• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUDAYAAN DALAM KONTEKS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

A. Konsep Dasar Komunikasi Budaya

2) Proses Teori Akomodasi Komunikasi

Proses pertama yang dihubungkan dengan teori akomodasi adalah konvergensi. Jesse Delia, Nikolas Coupland, dan Justin Coupland mendefi nisikan konvergensi sebagai ”strategi individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain”. Seseorang akan ber adaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, perilaku verbal dan nonverbal lainnya. Ketika orang melakukan konvergensi, ia bergantung pada persepsinya mengenai tuturan atau perilaku orang lain. Selain persepsi mengenai komunikasi orang lain, konvergensi juga di dasarkan pada ketertarikan. Ketika komunikator

55

54

7) Op.cit., West dan Turner, Pengantar Teori..., 2008, hlm. 223.

Komunikasi Antarbudaya Komunikasi Antarbudaya a) Standpoint Theory (Sandra Harding dan Julia T.

Wood)

Dalam E.M. Griffi n's A First Look at Communication

Theory Fifth Edition,9 Harding dan Wood berpendapat

bahwa cara terbaik mengetahui keadaan kebudayaan di dunia adalah dengan penyelidikan yang standpoint-nya kaum wanita dan kelompok marginal lainstandpoint-nya.10

A standpoint adalah tempat kita memandang

dunia lain yang ada di sekeliling kita atau tempat yang dipandang paling strategis untuk mengenal lebih mendalam terhadap kebudayaan, fenomena, dan situasi sosial budaya yang ada di sekitar kita.

A standpoint merupakan cara pandang, perspektif, viewpoint, outlook, atau position. Dengan teori tersebut

diketahui bahwa kebudayaan adalah nilai, perilaku, dan norma sosial yang menjadi pemicu tindakan sosial dan yang lainnya, sebagaimana dalam berbagai perkembangan ekonomi dan politik. Oleh karena itu,

standpoint akan memengaruhi worldview.

Mengapa kaum perempuan menjadi objek

stand-point? Menurut Harding, kaum perempuan secara

kultural dan politik senantiasa termarginalkan. Wanita tanpa kekuatan dan kekuasaan akan menumpahkan seluruh pikiran dan perasaan tentang pandangan kebudayaan, politik, ekonomi, dan berbagai gejala lainnya yang menarik untuk dikaji, dan mewakili semua keluh kesah sosial budaya.

Standpoint juga menganalisis hubungan majikan

dan budak yang memiliki perspektif berbeda ketika

keduanya menghadapi realitas yang sama. Majikan dan budak menghadapi realitas kehidupan yang sama dengan pola hidup berbeda. Kekuasaan dan kekuatan dikendalikan oleh majikan, sementara budak terjebak dalam himpitan marginalitas dan ketidakberdayaan.

Karl Marx dengan konsep kaum borjuis dan proletarian serta class struggle-nya memandang bahwa marginalitas kaum proletar yang dijajah oleh kapitalis harus dilenyapkan. Kekecewaan Marx pada kapitalis telah memunculkan gagasan yang tertuang dalam karyanya Das Capital, karena adanya keter-asingan kaum buruh dalam produksi pabrik yang dibuatnya sendiri. Hal ini memberikan gambaran bahwa masyarakat miskin secara struktural dimatikan kekuatan intelek tualitasnya, dan secara kultural akan mengalami kemiskinan tanpa akhir.

Kaum buruh yang mayoritas perempuan dan laki-laki aktivis yang memperjuangkan hak-hak perem-puan, juga para feminis mengganti konsep proletarian dengan kaum wanita, dan mengganti perjuangan kelas dengan gender discrimination. George Herbert Mead mengatakan bahwa kebudayaan yang dianut oleh manusia melalui komunikasi menggunakan prinsip symbolic interactionism.11 Interaksi antarbudaya dalam konteks interaksi simbolis mewakili bahasa dan harapan kaum perempuan yang tersingkirkan.

Wood menyatakan bahwa gender adalah konstruksi budaya, bukan karakteristik biologis. Berdasarkan teori

post modernism, para feminis mengkritik kenyataan

bahwa rasionalitas dan western science didominasi

57

56

9) Emory A. Griffin, First Look at Communication Theory, 5th Edition, New York: McGraw-Hill, 2003, hlm. 455.

10) Ansie Sandra Harding, Kaczynski, dan Leigh Wood, Evaluation of Blended Learning:

Analysis of Qualitative Data. UniServe Science: Blended Learning Symposium

Proceedings, 2005, hlm. 212.

11) Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan

Komunikasi Antarbudaya Komunikasi Antarbudaya

oleh pria.12 Oleh karena itu, standpoint merupakan teori yang mengomunikasikan setiap kebudayaan yang mengangkat martabat perempuan sebagai representasi ketertindasan ekonomi dan politik, serta sebagai perspektif dalam melihat kebudayaan di sekelilingnya.

Perbedaan kultural antara perempuan dengan laki-laki menurut teori relational dialectic dan autonomy

connectedness dari Wood adalah pria dianggap lebih

otonom, sedangkan wanita lebih suka berhubungan dengan orang lain. Wood juga melihat perbedaan lain yang lebih luas antara pria dengan wanita, hasil dari

cultural expectation, serta perlakuan yang diterima pria

dan wanita dari orang lain. Selain dari isu gender, Harding juga menekankan kondisi ekonomi, ras, dan orientasi seksual sebagai identitas kultural tambahan yang dapat membuat seseorang berada di tengah masyarakat atau menjadi orang yang terpinggirkan.

Standpoint theory menekankan pentingnya social location

karena diyakini bahwa orang yang berada di puncak

societal hierarchy adalah orang-orang yang memiliki previlise untuk mendefi nisikan “menjadi wanita”,

“menjadi pria”, atau hal-hal lain bagian dari budaya yang dianut masyarakat.13

Beberapa kritik bagi teori ini adalah sebagai berikut.14

(1) Meskipun pada awalnya standpoint theory di-bangun untuk mengapresiasi nilai dari pespektif wanita, teori ini diaplikasikan pula pada kelompok marginal lainnya.

(2) Karena pembahasannya menjadi semakin spesifi k, konsep solidaritas kelompok yang menjadi inti teori ini patut dipertanyakan. Hekman dan Hirschmann menyatakan bahwa tidak ada eks-presi yang bebas dari nilai, termasuk wanita dan kelompok marginal lainnya.

(3) Konsep strong objectivity sebenarnya kontradiktoris. Jika ditinjau dari postmodern, standpoint theory menyatakan bahwa standpoint itu sifatnya relatif dan tidak dapat dievaluasi dengan kriteria mutlak. Di sisi lain, Sandra dan Wood menekankan bahwa perspektif wanita ini lebih bebas bias dan lebih netral daripada perspektif kelompok yang lebih terhormat.15

b) Muted Group Theory (Cheris Kramarae)

Cheris Kramarae dalam E.M. Griffi n's A First Look at Communication menyatakan bahwa bahasa secara

harfi ah adalah sebuah man-madeconstruction. Bahasa dari sebuah budaya khusus tidak melayani semua orang yang mengucapkannya secara sama karena dalam formulasinya tidak semua speaker memberikan kontribusi yang sama.16

Menurut Kramarae, ketika wanita mencoba meniadakan ketidakadilan, kontrol pria terhadap komuni kasi menempatkan wanita dalam ketidak-berdayaan. Man-made language membantu mendefi nisi-kan, menjatuhnisi-kan, dan meniadakan wanita. Wanita adalah the muted group (kelompok yang dibungkam).

Tipe dominansi pria pada bahasa hanya satu aspek dari berbagai cara untuk membungkam kepentingan

59

58

15) Op.cit., hlm. 223.

16) Katherine Miller, Communication Theories: Perspective, Processes, and Contexts, USA: McGraw-Hill Companies, 2002, hlm. 321.

12) Loc.cit., Harding dan Wood, Evaluation..., 2005, hlm. 215.

13) Op.cit., Harding dan Wood, Evaluation..., 2005, hlm. 217.

Komunikasi Antarbudaya Komunikasi Antarbudaya

wanita dalam masyarakat. Wanita dipandang sebagai pemberontakan kebudayaan karena sudah tidak kuat dibungkam oleh kepentingan kekuasaan yang didominasi oleh kaum pria.

(1) Muted Groups: Black Holes in Someone Else’s Universe

Pada hakikatnya, Kramarae hanya seorang feminis yang ingin mengungkapkan kebungkaman yang sistematik atas suara wanita (women voice). Para feminis memiliki agenda penelitian yang menganggap penting pengalaman wanita dalam komunikasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

(2) Kekuatan Maskulin untuk Menamai Pengalaman

Menurut teori symbolic interactionism dari Mead, perluasan pengetahuan adalah perluasaan penamaan. Siapa pun yang mempunyai kemam-puan naming akan memiliki kekuasaan yang luar biasa. Selanjutnya, menurut pendekatan

socio-cultural, bahasa membentuk persepsi tentang

realitas. Oleh karena itu, pengabaian terhadap kata-kata dapat membuat pengalaman men jadi

unspoken, bahkan unthought. Pada akhirnya, muted women akan meragukan validitas pengalaman dan

legitimasi perasaannya.17 Komu ni kasi antarpria yang membangun kema panan politik telah menimbulkan rasa sakit psikologis dan kultural kaum wanita. Oleh karena itu, komunikasi kultural antargender, yakni pria dan wanita perlu dilakukan demi keajegan dan keadilan politik. Pria didengarkan dan men dengarkan satu sama

61

60

lain.18 Sementara wanita diasingkan, ini akan merusak tatanan kebudayaan yang selama ini dimimpikan oleh para penguasa karena tidak sedikit kehancuran kepemimpinan disebabkan penghinaan terhadap kebudayaan yang dibangun oleh kaum perempuan.

c) Genderlect Styles (dari Deborah Tannen)

Deborah Tannent mendiskripsikan ketidakmengertian antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan fakta bahwa fokus pembicaraan perempuan adalah koneksitas, sementara laki-laki pada pelayanan status dan kemandiriannya.19

Genderlect Styles (Deborah, 1993) membicarakan gaya bercakap-cakap bukan pada hal-hal yang dikatakan, melainkan pada cara menyatakan nya.20 Tanent meyakini adanya gap antara laki-laki dan perempuan dikarenakan masing-masing berada pada posisi lintas budaya (cross

culture). Untuk itu, diperlukan antisipasi terhadap gap itu.

Kegagalan mengamati perbedaan gaya bercakap dapat membawa masalah yang besar.21

1) Perbedaan-perbedaan

Perbedaan-perbedaan itu terletak pada:

a) Kecenderungan feminis versus maskulin, hal ini harus dipandang sebagai dua dialek yang berbeda: antara superior dan inferior dalam pembicaraan. Komunitas feminis untuk membangun

relation-ship; menunjukkan responsif. Komunitas maskulin

17) Op.cit., Katherine Miller, Communication..., 2002, hlm. 333.

18) Dorothy Ginnis and Dorothy E. Smith, Analyzing and Treating Reading Problems, New York: Macmillan, 1982, hlm. 544.

19) Deborah Tannen, Gender and Conversational Interaction, New York: Oxford University Press, 1993, hlm. 347.

20) Op.cit., hlm. 349.

Komunikasi Antarbudaya Komunikasi Antarbudaya

menyelesaikan tugas; menyatakan diri; men-dapatkan kekuasaan.

b) Perempuan berhasrat pada koneksi, versus laki-laki berhasrat untuk status. Koneksi berhubungan erat dengan kedekatan, status berhubungan erat dengan kekuasaan (power).

c) Raport talk versus report talk. Perbedaan budaya linguistik berperan dalam menstruktur kontak verbal antara laki-laki dan perempuan. Raport

talk adalah istilah yang digunakan untuk menilai

obrolan perempuan yang cenderung terkesan simpatik.