• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1. Prosocial Organization Behavior Theory

Brief dan Motowidlo (1986) mendeskripsikan teori perilaku prososial sebagai suatu perilaku seorang anggota dalam organisasi yang ditujukan kepada individu, kelompok, maupun organisasi tempat mereka berinteraksi. Perilaku tersebut dilakukan atas dasar niat untuk meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, maupun organisasi tersebut.

Brief dan Motowidlo (1986), menyebutkan tindakan whistleblowing sebagai salah satu dari 13 bentuk prosocial organizational behavior. Whistleblowing merupakan salah satu bentuk tindakan prososial anggota organisasi untuk memyampaikan arahan, prosedur, atau kebijakan yang menurutnya tidak etis, ilegal dan membawa bencana bagi tujuan jangka panjang organisasi, namun ia tidak dapat langsung menunjukkannya dan merubahnya, maka ia mungkin dapat melakukan tindakan whistleblowing dan menyampaikan hal tersebut kepada pihak yang memiliki wewenang.

Perilaku prososial mencakup setiap tindakan untuk membantu orang lain, terlepas dari motif dari si penolong tersebut.

Perilaku prososial bisa dimulai dari tindakan altruisme (menolong

11

tanpa pamrih) sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi. Perilaku tersebut ada karena manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain, maka dari itu munculah perilaku prososial di kehidupan bermasyarakat maupun di dalam organisasi (Nugrohaningrum, 2018).

Prosocial organizational behavior menjadi teori pendukung mengenai terjadinya whistleblowing karena secara umum tindakan whistleblowing dianggap sebagai perilaku yang akan memberikan manfaat bagi organisasi maupun pelapor tindakan kecurangan. Bagustianto & Nurkholis (2015) menyebutkan perilaku prososial terkadang terdapat kepentingan individu yang juga menjadi alasan kuat untuk mengungkap sebuah skandal kejahatan. Dengan kata lain, tindakan whistleblowing tidak sepenuhnya merupakan tindakan altruistik karena juga ditujukan untuk mencapai keuntungan pribadi.

Sehingga dengan mengacu pada prosocial organizational behavior theory, dapat disimpulkan bahwa tindakan whistleblowing seorang pegawai menunjukkan dasar seorang pegawai sebagai makhluk sosial yang memiliki jiwa menolong atau memberikan manfaat untuk organisasi sebagai upaya melindungi organisasi tempat bekerjanya dari ancaman yang tidak etis atau ilegal.

12 2. Niat Whistleblowing

Niat dapat didefinisikan sebagai dorongan dalam diri individu untuk melakukan suatu tindakan, niat dapat dikaitkan pula dengan intensitas (Lestari dan Yaya, 2017). Tanpa niat, perilaku tidak akan pernah terjadi dan niat dapat berubah seiring waktu berubah (Indriani, Yulia, Nadirsyah, & Ariska, 2019). Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa niat merupakan suatu rencana seseorang dari dalam diri untuk melakukan suatu tindakan.

Apabila seseorang mempunyai kesempatan dan waktu yang tepat maka niat akan terwujud dalam suatu perilaku.

Menurut KNKG (2008), pengertian whistleblowing adalah pengungkapan tindak kecurangan atau perbuatan yang melawan hukum, kesalahan prosedur, korupsi, penyalahgunaan wewenang dan perbuatan tidak etis yang dapat merugikan berbagai pihak yang berkepentingan. Whistleblowing merupakan bagian dari sistem pengendalian internal dalam mencegah praktik penyimpanan dan kecurangan serta memperkuat penerapan praktik good governance.

Sehingga niat melakukan whistleblowing dapat didefinisikan sebagai rencana dan keseriusan seseorang yang dimulai dari dalam diri pada situasi tertentu untuk melakukan pelaporan atau pengungkapan kepada pihak yang berwenang atas tindakan tidak etis yang dapat merugikan berbagai pihak yang berkepentingan.

13

Sedangkan seorang yang melakukan whistleblowing disebut whistleblower. Dalam pedoman KNKG 2008 menyebutkan bahwa pada dasarnya whistleblower adalah pegawai dari organisasi itu sendiri (pihak internal), akan tetapi tidak tertutup adanya pelapor berasal dari pihak eksternal (pelanggan, pemasok, masyarakat).

Whistleblower adalah orang yang melaporkan tindakan di sebuah organisasi kepada orang lain. Seorang whistleblower harus memiliki data yang lengkap dan dapat dipercaya, dimana data tersebut akan digunakan sebagai bukti tentang kasus kecurangan dalam organisasi.

Internal whistleblowing terjadi ketika individu atau pegawai mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh pegawai lain atau kepala bagiannya, kemudian melaporkan kecurangan itu kepada pimpinan organisasi yang lebih tinggi. Sedangkan eksternal whistleblowing menyangkut kasus dimana seorang pekerja mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaannya lalu membocorkan kepada masyarakat karena dia mengetahui bahwa kecurangan itu akan merugikan masyarakat.

Niat whistleblowing dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Semakin kuat niat whistleblowing seseorang, maka semakin kuat pula kemungkinan melakukan whistleblowing (Kinanti, 2019).

Seorang whistleblower perlu memiliki beberapa motivasi dalam mendorong niatnya untuk melakukan tindakan pelaporan atau

14

pengungkapan suatu perbuatan tidak etis. Dasgupta dan Kesharwani (2010) menjelaskan bahwa secara umum ada tiga penyebab seseorang berniat melakukan whistleblowing, antara lain.

a. Perspektif altrustik seorang whistleblower

Altrustik mengacu kepada sikap seseorang yang sangat mengutamakan kepentingan orang lain atau tidak mementingkan diri sendiri. Alasan altrustik whistleblowing adalah keinginan untuk memperbaiki kesalahan yang merugikan kepentingan organisasi, konsumen, rekan kerja, dan masyarakat luas.

b. Perspektif motivasi dan psikologi

Motivasi whistleblower mendapat manfaat atas tindakannya yang dapat menyebabkan seseorang melakukan whistleblowing.

c. Harapan Penghargaan.

Organisasi kadang menawarkan hadiah bila seorang individu atau pegawai mengungkap tindakan kecurangan yang dilakukan oleh pegawai lain.

Tindakan whistleblowing dianggap sebagai perilaku yang akan memberikan banyak manfaat terutama bagi organisasi atas tindakan pelaporan pelanggaran yang dilakukan oleh whistleblower. Dengan adanya system whistleblowing di dalam suatu perusahaan juga diharapkan dapat lebih meningkatkan tingkat partisipasi pegawai dalam melaporkan pelanggaran yang terjadi.

15 3. Personal Cost

Personal cost merupakan persepsi atau cara pandang individu untuk menilai posisi diri mereka sendiri terhadap risiko-risiko yang akan dialami apabila ia melaksanakan tindakan whistleblowing (Lestari dan Yaya, 2017). Personal cost adalah pandangan pegawai terhadap risiko pembalasan atau sanksi dari anggota organisasi, yang dapat mengurangi minat pegawai untuk melaporkan wrongdoing atau kecurangan (Bagustianto dan Nurkholis, 2015)

Personal cost yang paling dipertimbangkan adalah adanya ancaman atau pembalasan dari orang-orang dalam organisasi yang menentang tindakan pelaporan (Septiyanti, 2013). Resiko pembalasan dapat berasal dari manajemen, atasan atau rekan kerja.

Beberapa pembalasan tersebut seperti penilaian kinerja yang tidak seimbang, hambatan kenaikan gaji, pemutusan kontrak kerja, atau dipindahkan ke posisi yang tidak diinginkan (Bagustianto dan Nurkholis, 2015).

Personal cost tidak hanya merupakan dampak tindakan pembalasan dari perilaku kecurangan, melainkan sebuah keputusan bagi pelapor yang dianggap sebagai tindakan tidak etis karena dianggap menentang atasan. Sanksi yang akan diberikan dan dihadapi oleh whistleblower ketika melakukan whistleblowing

16

dapat menjadi salah satu pertimbangan utama bagi pelapor untuk melakukan whistleblowing (Hanif dan Odiatma, 2017).

4. Status Pelanggar

Status pelanggar didefinisikan sebagai status anggota organisasi yang melakukan tindakan ilegal atau suatu kesalahan yang dapat mempengaruhi tindakan whistleblowing (Ahmad, 2011). Hakim (2017) menjelaskan bahwa status pelanggar merupakan salah satu kriteria situasional yang berhubungan dengan kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuatan dalam sebuah organisasi. Sehingga status pelanggar dapat didefinisikan sebagai kedudukan atau jabatan seseorang dalam organisasi yang melakukan tindakan tidak etis atau melanggar aturan pada organisasi.

Semakin tinggi status yang dimiliki seseorang pada sebuah organisasi, maka semakin kuat pula posisinya dalam menekan tindakan orang lain yang akan merugikannya. Hal tersebut didukung oleh pendapat Septiyanti (2010), bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi yang memiliki jabatan tinggi merupakan hal yang tidak mudah dilaporkan.

Ahmad (2011) menyebutkan beberapa alasan seseorang enggan mengungkap atau melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan, antara lain.

17

a) Takut akan pembalasan dari pelaku yang memiliki kekuasaan dalam organisasi.

b) Suatu organisasi bergantung kepada pelaku pelanggaran untuk kelangsungan hidup organisasi.

c) Lebih memikirkan konsekuensi negatif yang akan diterima ketika mengungkap pelaku pelanggaran yang memiiki kekuasaan lebih tinggi

Beberapa alasan tersebut menjadi bahan pertimbangan seorang whistleblower untuk melaporkan atau tidaknya tindakan pelanggaran atau tidak etis yang terjadi pada suatu organisasi.

5. Pemberian Reward

Reward adalah bentuk apresiasi kepada suatu prestasi tertentu yang diberikan, baik oleh perorangan ataupun suatu organisasi yang biasanya dalam bentuk material atau ucapan (Nugrohaninrum, 2018). Pemberian reward merupakan pemberian penghargaan kepada pegawai. Penghargaan tersebut dapat berupa penghargaan materil maupun penghargaan nonmateril atas prestasi ataupun kejujuran yang dilakukan oleh seorang pegawai (Wahyuningsih, 2016).

Pemberian reward dibuat untuk memberikan penghargaan kepada seseorang yang dapat membantu mengungkapkan kecurangan yang terjadi dalam perusahaan sebagai imbalan.

Tujuan lain organisasi melakukan pemberian reward adalah

18

sebagai salah satu tindakan untuk memotivasi dan mendorong niat pegawai untuk melakukan whistleblowing. Dengan memberikan reward kepada pegawai dapat membantu dalam mengungkapkan kecurangan yang terjadi pada suatu organisasi, sehingga dapat mengurangi terjadinya kecurangan ataupun pelanggaran pada organisasi tersebut.

Reward akan memotivasi pegawai untuk melaporkan kecurangan jika mengetahui ada rekan maupun atasannya melakukan kecurangan untuk segera melaporkannya, dan juga bisa meminimalkan kecurangan yang terjadi pada organisasi. Dengan memberikan reward maka akan memberi rasa kepuasan tersendiri bagi whistleblower.

Menurut KNKG (2008), makna dari kata reward ini sangat luas tidak terfokus pada bentuk finansial saja tetapi juga dalam bentuk non finansial. Setiap orang yang telah berusaha membantu upaya pencegahan atau pemberantasan tindakan kecurangan berhak mendapat reward berupa piagam atau premi.

19 B. Penelitian Terdahulu

Berikut ini adalah ringkasan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini sebagai salah satu hal yang menjadi dasar penulisan dan memperkuat hasil penelitian ini yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Peneliti Hasil Penelitian Perbedaan

1. Ahmad (2011)

 Faktor organisasional: benevolence,

principle, dan job level berpengaruh positif, sedangkan egoism dan size of organisation berpengaruh negatif terhadap niat

whistleblowing

 Faktor individual: moral equity, relativism, contractualism, dan organisational

commitment berpengaruh positif, sedangkan locus of control berpengaruh negatif

terhadap niat whistleblowing

 Subjek pada penelitian Ahmad yaitu anggota yang terdaftar pada Institut Auditor Internal Malaysia, sedangkan penelitian ini menggunakan subjek pegawai keuangan pada pemda

 Pengujian hipotesis dilakukan dengan satu arah, sedangkan penelitian ini menggunakan dua arah

 Menguji 4 faktor (individual, situasional, organisasional, dan demografi), sedangkan penelitian ini 3 faktor (individual, situasional, dan organisasional)

20 (lanjutan)

No Peneliti Hasil Penelitian Perbedaan

 Faktor situasional: seriousness of

wrongdoing berpengaruh positif, sedangkan status of wrongdoer berpengaruh negatif terhadap niat whistleblowing

 Faktor demografi: gender, age and tenure berpengaruh negatif terhadap niat

whistleblowing

 Teknik pengambilan data dilakukan secara online, sedangkan penelitian ini secara langsung

 Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode random sampling, sedangkan penelitian ini menggunakan purposive sampling

 Desain penelitian yaitu penelitian eksperimen, sedangkan penelitan ini penelitian survei

2. Wahyunings ih (2016)

 Pemberian reward dan gender tidak berpengaruh signifikan terhadap whistleblowing.

 Komitmen organisasi dan masa kerja berpengaruh signifikan positif terhadap whistleblowing.

 Subjek penelitian Wahyuningsih pada seluruh pegawai BUMN, sedangkan penelitian ini pada pegawai keuangan pemerintah daerah

 Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode simple random sampling, sedangkan penelitian ini menggunakan purposive sampling

 Pengujian hipotesis dilakukan dengan satu arah, sedangkan penelitian ini menggunakan dua arah

21 (lanjutan)

No Peneliti Hasil Penelitian Perbedaan

3. Lestari dan Yaya (2017)

 Personal cost berpengaruh negatif terhadap niat untuk melakukan whistleblowing oleh ASN.

 Keseriusan pelanggaran berpengaruh negatif terhadap niat melaksanakan whistleblowing oleh ASN.

 Ethical egoism, ethical climate-benevolence, ethical climate-principle, locus of control internal dan komitmen organisasi tidak memengaruhi niat melakukan whistleblowing oleh ASN.

 Teknik pengambilan sampel penelitian Lestari dan Yaya menggunakan metode covenience sampling pada 5 kantor kementrian keuangan, sedangkan penelitian ini menggunakan metode purposive sampling pada beberapa organisasi pemerintah daerah.

 Perbedaan pada variabel faktor organisasional dan situasional.

 Pengujian hipotesis dilakukan dengan satu arah, sedangkan penelitian ini menggunakan dua arah

22 kesalahan tidak mempunyai pengaruh terhadap whistleblowing intention

Teknik pengambilan sampel pada penelitian Hanif dan Odiatma menggunakan teknik sampel jenuh, sedangkan penelitian ini menggunakan purposive sampling

 Subyek penelitian pada seluruh kepolisian yang ada di Kota Pekanbaru, sedangkan penelitian ini pada seluruh pegawai keuangan di pemerintah daerah.

5. Nugrohanin grum (2018)

 Komitmen organisasi dan personal cost tidak berpengaruh signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing.

 Saluran pelaporan anonim dan reward berpengaruh signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing.

 Subjek penelitian Nugrohaningrum yaitu seluruh PNS pada 5 dinas pemda dengan minimal 2 tahun masa kerja, sedangkan penelitian ini pada seluruh pegawai keuangan pemda 1 tahun masa kerja

 Skala pengukuran kuesioner menggunakan poin 1-4, sedangkan penelitian ini menggunakan poin 1-5

Sumber: data yang diolah, 2020

23 1. Personal Cost

Lestari dan Yaya (2017) menjelaskan personal cost dapat diartikan sebagai persepsi atau cara pandang individu untuk menilai posisi diri mereka sendiri terhadap risiko-risiko yang akan dialami apabila ia melaksanakan tindakan whistleblowing.

Personal cost merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing (Hanif dan Odiatma, 2017). Personal cost tidak hanya merupakan dampak tindakan pembalasan dari perilaku kecurangan, melainkan sebuah keputusan bagi pelapor yang dianggap sebagai tindakan tidak etis karena dianggap menentang atasan.

Pandangan akan adanya risiko ancaman pembalasan ini akan menjadikan calon pelapor menghadapi dilema antara melakukan apa yang benar dan menerima konsekuensinya. Sanksi yang akan diberikan dan dihadapi oleh whistleblower ketika melakukan whistleblowing dapat menjadi salah satu pertimbangan utama bagi pelapor untuk melakukan whistleblowing (Hanif dan Odiatma, 2017). Berdasarkan hal tersebut, hipotesis pertama dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

H1 : Personal cost berpengaruh terhadap niat untuk melakukan whistleblowing.

24

Status pelanggar didefinisikan sebagai kedudukan atau jabatan seseorang dalam organisasi yang melakukan tindakan tidak etis atau melanggar aturan pada organisasi. Ahmad (2011) menunjukan bahwa status anggota organisasi yang melakukan kesalahan atau tindakan ilegal juga dapat mempengaruhi tindakan whistleblowing. Seorang pelapor memiliki resiko yang lebih besar apabila melakukan whistleblowing pada pelaku pelanggaran yang yang memiliki kedudukan lebih tinggi darinya.

Kedudukan pelaku pelanggar dan resiko yang akan didapat ketika melaporkan tindakan kecurangan menjadi bahan pertimbangkan seorang whistleblower untuk melakukan whistleblowing. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Winardi (2011). Berdasarkan hal tersebut, hipotesis kedua dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

H2 : Status pelanggar berpengaruh terhadap niat untuk melakukan whistleblowing.

3. Pemberian Reward

Menurut Wahyuningsih (2016), pemberian reward merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh perusahaan maupun organisasi untuk memotivasi dan mendorong pegawai dalam melakukan tindakan whistleblowing. Nugrohaningrum (2018) menyebutkan bahwa pemberian reward kepada pegawai

25

sehingga setiap pegawai akan termotivasi jika mengetahui ada rekan kerja maupun atasan melakukan kecurangan untuk segera mengungkapkannya, serta dapat meminimalisirkan kecurangan yang terjadi pada perusahaan.

Dengan pemberian reward maka akan memberikan suatu kepuasan tersendiri bagi seorang whistleblower dan menjadi faktor pendorong niat untuk mengungkapkan kecurangan yang terjadi dalam organisasinya. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis ketiga dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

H3 : Pemberian reward berpengaruh terhadap niat whistleblowing.

D. Model Penelitian

H1

H2

H3

Gambar 2.1 Model Penelitian Personal Cost

(X1)

Status Pelanggar (X2)

Pemberian Reward (X3)

Niat Whistleblowing (Y)

26

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei, yaitu penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data dari sejumlah sampel pada populasi dengan pendekatan kuantitatif. Survei dilakukan terhadap kelompok responden (sampel) tertentu dalam satu waktu yang disebut dengan cross-section (Sugiyono, 2017). Pada penelitian ini, survei dilakukan dengan mengumpulkan data dengan memberikan pertanyaan secara tertulis guna mendapatkan data opini dari individu maupun grup (Jogiyanto, 2010).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian yang digunakan dimulai dari penyusunan proposal sampai dilaksanakannya penelitian yaitu pada bulan Agustus 2019 sampai dengan bulan Januari 2020. Wilayah penelitian ini adalah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Kota Magelang.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian atau informan merupakan tempat dimana data untuk penelitian diperoleh (Arikunto, 2010). Subjek dalam penelitian ini yaitu pegawai bidang keuangan OPD Kota Magelang.

27

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer. Menurut Sugiyono (2017), data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumber atau objek penelitian yang dipilih sebagai responden.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik angket atau kuisioner. Teknik angket atau kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2010).

F. Populasi dan Sampel

Menurut Arikunto (2010), populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian. Populasi yang dipilih dan ditentukan dalam penelitian ini ialah pegawai bidang keuangan yang bekerja di OPD Kota Magelang sebanyak 29 OPD dan terdiri dari kurang lebih 150 pegawai keuangan. Sebagian dari populasi tersebut dipilih menjadi sampel.

Adapun teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Purposive sampling menurut Jogiyanto (2010), adalah teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan

28

nantinya bisa lebih terwakili atau representatif. Pertimbangan atau kriteria dalam penelitian ini adalah pegawai yang bekerja pada bidang keuangan yang telah bekerja minimal 1 tahun di OPD Kota Magelang.

G. Variabel Penelitian

Variabel merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang atau suatu objek yang memiliki variasi yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan akhirnya ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2017).

Variabel penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu variabel dependen dan independen yang dapat dilihat pada Tabel 3.1.

1. Variabel Dependen (terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen atau suatu variabel yang menjadi akibat adanya variabel lain (Sugiyono, 2017). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah niat whistleblowing.

2. Variabel Independen (bebas)

Variabel independen adalah variabel yang mampu mempengaruhi variabel dependen atau suatu variabel yang menjadi sebab timbulnya variabel dependen (Sugiyono, 2017). Variabel independen dalam penelitian ini adalah personal cost, status pelanggar, dan pemberian reward.

29

Variabel Dependen

Variabel Definisi Indikator Pengukuran

Niat kasus kepada pihak berwenang.

30

Variabel Independen

Variabel Definisi Indikator Pengukuran

Personal cost Suatu pandangan

31

Variabel Definisi Indikator Pengukuran

Status

32

H. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear berganda dengan menggunakan bantuan program aplikasi SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 21 untuk mengolah data tersebut.

1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengetahui kebenaran instrumen dari kuesioner yang diukur dengan melihat valid tidaknya kuesioner tersebut. Suatu uji validitas dilakukan dengan

33

sebesar 5%. Perhitungan r tabel dapat dilihat menggunakan rumus nilai degree of freedom (df) yaitu n-2. Jika hasil uji validitas > r-tabel maka instrumen atau pernyataan yang terdapat dalam kuesioner dinyatakan valid. Suatu kuesioner dianggap valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang diukur oleh kuesioner tersebut (Ghozali, 2007).

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana kuesioner sebagai alat ukur dalam penelitian ini menghasilkan hasil yang konsisten (Ghozali, 2007). Untuk mengukur reliabilitas digunakan uji statistik menggunakan rumus Cronbachs Alpha karena instrumen penelitian berbentuk kuesioner dan skala bertingkat. Jika hasil pengujian reliabilitas dalam penelitian ini ≥ 0,6, maka instrument dalam penelitian ini dapat dikatakan andal atau reliable (Ghozali, 2007).

3. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi dalam suatu penelitian variabel dependen dan variabel independennya mempunyai distribusi normal atau tidak.

Model regresi yang bagus adalah memiliki distribusi normal atau mendekati normal. (Ghozali, 2007). Pengujian ini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov Test. Jika nilai probabilitas lebih besar

34 normalitas.

4. Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik digunakan untuk mengetahui atau mendeteksi ada tidaknya pelanggaran terhadap asumsi-asumsi klasik atau persamaan regresi berganda yang digunakan. Hasil pengujian yang baik adalah pengujian yang tidak melanggar asumsi klasik. Beberapa pengujian asumsi klasik adalah sebagai berikut.

a) Multikolinearitas

Pengujian multikolinearitas digunakan untuk melihat ada tidaknya kolinearitas atau hubungan yang signifikan antara variabel independen. Dalam suatu model regresi dikatakan baik apabila tidak terdapat korelasi di antara variabel independen. Untuk membantu perhitungan digunakan nilai tolerance dan variance inflator factor (VIF). Batas dari tolerance value adalah 0,10 atau 10 % dan batas VIF adalah 10. Jika nilai tolerance lebih dari 0,10 atau nilai VIF lebih kecil dari 10, maka model tersebut bebas multikolinearitas, begitu juga sebaliknya (Ghozali, 2007).

b) Heteroskedastisitas

Pengujian heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi terjadi perbedaan varians dalam

35

atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilihat dengan menggunakan uji Glejser.

Pada uji Glejser, indikasi terjadinya heteroskedastisitas pada model regresi apabila variabel independen signifikan diatas tingkat kepercayaan 5% dapat disimpulkan bahwa model regresi tidak mengandung heteroskedastisitas (Ghozali, 2007).

5. Uji Analisis Regresi Linear Berganda

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda, bahwa dalam suatu persamaan regresi terdapat satu variabel dependen dan lebih dari satu variabel independen. Analisis linear berganda merupakan cara yang digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara kedua variabel atau lebih, serta dapat menunjukan arah hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2007).

a. Uji Koefiesien Determinasi (R2)

Uji R2 digunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai R2 adalah antara nol dan satu. Jika nilai R2 semakin mendekati satu, maka dapat dikatakan bahwa variabel independen telah memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel independen. Jika nilai R2 nol

36 (Ghozali, 2007).

b. Uji F

Uji F untuk menguji apakah variabel bebas atau independen secara keseluruhan mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat atau dependen (Ghozali, 2007). Hipotesis ini akan diuji dengan menggunakan tingkat signifikan (α) sebesar 5% atau 0.05 dan nilai F. Nilai F tabel dapat dicari pada tabel statistik

Uji F untuk menguji apakah variabel bebas atau independen secara keseluruhan mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat atau dependen (Ghozali, 2007). Hipotesis ini akan diuji dengan menggunakan tingkat signifikan (α) sebesar 5% atau 0.05 dan nilai F. Nilai F tabel dapat dicari pada tabel statistik

Dokumen terkait