• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

B. Temuan Penelitian

1. Prosesi Sadranan

a. Sejarah Sadranan di Gunung Balak

Tradisi sadranan di Gunung balak merupakan salah satu tradisi yang masih rutin dilakukan oleh masyarakat sekitar Gunung Balak, kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.Upacara sadranan ini rutin dilakukan setiap bulan suro dan berlangsung di Gunung Balak.

Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Mujiyono bahwa:

“Asal mula adanya tradisi sadranan di Gunung Balak tidak terlepasdari proses penyebaran agama islam di daerah tersebut. Jadi, adanya sadranan di Gunung balak juga sebagai salah satu cara untuk mengenang dan menghormati tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di daerah tersebut, salah satunya adalah Syekh Subakir. Syekh Subakir merupakan salah seorang ulama islam yang berasal dari Persia. Pada masa itu SyekhSubakir mendapatkan tugas untuk berijtihad dan menyampaikan agama Islam di tanah Jawa. (Wawancara pada tanggal 10 Desember 2016)

Perjalanan Syekh Subakir untuk menyebarkan Islam di Jawa tidaklah berjalan mulus. Menurut Bapak Parjo:

“Banyak rintangan yang harus dihadapinya.Akhirnya sampailah Syekh Subakir di tanah Jawa. Sesampainya di Jawa mereka memilih tempat di daerah magelang. Dipilihnya Magelang menjadi tempat singgah Syekh Subakir karena Magelang merupakan tengah-tengahnya pulau Jawa. Selain itu daerah tersebut dahulu

masih banyak tempat yang belum terjamah oleh Islam.”

(Wawancara pada tanggal 10 Desember 2016) Seperti yang diungkapkan Oleh MbahJannadi:

“Sejarahe iku miturut cerito wong mbiyen ono alim ulama yo kuwi

Syekh Subakir. Gawe nyebarke Islam Syekh Subakir urip ning

Magelang. Sak rampunge ning Magelang, Syekh Subakir nggawe

nglawan marang kang nunggu Gunung. Syekh Subakir akhire biso ngalahke saka roh gunung. Pihak sing kalah kudu abdi manut marang syekh Subakir. Sawise Syekh Subakir nglawan marang kang nunggu gunung rampung, Syekh Subakir uga nancepke

pusoko ing Gunung Balak. Pusoko iku jenenge pusoko

Kalimosodo, kalimosodo iku maknane kalimat syahadat. Pusoko iku gawe njogo supoyo masyarakat uripe tentrem, adoh seko

bencana, ora diganggu karo jin lan mahluk alus liyane”

(Sejarahnya itu menurut orang dulu ada alim ulama yang bernama Syekh Subakir. Untuk menyebarkan agama Islam Syekh subakir tinggal di Magelang Selama menetap di Magelang, Syekh Subakir mengadakan perlawanan terhadap mahluk halus penungu Gunung. Akhirnya Syekh Subakir berhasil mengalahkan jin penunggu gunung tersebut. Pihak yang kalah harus menjadi abdi yang patuh kepada syekh subakir. Setelah perlawanan Syekh Subakir terhadap mahluk halus tersebut selesai, syekh Subakir juga menancapkan pusaka di Gunung Balak, pusaka tersebut bernama Kalimosodo yang bermakna kalimat syahadat. Pusaka tersebut berfungsi untuk menjaga agar masyarakat hidup dengan tentram, jauh dari bencana, tidak diganggu oleh jin, dan mahluk halus lainya). (Wawancara pada tanggal 10 Desember 2016)

Menurut bapak Parjo:

“Setelah semuanya selesai, syekh subakir memulai tugasnya untuk

menyebarkan Islam pada masyarakat setempat. Masyarakat diajarkan untuk memeluk islam dan berpedoman dengan dua kalimat syahadat. Selain itu dalam proses dakwahnya, Syekh Subakir juga mengumpulkan ulama Islam di Jawa semakin kuat. Untuk mengenang dan menghormati jasa Syekh Subakir yang telah membuat daerah tersebut tentram dan telah mengajarkan Islam pada masyarakat, sampai saat ini masyarakat secara rutin mengadakan syukuran. Syukuran tersebut dikenal dengan Istilah

Sadranan yang dilakukan di atas Gunung Balak setiap tahunya”. (wawancara pada tanggal 10 Desember 2016)

Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat selalu rutin mengadakan upacara sadranan di Gunung Balak sebagai wujud rasa syukur sekaligus sebagai tanda untuk mengenang perjuangan Syekh Subakir dalam menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.

b. Waktu dan Tempat Upacara Sadranan

Sadranan merupakan sebuah upacara yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa dan mereka melakukan dengan patuh. Menurut bapak parjo:

“Upacara di Gunung Balak ini dilakukan setahun satu kali setiap

bulan Suro tepatnya pada hari mingu kliwon.Apabila tidak ada hari minggu kliwon pada bulan suro maka tradisi nyadran ini berlangsung pada hari selasa kliwon.Hari minggu kliwon dan

selasa kliwon dipercaya masyarakat sebagai hari yang sakral.”

(Wawancara pada tangggal 13 Desember 2016)

Seperti halnya yang diungkapkan Bapak Mujiyono:

“Masyarakat meyakini apabila meminta permohonan pada hari

tersebut maka permohonanya akan langsung didengar oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan dapat terkabul.Akan tetapi pelksannan tradisi nyadran tersebut diprioritaskan dilaksanakan pada hari Minggu Kliwon agar seluruh lapisan masyarakat dapat mengikuti karena hari minggu adalah hari libur.Tradisi Nydran dilaksanakan pada bulan Suro karena pada bulan inilah Syekh Subakir mengubur pusaka-pusakanya.Tradisi nyadran di Gunung Balak ini mulai rutin

dilaksanakan sejat tahun 1960han.” (Wawancara pada tanggal 10

Desember 2016)

Ibu Titik juga mengatakan bahwa:

“Biasanya dilakukan pada bulan Suro Berdasarkan musyawarah bersama oleh masyarakat setempat, upacara sadranan pada bulan Oktober tahun 2016 di laksanakan pada hari minggu kliwon,

tanggal 2 oktober 2016 bertempat di Gunung Balak kecamatan

Pakis, kabupaten Magelang”. (Wawancara pada tanggal 13

desember 2016)

c. Pelaksanaan Nyadran di Gunung Balak

Dikatakan oleh Ibu Titik Bahwa:

“Perangkat desa mengadakan rapat dahulu sebelum tradisi

sadranan dilaksanakan. Rapatnya diselenggarakan oleh pihak kecamatan dengan menghadirkan kepala desa dan kepala dusun dan dilaksanakan kira-kira 1 bulan sebelum tradisi sadranan dilaksanakan. Rapat ini membahas tentang pembentukan panitia inti sadranan, pelaksanaan sadranan, khususnya untuk dusun Balak dan dusun Pakis karena lokasi kedua dusun tersebut yang paling dekat dengan Gunung Balak. Setelah rapat selesai, pihak penanggung jawab masing-masing dusun akan menyampaikan hasil rapat kepada warganya dan mengadakan rapat lagi dengan warga untuk membentuk panitia yang lebih rinci dan melakukan pembagian tugas. Setelah itu hasil rapat akan disosialisasikan kepada warga agar warga mengetahui tentang kapan pelaksanaan sadranan dan apa saja yang harus dipersiapkan. Setelah itu ada

yang menyelenggarakan pengajian, pengajianya yang

menyelenggarakan dari pondok Surya Buana yang terletak di Dusun balak, pembicaranya Kanjeng Syekh Sirullah dari pondok pesantren Surya Buana. Inti pengajianya satau saya ada dzikir akbar, manaqib, dan penancapan tombak kalimosodo.dan pada saat pelaksanaan nyadran ada ritual-ritual itu mbak bagi masyarakat

yang masih mempercayainya.” (Wawancara pada tanggal 13

Desember 2016)

Bapak Mujiyono menambahkan bahwa:

“Satu hari sebelum berlangsungnya upacara sadranan

biasanyadiadakan pengajian yang dihadiri oleh jamaah muslim dari warga pakis dan sekitarnya. Pengajian ini diselenggarakan oleh pondok pesantren Surya Buana yang bertempat di Dusun Balak. Dimulai dengan tausiyah yang dibawakan oleh Kanjeng Syekh Sirullah dari pondok pesantren Surya Buana.Tujuan dari pelaksanaan pengajian ini agar iman masyarakat semakin bertambah dan meningkatkan ukhuwah islamiyah diantara mereka. Kemudian pelaksanaanya jam 7 orang-orang yang mengikuti sadranan berkumpul di gunung Balak dengan membawa keperluanya masing-masing. Acara pembukan di isi oleh kepala

desa dan camat, setelah acara pembukaan selesai kemudian berdo‟a

kenduri bersama-sama.” (Wawancara pada tanggal 10 Desember

2016)

Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Parjo:

“Pada hari pelaksanaan upacara nyadran jam 7 pagimasyarakat

yang akan mengikuti sadranan berbondong-bondong menuju ke Gunung Balak dengan membawa tikar, tenong, dll. Masing-masing warga menggelar tikar diatas gunung balak untuk mengikuti upacara sadranan tersebut.Upacara sadranan dimulai diawali dengan sambutan dari kepala desa yang intinya menceritakan secara singkat sejarah adanya tradisi sadranan di Gunung Balak dan bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terimakasih kepada warga yang sudah bersedia datang untuk mengikuti upacara nyadran.Seusai sambutan oleh kepala desa mbah kaum yang sudah

dipilih menjadi rois maju untuk memimpin tahlil dan do‟a yang

isinya memohon ampunan atau dosa para leluhur kepada Allah

SWT. Setelah berdo‟a diakhiri dengan makan kenduri

bersama-sama”. (Wawancara pada tanggal 13 desember 2016)

Menurut Bapak Parjo:

“Masyarakat yang mengikuti sadranan di Gunung Balak biasanya

datang dengan membawa kenduri. Kenduri tersebut merupakan wujud syukur atas berkah yang telah diberikan oleh Allah SWT. Selain itu, dengan adanya kenduri bersama saat sadranan masyarakat dapat berkumpul dengan anggota masyarakat lain dan

dapat meningkatkan rasa kekeluargaan.” (Wawancara pada tanggal

13 desember 2016)

Pada saat pelaksanaan nyadran di Gunung Balak masyarakat terlihat berinteraksi dengan sangat baik walaupun dengan warga yang belum dikenal.Mereka terlihat saling menghormati dan akrab. Pada saat upacara sadranan sedang berlangsung ada ritual kejawen yang diikuti oleh beberapa masyarakat yang meyakininya. Menurut Mbah Janadi :

“Proses sadranan di Gunung Balak secara kejawen dilakukan dengan memberikan sesaji. Sesaji tersebut dibuat oleh sang guru dan mengandung makna tersendiri. Sesaji yang diberikan

diantaranya berupa tumpeng, aneka umbi-umbian, pisang, dan jajanan pasar.Tumpeng merupakan sesaji yang selalu disiapkan dalam ritual.Tumpeng merupakan symbol kesuburan dan kesejahteraan masyarakat .Pisang yang dipakai dalam sesaji adalah pisang raja, pemakaian pisang raja tersebut dimaksudkan agar yang melakukan ritual kejawen memiliki sifat seperti raja yakni berwatak adil, berbudi luhur dan tepat janji. Sesaji berupa umbi-umbian terdiri dari kimpul, lilin lumbu, telo pendem, midro, dan uwi, pisang kapokserta kluban yang terdiri dari beraneka sayuran yang melambangkan hasil bumi yang diperoleh masyarakat. Semua hasil bumi tersebut dipersembahkan sebagai tanda syukur kepada Allah SWT.Sesaji lain yaitu jajanan pasar yang merupakan lambang hubungan antar manusia dan lambang kemakmuran. Lambang hubungan antar manusia karena pasar merupakan tempat bertemunya banyak manusia sehingga dapat saling berinteraksi dan

saling mengenal.” (Wawancara pada tanggal 10 Desember 2016)

Pada proses ritual secara kejawen tersebut masyarakat masih percaya dengan hal-hal gaib yang ada disekitar mereka. Menurut bapak parjo:

“Ritual tersebut bukanlah merupakan tindakan musyrik dan

menentang agama. Sesaji yang diberikan tersebut hanya sebagai sarana. Permohonan tetap ditujukkan kepada Allah SWT. tidak semua orang mengikuti ritual kejawen ini karena semuanya dikembalikan pada keyakinan setiap orang. Baik proses sadranan secara Islam dan kejawen ini tetap berlangsung sampai sekarang

dan tidak mengalami perubahan.” (Wawancara pada tanggal 13

desember 2016)

d. Makna yang Terkandung dalam Tradisi Sadranan

Tradisi sadranan di Gunung Balak dilakukan untuk mengenang leluhur mereka. Selain itu, tradisi ini juga sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Allah SWT karena telah memberikan kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat sehingga masyarakat dapat bersatu hingga saat ini. Tradisi sadranan di Gunung Balak juga berfungsi untuk mempertebal rasa guyub

rukun dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Mujiyono bahwa:

“Sadranan berasal dari bahasa Arab Syodrun yang artinya dada. Jadi, dengan adanya tradisi sadranan ini diharapkan dapat meningkatkan rasa lapang dada dan kekeluargaan sesama anggota masyarakat.Masyarakat juga berharap dengan dilaksanakanya tradisi sadranan ini kehidupan mereka menjadi tentram, dijauhkan

dari gangguan mahluk halus dan mara bahaya serta bencana.”

(Wawancara pada tanggal 10 Desember 2016)

Dokumen terkait