% dan blansir uap 80oC selama 7 menit untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan tersebut (Ekawidiasta, 2003).

Pengeringan juga merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pembuatan gaplek sukun. Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari tidak cukup efektif dan efisien apabila buah yang dikeringkan banyak. Selain kendala cuaca (hujan), waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat kekeringan yang diinginkan juga cukup lama. Oleh karena itu perlu diupayakan penggunaan pengering buatan yang efektif dan efisien. Berbagai usaha untuk mendapatkan hasil gaplek sukun yang maksimal menimbulkan banyak metode baru dalam pembuatan gaplek sukun.

C. SIFAT FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG

Dokumen terkait