Indonesia diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif yang dipengaruhi oleh sejumlah kecenderungan kuat, seperti pertumbuhan negara- negara di Asia, tingkat urbanisasi yang tinggi sehingga mampu meningkatkan jumlah konsumen dengan daya beli yang cukup, serta jumlah penduduk usia muda yang memberikan bonus demograi terhadap kinerja perekonomian. Merujuk pada tingkat pertumbuhan saat ini, diperkirakan Indonesia berpotensi memperoleh 90 juta penduduk Indonesia yang bergabung dalam kelas konsumen global pada 2030. Indonesia diprediksikan mampu menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, India, Jepang, Brasil dan Rusia, melampaui Jerman dan Inggris.
Potensi ini tentunya mendorong agresivitas pemerintah Indonesia untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kinerja sektor-sektor utama. Dalam meningkatkan kinerja sektor-sektor utama seperti manufaktur, pemerintah harus memastikan bahwa infrastruktur harus bekerja dengan optimal, salah satunya bahan bakar.
Kebijakan penggunaan batu bara sebagai salah satu bahan baku mineral utama selaras dengan UU No. 4 Tahun 2009 Pasal 5 Ayat 1 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara yang menyebutkan bahwa “Untuk kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batu bara untuk kepentingan dalam negeri” serta Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Pasal 84 ayat 1 yang mengatakan bahwa “Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi harus mengutamakan kebutuhan mineral dan/atau batu bara untuk kepentingan dalam negeri.”
Based on the regulation, it can be concluded that coal is still the main fuel for power generators, especially in Indonesia. The coal industry is the fourth largest contributor to GDP (9.8%), export earnings (13%) and non-tax state revenues or PNBP (8.3%). In 2014, this is
relected in the level of coal consumption projected in the coming years is still ranked irst in the RUPTL 2015-
2019.
In 2016, government policies and focus on improving infrastructure have begun to have an impact. Future projections are changing. World Bank projected the average growth rate of Indonesia could reach 5.3%
until 2019. This projection is inluenced by high level of
domestic consumption expenditure. In terms of supply,
several key sectors have signiicant inluence, such as
manufacturing (24% of total GDP), agriculture (14%), hotels (14%), mining (11%) and construction (10%). This projection is further strengthened by the government’s assessment of the probability of an increase in Indonesian population by 1.0% annually by 2030.
Electricity demand is projected to increase along with high electricity consumption as a result of the strengthening of industrial sectors. In 2015, electricity consumption in Indonesia reaches 910 kWh per capita. Therefore, President Joko Widodo has instructed state- owned enterprises to increase energy capacity by 35 GW, which will create the development of several power plants throughout Indonesia to increase the
electriication ratio from 87.5% in 2015 to 97.2% in 2019.
This program is contained in PerPres no. 4 of 2016 issued in January 2016.
On the domestic front, potential coal market recovery is likely to be complemented by the prospects of Indonesia Government’s undertaking of 35 GW power program from 2014 - 2019, of which 20 GW will be contributed
by coal-ired power plants (CFPP). Combined with the
current coal-based installed capacity, total estimated Berdasarkan peraturan tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa batu bara masih menjadi bahan bakar pendukung utama pembangkit listrik khususnya di Indonesia. industri batu bara merupakan kontributor keempat terbesar untuk GDP (9,8%), pendapatan ekspor (13%) dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP (8,3%). Pada 2014, hal ini tercermin pada tingkat konsumsi batu bara yang diproyeksikan pada tahun-tahun mendatang masih menduduki peringkat pertama dalam RUPTL 2015-2019.
Pada 2016, kebijakan dan fokus pemerintah terhadap peningkatan infrastruktur mulai memberikan dampak. Proyeksi masa depan berubah. World Bank memproyeksikan angka pertumbuhan rata-rata Indonesia dapat mencapai 5,3% hingga 2019. Proyeksi ini dipengaruhi oleh tingkat belanja konsumsi domestik yang tinggi. Dari segi penyediaan, beberapa sektor utama turut memberikan pengaruh yang signiikan, seperti manufaktur (24% dari total GDP), agrikultur (14%), perhotelan (14%), pertambangan (11%) dan konstruksi (10%). Proyeksi ini semakin diperkuat dengan penilaian pemerintah akan probabilitas peningkatan populasi penduduk Indonesia sebesar 1,0% setiap tahunnya hingga 2030.
Kebutuhan listrik diproyeksikan terus meningkat seiring dengan tingginya konsumsi listrik sebagai dampak dari penguatan sektor-sektor industri. Pada 2015, konsumsi listrik di Indonesia mencapai 910 kWh per kapita. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan perusahaan-perusahaan BUMN untuk meningkatkan kapasitas energi sebesar 35 GW, yang akan menciptakan pembangunan sejumlah pembangkit listrik di seluruh Indonesia untuk meningkatkan rasio elektriikasi dari 87,5% di 2015 menjadi 97,2% di 2019. Program ini tertuang dalam PerPres No. 4 Tahun 2016 yang diterbitkan pada Januari 2016.
Untuk pasar dalam negeri, terdapat potensi besar pemulihan pasar batu bara didukung oleh upaya Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kebijakan penyediaan listrik 35 GW antara 2014 – 2019, dimana 20 GW diantaranya akan dihasilkan dari PLTU berbahan bakar batu bara. Ditambah dengan kapasitas
TINJAUAN KEUANGAN
CFPP capacity in 2019 will be 45 - 50 GW. On the back of the expected growth in power generation capacity with majority contributed by CFPP, domestic demand for coal is expected to grow by 9.0% - 10.0% p.a. (CAGR) from around 92 million tons in 2015 to 140 - 150 million tons in 2020. Assuming a constant domestic production of 350 - 400 million tons every year, growing domestic demand from power generation should lower coal export contribution, hence supporting the global coal market in the long run.
Given the coal industry’s important role in the on-going 35 GW program as well as in future ones, PT Toba Bara
Sejahtra Tbk identiied an opportunity for both coal
industry and power industry in creating synergistic value by expanding downstream to the power sector. After having participated in a series of PLN’s open tenders through the IPP scheme over the last two years, on 14th July 2016, the Company secured a CFPP project from PLN with capacity of 2x50 MW (Sulbagut-1) located in the Gorontalo Province, Sulawesi.
terpasang saat ini, diperkirakan kebutuhan PLTU di tahun 2019 akan mencapai 45 - 50 GW. Didukung adanya pertumbuhan kapasitas pembangkit listrik yang mayoritas berasal dari PLTU, kebutuhan batu bara dalam negeri diharapkan tumbuh antara 9.0% - 10.0% p.a. (CAGR), dari sekitar 92 juta ton pada tahun 2015 menjadi 140-150 juta ton pada tahun 2020. Dengan asumsi produksi domestik konstan 350 - 400 juta ton setiap tahun, maka peningkatan kebutuhan domestik ini, maka kontribusi ekspor batu bara Indonesia akan menurun, dengan demikian juga mendukung pasar batu bara global dalam jangka panjang.
Mengingat pentingnya peran industri batu bara dalam program 35 GW yang tengah berjalan saat ini dan juga di masa depan, PT Toba Bara Sejahtra Tbk melihat adanya peluang bagi industri batu bara dan industri listrik untuk bersinergi dalam penciptaan nilai dengan mengembangkan hilirisasi sektor listrik. Setelah mengikuti serangkaian tender terbuka di PLN, melalui skema IPP selama dua tahun terakhir, pada tanggal 14 Juli 2016, Perusahaan berhasil mendapatkan proyek PLTU dari PLN dengan kapasitas 2x50 MW (Sulbagut-1) yang berada di Provinsi Gorontalo, Sulawesi.