• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Proses Usaha Tambak Kepiting di Daerah Penelitian

Pelaksanaan kegiatan budidaya di tambak dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap ini meliputi: persiapan tambak, penebaran benur, pemberian pakan, pemeliharaan air, dan pemanenan.

1. Persiapan Kolam Tambak

Kolam tambak di daerah penelitian dibuat pada daerah air payau dan merupakan alih fungsi dari tambak udang. Menurut Rusmiyati (2011) kriteria lokasi yang ideal untuk pembudidayaan kepiting adalah daerah air payau atau air asin dengan kadar garam 15-30 per mil dengan pH tanah 4-5. Pada persiapan pembuatan kolam tambak, pengelolaan tanah dasar tambak merupakan salah satu tahap yang sangat penting. Pada daerah penelitian, dasar kolam tanah dengan dasar kolam lumpur berpasir yang memiliki pipa paralon yang di letakkan pada pintu masuk kolam atau pintu penghubung antara satu kolam dengan kolam lain nya yang berfungsi sebagai irigasi atau pintu masuk air pada saat pergantian air kolam.

Kegiatan persiapan tambak meliputi penjemuran kolam, pembalikan dan pengapuran. Kegiatan persiapan tambak ini membutuhkan waktu selama 2 minggu, yaitu 1 minggu penjemuran sampai dasar tanah mengering dan retak- retak setelah itu dilakukan pembalikan tanah dengan cara mencangkul tujuan dilakukannya pengeringan dan pembalikan tanah ini agar memudahkan dalam penyerapan pupuk dan mineral lainnya seperti pupuk TSP ataupun urea untuk memicu tumbuhnya fitoplankton yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup

kepiting terutama ikan yang berada dibawah permukaan air. Sedangkan pengapuran dilakukan secukupnya. Kegiatan tambak kegiatan pengelolaan tambak meliputi penjemuran, pembalikan, dan pengapuran.penjemuran tanah dilakukan hingga bagian permukaan sampai retak – retak. Tujuan nya agar semua bahan organik yang didasar tambak terurai menjadi unsure yang tidak membahayakan dan mengikat gas-gas beracun yang terdapat pada dasar kolam atau media tanah. Proses pengeringan tambak dilakukan selama 1 minggu. Pada persiapan lahan tambak juga dilakukan kegiatan pengapuran. Pengapuran menggunakan kapur CaCO3 (Dholomit). Pengapuran berpengaruh terhadap nilai pH tanah bertujuan untuk menaikkan atau mempertahankan pH tanah bagian dalam tambak hingga kisaran pH normal (7-8). Pengapuran dilakukan dengan menaburkan kapur dipermukaan pelataran tambak secara merata dan dibiarkan selama 2-4 hari. Pada daerah penelitian jumlah kapur pertanian (Dholomit) dan pupuk yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5.1 Rata-Rata Kebutuhan Pupuk dan Kapur di Daerah Penelitian

No. Uraian Satuan Range Rata-rata

1 Pupuk Za Kg 10-400 80,47

2 Pupuk Urea Kg 1,5-37,5 12,7

3 Kapur Zak/ha 1-36 7,33

Sumber: Lampiran 4 dan 5

Dari Tabel 5.1 dapat dilihat pada daerah penelitian, jumlah kebutuhan pengapuran per kolam dengan rata-rata luas kolam tambak yaitu 0,8 Ha (8000 m2) yaitu sebanyak 7,33 zak atau sekitar 350 kg , kebutuhan tersebut disesuaikan pada keasaman tanah pada daerah penelitian. Sesuai pernyataan Rusmiyati (2011) yang menyatakan bahwa dosis pengapuran dan pemberian pupuk dapat dilakukan sesuai kebutuhan yang berbeda di setiap daerah. Menurut Gustiano (2010), dosis

pupuk anorganik yang diterapkan adalah sesuai dengan tingkat kesuburan di tiap daerah.

Selain itu Pada daerah penelitian di lakukan kegiatan pemupukan dengan menggunakan pupuk Urea dan TSP, dengan dosis 80,47 kg per 0,8 Ha (8000 m2) pupuk ZA dan 12,7 kg per 0,8 Ha (8000 m2) pupuk urea.

2. Penebaran Bibit

Penebaran bibit kepiting maupun ikan di daerah penelitian dilakukan pada pagi hari maupun sore hari pada hari yang berbeda sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011), Penebaran bibit kepiting dapat dilakukan pada pagi atau sore hari pada tambak. Berikut ini adalah tabel rata-rata kebutuhan bibit kepiting pada usaha tambak kepiting per petani per periode (3 Bulan) di daerah penelitian.

Tabel 5.2 Rata-Rata Kebutuhan Bibit Kepiting (Kg) pada usaha tambak per petani per periode (3 bulan) di Daerah Penelitian

No. Luas Lahan Bibit Kepiting Range Rata-rata

1 0,80 Ha Tambak 12-800 887,23

2 3,5 m3 Keramba 10-50 10

Sumber: Lampiran 2

Dari tabel 5.2 dapat di lihat, setiap lahan tambak dengan luas 0,80 Ha kepadatan tebar benihnya 12-800 kg dengan rata-rata sebesar 887,23 kg dengan berat rata- rata 1-1,5 ons/ekor. Dan petani ynag menggunakan keramba, dengan ukuran keramba 1,5 x 1 x 1 meter kepadatan tebarnya kurang lebih 10-50 kg per keramba dengan rata-rata sebesar 10 kg per keramba.

3. Pemberian Pakan

Menurut Kasry (1996), kepiting bakau bersifat pemakan segala dan pemakan bangkai (omnivorus-scavenger). Mereka memakan tumbuh-tumbuhan, bangkai hewan, bahkan bangunan-bangunan kayu dan bambu di tambak. Tangan dan

sapitnya yang besar dan kuat memungkinkan menyerang musuh dengan ganas atau merobek-merobek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut dibawa kemulut dengan kedua sapitnya. Waktu makannnya juga tidak beraturan, namun malam hari tampaknya lebih aktif makan daripada siang hari. Jumlah makanan sebaiknya diberikan setiap hari agar kepiting tidak menjadi ganas sehingga merusak pinggiran tambak dan keluar dari tambak untuk mencari makan. Berikut ini adalah tabel kebutuhan pakan per petani per periode (3 bulan) didaerah penelitian.

Tabel 5.3 Rata-Rata Kebutuhan Pakan (Kg) pada usaha tambak per petani per periode (3 bulan) di Daerah Penelitian

No. Uraian Bibit Kepiting (Kg) Range Rata-rata

1 Tambak 87,23 0-700 813

2 Keramaba 10 200-450 90

Sumber: Lampiran 3

Dari tabel 5.3 dapat di ketahui pada daerah penelitian, rata-rata kebutuhan pakan yaitu sebesar 813 kg untuk bibit 87,23 kg. Jumlah kebutuhan pakan ini diperoleh sesuai dengan kemampuan petambak, pakan yang diberikan berkisar 2-5 kg/hari selama pembesaran. Namun ada juga petambak yang tidak memberikan pakan kepada kepiting karena kepiting masih bisa tumbuh tanpa diberikan pakan. Namun sebaikanya pakan diberikan setiap hari karena meningkatkan bobot berat kepiting sehingga meningkatkan penjualan kepiting. Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011), pemberian pakan lebih diutamakan dalam bentuk segar sebanyak 5-10% dari berat badan dan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore/ malam hari.

4. Pemeliharaan air

Pemeliharaan air merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam kebrhasilan kegitan pembudidayaan kepiting. Pada daerah penelitian

pemeliharaan air dilakukan dengan penggantian air setiap pasang. Penggantian air yang baik dilakukan sebanyak 50-70%. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas air selama masa pemeliharaan. Kondisi air yang tidak layak digunakan ditandai dengan keruhnya air sehingga kepiting akan banyak yang mati. Pada daerah penelitian beberapa hal yang sangat diperhatikan oleh petambak selama masa pemeliharaan kepiting adalah pH. pH sangat berpengaruh terhadap reaksi kimia dan toksisitas yang dapat mengakibatkan kematian pada kepiting, salah satu penanganan terhadap tingkat pH air yang sangat rendah/basa maupun sangat tinggi/asam yaitu dengan cara penambahan kapur Dholomit pada saat kualitas air mulai tampak menurun, selain itu toksisitas reaksi kimia juga dapat terjadi akibat limbah bahan organik yang dihasilkan oleh sisa pakan yang tidak termakan, bangkai hewan dan tumbuhan, kotoran kepiting dan lain-lain.selain itu, sering terjadinya penyakit dara putih pada tambak yang menyebabkan kematian penyakit dara putih dapat diantisipasi dengan pemberian obat-obatan. Berikut ini adalah rata-rata kebutuhan obat-obatan dalam pemeliharaan air yaitu:

Tabel 5.4 Rata-Rata Kebutuhan Obat (Zak) pada usaha tambak per petani per periode (3 bulan) di Daerah Penelitian

No. Uraian Luas Lahan Range Rata-rata

1 Tambak 0,8 Ha 1-12 2,79

Sumber: Lampiran 6

Dari tabel 5.4 dapat di ketahui pada daerah penelitian, kebutuhan obat-obatan untuk pemeliharaan air pada saat proses budidaya yaitu 1-12 zak /50 kg samponene perpetani untuk luas lahan rata-rata 0,8 Ha.

5. Pemanenan

Biasanya kepiting berukuran 200-250 gram telah dapat dipasarkan. Ukuran kepiting ini telah dapat dicapai pada pemeliharaan 3-4 bulan sejak benih

ditebarkan. Kepiting dapat ditangkap dengan menggunakan bubuh dan tanggok kepiting. Berikut ini adalah rata-rata kebutuhan bubuh dan tanggok dalam pemanenan kepiting yaitu:

Tabel 5.5 Rata-Rata Kebutuhan Bubuh dan Tanggok di Daerah Penelitian

No. Uraian Luas lahan Satuan Range Rata-rata

1 Bubuh 0,8 Ha Buah 20-100 51

2 Tnggok 0,8 Ha Buah 1-5 1

Sumber: Lampiran 14 dan 15

Dari tabel 5.5 dapat di ketahui pada daerah penelitian, kebutuhan bubuh dan tanggok untuk pemanenan kepiting pada saat proses budidaya yaitu 20-100 buah bubuh dengan rata-rata 51 buah per 0,8 Ha dan 1-5 buah tanggok per 0,8 Ha. Untuk melihat kelayakan usaha tambak kepiting secara finansial dalam penelitian, digunakan analisis R/C rasio yaitu dengan membandingkan total penerimaan usaha tambak kepiting dengan total biaya produksi yang dikel uarkan, dengan batasan sebagai berikut :

Jika R/C < 1, maka usaha tambak kepiting tidak layak untuk diusahakan Jika R/C > 1, maka usaha tambak kepiting layak untuk diusahakan

Secara teoritis, dengan R/C = 1, artinya petani tidak untung dan tidak rugi. Namun, karena adanya biaya usaha tani yang kadang-kadang tidak dihitung, maka kriterianya dapat diubah. Dengan demikian, akan lebih baik kalau R/C ini dibagi dua, yaitu yang menggunakn data pengeluaran (biaya produksi) yang secara riil dikeluarkan oleh petani dan yang juga ikut menghitung biaya sewa lahan (andaikan lahan dianggap menyewa). Ada dua macam R/C yaitu : R/C berdasarkan data apa adanya (Tipe I) dan R/C berdasarkan data dengan mempehitungkan tenaga kerja dalam keluarga, sewa lahan (andaikan lahan dianggap menyewa) dan sebagainya (Tipe II) (Soekartawi,1995).

Dalam penelitian ini, kelayakan finansial petani dinilai dengan melakukan 2 jenis perthitungan tersebut, yaitu:

1. Tipe I (Analisa I) : perhitungan analisis usaha tani dengan menghitung seluruh biaya yang benar-benar dikeluarkan petani (biaya riil). Perhitungan ini perlu dilakukan karena umumnya petani melakukan keputusan berdasarkan perhitungan dari biaya yang benar-benar dilakukan. Biaya yang secara riil dikeluarkan berupa biaya operasi yaitu biaya untuk berproduksi berupa penggunaan saprodi yaitu bibit, pakan, pupuk, kapur, obat-obatan, PBB, tenaga kerja luar keluarga, sewa lahan dan biaya penyusutan peralatan. 2. Tipe II (Analisa II) : perhitungan analisis usaha tani dimana biaya yang dihitung tidak hanya biaya yang secara riil dikeluarkan oleh petani tetapi juga biaya imbangan atau opportunity cost seperti biaya sewa lahan dan biaya tenaga kerja dalam keluarga.

Biaya opportunity cost adalah sejumlah biaya yang dikobankan atau harus dibayar oleh produsen sebagai alternatif terbaik untuk memperoleh sesuatu hasil atau output (Sumanjaya, dkk, 2012).

Perhitungan ini digunakan untuk melihat tingkat alokasi sumber daya yang dimiliki petani. Oleh karena itu dalam penelitian ini, selain perhitungan biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh petani juga dilakukan perhitungan opportunity cost.

Dokumen terkait