• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi Pengeringan Sukun (Artocarpus altilis) dan Karakterisasi Tepung Sukun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimasi Pengeringan Sukun (Artocarpus altilis) dan Karakterisasi Tepung Sukun"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI PENGERINGAN SUKUN (Artocarpus altilis) DAN

KARAKTERISASI TEPUNG SUKUN

Oleh

INDRI RUSMAYANTI F24101111

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Indri Rusmayanti (F2410111). Optimasi Pengeringan Sukun (Artocarpus altilis) dan Karakterisasi Tepung Sukun. Di bawah bimbingan Dahrul Syah dan Subarna. (2006)

RINGKASAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga menjadi hak azasi bagi setiap manusia, sehingga pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan secara adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia. Namun permasalahan pangan sepertinya tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia. Ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu, misalnya beras dan gandum, merupakan salah satu penyebab rapuhnya ketahanan pangan Indonesia. Padahal Indonesia memiliki banyak potensi sumber pangan indigenus yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan pokok ataupun pangan pendamping. Salah satunya adalah buah sukun (Artocarpus altilis).

Permasalahan yang dihadapi pada pengolahan sukun adalah bahwa buah sukun termasuk dalam golongan buah klimakterik dan juga tergolong buah yang cepat masak dan berkadar air tinggi sehingga sebaiknya dilakukan pembuatan produk setengah jadi (intermediate product) sebagai usaha untuk pengawetan hasil panen. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), dapat diperkaya zat gizinya (difortifikasi), mudah dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis. Namun pada prakteknya ditemui kendala pada teknik penepungan yang paling sering diaplikasikan (teknik penepungan tanpa pramasak dengan pengeringan kabinet) yaitu waktu pengeringan yang cukup lama (sekitar 7-8 jam). Selain itu, pengeringan dengan menggunakan pengering kabinet kurang praktis apabila diaplikasikan untuk skala yang lebih besar (industri). Untuk itu perlu dicari alternatif pengering tipe lain untuk menanggulangi kendala yang dihadapi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi peluang optimasi produk tepung-tepungan, untuk mengetahui perlakuan pengeringan yang optimum serta mengetahui parameter yang perlu dijaga dalam scale up produksi tepung sukun. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan sifat kimia tepung sukun.

Optimasi pengeringan buah sukun yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan pengering tipe bed (bed dryer) sebagai alternatif pengering tipe lain yang digunakan pada pembuatan tepung sukun. Buah sukun yang dikeringkan rata-rata berumur sekitar 2.5-3 bulan dengan berat rata-rata-rata-rata berkisar antara 1-1.5 kg. Bentuk dan ukuran yang dipilih dalam pengeringan adalah model sawut. Pada penelitian ini, pengeringan dilakukan dengan 3 variasi suhu yaitu 60oC, 65oC dan 70oC. Ketebalan tumpukan yang diujikan adalah 5 cm dan 7 cm. Sedangkan laju alir udara ditentukan berdasarkan kapasitas maksimum alat (0.9 m/s). Proses pengeringan yang dilakukan pada karakterisasi pengeringan ini menggunakan kadar air sebagai tolok ukur pencapaian. Kadar air maksimum yang digunakan dalam penentuan suhu, waktu, dan ketebalan tumpukan bahan adalah 6% (%bk).

(3)

dikeringkan dengan menggunakan pengering kabinet. Kemudian dilakukan analisis sifat reologi adonan tepung sukun untuk mengetahui karakteristik adonan tepung sukun. Dengan mengetahui sifat fisiknya, maka pengembangan produk dapat dilakukan dengan menyesuaikan sifat fisik tersebut. Analisis ini terdiri dari analisis viskositas adonan tepung (metode amilograf), analisis ketahanan adonan dan kemampuan penyerapan air pada tepung (metode farinograf) dan analisis kekuatan adonan dan ketahanan terhadap peregangan (metode ekstensograf). Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan analisis komposisi kimia tepung sukun untuk membandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Data hasil pengeringan menunjukkan bahwa untuk keseluruhan percobaan yang dilakukan, waktu pengeringan selama 105 menit sudah cukup untuk mengeringkan sawut buah sukun. Namun, kadar air akhir yang diinginkan pada penelitian ini adalah 6%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan persamaan regresi pada kurva pengeringan untuk keseluruhan percobaan, diperoleh prediksi waktu untuk mencapai kadar air 6% (%bk). Pada perlakuan ketebalan tumpukan 5 cm dan suhu pengeringan 60oC, 65oC, 70oC, waktu pengeringan yang dibutuhkan secara berurutan adalah 104 menit, 100 menit dan 88 menit. Pada perlakuan ketebalan tumpukan 7 cm dan suhu pengeringan 60oC, 65oC, 70oC, waktu pengeringan yang dibutuhkan secara berurutan adalah 108 menit, 105 menit dan 99 menit.

Penentuan suhu, ketebalan dan waktu pengeringan dilakukan dengan memperhatikan volume produksi atau produktivitas serta efisiensi yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Oleh karena itu dilakukan perhitungan energi yang diperlukan untuk mencapai kadar air yang diinginkan (6% bk) per satuan berat bahan. Berdasarkan hasil perhitungan, perlakuan yang dinilai lebih efisien untuk mengeringkan sukun sampai kadar air 6% (%bk) adalah perlakuan dengan ketebalan tumpukan 7 cm, suhu inlet 60oC dan waktu pengeringan 108 menit. Walaupun waktu pengeringan yang diperlukan lebih lama dibandingkan lima perlakuan lainnya, namun berdasarkan hasil perhitungan jumlah energi per satuan berat yang diperlukan pada perlakuan ini lebih rendah dari perlakuan lainnya yaitu sebesar 3704.37 kj/kg bahan.

Berdasarkan percobaan pengeringan yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa parameter yang perlu diperhatikan pada pengeringan buah sukun adalah suhu pengeringan, ketebalan tumpukan dan waktu pengeringan. Walaupun pada penelitian ini tidak dipelajari mengenai keterkaitannya, namun parameter lain seperti laju alir udara, ketebalan ukuran potongan (irisan) sawut, umur panen buah sukun yang digunakan dan perlakuan pengadukan juga perlu diperhatikan dalam pengeringan buah sukun.

(4)

kadar serat makanan tidak larut (insoluble dietary fiber) yaitu masing-masing sebanyak 8.02% dan 5.23 %.

(5)

OPTIMASI PENGERINGAN SUKUN (Artocarpus altilis) DAN

KARAKTERISASI TEPUNG SUKUN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

INDRI RUSMAYANTI F24101111

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

OPTIMASI PENGERINGAN SUKUN (Artocarpus altilis) DAN KARAKTERISASI TEPUNG SUKUN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

INDRI RUSMAYANTI F24101111

Dilahirkan pada tanggal 5 Januari 1984 di Jakarta

Tanggal lulus : 5 Mei 2006

Menyetujui, Bogor, Mei 2006

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ir. Subarna, M.Si

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang hanya karena rahmat dan hidayahNya penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil studi literatur dan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Mama dan papa, atas dukungan, kasih sayang dan doa-doanya yang menjadi tenaga dan semangat bagi penulis dalam menjalankan hidup serta membuat segalanya menjadi mungkin.

2. Adik-adik tersayang, Bayu dan Farry atas segala keceriaan yang telah menyemangati penulis dalam melalui hari.

3. Bpk Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc selaku pembimbing akademik atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menjalankan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Serta atas segala arahan, bimbingan dan kesabarannya. Terima kasih sudah menjadi “bapak” sepanjang masa kuliah penulis.

4. Bpk Ir. Subarna, MSi selaku pembimbing II atas masukan dan arahan serta ilmu yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas kesabarannya.

5. Bpk Dr. Ir. Yadi Hariyadi, M.Sc atas kesediannya menjadi dosen penguji serta atas masukannya dalam penyelesaian skripsi.

6. Program Riset Unggulan Nasional (RUSNAS) yang telah membiayai penelitian yang dilakukan oleh penulis.

7. Teman-teman SKIR Tirta Karya Manunggal atas semua dukungan yang telah diberikan selama 8 tahun kebersamaan kita.

8. Sahabatku Anita, Bobby, Fanny, Inggrid yang telah membuat hidupku penuh warna.

9. Setyoko yang telah memberikan banyak inspirasi dan ilmu untukku. Terima kasih untuk selalu mendengarkan dan mengajarkan banyak hal tentang hidup. 10.Nurhan Afrizon atas doa-doa, semangat, dan kasih sayangnya.

(8)

12.Rekan-rekan satu bimbingan, Okta, Hendry, Udin, Sendhi, Derry serta adik-adik

39 atas kebersamaan, semangat dan dukungan hingga semuanya selesai.

13.Endi, Mimi, Ibot, Yani, Lukman serta seluruh rekan-rekan TPG’38 khususnya golongan D, TPG’37, TPG’39 atas segala keceriaan dan kenangan sepanjang masa kuliah di TPG.

14.Teman-teman di kost putri Windy : mba ulfa, teman-teman 37 dan 38 yang sudah mendahuluiku, adik-adik 39, 40 dan 41 atas kebersamaan selama 4.5 tahun ini. 15.Seluruh dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas ilmu yang

bermanfaat yang telah diberikan sepanjang masa kuliah penulis.

16.Seluruh staf dan laboran Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pilot Plant PAU IPB yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian.

17.Mas Cahyo Noviarso yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian.

18.Dan terima kasih untuk semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.

Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada banyak pihak.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN... 4

C. MANFAAT ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. BUAH SUKUN (Artocarpus altilis) ... 5

1. Botani dan Budidaya Tanaman Sukun ... 5

2. Sifat Fisik dan Fisiologi Lepas Panen ... 7

3. Komposisi Kimia... 11

4. Penyebaran dan Produksi Buah Sukun di Indonesia ... 13

B. PROSES PENGERINGAN SUKUN ... 14

1. Proses Pengeringan... 14

2. Gaplek Sukun ... 18

C. SIFAT FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG ... 19

1. Sifat Rheologi Adonan ... 19

2. Serat Makanan ... 20

III. METODE PENELITIAN ... 23

A. STUDI PUSTAKA STATUS PENELITIAN TEPUNG-TEPUNGAN 23 B. REKAYASA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN BED DRYER... 23

1. Bahan dan Alat ... 23

2. Prosedur Percobaan ... 23

a. Pembuatan Sawut Buah Sukun ... 23

(10)

c. Perlakuan... 24

d. Pengamatan ... 25

C. KARAKTERISTIK TEPUNG SUKUN... 26

1. Bahan dan Alat ... 26

2. Prosedur Percobaan ... 26

a. Penyiapan Tepung Sukun... 26

b. Analisis Sifat Kimia Tepung Sukun... 27

1. Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) ... 27

2. Analisis Kadar Abu (Apriyantono et al, 1989) ... 27

3. Analisis Kadar Protein (Apriyantono et al, 1989) ... 28

4. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al, 1989) ... 28

5. Analisis Kadar Lemak (Apriyantono et al, 1989)... 29

6. Analisis Kadar Serat Makanan (AOAC, 1995)... 29

c. Analisis Derajat Putih dengan Kett Photoelectric Tube Whiteness Meter for Powder Model C-1 ... 31

d. Analisis Sifat Rheologi Tepung Sukun ... 31

1. Analisis viskositas adonan tepung, metode amilograf (AACC, 1983)... 31

2. Analisis ketahanan adonan dan kemampuan penyerapan air pada tepung, metode farinograf (AACC, 1983) ... 32

3. Analisis kekuatan adonan dan ketahanan terhadap peregangan, metode ekstensograf (AACC, 1983)………... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

A. STATUS PENELITIAN TEPUNG-TEPUNGAN... 34

B. REKAYASA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN BED DRYER... 38

1. Pembuatan Sawut Buah Sukun... 38

2. Pengeringan Sawut Buah Sukun (Gaplek Sukun) ... 39

C. KARAKTERISTIK TEPUNG SUKUN... 51

1. Penyiapan Tepung Sukun ... 51

2. Analisis Sifat Kimia Tepung Sukun ... 55

(11)

OPTIMASI PENGERINGAN SUKUN (Artocarpus altilis) DAN

KARAKTERISASI TEPUNG SUKUN

Oleh

INDRI RUSMAYANTI F24101111

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Indri Rusmayanti (F2410111). Optimasi Pengeringan Sukun (Artocarpus altilis) dan Karakterisasi Tepung Sukun. Di bawah bimbingan Dahrul Syah dan Subarna. (2006)

RINGKASAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga menjadi hak azasi bagi setiap manusia, sehingga pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan secara adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia. Namun permasalahan pangan sepertinya tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia. Ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu, misalnya beras dan gandum, merupakan salah satu penyebab rapuhnya ketahanan pangan Indonesia. Padahal Indonesia memiliki banyak potensi sumber pangan indigenus yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan pokok ataupun pangan pendamping. Salah satunya adalah buah sukun (Artocarpus altilis).

Permasalahan yang dihadapi pada pengolahan sukun adalah bahwa buah sukun termasuk dalam golongan buah klimakterik dan juga tergolong buah yang cepat masak dan berkadar air tinggi sehingga sebaiknya dilakukan pembuatan produk setengah jadi (intermediate product) sebagai usaha untuk pengawetan hasil panen. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), dapat diperkaya zat gizinya (difortifikasi), mudah dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis. Namun pada prakteknya ditemui kendala pada teknik penepungan yang paling sering diaplikasikan (teknik penepungan tanpa pramasak dengan pengeringan kabinet) yaitu waktu pengeringan yang cukup lama (sekitar 7-8 jam). Selain itu, pengeringan dengan menggunakan pengering kabinet kurang praktis apabila diaplikasikan untuk skala yang lebih besar (industri). Untuk itu perlu dicari alternatif pengering tipe lain untuk menanggulangi kendala yang dihadapi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi peluang optimasi produk tepung-tepungan, untuk mengetahui perlakuan pengeringan yang optimum serta mengetahui parameter yang perlu dijaga dalam scale up produksi tepung sukun. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan sifat kimia tepung sukun.

Optimasi pengeringan buah sukun yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan pengering tipe bed (bed dryer) sebagai alternatif pengering tipe lain yang digunakan pada pembuatan tepung sukun. Buah sukun yang dikeringkan rata-rata berumur sekitar 2.5-3 bulan dengan berat rata-rata-rata-rata berkisar antara 1-1.5 kg. Bentuk dan ukuran yang dipilih dalam pengeringan adalah model sawut. Pada penelitian ini, pengeringan dilakukan dengan 3 variasi suhu yaitu 60oC, 65oC dan 70oC. Ketebalan tumpukan yang diujikan adalah 5 cm dan 7 cm. Sedangkan laju alir udara ditentukan berdasarkan kapasitas maksimum alat (0.9 m/s). Proses pengeringan yang dilakukan pada karakterisasi pengeringan ini menggunakan kadar air sebagai tolok ukur pencapaian. Kadar air maksimum yang digunakan dalam penentuan suhu, waktu, dan ketebalan tumpukan bahan adalah 6% (%bk).

(13)

dikeringkan dengan menggunakan pengering kabinet. Kemudian dilakukan analisis sifat reologi adonan tepung sukun untuk mengetahui karakteristik adonan tepung sukun. Dengan mengetahui sifat fisiknya, maka pengembangan produk dapat dilakukan dengan menyesuaikan sifat fisik tersebut. Analisis ini terdiri dari analisis viskositas adonan tepung (metode amilograf), analisis ketahanan adonan dan kemampuan penyerapan air pada tepung (metode farinograf) dan analisis kekuatan adonan dan ketahanan terhadap peregangan (metode ekstensograf). Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan analisis komposisi kimia tepung sukun untuk membandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Data hasil pengeringan menunjukkan bahwa untuk keseluruhan percobaan yang dilakukan, waktu pengeringan selama 105 menit sudah cukup untuk mengeringkan sawut buah sukun. Namun, kadar air akhir yang diinginkan pada penelitian ini adalah 6%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan persamaan regresi pada kurva pengeringan untuk keseluruhan percobaan, diperoleh prediksi waktu untuk mencapai kadar air 6% (%bk). Pada perlakuan ketebalan tumpukan 5 cm dan suhu pengeringan 60oC, 65oC, 70oC, waktu pengeringan yang dibutuhkan secara berurutan adalah 104 menit, 100 menit dan 88 menit. Pada perlakuan ketebalan tumpukan 7 cm dan suhu pengeringan 60oC, 65oC, 70oC, waktu pengeringan yang dibutuhkan secara berurutan adalah 108 menit, 105 menit dan 99 menit.

Penentuan suhu, ketebalan dan waktu pengeringan dilakukan dengan memperhatikan volume produksi atau produktivitas serta efisiensi yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Oleh karena itu dilakukan perhitungan energi yang diperlukan untuk mencapai kadar air yang diinginkan (6% bk) per satuan berat bahan. Berdasarkan hasil perhitungan, perlakuan yang dinilai lebih efisien untuk mengeringkan sukun sampai kadar air 6% (%bk) adalah perlakuan dengan ketebalan tumpukan 7 cm, suhu inlet 60oC dan waktu pengeringan 108 menit. Walaupun waktu pengeringan yang diperlukan lebih lama dibandingkan lima perlakuan lainnya, namun berdasarkan hasil perhitungan jumlah energi per satuan berat yang diperlukan pada perlakuan ini lebih rendah dari perlakuan lainnya yaitu sebesar 3704.37 kj/kg bahan.

Berdasarkan percobaan pengeringan yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa parameter yang perlu diperhatikan pada pengeringan buah sukun adalah suhu pengeringan, ketebalan tumpukan dan waktu pengeringan. Walaupun pada penelitian ini tidak dipelajari mengenai keterkaitannya, namun parameter lain seperti laju alir udara, ketebalan ukuran potongan (irisan) sawut, umur panen buah sukun yang digunakan dan perlakuan pengadukan juga perlu diperhatikan dalam pengeringan buah sukun.

(14)

kadar serat makanan tidak larut (insoluble dietary fiber) yaitu masing-masing sebanyak 8.02% dan 5.23 %.

(15)

OPTIMASI PENGERINGAN SUKUN (Artocarpus altilis) DAN

KARAKTERISASI TEPUNG SUKUN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

INDRI RUSMAYANTI F24101111

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

OPTIMASI PENGERINGAN SUKUN (Artocarpus altilis) DAN KARAKTERISASI TEPUNG SUKUN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

INDRI RUSMAYANTI F24101111

Dilahirkan pada tanggal 5 Januari 1984 di Jakarta

Tanggal lulus : 5 Mei 2006

Menyetujui, Bogor, Mei 2006

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ir. Subarna, M.Si

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

(17)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang hanya karena rahmat dan hidayahNya penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil studi literatur dan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Mama dan papa, atas dukungan, kasih sayang dan doa-doanya yang menjadi tenaga dan semangat bagi penulis dalam menjalankan hidup serta membuat segalanya menjadi mungkin.

2. Adik-adik tersayang, Bayu dan Farry atas segala keceriaan yang telah menyemangati penulis dalam melalui hari.

3. Bpk Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc selaku pembimbing akademik atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menjalankan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Serta atas segala arahan, bimbingan dan kesabarannya. Terima kasih sudah menjadi “bapak” sepanjang masa kuliah penulis.

4. Bpk Ir. Subarna, MSi selaku pembimbing II atas masukan dan arahan serta ilmu yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas kesabarannya.

5. Bpk Dr. Ir. Yadi Hariyadi, M.Sc atas kesediannya menjadi dosen penguji serta atas masukannya dalam penyelesaian skripsi.

6. Program Riset Unggulan Nasional (RUSNAS) yang telah membiayai penelitian yang dilakukan oleh penulis.

7. Teman-teman SKIR Tirta Karya Manunggal atas semua dukungan yang telah diberikan selama 8 tahun kebersamaan kita.

8. Sahabatku Anita, Bobby, Fanny, Inggrid yang telah membuat hidupku penuh warna.

9. Setyoko yang telah memberikan banyak inspirasi dan ilmu untukku. Terima kasih untuk selalu mendengarkan dan mengajarkan banyak hal tentang hidup. 10.Nurhan Afrizon atas doa-doa, semangat, dan kasih sayangnya.

(18)

12.Rekan-rekan satu bimbingan, Okta, Hendry, Udin, Sendhi, Derry serta adik-adik

39 atas kebersamaan, semangat dan dukungan hingga semuanya selesai.

13.Endi, Mimi, Ibot, Yani, Lukman serta seluruh rekan-rekan TPG’38 khususnya golongan D, TPG’37, TPG’39 atas segala keceriaan dan kenangan sepanjang masa kuliah di TPG.

14.Teman-teman di kost putri Windy : mba ulfa, teman-teman 37 dan 38 yang sudah mendahuluiku, adik-adik 39, 40 dan 41 atas kebersamaan selama 4.5 tahun ini. 15.Seluruh dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas ilmu yang

bermanfaat yang telah diberikan sepanjang masa kuliah penulis.

16.Seluruh staf dan laboran Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pilot Plant PAU IPB yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian.

17.Mas Cahyo Noviarso yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian.

18.Dan terima kasih untuk semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.

Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada banyak pihak.

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN... 4

C. MANFAAT ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. BUAH SUKUN (Artocarpus altilis) ... 5

1. Botani dan Budidaya Tanaman Sukun ... 5

2. Sifat Fisik dan Fisiologi Lepas Panen ... 7

3. Komposisi Kimia... 11

4. Penyebaran dan Produksi Buah Sukun di Indonesia ... 13

B. PROSES PENGERINGAN SUKUN ... 14

1. Proses Pengeringan... 14

2. Gaplek Sukun ... 18

C. SIFAT FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG ... 19

1. Sifat Rheologi Adonan ... 19

2. Serat Makanan ... 20

III. METODE PENELITIAN ... 23

A. STUDI PUSTAKA STATUS PENELITIAN TEPUNG-TEPUNGAN 23 B. REKAYASA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN BED DRYER... 23

1. Bahan dan Alat ... 23

2. Prosedur Percobaan ... 23

a. Pembuatan Sawut Buah Sukun ... 23

(20)

c. Perlakuan... 24

d. Pengamatan ... 25

C. KARAKTERISTIK TEPUNG SUKUN... 26

1. Bahan dan Alat ... 26

2. Prosedur Percobaan ... 26

a. Penyiapan Tepung Sukun... 26

b. Analisis Sifat Kimia Tepung Sukun... 27

1. Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) ... 27

2. Analisis Kadar Abu (Apriyantono et al, 1989) ... 27

3. Analisis Kadar Protein (Apriyantono et al, 1989) ... 28

4. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al, 1989) ... 28

5. Analisis Kadar Lemak (Apriyantono et al, 1989)... 29

6. Analisis Kadar Serat Makanan (AOAC, 1995)... 29

c. Analisis Derajat Putih dengan Kett Photoelectric Tube Whiteness Meter for Powder Model C-1 ... 31

d. Analisis Sifat Rheologi Tepung Sukun ... 31

1. Analisis viskositas adonan tepung, metode amilograf (AACC, 1983)... 31

2. Analisis ketahanan adonan dan kemampuan penyerapan air pada tepung, metode farinograf (AACC, 1983) ... 32

3. Analisis kekuatan adonan dan ketahanan terhadap peregangan, metode ekstensograf (AACC, 1983)………... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

A. STATUS PENELITIAN TEPUNG-TEPUNGAN... 34

B. REKAYASA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN BED DRYER... 38

1. Pembuatan Sawut Buah Sukun... 38

2. Pengeringan Sawut Buah Sukun (Gaplek Sukun) ... 39

C. KARAKTERISTIK TEPUNG SUKUN... 51

1. Penyiapan Tepung Sukun ... 51

2. Analisis Sifat Kimia Tepung Sukun ... 55

(21)

b. Analisis Kadar Abu (Apriyantono et al, 1989) ... 58

c. Analisis Kadar Protein (Apriyantono et al, 1989) ... 59

d. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al, 1989)... 60

e. Analisis Kadar Lemak (Apriyantono et al, 1989) ... 62

f. Analisis Kadar Serat Makanan (AOAC, 1995)... 62

3. Analisis Sifat Rheologi Tepung Sukun ... 65

a. Analisis viskositas adonan tepung sukun (amilograf)... 65

b. Analisis farinograf dan ekstensograf tepung sukun ... 70

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. KESIMPULAN... 71

B. SARAN ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(22)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Karakteristik fisik buah sukun pada empat tingkat umur panen. ... 10 Tabel 2. Kandungan Kimia Buah Sukun per 100 g Bahan... 12 Tabel 3. Kandungan vitamin dan mineral sukun, beras,

jagung, singkong, talas, terigu, ubi merah... 12 Tabel 4. Komposisi kimia aneka tepung umbi-umbian dan buah-buahan. ... 13 Tabel 5. Data penelitian-penelitian mengenai buah dan tepung sukun. ... 37 Tabel 6. Kadar air rata-rata buah sukun segar ... 40 Tabel 7. Rekapitulasi data kadar air basis kering pada masing-masing

percobaan... 41 Tabel 8. Rekapitulasi persamaan regresi kurva kadar air vs waktu pengeringan 42 Tabel 9. Rekapitulasi prediksi waktu pengeringan... 47 Tabel 10. Rekapitulasi perhitungan energi ... 48 Tabel 11. Hasil Analisis Proksimat Tepung ... 56 Tabel 12. Komposisi Kimia tepung sukun, tepung ubi jalar,

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Tanaman Sukun (Artocarpus altilis) ... 6 Gambar 2. Buah Sukun (Artocarpus altilis) ... 9 Gambar 3. Kurva Karakteristik Pengeringan ... 15 Gambar 4. Diagram alir pembuatan sawut sukun ... 24 Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung sukun... 26 Gambar 6. Sawut Buah Sukun ... 39 Gambar 7. Kurva hubungan kadar air rata-rata basis kering terhadap waktu

pada ketebalan tumpukan 5 cm dan suhu 60oC, 65oC, 70oC... 44 Gambar 8. Kurva hubungan kadar air rata-rata basis kering terhadap waktu

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Data proses penepungan, karakteristik dan aplikasi dari berbagai

tepung umbi-umbian dan tepung kacang-kacangan ... 84 Lampiran 2. Data potensi, peluang serta kepercayaan dalam masyarakat terhadap

beberapa jenis tepung umbi-umbian dan tepung kacang-kacangan .. 101 Lampiran 3. Kadar air sawut buah sukun pada pengeringan

dengan suhu 60oC dan ketebalan tumpukan 5 cm... 103 Lampiran 4. Kadar air sawut buah sukun pada pengeringan

dengan suhu 65oC dan ketebalan tumpukan 5 cm... 104 Lampiran 5. Kadar air sawut buah sukun pada pengeringan

dengan suhu 70oC dan ketebalan tumpukan 5 cm... 105 Lampiran 6. Kadar air sawut buah sukun pada pengeringan

dengan suhu 60oC dan ketebalan tumpukan 7 cm... 106 Lampiran 7. Kadar air sawut buah sukun pada pengeringan

dengan suhu 65oC dan ketebalan tumpukan 7 cm... 107 Lampiran 8. Kadar air sawut buah sukun pada pengeringan

(25)

I.PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga menjadi hak azasi bagi setiap manusia, sehingga pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan secara adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia. Sektor pertanian dalam hal ini memiliki peran untuk menghasilkan bahan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia. Namun fakta menunjukkan bahwa permasalahan pangan sepertinya tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia. Ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu, misalnya beras dan gandum, merupakan salah satu penyebab rapuhnya ketahanan pangan Indonesia.

Persoalan tersebut tidak akan terjadi apabila masyarakat Indonesia tidak bergantung pada satu atau dua jenis pangan pokok saja. Indonesia sebagai negara agraris seharusnya dapat membangun suatu sistem usaha agroindustri yang tidak bergantung pada bahan-bahan impor seperti beras atau gandum. Penganekaragaman (diversifikasi pangan) mungkin dapat menjadi alternatif solusi yang cukup rasional dalam pemecahan masalah pemenuhan kebutuhan pangan (khususnya sumber karbohidrat) ini. Melalui penataan pola makan yang tidak bergantung pada satu sumber pangan, memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri, membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada peningkatan ketahanan pangan nasional.

(26)

Tanaman ini merupakan tanaman tropik sejati dan memiliki adaptasi yang luas termasuk lahan marjinal dan lahan kering kritis di daerah berbukit. Selain itu budidaya sukun tidak memerlukan pengolahan tanah secara intensif dan berulang seperti ubi kayu, ubi jalar dan kentang, sehingga tanaman sukun lebih sesuai untuk konservasi lahan kritis (Kartono et al., 2003).

Intensifikasi penanaman sukun di Jawa Timur telah dilakukan sejak tahun 2002. Diantaranya adalah di Kabupaten Kediri, Banyuwangi, Pasuruan, Sumenep dan Lumajang. Dengan luasan areal pertanaman tersebut, daerah Jawa Timur pada tahun 2001 mampu menghasilkan sebanyak 8.4 ton buah sukun dari sekitar 111.7 ribu pohon buah sukun. Tingkat produksi buah sukun per pohon mencapai 75.5kg (Anonimd, 2002). Daerah lain penghasil sukun di Indonesia antara lain kepulauan Seribu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, kepulauan Sangir Talaut, Sumatra Utara, dan Lampung (Widowati, 2004)

Berdasarkan beberapa hal tersebut dapat dilihat bahwa buah sukun memang sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh sebagai bahan pangan sumber karbohidrat. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangannya adalah bahwa buah sukun termasuk dalam golongan buah klimakterik dan juga tergolong buah yang mudah cepat masak dan berkadar air tinggi. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan pembuatan produk setengah jadi (intermediate product) sebagai usaha untuk pengawetan hasil panen. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), dapat diperkaya zat gizinya (difortifikasi), mudah dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis.

(27)

drum (Purba, 2002), pramasak dengan pengeringan kabinet (Wincy, 2001), dan tanpa pramasak dengan pengeringan kabinet (Ekawidiasta, 2003).

Dari keempat teknik tersebut, teknik penepungan metode Ekawidiasta (2003) dinilai lebih aplikatif. Namun kendala yang dihadapi adalah waktu pengeringan yang cukup lama yaitu sekitar 7-8 jam. Selain itu, pengeringan dengan menggunakan pengering kabinet kurang praktis apabila diaplikasikan untuk skala yang lebih besar (industri). Untuk itu perlu dicari alternatif pengering tipe lain untuk menanggulangi kendala yang dihadapi. Sebab mudah atau tidaknya memproduksi suatu produk akan mempengaruhi minat masyarakat untuk mengembangkan produk tersebut. Sehingga perlu dilakukan penelitian yang dapat mempermudah produksi tepung sukun namun tetap memperhatikan kualitasnya.

Ada beberapa hal yang dapat membantu pembuatan tepung sukun diantaranya adalah prosedur pengeringan yang tepat, penanganan bahan baku dan penyimpanan yang baik. Selain pembuatan tepung, pengembangan produk baru berbasis tepung sukun yang dapat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat juga perlu diperhatikan. Sehingga tepung sukun dapat dimanfaatkan sesuai dengan yang diharapkan.

(28)

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Mengidentifikasi peluang optimasi produk tepung-tepungan. b. Rekayasa proses pengeringan menggunakan bed dryer :

1. Mengetahui perlakuan pengeringan yang optimum.

2. Mengetahui parameter yang perlu dijaga dalam scale up produksi tepung sukun

c. Mengkarakterisasi tepung sukun :

1. Mengetahui sifat fisik tepung sukun (viskositas, suhu gelatinisasi dan derajat putih)

2. Mengetahui sifat kimia tepung sukun (komposisi kimia dan kadar serat)

C. MANFAAT

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BUAH SUKUN (Artocarpus altilis)

1. Botani dan Budidaya Tanaman Sukun

Sukun adalah tanaman yang memiliki banyak manfaat dan dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Buah sukun memiliki kadar karbohidrat dan nilai gizi yang cukup tinggi sehingga dapat dijadikan makanan pokok ataupun makanan tambahan diberbagai daerah. Buah sukun termasuk dalam genus Artocarpus (Moraceae) yang terdiri dari sekitar 50 spesies tanaman yang tumbuh di daerah Asia Tenggara dan kepulauan Pasifik yang beriklim panas dan lembab. Nama umum buah sukun adalah Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg (Fosberg (1941) didalam Ragone (1997)). Menurut Anonimf (2005), Artocarpus altilis Park. Fosberg termasuk dalam kingdom Plantae, Filum Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subklas Dicotyledonsae, ordo Urticale, famili Moraceae, genus Artocarpus

Artocarpus altilis (Park.) Fosberg (sinonim dengan A. Communis J.R.&G.Forster, A. Incisuc (Thunb.)L.f.) tersebar sangat luas dan menunjukkan variabilitas yang cukup tinggi. Spesies ini terdiri dari jenis yang berbiji dan tidak berbiji. Jenis yang berbiji paling banyak terdapat di wilayah barat Pasifik Utara. Sedangkan jenis yang tidak berbiji banyak terdapat di Mikronesia dan bagian timur dari kepulauan Polinesia (Ragone, 2001). Popenoe (1920) menggolongkan sukun menjadi dua kelas, yaitu kelas yang berbiji disebut breadnut dan kelas yang tidak berbiji disebut sebagai tanaman breadfruit. Buah sukun yang dikenal di Indonesia adalah sukun tanpa biji (breadfruit).

(30)

dan tidak akan tumbuh pada temperatur dibawah 40oF. Tanaman ini termasuk salah satu jenis tanaman tropikal yang tersulit untuk tumbuh diluar area tropikal. Pertumbuhan akan terhenti dan pohon akan mati ketika suhu menurun hingga dibawah 60oF atau diatas 95oF (Anonime, 2004).

[image:30.612.263.434.417.574.2]

Tinggi pohon sukun bisa mencapai 9-18 meter dan mulai berbuah setelah sekitar 6 tahun (Anonima, 1983). Tanaman ini dapat memproduksi buah selama lebih dari 50 tahun. Kulit kayunya licin, berwana cerah dan diameter batangnya bisa mencapai 1.2 m. Diseluruh bagian dari tanaman ini terdapat getah (Ragone, 1997). Daunnya memiliki ukuran yang besar, kasar dan panjangnya mencapai lebih dari 30 cm. Menurut Pitojo (1992), tajuk daun rimbun, bentuk daun oval panjang dengan belahan daun simetris karena didukung oleh tulang daun yang menyirip simetris. Panjang daun 60 cm dan lebar daun 45 cm dengan tangkai daun 7 cm. Ujung daun meruncing, tepi daun bercangap menyirip, kadang-kadang siripnya bercabang. Muka daun bagian atas halus dan bagian bawah kasar berbulu. Warna bagian atas daun hijau mengkilap dan bagian bawah kusam.

Gambar 1. Tanaman Sukun (Artocarpus altilis)

(31)

bunga betina berbentuk lebih runcing pada bagian atas (kepala), dan agak berongga (Noviarso, 2003). Setelah 1-2 minggu kemudian bunga betina mekar dan muncul bakal buah (pentil) dari bunga betina ini. Pengukuran umur panen buah dihitung sejak munculnya bakal buah ini. Dari satu ujung batang dapat tumbuh 2-4 pentil namun yang akan tumbuh menjadi buah hanya 1-2 pentil (Noviarso, 2003).

Pengembangbiakan tanaman sukun dilakukan secara vegetatif. Sebagian besar petani menanam sukun dengan 2 (dua) cara yaitu stek akar dan tunas akar. Bagi petani yang telah memiliki tanaman sukun memilih menggunakan tunas akar dengan alasan lebih mudah dan menampakkan pertumbuhan lebih cepat dibanding dengan stek akar. Lain halnya dengan penangkar yang membutuhkan bibit dalam jumlah besar, bibit sukun yang berasal dari stek akar membutuhkan waktu 6 hingga 7 bulan untuk siap di tanam. Bibit stek akar umur 6 – 7 bulan telah mencapai ketinggian tunas/tanaman 40 cm dengan jumlah daun 4 – 5 helai (Kartono et al., 2003). Selain dengan tunas akar, sukun dapat pula dikembangbiakan dengan cara cangkok. Tanaman baru yang dihasilkan akan sama dengan induknya (Pitojo, 1992).

Budidaya tanaman sukun secara monokultur jarang dilakukan. Umumnya pohon sukun ditanam sebagai tanaman pinggiran, untuk penghalang angin, atau kadang-kadang sebagai pelindung tanaman kopi. Musim panen sukun biasanya dua kali setahun, yaitu bulan Januari-Februari dan Juli-September (Widowati, 2003). Menurut Pitojo (1992), maju mundurnya musim panen sangat dipengaruhi oleh datangnya musim penghujan. Apabila musim kemarau basah, maka produksi buah pada bulan Juli-Agustus akan meningkat daripada bila musim kemarau kering.

2. Sifat Fisik dan Fisiologi Lepas Panen

(32)

(Nakasone dan Paull (1998) seperti yang diacu oleh Jung Chen dan Paull (2005)). Daging buah sukun berwarna putih, putih kekuningan, dan kuning tergantung dari jenisnya. Kulitnya berwarna hijau kekuningan dengan ketebalan berkisar antara 1-2 mm. Permukaan kulit buah muda kasar dan menjadi halus setelah buah tua. Tekstur buah saat mentah keras, dan menjadi lunak-masir setelah matang. Rasa buahnya saat mentah hambar atau rasa pati dan agak manis setelah matang, dengan flavour spesifik (Widowati, 2003). Buah sukun biasanya matang dan siap untuk dipanen dan dikonsumsi sebagai makanan pokok sumber karbohidrat dalam waktu 15-19 minggu (Ragone, 2004)

Pada umumnya buah sukun yang terdapat di Indonesia ada tiga jenis, yaitu sukun gundul, sukun kecil, dan sukun medium. Ciri-ciri fisik untuk membedakan ketiga jenis sukun tersebut adalah dari ukuran buah, bentuk daun, dan warna buah. Sukun gundul memiliki ciri-ciri warna daun hijau cerah, bentuk daunnya menyirip, tepi daun bercangap dan melekuk kedalam, serta kedudukan daun mendatar dengan kecenderungan mengarah keatas. Sedangkan buahnya memiliki ciri-ciri permukaannya licin, tidak berduri, berwarna hijau, kandungan air banyak, daya simpannya 3-4 hari, daging buah kurang kenyal dan gurih apabila dibandingkan dengan sukun kecil. Berat buah sukun gundul ini berkisar antara 2.5-4.5 kg (Syah dan Nazaruddin, 1994).

Pada sukun kecil warna daunnya hijau tua dan kusam, permukaan daunnya kasar dan berbulu, letak daunnya berhadapan, rapat dan menyirip, tepi daunnya bercangap dan bersirip, posisi daun cenderung menguncup keatas. Sedangkan buahnya memiliki ciri-ciri memiliki duri lunak, berwarna hijau dan menguning seiring dengan tingkat kematangannya, kandungan airnya sedikit, daya simpan 8 hari, daging buahnya kering dan kenyal. Berat buah sukun kecil ini berkisar antara 1-1.5 kg (Syah dan Nazaruddin, 1994).

(33)
[image:33.612.287.409.150.302.2]

banyak daripada sukun kecil, daging buah kenyal, dan daya simpannya 6 hari. Berat buah sukun gundul berkisar antara 2-2.5 kg (Syah dan Nazaruddin, 1994).

Gambar 2. Buah Sukun (Artocarpus altilis)

Buah sukun terdiri dari tiga bagian, yaitu kulit, hati, gagang, serta daging (pulp). Menurut Reeve (1974) proporsi kulit, hati dan daging untuk buah hijau adalah sekitar 22%, 8%, dan 70% , sedangkan untuk buah masak adalah sekitar 12%, 10% dan 78%. Bagian hati sukun berintikan sel-sel parenkim gabus yang dikelilingi oleh jaringan pembuluh xilem dan floem. Apabila buah dibelah, jaringan pembuluh ini mudah berubah warna, karena aktivitas enzim oksidatif, sedangkan perubahan warna daging buah relatif sangat lambat (Reeve, 1974). Cadangan pati buah sukun terdapat dalam sel parenkim. Ukuran sel ini berkisar antara 30-70 mikron, sedangkan diameter pati kira-kira 10 mikron (Reeve, 1974).

(34)

penuh berwarna hijau gelap, dengan bentuk yang lebih bulat dan lebih lunak dari buah yang masih belum matang serta pada kulit buah terdapat getah. Kulit buah yang menguning menunjukkan terjadi over maturity.

Menurut Noviarso (2003), warna kulit buah sukun dan keadaan getah dapat digunakan sebagai tanda kematangan buah sukun. Buah sukun yang masih muda (2-2.5 bulan) mempunyai kulit yang berwarna hijau dan getah putih belum keluar dari kulit, sedangkan buah sukun yang agak matang (2.5-3 bulan) kulitnya berwarna hijau kekuningan dan getah sudah mulai keluar dari kulit berupa noda-noda putih yang agak mengkilap. Getah putih mengkilap ini diperkirakan mengandung lemak (lilin). Buah sukun yang matang (3-3.5 bulan) tampak berwarna hijau kecoklatan dan getah sudah banyak keluar. Buah sukun yang sudah tua (lebih dari 3.5 bulan) kulitnya berwarna coklat gelap, dan getah berubah menjadi coklat kehitaman serta telah berhenti keluar. Buah sukun yang telah tua ini kulitnya tampak retak-retak dan bagian bawahnya (ujung buah) berwarna hitam.

[image:34.612.164.521.522.699.2]

Berikut ini merupakan tabel karakteristik fisik buah sukun pada empat tingkat umur panen berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Noviarso (2003). Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa umur panen buah sukun yang paling optimum untuk diolah menjadi tepung sukun adalah pada umur panen 2.5-3 bulan. Hal ini dikarenakan rendemen dan komposisi kimia tepung yang dihasilkan paling baik

Tabel 1. Karakteristik fisik buah sukun pada empat tingkat umur panen. Proporsi bagian buah

(%) Umur

panen (bulan)

Warna

kulit Getah

Berat utuh (g)

Diameter buah

(cm) Daging Kulit Hati

2-2.5 Hijau Belum keluar dari

kulit

800-1000 14-15 71-72 17-18 10

2.5-3 Hijau kekuningan

Sudah keluar dari

kulit

1000-1250 15-15.5 74 16 10

3-3.5 Hijau kecoklatan

Banyak

keluar 1400-2280 15.5-20 78 12 10 >3 Coklat

kehitaman

Berhenti

(35)

Buah sukun yang berkualitas baik adalah yang hijau matang, keras, dengan batang yang tetap utuh, dan bebas dari cacat (seperti cacat, pecah, bonyok, dan kerusakan akibat serangga) dan kebusukan. Keseragaman dari bentuk, ukuran, dan berat juga penting seperti faktor kualitas. Daging buah sukun (bagian yang dapat dimakan) berisi 25-30% (basis berat segar) karbohidrat, separuhnya adalah pati (Kader, 2002).

Buah sukun termasuk dalam golongan buah klimakterik dengan kisaran laju respirasi pada suhu 20oC (68oF) adalah 38 (preklimakterik) hingga 178 (puncak klimakterik) ml CO2/kg.jam (Kader, 2002). Data lain menyebutkan bahwa laju respirasi buah sukun pada suhu 13oC adalah 94-564 mg CO2/kg.jam dan pada suhu 25oC 362-597 mg CO2/kg.jam (Jung Chen dan Paull, 2005).

Buah sukun umumnya dikonsumsi dalam keadaan matang (fully mature), tetapi karena pola respirasinya yang demikian cepat, maka dalam selang beberapa hari buah sukun akan segera menjadi lunak dan tidak dapat dimakan (Thompson et al., 1974). Menurut Thompson et al. (1974), proses respirasi dan pematangan buah sukun dapat dihambat dengan cara menyimpannya pada suhu dingin, tetapi proses pematangannya berlangsung tidak normal. Buah matang yang seharusnya berwarna hijau kekuningan, berubah menjadi coklat buram. Pada penyimpanan di bawah suhu 12oC buah sukun akan mengalami chilling injury. Menurut Kader (2002) suhu optimum untuk penyimpanan adalah 13±1oC (56± 20oF) dengan umur simpan yang potensial selama 2-4 minggu (tergantung dari umur tanam dan tingkat kematangan) dan RH optimumnya adalah 85-95%.

3. Komposisi Kimia

(36)
[image:36.612.167.522.165.439.2]

kalorinya rendah, sehingga dapat digunakan untuk makanan diet (Widowati, 2003).

Tabel 2. Kandungan mineral, vitamin, lemak dan asam amino buah sukun per 100 g bahan

Mineral Vitamin Lemak Asam amino

Kalsium : 17 mg Vitamin C : 29 mg Asam lemak

jenuh : 0.048 g Threonine : 0.052 g

Besi : 0.54 mg Thiamin : 0.11 mg

Asam lemak tak jenuh tunggal : 0.034 g

Isoleucine : 0.064 g

Magnesium : 25

mg Riboflavin : 0.03 mg

Asam lemak tak jenuh jamak : 0.066 g

Lysine : 0.037 g

Potasium : 490

mg Niacin : 0.9 mg Methionine : 0.01 g

Seng : 0.12 mg As. Pantothenic :

0.457 mg Cystine : 0.009 g

Tembaga : 0.084

mg Vitamin B6 : 0.1 mg Phenylalanine : 0.026 g

Mangan : 0.06 mg Folate : 14 mg Tyrosine : 0.019 g Selenium : 0.6 mg Vitamin A : 40 IU Valine : 0.047 g

Vitamin A RE : 4 mg RE

Vitamin E : 1.12 ATE

[image:36.612.168.555.480.688.2]

Sumber : Widowati (2003)

Tabel 3. Komposisi kimia sukun, singkong, talas, ubi merah, terigu, beras giling, jagung kuning .

Komposisi Sukun Singkong Talas Ubi

merah Terigu

Beras giling

Jagung kuning Energi (kalori) 108 109.5 83.3 105.78 365 360 276.3

Air (g) 70.65 46.88 62.05 58.91 12 13.0 21.6

Protein (g) 1.3 0.9 1.62 1.55 8.9 6.8 7.11

Lemak (g) 1.07 0.23 0.17 0.61 1.3 0.7 3.06

Karbohidrat (g) 27.12 26.03 20.15 23.99 77.3 78.9 57.24

Serat (g) 4.9 - - - -

Abu (g) 0.9 - - - -

Kalsium (mg) 17 24.75 23.8 25.8 16 6 8.1

Fosfor (mg) 0.12 30 51.85 42.14 106 140 133.2

Besi (mg) 0.54 0.53 0.85 0.61 1.2 0.8 1.89

Vitamin B1 (mg) 0.11 0.05 0.11 0.08 0.12 0.12 0.30

Vitamin B2 (mg) 0.03 - - - -

Vitamin C (mg) 29 22.5 3.4 18.92 0 0 0

(37)

Komposisi kimia tepung sukun dapat dilihat pada Tabel 4. Tepung sukun mengandung 84.03% karbohidrat, 9.90% air, 2.83% abu, 3.64% protein dan 0.41% lemak. Tabel 4 menunjukkan bahwa kandungan protein tepung sukun lebih tinggi dibandingkan tepung ubi kayu, tepung ubi jalar, tepung pisang dan tepung haddise (Widowati, et.al., 2001). Lebih lanjut menurut FAO (1972) seperti yang diacu oleh Pitojo (1992), dalam 100 g bahan, tepung sukun memiliki kadar karbohidrat sebanyak 78.9 g, lemak 0.8 g, protein 3.6 g, vitamin B1 0.34 mg, vitamin B2 0.17 mg, vitamin C 47.6 mg, fosfor 165.2 mg,kalsium 58.8 mg dan zat besi 1.1 mg. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa tepung sukun juga memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap.

Tabel 4. Komposisi kimia aneka tepung umbi-umbian dan buah-buahan. Kadar (%)

Komoditas

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Pisang 10.11 2.66 3.05 0.28 84.01

Sukun 9.09 2.83 3.64 0.41 84.03

Labu kuning 11.14 5.89 5.04 0.08 77.65 Haddise 9.32 6.62 2.67 0.08 81.32 Ubi kayu 7.80 2.22 1.60 0.51 87.87 Ubi jalar 7.80 2.16 2.16 0.83 86.95 Sumber: Widowati, et al., (2001)

4. Penyebaran dan Produksi Buah Sukun di Indonesia

Produksi buah sukun dapat mencapai 50-150 buah/tanaman. Produktivitas tanaman tergantung daerah dan iklimnya. Paling sedikit setiap tanaman dapat menghasilkan 25 buah dengan rata-rata 200-300 buah per musim. Untuk setiap hektar lahan dapat menghasilkan buah sukun sebanyak 16-32 ton (Widowati, 2004).

(38)

Bawean merupakan sentra produksi sukun di Jawa Tengah. Sukun dikembangkan pula di empat kabupaten di DI Yogyakarta, yaitu Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul dengan total populasi sekira 220.000 pohon.

Widowati (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 2001, produksi sukun di Jatim mencapai 8,4 ton. Hasil itu didapat dari 111,7 ribu pohon. Rata-rata produksi per tahun sebesar 75,5 kg tiap pohon. Adapun daerah di Jatim yang banyak memproduksi sukun di antaranya adalah Kediri memiliki 25,6 ribu pohon, Banyuwangi sebanyak 11,3 ribu, Pasuruan sejumlah 10,8 ribu. Di Sumenep tanaman ini jumlahnya mencapai 9,8 ribu, dan Lumajang terdapat 6,9 ribu pohon.

B. PROSES PENGERINGAN SUKUN

1. Pengeringan

(39)
[image:39.612.170.511.391.580.2]

Proses pengeringan suatu bahan dapat dijelaskan sebagai rangkaian tahapan yang dipengaruhi oleh laju pengeringannya. Laju pengeringan menentukan waktu untuk menurunkan kadar air produk sampai kadar air yang diinginkan. Parameter yang mempengaruhi laju pengeringan adalah suhu, kecepatan aliran, kelembaban relatif udara, kadar air awal dan akhir bahan, dan lain-lain (Brooker et al., 1982). Menurut Henderson dan Perry (1976) proses pengeringan dapat dibagi menjadi dua periode yaitu periode laju pengeringan konstan (constant rate period) dan periode laju pengeringan menurun (falling rate period) seperti yang terlihat pada Gambar 3. Sebelum memasuki laju pengeringan tetap, biasanya pada proses pengeringan didahului oleh periode pemanasan atau pendinginan. Periode ini sukar sekali diamati karena proses pengeringan berlangsung dengan sangat cepat, dan dilanjutkan dengan periode berikutnya yaitu dimana terjadi proses pengeringan dengan laju pengeringan tetap (Wirakartakusumah et al., 1992).

Gambar 3. Kurva karakteristik pengeringan

Dalam periode laju pengeringan tetap, bahan atau massa dari bahan berisi sedemikian banyak air sehingga air yang berada dipermukaan akan menguap dengan cara yang serupa seperti penguapan pada permukaan air bebas, dimana kecepatan penguapannya sama dengan kecepatan air yang dipindahkan dari dalam bahan ke permukaan bahan. Kadar air pada saat

LAJU

PENGERINGAN KONSTAN

KADAR AIR LAJU

PENGERINGAN MENURUN (pertama) LAJU

PENGERINGAN MENURUN (kedua)

LAJ

U

PENGERI

N

(40)

periode laju pengeringan tetap berakhir dikenal sebagai kadar air kritis. Pada kadar air kritis ini, air pada permukaan bahan terdapat kecil sekali dan mekanisme pengeringan dengan laju yang tetap tidak dapat dipertahankan lagi (Wirakartakusumah et al., 1992). Kadar air kritis bahan tergantung dari karakteristik padatan bahan, seperti bentuk dan ukuran dan juga kondisi pengeringan. Menurut Henderson dan Perry (1976) laju pengeringan tetap merupakan periode yang singkat, sehingga dalam perhitungan keseluruhan proses pengeringan dapat diabaikan.

Pengeringan pada buah dan sayuran biasanya terjadi pada periode falling rate. Menurut Heldman (1975) dan Senadeera et al. (2003), pada periode ini mekanisme utama yang terkait dalam pergerakan air ke permukaan untuk penguapan adalah difusi. Difusi ini dapat meliputi difusi likuid, difusi uap, difusi molekular dan faktor lain yang akan berpengaruh terhadap karakteristik pengeringan. Model matematik untuk menunjukkan periode laju pengeringan menurun adalah sebagai berikut (Hall, 1979):

= ... (1)

Dimana DL adalah koefisien difusivitas (m2/s), t adalah waktu, ℓ adalah ketebalan bahan (m), M adalah kadar air rata-rata pada waktu t (%bk), Me adalah kadar air kesetimbangan (%bk) dan Mo adalah kadar air pada permulaan periode laju menurun (%bk).

Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui bahwa laju pengeringan secara langsung bergantung kepada perbedaan antara kadar air pada waktu tertentu, dengan kadar air kesetimbangan dan berbanding terbalik pada kuadrat ketebalan bahan. Apabila persamaan tersebut diintegrasikan akan diperoleh persamaan sebagai berikut :

= ... (2)

atau

= ... (3) dM

dt

π2 DL 4ℓ2

– (M-Me)

ln (M-Me) (Mo-Me) – π 2

DL 4ℓ2 t

(M-Me)

(Mo-Me) exp

π2 DL 4ℓ2

(41)

Jika nilai Me rendah sekali mendekati nol dan bernilai konstan, maka kadar air M mendekati Mo . exp (–kt), sehingga kadar air merupakan fungsi ekponensial dari waktu pengeringan, yang berarti selama pengeringan terjadi penurunan kadar air dengan laju yang menurun.

Salah satu jenis pengering yang sering digunakan pada industri pangan adalah pengering tipe fluidized bed. Menurut Jayaraman dan Das Gupta (1995) keuntungan menggunakan alat ini diantaranya adalah intensitas pengeringan yang tinggi; suhu yang seragam dan secara keseluruhan dapat dikontrol; efisiensi pemanasan tinggi; durasi waktu pengeringan dapat diubah-ubah; waktu pengeringannya lebih cepat dibandingkan tipe pengering lain; operasi dan perawatan alat yang relatif mudah; proses dapat diotomatisasi. Lebih lanjut menurut Devahastin (2001), pengeringan dengan cara ini menjanjikan cara pengeringan yang kontinu, terkontrol otomatis, dan skala operasi yang besar dengan penanganan yang mudah terhadap input dan produk.

Keuntungan yang lain adalah pertukaran panas dan massa yang cepat antara udara panas dan partikel bahan yang dikeringkan serta tingkat pemanasan yang berlebih pada bahan yang tidak diinginkan relatif dapat dicegah. Selain itu, pengeringan dengan cara ini memungkinkan pencampuran yang cepat dan mendorong untuk menuju ke keadaan isotermal sehingga pengontrolan relatif lebih mudah.

Prinsip kerja alat ini adalah mengalirkan udara panas yang berasal dari pemanas elektrik atau pemanas lain dengan bantuan kipas angin. Aliran udara ini bergerak vertikal, dengan kekuatan tinggi yang akan mengenai bahan yang berada diatasnya. Karena menggunakan kecepatan angin berkekuatan tinggi bahan akan terangkat mengakibatkan seluruh permukaan bahan akan bersentuhan dengan udara panas. Untuk mengefektifkan proses pengeringan, diperlukan kontak panas yang maksimum antara media dengan bahan. Salah satu caranya adalah dengan memperbesar luas permukaan yang terkena oleh panas, prinsip inilah yang digunakan pada pengering tipe fluidized bed ini.

(42)

2. Gaplek Sukun

Buah sukun mempunyai daging buah tebal, rasanya manis dan kandungan airnya tinggi, sehingga tidak tahan lama untuk disimpan. Sekitar tujuh hari setelah dipetik buah menjadi matang, dan selanjutnya akan rusak karena proses kimiawi (Pitojo, 1992). Apabila akan dimanfaatkan dalam jangka waktu relatif lama, buah sukun perlu diproses terlebih dahulu menjadi gaplek sukun, tepung sukun atau berbagai masakan sukun. Pada penelitian ini, buah sukun dibuat menjadi gaplek sukun sebagai bahan baku pembuatan tepung sukun. Pembuatan sukun menjadi tepung sukun merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya guna dan daya tahan buah sukun sebagai bahan baku industri. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern saat ini yang ingin serba praktis.

Ada beberapa metode dalam pembuatan gaplek sukun, mulai dari cara yang tradisional sampai cara modern. Pada dasarnya prinsip pembuatan gaplek sukun adalah pengupasan, pembersihan, pengirisan dan pengeringan. Buah sukun yang telah tua dihilangkan tangkai buahnya, dibersihkan dari kotoran, dikupas dan kemudian dicuci bersih. Buah dipotong-potong dan diiris-iris tipis dengan menggunakan pisau tajam. Kemudian irisan tersebut harus segera dihamparkan secara merata ditempat pengeringan dan dijemur dipanas matahari. Setiap tiga jam sekali jemuran dibalik, agar proses pengeringan dapat merata. Setelah kadar air tinggal 14%, maka gaplek siap disimpan di dalam kantong plastik (Pitojo, 1992).

(43)

bahan, berkisar antara 10-20 menit. Tingkat ketuaan buah juga sangat berperan terhadap warna tepung yang dihasilkan. Buah yang muda menghasilkan tepung sukun berwarna putih kecoklatan. Semakin tua buah semakin putih warna tepungnya. Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum (Widowati et al., 2001). Selain itu, dapat juga dilakukan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0.3% dan blansir uap 80oC selama 7 menit untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan tersebut (Ekawidiasta, 2003).

Pengeringan juga merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pembuatan gaplek sukun. Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari tidak cukup efektif dan efisien apabila buah yang dikeringkan banyak. Selain kendala cuaca (hujan), waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat kekeringan yang diinginkan juga cukup lama. Oleh karena itu perlu diupayakan penggunaan pengering buatan yang efektif dan efisien. Berbagai usaha untuk mendapatkan hasil gaplek sukun yang maksimal menimbulkan banyak metode baru dalam pembuatan gaplek sukun.

C. SIFAT FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG

1. Sifat Rheologi Adonan

Dalam industri pangan, sifat-sifat rheologi dan teknik pengukuran sifat-sifat rheologi adonan makanan merupakan hal yang sangat penting. Tidak hanya dalam pengoperasian bahan tetapi juga dalam menentukan mutu pangan yang dapat diukur secara objektif, serta dalam desain model proses dengan scale up. Rheologi makanan menitikberatkan pada aliran (flow) dan perubahan bentuk (deformasi) pada adonan makanan.

(44)

aliran dalam peralatan sangat kompleks, sehingga sukar untuk mengetahui sifat-sifat dasar bahan (Wirakartakusumah et al.,1992).

Pengujian farinograf dilakukan untuk mengetahui konsistensi adonan selama pengadukan dan kemampuan penyerapan air pada tepung. Pengujian ekstensograf bertujuan untuk mengetahui resistensibilitas adonan tehadap daya regang setelah adonan disimpan dalam waktu tertentu. Sedangkan amilograf bertujuan untuk mengetahui kenaikan dan penurunan viskositas selama gelatinisasi.

2. Serat Makanan

Serat pangan atau dietary fiber didefinisikan sebagai bagian dari komponen bahan pangan nabati yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan manusia. Serat makanan berbeda dengan serat kasar yang biasa digunakan dalam analisa proksimat. Serat kasar (crude fiber) adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisa oleh bahan-bahan kimia tertentu, yaitu asam sulfat dan natrium hidroksida mendidih (Apriyantono et al., 1989). Menurut Van Soest dan Robertson (1977) analisa serat kasar tidak dapat menunjukkan nilai serat makanan yang sebernanya, sebab sekitar 20%-50% selulosa, 20%-50%-80% lignin, dan 80%-85% hemiselulosa hilang selama analisis.

Didasarkan atas fungsinya di dalam tanaman, dietary fiber dibagi menjadi tiga fraksi utama, yaitu :

1. Polisakarida struktural, terdapat dalam dinding sel dan terdiri dari selulosa dan polisakarida non-selulosa (hemiselulosa dan substansi pektat).

(45)

Hemiselulosa merupakan polisakarida yang mempunyai derajat polimerisasi yang lebih rendah dari selulosa. Rantai hemiselulosa bercabang-cabang dengan gugus β-glukosida didalam molekul yang satu dapat berikatan dengan gugus hidroksil C2, C3, atau C4 dari molekul lain. Hemiselulosa mudah larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam sedangkan selulosa sebaliknya. (Dreher, 1987)

Pektin secara umum terdapat di dalam dinding sel primer tanaman di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa-senyawa pektin (substansi pektat) merupakan polimer dari asam D-Galakturonat yang dihubungkan dengan ikatan β-(1,4)-glikosida (Winarno, 1997). Pektin tidak larut dalam pelarut organik, tetapi larut dalam air dan pelarut polar seperti formamida dan metal sulfoksida. Koloid pektin termasuk jenis hidrofilik dan reversible dimana sifat fisiknya akan kembali seperti semula, jika diendapkan, dikeringkan dan dilarutkan lagi (Fardiaz, 1989). 2. Non-polisakarida struktural, sebagian besar terdiri dari lignin.

3. Polisakarida non-struktural, termasuk gum dan musilase serta polisakarida lainnya seperti karagenan dan agar dari alga dan rumput laut.

Menurut Schneeman (1987), selulosa, lignin, dan beberapa fraksi hemiselulosa digolongkan sebagai serat tidak larut air (suhu 90oC) atau insoluble fiber. Sedangkan pektin, gum, musilase dan beberapa hemiselulosa digolongkan serat larut air (suhu 90oC) atau soluble fiber.

(46)
(47)

III. METODE PENELITIAN

A. STUDI PUSTAKA STATUS PENELITIAN TEPUNG-TEPUNGAN

Studi pustaka ini dilakukan untuk menginventarisasi komoditi yang telah diteliti pemanfaatannya untuk dijadikan produk tepung-tepungan seperti umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan, dan lain-lain. Selain itu juga untuk mengetahui status penelitian mengenai tepung-tepungan yaitu sejauh mana eksplorasi yang telah dilakukan sampai saat ini. Hal yang menjadi titik berat dari studi pustaka tersebut adalah mengenai proses penepungan, karakteristik tepung, aplikasi, potensi dan peluang serta kepercayaan dalam masyarakat. Setelah diperoleh data, selanjutnya dipilih salah satu komoditi yang memiliki potensi untuk dikembangkan lebih jauh.

B. REKAYASA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN BED DRYER

1. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada percobaan adalah buah sukun dengan umur panen 2.5-3 bulan dan Natrium Metabisulfit 0.3%. Alat yang digunakan adalah pisau, baskom, talenan, slicer, blancher, pengering tipe bed dryer, termokopel, plastik polietilen, timbangan, neraca analitik, oven, desikator, cawan alumunium.

2. Prosedur Percobaan

a. Pembuatan sawut buah sukun

(48)

Buah sukun

Ditimbang

Dikupas dan dibuang bagian hatinya

Ditimbang

Dipotong-potong

Direndam dalam larutan Natrium Metabisulfit 0.3%

Diblansir uap (80oC, 7 menit)

Dibuat menjadi sawut (menggunakan slicer)

[image:48.612.239.469.70.348.2]

Sawut buah sukun

Gambar 4. Diagram alir pembuatan sawut buah sukun

b. Pengeringan sawut buah sukun (gaplek sukun)

Setelah menjadi sawut, buah sukun kemudian dikeringkan dengan menggunakan pengering tipe bed dryer menjadi gaplek sukun. Hasil yang diinginkan adalah gaplek sukun dengan kadar air 6%.

c. Perlakuan

1. Suhu inlet yang diujikan adalah 60oC, 65oC, 70oC. Pengukuran suhu udara yang masuk (suhu inlet) dilakukan dengan menggunakan termometer digital.

2. Ketebalan tumpukan yang diujikan adalah 5 cm dan 7 cm. 3. Waktu pengeringan yang diujikan adalah 105 menit.

(49)

d. Pengamatan

a. Kadar Air

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah kadar air buah, kadar air awal (waktu pengeringan 0 menit) dan kadar air gaplek yang telah dikeringkan. Pengambilan sampel dilakukan pada waktu pengeringan 45 menit, 60 menit, 75 menit, 90 menit dan 105 menit. Sampel kemudian dimasukan kedalam wadah dan disimpan dalam desikator untuk kemudian dilakukan pengukuran kadar air. Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven (Apriyantono et al., 1989). Prosedur pengukuran kadar air dengan metode oven adalah sebagai berikut :

Cawan kosong dikeringkan dalam oven bersuhu 100-102oC selama ± 15 menit, dinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (W1). Timbang ± 5 gram sampel (W2) didalam cawan, dikeringkan dengan oven bersuhu 100-102oC selama ± 6 jam. Setelah kering, dinginkan cawan yang berisikan sampel kering didalam desikator, kemudian ditimbang (W3). Nilai kadar air diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

Berat cawan (gram) : W1 Berat sampel (gram) : W2

Berat cawan + sampel kering (gram) : W3 Berat sampel kering (gram) = W4 = (W3-W1) Kadar Air (%bb) = (W2 – W4) x 100 W2

Kadar Air (%bk) = (W2 - W4) x 100 W4

b. Mutu gaplek sukun yang dihasilkan (secara visual)

(50)

c. Suhu lingkungan.

Suhu lingkungan yang diukur meliputi suhu bola kering dan suhu bola basah. Keduanya diukur menggunakan termometer digital. Suhu bola kering diukur dengan meletakkan termometer di udara, nilai suhu yang ditunjukkan merupakan suhu bola kering. Pada pengukuran suhu bola basah, ujung termometer ditutupi dengan kapas basah dan kemudian termometer diletakkan diudara, nilai suhu yang ditunjukkan merupakan suhu bola basah.

C. KARAKTERISTIK TEPUNG SUKUN.

1. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung sukun adalah buah sukun dengan umur panen 2.5-3 bulan, Natrium Metabisulfit 0.3%. Bahan yang digunakan dalam analisis tepung sukun adalah tepung sukun, aquades, larutan NaCl, enzim α-amilase, amiloglukosidase, neutrase, alkohol, buffer fosfat, etil alkohol, aseton, amonium oksalat, asam oksalat, NaOH, NaClO2, HCl, asam asetat, kalsium klorida, perak nitrat, H3BO3, HgO, Na2SO3, K2SO4, H2SO4, hexana.

Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung sukun adalah pisau, slicer, blancher, baskom, talenan, pengayak 60 mesh, pengering kabinet, timbangan, neraca analitik, disc mill dan plastik polietilen. Alat yang digunakan pada analisis tepung sukun, yaitu neraca analitik, Brabender Amylograph, oven, tanur, desikator, sohxlet, labu kjeldahl, alat-alat gelas.

2. Prosedur Percobaan a. Penyiapan Tepung Sukun

Buah sukun

Ditimbang

Dikupas dan dibuang bagian hatinya

(51)

@

Ditimbang

Dipotong-potong

Direndam dalam larutan natrium metabisulfit 0.3%

Diblansir uap (80oC, 7’)

Diris tipis (slicer)

chips sukun

Dikeringkan dengan pengering kabinet (60-65oC, 7-8 jam)

Digiling dengan disc mill

Diayak dengan saringan 60 mesh

[image:51.612.217.479.78.385.2]

Tepung sukun tanpa pra masak

Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung sukun (Ekawidiasta, 2003)

b. Analisis Sifat Kimia Tepung Sukun

1. Kadar karbohidrat (by difference) (Apriyantono et al., 1989)

Kadar karbohidrat (% bb) = 100% – (kadar abu + kadar air + kadar protein + kadar lemak)

2. Kadar abu, metode tanur (Apriyantono et al., 1989)

Siapkan cawan pengabuan, keringkan dalam tanur 500oC selama ± 15 menit kemudian dinginkan dalam desikator dan ditimbang. Timbang sebanyak 3-5 g sampel didalam cawan pengabuan, dibakar dengan hot plate sampai sampel tidak berasap. Keringkan sampel didalam tanur 600oC selama 6 jam sampai abu berwarna putih. Dinginkan dalam desikator, kemudian timbang. Nilai kadar abu diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

(52)

3. Kadar Protein, meotde mikro-kjeldahl (Apriyantono et al., 1989)

Timbang sejumlah kecil sampel (kira-kira 0.1-0.5 g), pindahkan kedalam labu kjeldahl 30 ml. Tambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4. Tambahkan beberapa butir batu didih. Didihkan sampel selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Dinginkan, tambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian dinginkan. Pindahkan isi labu kedalam alat destilasi. Cuci dan bilas labu 5-6 kali dengan 1-2 ml air, pindahkan air cucian ini kedalam alat distilasi.

Letakkan erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol) di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3). Tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2SO3, kemudian lakukan distilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Bilas tabung kondenser dengan air, dan tampung bilasannya dalam erlenmeyer yang sama. Encerkan isi erlenmeyer sampai kira-kira 50 ml kemudian titrasi dengan dengan HCl 0.02N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Lakukan juga penetapan blanko.

Perhitungan :

% N = (ml HCl - ml blanko) x normalitas x 14.007 x 100 mg sampel

% P = % N x faktor konversi

faktor konversi untuk tepung sukun adalah 6.25

4. Kadar air, metode oven (Apriyantono et al., 1989)

(53)

kemudian ditimbang (W3). Nilai kadar air diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

Berat cawan (gram) : W1 Berat sampel (gram) : W2

Berat cawan + sampel kering (gram) : W3 Berat sampel kering (gram) = W4 = (W3-W1) Kadar Air (%bb) = (W2 – W4) x 100 W2

Kadar Air (%bk) = (W2 - W4) x 100 W4

5. Kadar lemak, metode soxhlet (Apriyantono et al., 1989)

Keringkan labu lemak dengan oven bersuhu 100-102oC selama ± 15 menit kemudian dinginkan dalam desikator dan ditimbang. Timbang ± 5 gram sampel, dibungkus dengan kertas saring kemudian masukkan dalam alat ekstraksi soxhlet. Tuangkan heksan secukupnya, rangkai alat ekstraksi soxhlet kemudian refluks selama 5-6 jam. Disitilasi pelarut yang ada didalam labu lemak, tampung pelarutnya. Selanjutnya labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah pelarut menguap semua, angkat dan dinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Nilai kadar lemak dapat diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

% Lemak = Berat Lemak x 100 Berat sampel (g)

6. Kadar Serat Makanan (AOAC, 1995)

(54)

sebanyak 20 ml dan diatur pH-nya menjadi 1.5 dengan menambahkan HCL 4M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin dan diinkubasikan pada suhu 400C, diagitasi selama 60 menit.

Setelah selesai, ditambah air destilata sebanyak 20 ml dan pH diatur menjadi 6.8 dengan NaOH. Ditambahkan 100 mg enzim pankreatin, ditutup dan diinkubasikan pada suhu 40oC selama 60 menit sambil diagitasi. Selanjutnya pH diatur 4.5 dengan HCl, suspensi disaring mmelalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambah 0.5 g celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan pencucian dengan 2 x 10 ml air destilata.

Untuk perhitungan serat makanan tidak larut (IDF), residu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Selanjutnya residu dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat tetap. Setelah ditimbang (D1), pada residu kering dilakukan analisa kadar abu (I1).

Untuk perhitungan serat makanan larut (SDF), volume filtrat diatur dengan air sampai 100 ml, ditambah 400 ml etanol 95% hangat (60oC) dan diendapkan selama 1 jam. Selanjutnya filtrat dengan endapannya disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering. Setelah itu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Endapan dikeringkan 105oC sampai berat konstan, didinginkan, dan ditimbang (D2). Selanjutnya endapan dilakukan analisa kadar abu (I2).

(55)

Sementara itu, filtrat yang didapat diberikan perlakuan yang sama seperti analisis SDF. Berat filtrat setelah dikeringkan dan diabukan digunakan sebagai Blanko2.

% IDF = D1-I1-Blanko1 x 100% Berat Sampel

% SDF = D2-I2-Blanko2

Gambar

Gambar 1.  Tanaman Sukun (Artocarpus altilis)..............................................
Gambar 1. Tanaman Sukun (Artocarpus altilis)
Gambar 2. Buah Sukun (Artocarpus altilis)
Tabel 1. Karakteristik fisik buah sukun pada empat tingkat umur panen.
+7

Referensi

Dokumen terkait

tepung sukun terhadap daya serap air dan tingkat pengembangan pada

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi dengan judul “Pengaruh Substitusi Tepung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung daun sukun (Artocarpus altilis) dalam pakan puyuh berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap produksi telur dan bobot

Hasil penelitian ini diperoleh kadar flavonoid total ekstrak etil asetat daun sukun sebesar 29,442 mgQE/g ekstrak, yang dapat dilihat pada tabel

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan tepung terigu dan tepung sukun memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar

Hasil ANOVA pada gambar 8 menunjukkan bahwa penambahan tepung bekatul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar serat pangan larut (Soluble Dietary Fiber) bakso

Hasil uji organoleptik terhadap produk kue kering sukun menunjukkan bahwa pemanfaatan tepung sukun untuk substitusi 25-75% tepung beras dalam produk kue kering sukun direspon

Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung sukun terhadap mutu kimia kadar air, abu dan protein serta sifat organoleptik tekstur,