• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERSONAL COST, STATUS PELANGGAR, DAN PEMBERIAN REWARD TERHADAP NIAT UNTUK MELAKUKAN WHISTLEBLOWING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH PERSONAL COST, STATUS PELANGGAR, DAN PEMBERIAN REWARD TERHADAP NIAT UNTUK MELAKUKAN WHISTLEBLOWING"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERSONAL COST, STATUS PELANGGAR, DAN PEMBERIAN REWARD TERHADAP NIAT UNTUK

MELAKUKAN WHISTLEBLOWING (Studi pada OPD Kota Magelang, Jawa Tengah)

SKRIPSI

Diajukan untuk Menenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Akuntansi

Program Studi Akuntansi

Oleh :

Hapsari Indah Astuti NIM: 162114157

PROGRAM STUDI AKUNTANSI JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2020

(2)

i

PENGARUH PERSONAL COST, STATUS PELANGGAR, DAN PEMBERIAN REWARD TERHADAP NIAT UNTUK

MELAKUKAN WHISTLEBLOWING (Studi pada OPD Kota Magelang, Jawa Tengah)

HALAMAN JUDUL

SKRIPSI

Diajukan untuk Menenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Akuntansi

Program Studi Akuntansi

Oleh :

Hapsari Indah Astuti NIM: 162114157

PROGRAM STUDI AKUNTANSI JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2020

(3)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Sebuah musibah akan menjadi kenikmatan jika kita berhasil menyikapinya dengan bersyukur, sabar, tawakal, serta mampu mengambil hikmah dari setiap

kejadian”

(Gymnastiar)

“Kunci dari segala permasalahan adalah yakin. Yakin adalah obat mujarab penumbuh semangat hidup”

(

Unknown)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Kedua orangtuaku, Keluarga besarku, &

orang-orang tersayang di sekitarku.

(4)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

HALAMAN KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Kajian Pustaka ... 10

1. Prosocial Organization Behavior Theory ... 10

2. Niat Whistleblowing ... 12

3. Personal Cost ... 15

4. Status Pelanggar ... 16

5. Pemberian Reward ... 17

B. Penelitian Terdahulu ... 19

C. Perumusan Hipotesis ... 23

D. Model Penelitian ... 25

(5)

x

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 26

A. Desain Penelitian ... 26

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

C. Subjek Penelitian ... 26

D. Data Penelitian ... 27

E. Teknik Pengumpulan Data ... 27

F. Populasi dan Sampel ... 27

G. Variabel Penelitian ... 28

H. Teknik Analisis Data ... 32

BAB IV GAMBARAN UMUM PEMERINTAH KOTA MAGELANG ... 38

A. Gambaran Umum Pemerintah Kota Magelang ... 38

B. Visi dan Misi Kota Magelang ... 40

C. Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) Kota Magelang ... 41

D. Whistleblowing System pada Pemerintah Kota Magelang ... 46

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Deskripsi Data ... 51

B. Analisis Data ... 56

C. Hasil Penelitian dan Interpretasi ... 66

BAB VI PENUTUP ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Keterbatasan Penelitian ... 72

C. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74

LAMPIRAN ... 77

(6)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ... 19

Tabel 3.1 Variabel Penelitian ... 29

Tabel 4.1 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kota Magelang... 42

Tabel 5.1 Data Responden Penelitian ... 52

Tabel 5.2 Data Distribusi Responden Penelitian... 53

Tabel 5.3 Karakteristik Responden ... 55

Tabel 5.4 Hasil Uji Validitas Variabel Personal Cost, Status Pelanggar, Pemberian Reward, dan Niat Whistleblowing ... 57

Tabel 5.5 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Personal Cost, Status Pelanggar, Pemberian Reward, dan Niat Whistleblowing ... 58

Tabel 5.6 Hasil Uji Normalitas ... 59

Tabel 5.7 Hasil Uji Multikolinearitas... 60

Tabel 5.8 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 61

Tabel 5.9 Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 63

Tabel 5.10 Hasil Uji F ... 64

Tabel 5.11 Hasil Uji t ... 65

(7)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Penelitian ... 25 Gambar 4.1 Struktur Organisasi Pemerintah Kota Magelang ... 39

(8)

xiii

ABSTRAK

PENGARUH PERSONAL COST, STATUS PELANGGAR, DAN PEMBERIAN REWARD TERHADAP NIAT UNTUK

MELAKUKAN WHISTLEBLOWING (Studi pada OPD Kota Magelang, Jawa Tengah)

Hapsari Indah Astuti NIM: 162114157 Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2020

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh personal cost, status pelanggar, dan pemberian reward terhadap niat untuk melakukan whistleblowing pada pegawai yang bekerja di OPD Kota Magelang. Pada penelitian ini terdapat 3 hipotesis yang diuji menggunakan analisis regresi linear berganda dan diolah menggunakan program SPSS versi 21.

Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data primer yang diperoleh melalui survei kuesioner secara langsung. Kuesioner dibagikan dengan metode purposive sampling kepada pegawai keuangan pada 24 OPD Kota Magelang dan diperoleh sebanyak 102 kuesioner yang dapat diolah.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa personal cost dan status pelanggar memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap niat untuk melakukan whistleblowing. Sedangkan pemberian reward memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap niat untuk melakukan whistleblowing.

Kata kunci: niat whistleblowing, personal cost, status pelanggar, pemberian reward

(9)

xiv

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF PERSONAL COST, WRONGDOER STATUS, AND REWARD GIVING TOWARD INTENTION

OF WHISTLEBLOWING

(A Study at OPD Magelang City, Central Java)

Hapsari Indah Astuti NIM: 162114157 Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2020

This study aims to examine the influence of personal costs, wrongdoer status, and reward giving toward whistleblowing intention for employees who work in the Magelang City OPD. In this study there are 3 hypotheses tested using multiple regression linear analysis and processed using SPSS version 21.

The data used in the study are primary data obtained through a direct questionnaire survey. Questionnaires were distributed by purposive sampling method to financial employees at 24 OPD in Magelang City and 102 questionnaires were obtained which could be processed.

The results of this study shows that personal cost and wrongdoer status have a negative and significant influence toward whistleblowing intention.

Meanwhile the reward giving has a positive and significant influence toward whistleblowing intention.

Keywords: whistleblowing intention, personal cost, wrongdoer status, reward giving

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyaknya praktik kecurangan atau fraud yang terungkap pada beberapa tahun belakangan ini mendapat perhatian yang serius dari publik, baik kasus kecurangan di sektor swasta maupun di sektor pemerintah. Khususnya pada sektor pemerintah di Indonesia, jenis fraud yang paling sensitif dan menjadi perhatian adalah kasus korupsi.

Berdasarkan hasil survei dari Association of Cerified Fraud Examiners (ACFE) Indonesia pada tahun 2016 menyimpulkan bahwa korupsi merupakan fraud yang paling banyak terjadi di Indonesia. Korupsi dipilih oleh 77% responden sebagai fraud yang paling banyak terjadi dan paling merugikan terutama pada sektor pemerintah.

Kasus korupsi di sektor pemerintah Indonesia terus berlangsung dan dapat dijumpai mulai dari bagian-bagian kecil hingga bagian- bagian besar pemerintah. Menurut berbagai media, salah satu kasus korupsi yang terjadi di sektor pemerintah terjadi pula di Kota Magelang, dimana Mantan Walikota Magelang terjerat kasus korupsi hingga 4 kali, salah satunya terjadi pada tahun 2013. Mantan Walikota Magelang dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara dan denda uang senilai Rp50 juta karena terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi berupa dana bantuan sosial (bansos) pedagang Pasar Gotong Royong, Kota Magelang senilai Rp2,827 miliar.

(11)

2

Untuk memberantas adanya korupsi terutama di sektor pemerintah, perlu adanya pastisipasi dari pihak masyarakat dan tidak hanya peran dari lembaga pemberantas korupsi. Menurut ACFE (2016), terdapat beberapa faktor dasar yang dapat mencegah kecurangan yang terjadi di dalam sebuah organisasi. Faktor pertama yaitu budaya kejujuran harus diciptakan, keterbukaan informasi dan dukungan kepada pegawai. Faktor kedua adalah meminimalisir celah untuk melakukan kecurangan dan memberikan hukuman bagi setiap pelaku kecurangan. Salah satu cara efektif dalam meminimalkan kesempatan untuk melakukan kecurangan adalah dengan menciptakan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system).

Menurut KNKG (2008), whistleblowing system adalah bagian dari sistem pengendalian internal dalam mencegah praktik penyimpanan dan kecurangan serta memperkuat penerapan praktik good governance.

Setiap organisasi baik di sektor pemerintah dan sektor swasta perlu menerapkan whistleblowing system, diterbitkannya whistleblowing system diharapkan dapat meningkatkan partisipasi pegawai dalam melaporkan atau mengungkapkan pelanggaran yang terjadi di dalam suatu organisasi. Seseorang yang melakukan whistleblowing biasa disebut dengan whistleblower.

Whistleblower dapat diperankan oleh berbagai pihak yang berkaitan termasuk pegawai yang bekerja pada instansi tersebut.

Pegawai merupakan pengguna potensial dari sistem whistleblowing

(12)

3

karena pegawai secara aktif terlibat dalam kegiatan operasional dan teknis dari instansi tempat mereka bekerja. Pegawai memiliki pemahaman bagaimana instansi tersebut bekerja, maka besar kemungkinan bahwa mereka mengetahui tentang keberadaan fraud di lingkungan kerjanya.

Pegawai yang menjadi sumber daya paling dekat dengan setiap tindakan fraud adalah pegawai yang bekerja di bagian keuangan (ACFE, 2016). Pegawai bidang keuangan memiliki akses istimewa ke informasi milik organisasi dan atasan, sehingga mereka berada dalam posisi terbaik untuk menjumpai praktik ilegal dalam organisasi. Hal tersebut dapat membuat proses penyidikan dapat segera dimulai ketika mereka menyediakan informasi yang relevan dan handal melalui sistem whistleblowing. Informasi tersebut dapat berhubungan dengan kecurangan, kesalahan dari manajemen, pemborosan maupun korupsi.

Pegawai pemerintahan yang bekerja pada bagian keuangan memiliki peran penting dalam membantu meminimalisir celah kecurangan dalam suatu instansi pemerintahan. Pegawai tersebut dapat menjadi pendeteksi dini apabila terjadi tindakan fraud dalam suatu instansi, yang dilakukan ketika pegawai berani untuk melaporkan atau mengungkapkan tindakan yang diduga adalah praktek fraud atau tindakan pelanggaran. Karena tanpa adanya whistleblower yang melaporkan setiap tindakan kecurangan, maka sistem whistleblowing akan sia-sia jika tidak ada yang menggunakan sistem tersebut untuk

(13)

4

melaporkan setiap tindakan kecurangan (Bagustianto dan Nurkholis, 2015).

Mengingat pentingnya whistleblowing dalam mengungkapkan adanya tindakan fraud, maka perlu adanya pemahaman oleh partisipasi dari segala pihak tentang niat untuk melakukan tindakan whistleblowing dan pemahaman tentang faktor-faktor yang mendasari niat untuk melakukan whistleblowing. Terdapat beberapa faktor yang mendorong pegawai untuk melaporkan tindakan fraud.

Menurut Ahmad (2011), faktor yang mendorong individu untuk melakukan whistleblowing di antaranya faktor organisasional, individual, situasional, dan demografis. Faktor-faktor tersebut di antaranya termasuk variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu personal cost (Lestari dan Yaya, 2017), status pelanggar (Ahmad, 2011), dan pemberian reward (Nugrohoningrum, 2018). Dimana variabel personal cost sebagai faktor individual, status pelanggar sebagai faktor situasional, dan pemberian reward sebagai faktor organisasional.

Variabel pertama, personal cost didefinisikan sebagai resiko pembalasan dari orang-orang dalam organisasi yang menentang tindakan pelaporan. Adanya personal cost yang harus ditanggung pegawai sebagai whistleblower karena melaporkan kecurangan menjadi bahan pertimbangan seseorang dalam melakukan whistleblowing (Septiyanti, 2013). Variabel kedua, status pelanggar

(14)

5

didefinisikan sebagai kedudukan atau jabatan sesorang dalam organisasi. Septiyanti (2013) menyebutkan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota organisasi yang memiliki jabatan tinggi merupakan hal yang tidak mudah dilaporkan. Variabel ketiga yaitu pemberian reward kepada pegawai bertujuan agar dapat memotivasi dan meningkatkan loyalitas pegawai terhadap perusahaan dalam mengungkapkan kecurangan ataupun pelanggaran yang terjadi (Nugrohaningrum, 2018).

Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian salah satunya penelitian Ahmad (2011). Berbeda dengan penelitian tersebut, penelitian ini meneliti tiga faktor yaitu faktor individual, situasional, dan organisasional yang dilakukan di Pemerintah Kota Magelang dengan responden pegawai bagian keuangan. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk menguji dan membuktikan pengaruh personal cost, status pelanggar, dan pemberian reward terhadap niat melakukan whistleblowing pada pegawai bagian keuangan di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kota Magelang.

(15)

6 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

1. Apakah personal cost berpengaruh terhadap niat untuk melakukan whistleblowing?

2. Apakah status pelanggar berpengaruh terhadap niat untuk melakukan whistleblowing?

3. Apakah pemberian reward berpengaruh terhadap niat untuk melakukan whistleblowing?

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka diperlukannya batasan masalah untuk memfokuskan objek yang diteliti agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penelitian. Pembatasan masalah sebagai berikut.

1. Penelitian ini berfokus pada tiga faktor yang mempengaruhi niat whistleblowing, yaitu faktor individual, situasional, dan organisasional. Faktor-faktor tersebut mencakup beberapa variabel seperti variabel personal cost, status pelanggar, dan pemberian reward.

2. Penelitian ini difokuskan pada pegawai bidang keuangan yang bekerja di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kota Magelang.

(16)

7 D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk menguji apakah personal cost berpengaruh terhadap niat untuk melakukan whistleblowing.

2. Untuk menguji apakah status pelanggar berpengaruh terhadap niat untuk melakukan whistleblowing.

3. Untuk menguji apakah pemberian reward berpengaruh terhadap niat untuk melakukan whistleblowing.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi Organisasi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan sebagai bahan pertimbangan bagi para praktisi dalam mengembangkan kebijakan terkait whistleblowing. Serta melalui penelitian ini diharapkan dapat memotivasi dan menjadi pendorong para pegawai OPD Kota Magelang untuk menjadi whistleblower guna mencegah atau mengurangi tingkat pelanggaran atau kecurangan yang ada di organisasi pemerintahan.

(17)

8 2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris tentang faktor-faktor yang mempengaruhi niat pegawai OPD Magelang untuk melakukan whistleblowing. Serta diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk pihak yang berkepentingan dalam melaksanakan penelitian selanjutnya.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam penelitian ini disusun dalam 6 bab dengan sistematika sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini berisi tentang kajian pustaka, hasil penelitian terdahulu, perumusan hipotesis, dan model penelitian.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini berisi tentang desain penelitian, waktu dan tempat penelitian, subjek penelitian, data penelitian, teknik pengumpulan data, populasi dan sampel, variabel penelitian, serta teknik analisis data.

(18)

9

Bab IV Gambaran Umum Pemerintah Kota Magelang

Bab ini berisi tentang penjelasan secara garis besar tempat yang diteliti seperti gambaran umum Pemerintah Kota Magelang, visi dan misi Pemerintah Kota Magelang, OPD Kota Magelang, dan whistleblowing system Pemerintah Kota Magelang.

Bab V Analisis dan Pembahasan

Bab ini berisi tentang deskripsi data, analisis data, dan interprestasi hasil.

Bab VI Penutup

Bab ini berisi tentang kesimpulan hasil uji dan analisis, keterbatasan penelitian, dan saran bagi pihak yang berkepentingan dalam penelitian ini.

(19)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1. Prosocial Organization Behavior Theory

Brief dan Motowidlo (1986) mendeskripsikan teori perilaku prososial sebagai suatu perilaku seorang anggota dalam organisasi yang ditujukan kepada individu, kelompok, maupun organisasi tempat mereka berinteraksi. Perilaku tersebut dilakukan atas dasar niat untuk meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, maupun organisasi tersebut.

Brief dan Motowidlo (1986), menyebutkan tindakan whistleblowing sebagai salah satu dari 13 bentuk prosocial organizational behavior. Whistleblowing merupakan salah satu bentuk tindakan prososial anggota organisasi untuk memyampaikan arahan, prosedur, atau kebijakan yang menurutnya tidak etis, ilegal dan membawa bencana bagi tujuan jangka panjang organisasi, namun ia tidak dapat langsung menunjukkannya dan merubahnya, maka ia mungkin dapat melakukan tindakan whistleblowing dan menyampaikan hal tersebut kepada pihak yang memiliki wewenang.

Perilaku prososial mencakup setiap tindakan untuk membantu orang lain, terlepas dari motif dari si penolong tersebut.

Perilaku prososial bisa dimulai dari tindakan altruisme (menolong

(20)

11

tanpa pamrih) sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi. Perilaku tersebut ada karena manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain, maka dari itu munculah perilaku prososial di kehidupan bermasyarakat maupun di dalam organisasi (Nugrohaningrum, 2018).

Prosocial organizational behavior menjadi teori pendukung mengenai terjadinya whistleblowing karena secara umum tindakan whistleblowing dianggap sebagai perilaku yang akan memberikan manfaat bagi organisasi maupun pelapor tindakan kecurangan. Bagustianto & Nurkholis (2015) menyebutkan perilaku prososial terkadang terdapat kepentingan individu yang juga menjadi alasan kuat untuk mengungkap sebuah skandal kejahatan. Dengan kata lain, tindakan whistleblowing tidak sepenuhnya merupakan tindakan altruistik karena juga ditujukan untuk mencapai keuntungan pribadi.

Sehingga dengan mengacu pada prosocial organizational behavior theory, dapat disimpulkan bahwa tindakan whistleblowing seorang pegawai menunjukkan dasar seorang pegawai sebagai makhluk sosial yang memiliki jiwa menolong atau memberikan manfaat untuk organisasi sebagai upaya melindungi organisasi tempat bekerjanya dari ancaman yang tidak etis atau ilegal.

(21)

12 2. Niat Whistleblowing

Niat dapat didefinisikan sebagai dorongan dalam diri individu untuk melakukan suatu tindakan, niat dapat dikaitkan pula dengan intensitas (Lestari dan Yaya, 2017). Tanpa niat, perilaku tidak akan pernah terjadi dan niat dapat berubah seiring waktu berubah (Indriani, Yulia, Nadirsyah, & Ariska, 2019). Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa niat merupakan suatu rencana seseorang dari dalam diri untuk melakukan suatu tindakan.

Apabila seseorang mempunyai kesempatan dan waktu yang tepat maka niat akan terwujud dalam suatu perilaku.

Menurut KNKG (2008), pengertian whistleblowing adalah pengungkapan tindak kecurangan atau perbuatan yang melawan hukum, kesalahan prosedur, korupsi, penyalahgunaan wewenang dan perbuatan tidak etis yang dapat merugikan berbagai pihak yang berkepentingan. Whistleblowing merupakan bagian dari sistem pengendalian internal dalam mencegah praktik penyimpanan dan kecurangan serta memperkuat penerapan praktik good governance.

Sehingga niat melakukan whistleblowing dapat didefinisikan sebagai rencana dan keseriusan seseorang yang dimulai dari dalam diri pada situasi tertentu untuk melakukan pelaporan atau pengungkapan kepada pihak yang berwenang atas tindakan tidak etis yang dapat merugikan berbagai pihak yang berkepentingan.

(22)

13

Sedangkan seorang yang melakukan whistleblowing disebut whistleblower. Dalam pedoman KNKG 2008 menyebutkan bahwa pada dasarnya whistleblower adalah pegawai dari organisasi itu sendiri (pihak internal), akan tetapi tidak tertutup adanya pelapor berasal dari pihak eksternal (pelanggan, pemasok, masyarakat).

Whistleblower adalah orang yang melaporkan tindakan di sebuah organisasi kepada orang lain. Seorang whistleblower harus memiliki data yang lengkap dan dapat dipercaya, dimana data tersebut akan digunakan sebagai bukti tentang kasus kecurangan dalam organisasi.

Internal whistleblowing terjadi ketika individu atau pegawai mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh pegawai lain atau kepala bagiannya, kemudian melaporkan kecurangan itu kepada pimpinan organisasi yang lebih tinggi. Sedangkan eksternal whistleblowing menyangkut kasus dimana seorang pekerja mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaannya lalu membocorkan kepada masyarakat karena dia mengetahui bahwa kecurangan itu akan merugikan masyarakat.

Niat whistleblowing dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Semakin kuat niat whistleblowing seseorang, maka semakin kuat pula kemungkinan melakukan whistleblowing (Kinanti, 2019).

Seorang whistleblower perlu memiliki beberapa motivasi dalam mendorong niatnya untuk melakukan tindakan pelaporan atau

(23)

14

pengungkapan suatu perbuatan tidak etis. Dasgupta dan Kesharwani (2010) menjelaskan bahwa secara umum ada tiga penyebab seseorang berniat melakukan whistleblowing, antara lain.

a. Perspektif altrustik seorang whistleblower

Altrustik mengacu kepada sikap seseorang yang sangat mengutamakan kepentingan orang lain atau tidak mementingkan diri sendiri. Alasan altrustik whistleblowing adalah keinginan untuk memperbaiki kesalahan yang merugikan kepentingan organisasi, konsumen, rekan kerja, dan masyarakat luas.

b. Perspektif motivasi dan psikologi

Motivasi whistleblower mendapat manfaat atas tindakannya yang dapat menyebabkan seseorang melakukan whistleblowing.

c. Harapan Penghargaan.

Organisasi kadang menawarkan hadiah bila seorang individu atau pegawai mengungkap tindakan kecurangan yang dilakukan oleh pegawai lain.

Tindakan whistleblowing dianggap sebagai perilaku yang akan memberikan banyak manfaat terutama bagi organisasi atas tindakan pelaporan pelanggaran yang dilakukan oleh whistleblower. Dengan adanya system whistleblowing di dalam suatu perusahaan juga diharapkan dapat lebih meningkatkan tingkat partisipasi pegawai dalam melaporkan pelanggaran yang terjadi.

(24)

15 3. Personal Cost

Personal cost merupakan persepsi atau cara pandang individu untuk menilai posisi diri mereka sendiri terhadap risiko- risiko yang akan dialami apabila ia melaksanakan tindakan whistleblowing (Lestari dan Yaya, 2017). Personal cost adalah pandangan pegawai terhadap risiko pembalasan atau sanksi dari anggota organisasi, yang dapat mengurangi minat pegawai untuk melaporkan wrongdoing atau kecurangan (Bagustianto dan Nurkholis, 2015)

Personal cost yang paling dipertimbangkan adalah adanya ancaman atau pembalasan dari orang-orang dalam organisasi yang menentang tindakan pelaporan (Septiyanti, 2013). Resiko pembalasan dapat berasal dari manajemen, atasan atau rekan kerja.

Beberapa pembalasan tersebut seperti penilaian kinerja yang tidak seimbang, hambatan kenaikan gaji, pemutusan kontrak kerja, atau dipindahkan ke posisi yang tidak diinginkan (Bagustianto dan Nurkholis, 2015).

Personal cost tidak hanya merupakan dampak tindakan pembalasan dari perilaku kecurangan, melainkan sebuah keputusan bagi pelapor yang dianggap sebagai tindakan tidak etis karena dianggap menentang atasan. Sanksi yang akan diberikan dan dihadapi oleh whistleblower ketika melakukan whistleblowing

(25)

16

dapat menjadi salah satu pertimbangan utama bagi pelapor untuk melakukan whistleblowing (Hanif dan Odiatma, 2017).

4. Status Pelanggar

Status pelanggar didefinisikan sebagai status anggota organisasi yang melakukan tindakan ilegal atau suatu kesalahan yang dapat mempengaruhi tindakan whistleblowing (Ahmad, 2011). Hakim (2017) menjelaskan bahwa status pelanggar merupakan salah satu kriteria situasional yang berhubungan dengan kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuatan dalam sebuah organisasi. Sehingga status pelanggar dapat didefinisikan sebagai kedudukan atau jabatan seseorang dalam organisasi yang melakukan tindakan tidak etis atau melanggar aturan pada organisasi.

Semakin tinggi status yang dimiliki seseorang pada sebuah organisasi, maka semakin kuat pula posisinya dalam menekan tindakan orang lain yang akan merugikannya. Hal tersebut didukung oleh pendapat Septiyanti (2010), bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi yang memiliki jabatan tinggi merupakan hal yang tidak mudah dilaporkan.

Ahmad (2011) menyebutkan beberapa alasan seseorang enggan mengungkap atau melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan, antara lain.

(26)

17

a) Takut akan pembalasan dari pelaku yang memiliki kekuasaan dalam organisasi.

b) Suatu organisasi bergantung kepada pelaku pelanggaran untuk kelangsungan hidup organisasi.

c) Lebih memikirkan konsekuensi negatif yang akan diterima ketika mengungkap pelaku pelanggaran yang memiiki kekuasaan lebih tinggi

Beberapa alasan tersebut menjadi bahan pertimbangan seorang whistleblower untuk melaporkan atau tidaknya tindakan pelanggaran atau tidak etis yang terjadi pada suatu organisasi.

5. Pemberian Reward

Reward adalah bentuk apresiasi kepada suatu prestasi tertentu yang diberikan, baik oleh perorangan ataupun suatu organisasi yang biasanya dalam bentuk material atau ucapan (Nugrohaninrum, 2018). Pemberian reward merupakan pemberian penghargaan kepada pegawai. Penghargaan tersebut dapat berupa penghargaan materil maupun penghargaan nonmateril atas prestasi ataupun kejujuran yang dilakukan oleh seorang pegawai (Wahyuningsih, 2016).

Pemberian reward dibuat untuk memberikan penghargaan kepada seseorang yang dapat membantu mengungkapkan kecurangan yang terjadi dalam perusahaan sebagai imbalan.

Tujuan lain organisasi melakukan pemberian reward adalah

(27)

18

sebagai salah satu tindakan untuk memotivasi dan mendorong niat pegawai untuk melakukan whistleblowing. Dengan memberikan reward kepada pegawai dapat membantu dalam mengungkapkan kecurangan yang terjadi pada suatu organisasi, sehingga dapat mengurangi terjadinya kecurangan ataupun pelanggaran pada organisasi tersebut.

Reward akan memotivasi pegawai untuk melaporkan kecurangan jika mengetahui ada rekan maupun atasannya melakukan kecurangan untuk segera melaporkannya, dan juga bisa meminimalkan kecurangan yang terjadi pada organisasi. Dengan memberikan reward maka akan memberi rasa kepuasan tersendiri bagi whistleblower.

Menurut KNKG (2008), makna dari kata reward ini sangat luas tidak terfokus pada bentuk finansial saja tetapi juga dalam bentuk non finansial. Setiap orang yang telah berusaha membantu upaya pencegahan atau pemberantasan tindakan kecurangan berhak mendapat reward berupa piagam atau premi.

(28)

19 B. Penelitian Terdahulu

Berikut ini adalah ringkasan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini sebagai salah satu hal yang menjadi dasar penulisan dan memperkuat hasil penelitian ini yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Peneliti Hasil Penelitian Perbedaan

1. Ahmad (2011)

 Faktor organisasional: benevolence,

principle, dan job level berpengaruh positif, sedangkan egoism dan size of organisation berpengaruh negatif terhadap niat

whistleblowing

 Faktor individual: moral equity, relativism, contractualism, dan organisational

commitment berpengaruh positif, sedangkan locus of control berpengaruh negatif

terhadap niat whistleblowing

 Subjek pada penelitian Ahmad yaitu anggota yang terdaftar pada Institut Auditor Internal Malaysia, sedangkan penelitian ini menggunakan subjek pegawai keuangan pada pemda

 Pengujian hipotesis dilakukan dengan satu arah, sedangkan penelitian ini menggunakan dua arah

 Menguji 4 faktor (individual, situasional, organisasional, dan demografi), sedangkan penelitian ini 3 faktor (individual, situasional, dan organisasional)

(29)

20 (lanjutan)

No Peneliti Hasil Penelitian Perbedaan

 Faktor situasional: seriousness of

wrongdoing berpengaruh positif, sedangkan status of wrongdoer berpengaruh negatif terhadap niat whistleblowing

 Faktor demografi: gender, age and tenure berpengaruh negatif terhadap niat

whistleblowing

 Teknik pengambilan data dilakukan secara online, sedangkan penelitian ini secara langsung

 Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode random sampling, sedangkan penelitian ini menggunakan purposive sampling

 Desain penelitian yaitu penelitian eksperimen, sedangkan penelitan ini penelitian survei

2. Wahyunings ih (2016)

 Pemberian reward dan gender tidak berpengaruh signifikan terhadap whistleblowing.

 Komitmen organisasi dan masa kerja berpengaruh signifikan positif terhadap whistleblowing.

 Subjek penelitian Wahyuningsih pada seluruh pegawai BUMN, sedangkan penelitian ini pada pegawai keuangan pemerintah daerah

 Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode simple random sampling, sedangkan penelitian ini menggunakan purposive sampling

 Pengujian hipotesis dilakukan dengan satu arah, sedangkan penelitian ini menggunakan dua arah

(30)

21 (lanjutan)

No Peneliti Hasil Penelitian Perbedaan

3. Lestari dan Yaya (2017)

 Personal cost berpengaruh negatif terhadap niat untuk melakukan whistleblowing oleh ASN.

 Keseriusan pelanggaran berpengaruh negatif terhadap niat melaksanakan whistleblowing oleh ASN.

 Ethical climate-egoism, ethical climate- benevolence, ethical climate-principle, locus of control internal dan komitmen organisasi tidak memengaruhi niat melakukan whistleblowing oleh ASN.

 Teknik pengambilan sampel penelitian Lestari dan Yaya menggunakan metode covenience sampling pada 5 kantor kementrian keuangan, sedangkan penelitian ini menggunakan metode purposive sampling pada beberapa organisasi pemerintah daerah.

 Perbedaan pada variabel faktor organisasional dan situasional.

 Pengujian hipotesis dilakukan dengan satu arah, sedangkan penelitian ini menggunakan dua arah

(31)

22 (lanjutan)

4. Hanif dan Odiatma (2017)

Personal cost mempunyai pengaruh terhadap whistleblowing intention

Status wrong doer dan tingkat keseriusan kesalahan tidak mempunyai pengaruh terhadap whistleblowing intention

Teknik pengambilan sampel pada penelitian Hanif dan Odiatma menggunakan teknik sampel jenuh, sedangkan penelitian ini menggunakan purposive sampling

 Subyek penelitian pada seluruh kepolisian yang ada di Kota Pekanbaru, sedangkan penelitian ini pada seluruh pegawai keuangan di pemerintah daerah.

5. Nugrohanin grum (2018)

 Komitmen organisasi dan personal cost tidak berpengaruh signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing.

 Saluran pelaporan anonim dan reward berpengaruh signifikan terhadap niat melakukan whistleblowing.

 Subjek penelitian Nugrohaningrum yaitu seluruh PNS pada 5 dinas pemda dengan minimal 2 tahun masa kerja, sedangkan penelitian ini pada seluruh pegawai keuangan pemda 1 tahun masa kerja

 Skala pengukuran kuesioner menggunakan poin 1-4, sedangkan penelitian ini menggunakan poin 1-5

Sumber: data yang diolah, 2020

(32)

23 1. Personal Cost

Lestari dan Yaya (2017) menjelaskan personal cost dapat diartikan sebagai persepsi atau cara pandang individu untuk menilai posisi diri mereka sendiri terhadap risiko-risiko yang akan dialami apabila ia melaksanakan tindakan whistleblowing.

Personal cost merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing (Hanif dan Odiatma, 2017). Personal cost tidak hanya merupakan dampak tindakan pembalasan dari perilaku kecurangan, melainkan sebuah keputusan bagi pelapor yang dianggap sebagai tindakan tidak etis karena dianggap menentang atasan.

Pandangan akan adanya risiko ancaman pembalasan ini akan menjadikan calon pelapor menghadapi dilema antara melakukan apa yang benar dan menerima konsekuensinya. Sanksi yang akan diberikan dan dihadapi oleh whistleblower ketika melakukan whistleblowing dapat menjadi salah satu pertimbangan utama bagi pelapor untuk melakukan whistleblowing (Hanif dan Odiatma, 2017). Berdasarkan hal tersebut, hipotesis pertama dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

H1 : Personal cost berpengaruh terhadap niat untuk melakukan whistleblowing.

(33)

24

Status pelanggar didefinisikan sebagai kedudukan atau jabatan seseorang dalam organisasi yang melakukan tindakan tidak etis atau melanggar aturan pada organisasi. Ahmad (2011) menunjukan bahwa status anggota organisasi yang melakukan kesalahan atau tindakan ilegal juga dapat mempengaruhi tindakan whistleblowing. Seorang pelapor memiliki resiko yang lebih besar apabila melakukan whistleblowing pada pelaku pelanggaran yang yang memiliki kedudukan lebih tinggi darinya.

Kedudukan pelaku pelanggar dan resiko yang akan didapat ketika melaporkan tindakan kecurangan menjadi bahan pertimbangkan seorang whistleblower untuk melakukan whistleblowing. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Winardi (2011). Berdasarkan hal tersebut, hipotesis kedua dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

H2 : Status pelanggar berpengaruh terhadap niat untuk melakukan whistleblowing.

3. Pemberian Reward

Menurut Wahyuningsih (2016), pemberian reward merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh perusahaan maupun organisasi untuk memotivasi dan mendorong pegawai dalam melakukan tindakan whistleblowing. Nugrohaningrum (2018) menyebutkan bahwa pemberian reward kepada pegawai

(34)

25

sehingga setiap pegawai akan termotivasi jika mengetahui ada rekan kerja maupun atasan melakukan kecurangan untuk segera mengungkapkannya, serta dapat meminimalisirkan kecurangan yang terjadi pada perusahaan.

Dengan pemberian reward maka akan memberikan suatu kepuasan tersendiri bagi seorang whistleblower dan menjadi faktor pendorong niat untuk mengungkapkan kecurangan yang terjadi dalam organisasinya. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis ketiga dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

H3 : Pemberian reward berpengaruh terhadap niat whistleblowing.

D. Model Penelitian

H1

H2

H3

Gambar 2.1 Model Penelitian Personal Cost

(X1)

Status Pelanggar (X2)

Pemberian Reward (X3)

Niat Whistleblowing (Y)

(35)

26

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei, yaitu penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data dari sejumlah sampel pada populasi dengan pendekatan kuantitatif. Survei dilakukan terhadap kelompok responden (sampel) tertentu dalam satu waktu yang disebut dengan cross-section (Sugiyono, 2017). Pada penelitian ini, survei dilakukan dengan mengumpulkan data dengan memberikan pertanyaan secara tertulis guna mendapatkan data opini dari individu maupun grup (Jogiyanto, 2010).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian yang digunakan dimulai dari penyusunan proposal sampai dilaksanakannya penelitian yaitu pada bulan Agustus 2019 sampai dengan bulan Januari 2020. Wilayah penelitian ini adalah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Kota Magelang.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian atau informan merupakan tempat dimana data untuk penelitian diperoleh (Arikunto, 2010). Subjek dalam penelitian ini yaitu pegawai bidang keuangan OPD Kota Magelang.

(36)

27

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer. Menurut Sugiyono (2017), data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumber atau objek penelitian yang dipilih sebagai responden.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik angket atau kuisioner. Teknik angket atau kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2010).

F. Populasi dan Sampel

Menurut Arikunto (2010), populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian. Populasi yang dipilih dan ditentukan dalam penelitian ini ialah pegawai bidang keuangan yang bekerja di OPD Kota Magelang sebanyak 29 OPD dan terdiri dari kurang lebih 150 pegawai keuangan. Sebagian dari populasi tersebut dipilih menjadi sampel.

Adapun teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Purposive sampling menurut Jogiyanto (2010), adalah teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan

(37)

28

nantinya bisa lebih terwakili atau representatif. Pertimbangan atau kriteria dalam penelitian ini adalah pegawai yang bekerja pada bidang keuangan yang telah bekerja minimal 1 tahun di OPD Kota Magelang.

G. Variabel Penelitian

Variabel merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang atau suatu objek yang memiliki variasi yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan akhirnya ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2017).

Variabel penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu variabel dependen dan independen yang dapat dilihat pada Tabel 3.1.

1. Variabel Dependen (terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen atau suatu variabel yang menjadi akibat adanya variabel lain (Sugiyono, 2017). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah niat whistleblowing.

2. Variabel Independen (bebas)

Variabel independen adalah variabel yang mampu mempengaruhi variabel dependen atau suatu variabel yang menjadi sebab timbulnya variabel dependen (Sugiyono, 2017). Variabel independen dalam penelitian ini adalah personal cost, status pelanggar, dan pemberian reward.

(38)

29

Variabel Dependen

Variabel Definisi Indikator Pengukuran

Niat

whistleblowing

Suatu tindakan yang mungkin dilakukan individu untuk melaporkan suatu

kesalahan atau perbuatan yang tidak etis.

Skenario kasus tersebut berkaitan dengan

penyalahgunaan aset, korupsi, dan pernyataan palsu yang dilakukan oleh pegawai keuangan.

Responden diminta untuk menanggapi kasus tersebut dengan menilai tingkat kemauan untuk melaporkan kasus kepada pihak berwenang.

Skenario kasus tersebut merupakan hasil adopsi dari penelitian

Widyanto (2019) dan Kinanti (2019).

Interval (Skala Likert

5 poin

dengan poin 1=sangat rendah, 2=rendah, 3=netral, 4=tinggi, 5=sangat tinggi)

(39)

30

Variabel Independen

Variabel Definisi Indikator Pengukuran

Personal cost Suatu pandangan pegawai

terhadap resiko pembalasan yang diterima seseorang yang melaporkan tindakan kecurangan dari seseorang yang

melakukan kecurangan disuatu organisasi (Bagustianto dan Nurkholis, 2015)

Skenario kasus yang berkaitan dengan

penyalahgunaan aset, korupsi, dan pernyataan palsu yang dilakukan oleh seorang pegawai keuangan.

Dari pemaparan kasus tersebut responden diminta untuk menanggapi kasus tersebut dengan menilai tingkat resiko yang didapat.

Skenario kasus tersebut merupakan hasil adopsi dari penelitian

Widyanto (2019) dan Kinanti (2019).

Interval (Skala Likert

5 poin

dengan poin 1=sangat rendah, 2=rendah, 3=netral, 4=tinggi, 5=sangat tinggi)

(40)

31

Variabel Definisi Indikator Pengukuran

Status pelanggar

Kedudukan atau jabatan seseorang dalam organisasi yang melakukan tindakan tidak etis atau melanggar aturan pada organisasi.

Skenario kasus yang berkaitan dengan

penyalahgunaan aset, korupsi, dan pernyataan palsu.

Dari pemaparan kasus tersebut responden diminta untuk menanggapi kasus tersebut dengan menilai tingkat kekuasaan pelaku kecurangan.

Skenario kasus tersebut merupakan hasil adopsi dari penelitian

Widyanto (2019) dan Kinanti (2019).

Interval (Skala Likert

5 poin

dengan poin 1=sangat rendah, 2=rendah, 3=netral, 4=tinggi, 5=sangat tinggi)

Pemberian Reward

Suatu imbalan yang diberikan perusahaan atas kontribusi pegawai yang dapat

membantu

Pertanyaan-

pertanyaan yang terdiri dari perbandingan

resiko dan

kompensasi, penghargaan

Interval (Skala Likert

5 poin

dengan poin 1=sangat tidak setuju,

(41)

32 mengungkapk an kecurangan yang terjadi dalam

perusahaan (Wahyuningsi h, 2016).

berupa insentif kepada

whistleblower, hambatan pengembangan karir

whistleblower, serta pemberian promosi kerja kepada

whistleblower. Daftar pertanyaan tersebut diadopsi dari penelitian Widyanto (2019).

2=tidak setuju, 3=netral, 4=setuju, 5=sangat setuju)

Sumber: data yang diolah, 2020

H. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear berganda dengan menggunakan bantuan program aplikasi SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 21 untuk mengolah data tersebut.

1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengetahui kebenaran instrumen dari kuesioner yang diukur dengan melihat valid tidaknya kuesioner tersebut. Suatu uji validitas dilakukan dengan

(42)

33

sebesar 5%. Perhitungan r tabel dapat dilihat menggunakan rumus nilai degree of freedom (df) yaitu n-2. Jika hasil uji validitas > r- tabel maka instrumen atau pernyataan yang terdapat dalam kuesioner dinyatakan valid. Suatu kuesioner dianggap valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang diukur oleh kuesioner tersebut (Ghozali, 2007).

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana kuesioner sebagai alat ukur dalam penelitian ini menghasilkan hasil yang konsisten (Ghozali, 2007). Untuk mengukur reliabilitas digunakan uji statistik menggunakan rumus Cronbachs Alpha karena instrumen penelitian berbentuk kuesioner dan skala bertingkat. Jika hasil pengujian reliabilitas dalam penelitian ini ≥ 0,6, maka instrument dalam penelitian ini dapat dikatakan andal atau reliable (Ghozali, 2007).

3. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi dalam suatu penelitian variabel dependen dan variabel independennya mempunyai distribusi normal atau tidak.

Model regresi yang bagus adalah memiliki distribusi normal atau mendekati normal. (Ghozali, 2007). Pengujian ini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov Test. Jika nilai probabilitas lebih besar

(43)

34 normalitas.

4. Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik digunakan untuk mengetahui atau mendeteksi ada tidaknya pelanggaran terhadap asumsi-asumsi klasik atau persamaan regresi berganda yang digunakan. Hasil pengujian yang baik adalah pengujian yang tidak melanggar asumsi klasik. Beberapa pengujian asumsi klasik adalah sebagai berikut.

a) Multikolinearitas

Pengujian multikolinearitas digunakan untuk melihat ada tidaknya kolinearitas atau hubungan yang signifikan antara variabel independen. Dalam suatu model regresi dikatakan baik apabila tidak terdapat korelasi di antara variabel independen. Untuk membantu perhitungan digunakan nilai tolerance dan variance inflator factor (VIF). Batas dari tolerance value adalah 0,10 atau 10 % dan batas VIF adalah 10. Jika nilai tolerance lebih dari 0,10 atau nilai VIF lebih kecil dari 10, maka model tersebut bebas multikolinearitas, begitu juga sebaliknya (Ghozali, 2007).

b) Heteroskedastisitas

Pengujian heteroskedastisitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi terjadi perbedaan varians dalam

(44)

35

atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilihat dengan menggunakan uji Glejser.

Pada uji Glejser, indikasi terjadinya heteroskedastisitas pada model regresi apabila variabel independen signifikan diatas tingkat kepercayaan 5% dapat disimpulkan bahwa model regresi tidak mengandung heteroskedastisitas (Ghozali, 2007).

5. Uji Analisis Regresi Linear Berganda

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda, bahwa dalam suatu persamaan regresi terdapat satu variabel dependen dan lebih dari satu variabel independen. Analisis linear berganda merupakan cara yang digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara kedua variabel atau lebih, serta dapat menunjukan arah hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2007).

a. Uji Koefiesien Determinasi (R2)

Uji R2 digunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai R2 adalah antara nol dan satu. Jika nilai R2 semakin mendekati satu, maka dapat dikatakan bahwa variabel independen telah memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel independen. Jika nilai R2 nol

(45)

36 (Ghozali, 2007).

b. Uji F

Uji F untuk menguji apakah variabel bebas atau independen secara keseluruhan mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat atau dependen (Ghozali, 2007). Hipotesis ini akan diuji dengan menggunakan tingkat signifikan (α) sebesar 5% atau 0.05 dan nilai F. Nilai F tabel dapat dicari pada tabel statistik dengan nilai signifikansi 0,05, jumlah variabel independen (k), dan jumlah responden (n) dengan mengunakan rumus degree of freedom (n-k). Pada uji statistik F, nilai F hitung akan dibandingkan dengan F tabel dengan cara sebagai berikut.

1) Apabila F hitung > F tabel dan nilai probabilitas signifikan

< 0,05, maka terdapat pengaruh secara keseluruhan variabel independen terhadap variabel dependen.

2) Apabila F hitung < F tabel dan nilai probabilitas signifikan

> 0,05, maka tidak terdapat pengaruh secara keseluruhan variabel independen terhadap variabel dependen.

c. Uji t

Uji t untuk menguji apakah variabel independen secara individual berpengaruh terhadap variabel dependen (Ghozali, 2007). Tingkat signifikan yang dipakai dalam penelitian ini adalah (α) = 5 % (0,05) dan nilai t tabel dapat dicari pada tabel

(46)

37

degree of freedom (n-k-1). Pada uji statistik t, nilai t hitung akan dibandingkan dengan t tabel dengan cara sebagai berikut.

1) Apabila t hitung > t tabel dan nilai signifikansi < 0,05, maka hipotesis diterima dan variabel independen secara individu dikatakan memiliki pengaruh terhadap variabel dependen.

2) Apabila t hitung < t tabel dan nilai signifikansi > 0,05, maka hipotesis ditolak dan variabel independen secara individu dikatakan tidak memiliki pengaruh terhadap variabel dependen.

(47)

38

GAMBARAN UMUM PEMERINTAH KOTA MAGELANG

A. Gambaran Umum Pemerintah Kota Magelang

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah adalah penyelenggaran urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemerintah daerah terbagi menjadi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota.

Pemerintah kota adalah pembagian wilayah administratif di bawah provinsi yang berkedudukan setara dengan kabupaten. Seperti halnya kabupaten, wilayah kotamadya atau sering disebut dengan kota yang terdiri dari beberapa wilayah. Pemerintah kota dipimpin oleh seorang walikota yang dibantu oleh seorang wakil walikota dan perangkat daerah lainnya.

Pemerintah Kota Magelang merupakan salah satu pemerintah daerah kota di Indonesia yang dipimpin oleh seorang walikota yang dibantu oleh perangkat daerah. Walikota Kota Magelang periode 2010 – sekarang dipimpin oleh Walikota Ir. Sigit Widyonindito, MT. Pemerintah Kota Magelang beralamat pusat di Jalan Sarwo Edhie Wibowo No. 2, Kota Magelang, Jawa Tengah.

(48)

39

Pemerintahan Daerah, dalam menjalankan tanggungjawab walikota memiliki beberapa tugas dan kewenangan antara lain memimpin pelaksanaan urusan pemerintah kota; mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan; mengajukan rancangan peraturan daerah; menetapkan perda dan keputusan bupati; serta mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat.

Walikota Magelang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat-perangkat jajarannya yang dapat dilihat pada Gambar 4.1 sebagai berikut:

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Pemerintah Kota Magelang

Sumber: Website Kota Magelang

Perangkat-perangkat yang membantu walikota dalam menjalankan tugas-tugasnya yaitu perangkat daerah yang meliputi sekretariat daerah, badan daerah, dinas daerah, dan kecamatan. Dalam hal ini, perangkat daerah tersebut yang menjadi responden dalam penelitian ini.

(49)

40 1. Visi

Visi Kota Magelang adalah “Terwujudnya Kota Magelang sebagai Kota Jasa yang Modern dan Cerdas yang Dilandasi Masyarakat yang Sejahtera dan Religius”.

2. Misi

Berdasarkan visi Kota Magelang tersebut ditetapkan misi pembangunan Kota Magelang sebagai berikut:

a. Meningkatkan sumber daya manusia aparatur yang berkualitas dan profesional dengan mengoptimalkan kemajuan teknologi sebagai dasar terciptanya pemerintah daerah yang bersih serta tanggap terhadap pemenuhan aspirasi masyarakat, mampu meningkatkan dan mengelola potensi daerah dalam rangka efektifitas dan efisiensi pelayanan kepada masyarakat didukung partisipasi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

b. Mengembangkan dan mengelola sarana perkotaan dan sarana pelayanan dasar dibidang pendidikan, kesehatan dan perdagangan yang lebih modern serta ramah lingkungan.

c. Meningkatkan pemerataan pembangunan infrastruktur perkotaan untuk mendukung pemerataan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

(50)

41

landasan pengembangan dan pembangunan pariwisata Kota Magelang.

e. Memperkuat kehidupan beragama dan toleransi antar umat beragama melalui penyelanggaraan kegiatan-kegiatan keagamaan dan peningkatan sarana prasarana peribadatan sebagai landasan terbangunnya masyarakat madani.

C. Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) Kota Magelang

Pemerintah daerah Kota Magelang dipimpin oleh seorang walikota dan wakil walikota yang dibantu oleh perangkat daerahnya atau disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Menurut PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) adalah organisasi atau lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggungjawab kepada kepala daerah dalam rangka penyelenggaran pemerintah di daerah. Pada hal ini kepala daerah yang dimaksud yaitu walikota.

Struktur pemerintahan pada perangkat daerah Kota Magelang terdiri dari 29 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.1 sebagai berikut:

(51)

42

OPD Definisi Instansi

Sekretariat Daerah

Sekretariat daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu bupati/walikota dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan tugas peerangkat daerah.

Tugas sekretariat

DPRD adalah

mendukung

pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD.

1. Sekretariat Daerah 2. Sekretariat DPRD

Badan Daerah Badan daerah berperan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat khusus. Badan daerah berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah.

3. Inspektorat

4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda);

5. Badan Penelitian dan Pengembangan

(Balitbang);

6. Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP);

7. Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD);

(52)

43

8. Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan

Masyarakat (Kesbangpol);

9. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

Dinas Daerah Dinas daerah adalah unsur pelaksana pemerintahan

kabupaten/kota. Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada bupati/walikota melalui sekretariat daerah.

10. Pendidikan dan kebudayaan (Dikbud);

11. Dinas Kesehatan (DKK);

12. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR);

13. Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman

(Perkim);

14. Dinas Sosial (Dinsos);

15. Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disnaker);

16. Dinas Pemberdayaan Masyarakat,

Perempuan, dan Perlindungan Anak (DPMPPAPKB);

(53)

44

17. Dinas Pertanian dan Pangan (Dipertan);

18. Dinas Lingkungan Hidup (DLH);

19. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil);

20. Dinas Perhubungan (Dishub);

21. Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik

(Diskominsta);

22. Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP);

23. Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata

(Didporarar);

24. Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dinas Perpus);

25. Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag);

(54)

45

26. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP);

Kecamatan Kecamatan adalah

bagian dari

kabupaten/kota yang dipimpin oleh seorang camat, dimana camat tersebut

bertanggungjawab kepada bupati/walikota.

27. Kecamatan Magelang Selatan;

28. Kecamatan Magelang Tengah; serta

29. Kecamatan Magelang Utara.

Sumber: Website Kota Magelang

Berdasarkan tabel diatas, Walikota Magelang melaksanakan tugasnya dengan dibantu oleh 29 OPD yang terdiri dari banyak pegawai dengan bidangnya masing-masing. Pada penelitian ini, pegawai yang menjadi responden yaitu pegawai yang bekerja pada bidang keuangan di OPD Kota Magelang. Dalam setiap instansi OPD Kota Magelang terdapat sekitar 3-6 pegawai keuangan yang terbagi atas jabatan sekretaris, kasubag keuangan dan program, dan beserta stafnya. Ketiga jabatan tersebut memiliki tugas masing-masing yang berhubungan dengan keuangan instansi tersebut.

(55)

46

Sistem pengaduan atau pelaporan pelanggaran di Kota Magelang memiliki 2 jalur yaitu Monggo Lapor sebagai sistem yang digunakan secara internal dalam Kota Magelang dan LAPOR! sebagai sistem pelaporan berskala nasional.

1. Monggo Lapor

Monggo Lapor adalah sebuah sistem pengaduan atau pelaporan yang diperuntukkan untuk warga Kota Magelang tak terkecuali pegawai pada Pemerintah Kota Magelang. Sistem tersebut dibuat oleh Dinas Komunikasi, Informatika & Statistik (Diskominsta) Kota Magelang dan dapat diakses secara umum dalam bentuk website &

fitur dalam Aplikasi Magelang Cerdas. Pengguna yang ingin menggunakan sistem tersebut perlu mendaftar dengan mengisi NIK, nama lengkap, email, dan nomor telepon pada halaman masuk sebagai jaminan keabsahan apabila pengguna melakukan pelaporan melalui Monggo Lapor.

Setelah mengirim laporan, pengelola website Monggo Lapor akan melakukan beberapa langkah yaitu (1) merespons aduan atau laporan yang telah dikirimkan melalui Satuan Kerja (OPD) yang berwenang; (2) Satuan Kerja (OPD) yang bersangkutan akan melakukan tindak lanjut terhadap laporan yang telah dikirimkan; serta (3) Penutupan laporan akan dilakukan apabila laporan yang telah

(56)

47 persetujuan pelapor.

Pemerintah Kota Magelang memberikan perlindungan bagi pelapor yang ingin melakukan pengaduan atau pelaporan dengan menutupi identitas pelapor. Hal tersebut dapat dilakukan oleh pelapor itu sendiri saat pengisian formulir laporan, dimana laporan yang dikirimkan hanya dapat dilihat oleh pengelola sistem tersebut dan tanpa diketahui pihak lain. Pada formulir laporan pelapor dapat memilih pilihan “rahasia”.

Prosedur pengaduan website Monggo Lapor atau fitur Monggo Lapor dalam Aplikasi Magelang Cerdas dilakukan melalui tahapan sebagai berikut.

1. Tulis laporan: tulis laporan pelapor dengan lengkap dan jelas melalui web atau aplikasi

2. Proses delegasi: laporan akan otomatis terdelegasi ke instansi berwenang.

3. Proses tindak lanjut: dalam waktu cepat instansi akan menindaklanjuti dan membalas laporan dari pelapor.

4. Tanggapan balik: pelapor dapat menanggapi kembali balasan dari instansi berwenang.

5. Selesai: jika tindak lanjut sudah selesai maka instansi berwenang akan menutup laporan dari pelapor.

(57)

48

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 3 Tahun 2015, Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) adalah layanan penyampaian semua aspirasi dan pengaduan masyarakat Indonesia yang dapat dilakukan melalui beberapa kanal pengaduan yaitu website www.lapor.go.id, SMS 1708, twitter @lapor1708 dan aplikasi Android.

Lembaga pengelola SP4N-LAPOR! adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB) sebagai Pembina Pelayanan Publik, Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai Pengawas Program Prioritas Nasional dan Ombudsman Republik Indonesia sebagai Pengawas Pelayanan Publik. LAPOR! telah ditetapkan sebagai Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N).

SP4N-LAPOR! dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk merealisasikan kebijakan “no wrong door policy” yang menjamin hak masyarakat agar pengaduan dari manapun dan jenis apapun akan disalurkan kepada penyelenggara pelayanan publik yang berwenang menanganinya. Serta untuk mengintegrasikan sistem pengelolaan pengaduan pelayanan publik dalam satu pintu yaitu satu sistem untuk semua pelaporan seluruh pemerintahan di Indonesia.

Sehingga masyarakat memiliki satu saluran pengaduan secara nasional

(58)

49

untuk melakukan penyampaian aspirasi ataupun pengaduan tak terkecuali kategori korupsi.

Pengelola layanan memberikan jaminan kerahasiaan data dan informasi pada SP4N-LAPOR!. Adapun data pribadi yang dikumpulkan meliputi nomer KTP, SIM, NIK sebagai pengenal identitas dan nomer telepon pengguna untuk memverifikasi akun dan mengirim notifikasi laporan. Data pribadi dan data pengaduan dari pengguna akan diberikan kepada instansi terkait yang berhubungan dengan aduan dan yang disampaikan oleh pengguna, namun hanya sebagai jaminan keabsahan dari aduan yang disampaikan.

Kerahasiaan laporan juga dapat dilakukan oleh pelapor melalui fitur yang ada di SP4N-LAPOR!. Fitur-fitur yang tersebut yaitu anonim (pelapor memiliki identitas yang tidak akan diketahui oleh pihak terlapor dan masyarakat umum); rahasia (seluruh isi laporan tidak dapat dilihat oleh publik); dan tracking id (nomor unik yang berguna untuk meninjau proses tindak lanjut laporan yang disampaikan oleh masyarakat).

Prosedur pengaduan dan pelaporan untuk melakukan pelaporan melalui LAPOR! yaitu sebagai berikut.

(59)

50 lengkap

2. Proses verifikasi: dalam 3 hari, laporan dari pelapor akan diverifikasi dan diteruskan kepada instansi berwenang

3. Proses tindak lanjut: dalam 5 hari, instansi akan menindaklanjuti dan membalas laporan yang telah dikirim oleh pelapor

4. Beri tanggapan: pelapor dapat menanggapi kembali balasan yang diberikan oleh instansi dalam waktu 10 hari

5. Selesai: laporan yang telah dikirimkan akan terus ditindaklanjuti hingga terselesaikan

Pada tahun 2019, jumlah pelapor pada sistem SP4N-LAPOR!

sebanyak 801.257 pengguna dan total laporan yang telah masuk sebanyak 1.389.891 dengan sumber laporan terbanyak dilakukan melalui website diikuti oleh SMS, twitter dan aplikasi mobile. Sistem tersebut telah terhubung dengan 34 Kementerian, 96 Lembaga, dan 493 Pemerintah daerah di Indonesia termasuk Pemerintah Kota Magelang. Namun, pada Pemerintah Kota Magelang diketahui tidak banyak melakukan pelaporan melalui sistem tersebut.

(60)

51

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dari jawaban opini pegawai keuangan OPD Kota Magelang yaitu berupa data primer yang berasal dari 102 responden. Jenis pendekatan yang digunakan untuk pengambilan data tersebut yaitu menggunakan pendekatan cross section, dimana pengumpulan data dilakukan satu kali pada satu waktu (Arikunto, 2010).

Data tersebut diperoleh melalui kuesioner yang berkaitan dengan pengaruh personal cost, status pelanggar, dan pemberian reward terhadap niat untuk melakukan whistleblowing.

Pada penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan tujuan tertentu. Dalam hal ini yaitu pegawai keuangan OPD Kota Magelang dipilih sebagai responden. Karakteristik jabatan lebih difokuskan pada responden yang bekerja pada bidang keuangan yang telah mempunyai masa kerja lebih dari satu tahun. Penelitian ini memilih pegawai yang bekerja pada bidang keuangan sebagai responden karena pegawai tersebut memiliki akses istimewa ke informasi milik organisasi dalam menjumpai fraud pada organisasi, sehingga diharapkan pegawai dengan kriteria tersebut dapat menjadi responden yang sesuai dengan penelitian yang kaitannya dengan whistleblowing.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan penggunaan pupuk organik, perbandingan kandungan antara pupuk organik dengan pupuk anorganik dapat meningkatkan panjang batang utama dan jumlah daun seperti

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, disebutkan “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

Ada beberapa metode konvensional yang sering digunakan untuk melakukan deteksi tepi, seperti adalah nama lain dari teknik differensial pada arah horisontal dan

Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa kenaikan harga pupuk sebesar 10 persen (Skenario 1) memberikan dampak yang negatif baik pada kebun petani plasma maupun kebun perusahaan

Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah jumlah penggunaan air konsumtif, nutrisi dan energi listrik dari sistem fertigasi rakit apung yang digunakan serta

Untuk menganalisis keunggulan komparatif usahatani padi digunakan Domestik Resource Cost (DRC), yaitu rasio antara biaya domestik dengan nilai tambah output dari

Pada periode tahun 2007 sampai dengan tahun 2011, berdasarkan data laporan keuangan melalui Indonesian Capital Market Electronic Library BEI, tingkat rasio hutang

Berdasarkan hasil dari analisis, dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi peningkatan skor kesadaran diri dalam belajar siswa kelas VIII A1 SMP Negeri 4 Singaraja setelah