RESPONS DINDA : Marah, menyalahkan
1. Proximity Maintenance (Mencari Kedekatan)
Proximity maintenance mencakup perilaku anak yang terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara kedekatan tersebut. Perilaku ini dapat diamati pula melalui protes yang ditunjukkan anak ketika berada dalam situasi terpisah dari orang tua.
a) Dinda-Ayah:
Di mata Dinda, sosok ayah adalah tipe penyayang dan berhati lembut, namun cenderung kaku dan sulit untuk mengekspresikan rasa sayang melalui sentuhan fisik seperti memeluk atau mencium. Oleh karena kesibukan ayah yang sangat padat, Dinda tidak memiliki banyak waktu untuk dihabiskan dengan sang ayah. Kedekatan yang terjalin dengan sang ayah juga hanya seputar kedekatan dalam perihal finansial. Dinda tidak pernah mendapatkan kesulitan jika hendak meminta ayahnya untuk membelikan sesuatu untuknya. Ayah juga selalu berusaha untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan keinginan anak-anaknya.
“Emm.. Penyayang! Emm.. Dia typical seorang ayah yang penyayang, jadi memang dia sayang sama anak-anaknya dan.. Tapi kaku jadi dia memang bukan orang yang typical yang bisa meluk gitu susah, nyium juga nggak”
“Kalau dicium sih kita kan selalu pamit gitu kan salim, cium
tangan gitu. tapi kalau dicium dalam hal-hal yang ada hal apa gitu dicium enggak. Tapi penyayang-penyayang gitu, dan dia
familly man banget. Dia selalu stay dirumah untuk keluarganya, terus dia berusaha apa yang anaknya mau dikasih, jadi kadang kalau dia abis marah-marah gitu, selesai marah-marah kita.. karena anak-anak suka pura-pura sedih, pura-pura nangis..
Melalui pernyataan Dinda, ia beserta saudara-saudara dapat melakukan manipulasi perasaan sedih ketika dimarahi sang ayah untuk mendapatkan kompensasi atas kemarahan ayahnya itu. Dinda menyadari bahwa sang ayah berhati lembut dan tidak tega jika melihat anaknya sedih atau menangis. Hal tersebut digunakan oleh Dinda untuk mendapatkan rasa bersalah ayahnya sehingga ayah menebus kemarahannya dengan membelikan barang-barang yang diinginkan Dinda. Tidak ada upaya yang ditunjukkan oleh Dinda untuk mendekatkan diri dengan sang ayah sejak ia masih kecil. Dinda tidak pernah menceritakan pengalamannya di sekolah, hubungannya dengan saudaranya, dengan teman- temannya karena Dinda merasa ayahnya sudah terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan tidak memiliki waktu untuknya. Ketika Dinda sedang merasa sedih atau berada dalam situasi sulit, Dinda hanya dapat bercerita dengan baby sitter pribadinya, itu pun hanya untuk melegakan perasaannya saja.
“Saya lebih sering ngobrol sama pembantu saya dibanding orang tua. Biasa sih enggak memberikan sesuatu juga sih pembantu ini, cuma memang kadang kalau saya bisa komplain gitu ya udah, dan saya bukan typical orang yang.. Saya suka menceritakan hal-hal apa gitu, enggak. jadi emang ya udah saya pendem sendiri saja”.
Oleh karena tidak pernah terjalinnya kedekatan fisik dan emosional dengan sang ayah, Dinda merasa dalam situasi yang berjarak jauh dengan sang ayah pun Dinda tidak merasakan kehilangan karena kebutuhan yang selama ini dicukupi oleh sang ayah ialah kebutuhan finansial, sehingga dalam jarak jauh pun sang Dinda masih mendapatkannya melalui transaksi transfer antar rekening. Ketika Dinda mulai berkuliah di Salatiga, yang berada cukup jauh dengan kediaman orang tua di Lampung, Dinda sama sekali tidak merasa kehilangan sosok ayah. Bahkan, Dinda
mengungkapkan bahwa ia lupa bagaimana caranya untuk merindukan ayahnya karena ketika masih berada dalam situasi dekat, relasi Dinda dan sang ayah cenderung dingin.
“Biasa aja sih.. Apa ya.. Emmm.. Karena dari dulu juga serumah kan kita itu ya emm apa ya.. jarang juga sih ada kontak emosional.. jadi pas jauh ya biasa aja..”
“Saya enggak tahu, dulu saya kangen apa enggak ya, saya
enggak tahu deh saya lupa deh”
Meskipun demikian, Dinda masih dapat mengingat satu momen masa kecil yang membuatnya sangat bahagia ketika berada dekat ayahnya. Kenangan tersebut terus teringat dengan jelas hingga Dinda telah dewasa. Dinda mengingat dirinya masih berusia 2 tahun ketika ia yang masih mengantuk karena bangun tidur diajak jalan-jalan dan digendong oleh sang ayah. Dinda bahkan masih dapat mengingat pakaian apa yang ia kenakan waktu itu.
“Emm... Ada satu kenangan yang saya inget banget itu mungkin usia saya baru dua tahun, pokoknya saya inget benget. Jadi itu tuh saya lagi pergi sama orang tua saya jalan-jalan gitu di mall di supermarket. Terus saya digen-dong gitu, itu saya masih kecil masih dua tahunan gitu, saya digendong gitu sama papa.. Terus saya masih pake baju sweater pake piyama, piyama-piyama batita gitu, apa celana panjang, ya itu sih kayaknya... kenangan itu saja yang tersisa”
Kenangan ini sangat sederhana, namun sangat diingat oleh Dinda hingga saat ini meskipun pada waktu itu ia masih berusia 2 tahun. Dapat dilihat bahwa momen ketika sang ayah menunjukkan rasa sayangnya melalui tindakan yang melibatkan kontak fisik seperti menggendong, merupakan pengalaman penting yang bermakna bagi Dinda. Dapat teramati bahwa Dinda tidak menunjukkan upaya untuk mendekatkan diri dan tidak menunjukkan protes atas situasi perpisahan dengan sang ayah.
b) Dinda-Ibu:
Ibu di mata Dinda adalah sosok yang dominan dan keras. Sama dengan halnya sang ayah, ibu juga bukan tipe orang yang dapat mengekspresikan rasa sayangnya dengan sentuhan fisik. Tidak pernah ada kedekatan fisik dan emosional yang terjalin antara Dinda dan ibunya. Pengajarannya terhadap Dinda tentang menjadi sosok yang kuat, tidak lemah, dan tidak boleh menangis terus mempengaruhi hidup Dinda hingga saat ini. Dinda sangat jarang menangis karena baginya menangis adalah hal yang tabu. Selain itu, sosok ibu lebih memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan rumah tangga dan cenderung lebih ditakuti daripada sosok ayah.
“Dominan! Terus keras. Orangnya keras tapi juga sama dia juga bukan typical orang yang bisa menunjukan hal-hal yang emosional gitu dan dia selalu bilang.. Saya inget ada satu kalimat dia yang bikin saya.. even sampai sekarang pun untuk nangis di depan dia itu kayaknya tabu. Karena dia pernah ngomong "Ngapain nangis anak mama itu enggak ada yang lemah, enggak boleh nangis, karena nangis itu tidak menyelesaikan masalah" Jadi typical mama saya begitu, keras orangnya dominan. Jadi apapun yang terjadi di keluarga ya, dia
yang ambil andil”.
Dinda merasa bahwa sang ibu tidak pernah hadir secara emosional maupun dukungan tentang kehidupan Dinda. Bahkan, Dinda tidak dapat mengingat kenangan manis yang pernah dilalui bersama ibunya. Hanya ada pengalaman pahit yang membekas dalam pikiran Dinda terkait relasi dirinya dengan sang ibu. Pengalaman pahit yang diingat oleh Dinda ketika ia masih kecil ialah pengalaman saat ia di-bully oleh kakak dan adiknya. Pada saat ia di-bully, sang ibu turut serta memojokkan dan menyalahinya. Pengalaman tersebut mengikis kepercayaan Dinda terhadap ibunya dan membuat Dinda enggan menceritakan apapun kepada kedua orangtuanya.
“Ada.. Ada!! Ada hal yang bikin saya enggak, kenapa saya enggak pernah ngomong apapun dengan mama papa saya, karena... dulu waktu di-bully nih sama kakak, sama adek saya, kalau saya ngomong gitu ya.. Mereka akan kompakan untuk nyalahin saya, dibikin saya yang salah gitu, jadi saya
memutuskan untuk “Enggak usah deh, engak usah cerita" gitu.
Selain itu, Dinda juga mengalami kekerasan verbal dari ibunya sejak kecil yang sangat melukai perasaannya. Dinda mengingat salah satu contohnya pada waktu ia saat itu masih duduk di bangku SMP, sang ibu seringkali mengatakan kepada Dinda bahwa Dinda sangat menjengkelkan dan selalu membuatnya ingin marah atau memukulnya. Perkataan seperti itu didengar langsung oleh Dinda dan saudara-saudaranya dan membuat Dinda semakin di-bully oleh kedua saudaranya. Selain kekerasan verbal yang diterima Dinda dari sang ibu, Dinda juga mengalami kekerasan fisik dari adik kandungnya dalam bentuk tamparan. Dalam situasi pertengkaran antar saudara, Dinda selalu menjadi pihak yang disalahkan oleh sang ibu. Hal tersebut membuat Dinda hingga dewasa menjadi individu yang takut untuk mengambil langkah tertentu dan kurang terbuka terhadap teguran.
“Kayaknya dulu pernah, kayaknya SMP deh, itu saya pernah berantem apa gitu sama mama saya, terus mama saya pernah
ngomong “Eh...kamu selalu menjengkelin mama, dari dulu tuh
rasanya pengen marah aja gitu kalau enggak marah mukul”
“He'em.. Dulu tuh waktu jaman kecil saya `pernah ditampar dengan adek saya.. Dari kecil saya sering main-main gitu cuma gara-gara apa gitu saya lupa, cuma gara-gara bangun.. bangun tidur kan kita mau pergi atau gimana gitu, terus saya ngomong ke mama saya juga tetap saya juga yang disalahin, jadi mungkin karena itu kali ya? Karena saya selalu... selalu jadi... saya kalau salah jadi saya, ya udahlah diem, dan saya juga jadi takut untuk teguran. Saya takut salah! Jadinya.. Saya sekarang juga jadi mau ngelakuin apa-apa takut jadinya”.
Dinda sendiri mengakui bahwa sejak saat itu Dinda merasa semua yang dilakukannya adalah kesalahan dan ia
menjadi takut untuk melakukan sesuatu. Bahkan, pada usia 5 tahun, Dinda telah mengalami tekanan dari keluarga yang membuatnya kabur meninggalkan rumah. Hal ini menunjukkan bahwa sejak kecil Dinda telah membentuk ide untuk menghindar dari situasi yang membuatnya merasa terancam. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Dinda merasa kedua orangtua menolak dan tidak memihak dirinya yang membuat dirinya merasakan kesendirian. Dinda merasa sedih atas perlakuan yang diterimanya dan membuat ia meragukan dirinya sendiri. Namun, Dinda cenderung mengabaikan atau merepresi perasaan tersebut.
Melalui penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa Dinda tidak menunjukkan perilaku mencari kedekatan dengan ayah maupun ibunya. Dinda tidak menunjukkan upaya untuk berada dalam situasi yang dekat dengan keduanya dan tidak menunjukkan protes dalam bentuk keberatan maupun kesedihan atas situasi terpisah dari kedua orang tua. Dinda lebih berupaya untuk menjadi mandiri sejak kecil dan berusaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya sendiri.
2. Safe Haven (Menjadi Tempat Perlindungan)
Salah satu perilaku lekat lainnya yang dapat ditelaah dari relasi Sari dan kedua orang tua ialah perilaku safe haven. Safe haven merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh figur lekat sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak yang mencari kedekatan dengannya. Respons tersebut dalam berbentuk pemberian rasa nyaman, kehangatan, ketenangan, atau jaminan akan keselamatan pada waktu dibutuhkan.
a) Ayah-Dinda:
Ayah tidak berperan dalam pemenuhan kebutuhan emosional maupun fisik bagi Dinda sejak kecil. Jarang dan
hampir tidak pernah Dinda mendapatkan sentuhan fisik dari sang ayah baik berupa pelukan atau ciuman. Sosok ayah dikenal pekerja keras dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Kehadiran ayah dalam kehidupan Dinda berfungsi sebagai dasar pemenuhan kebutuhan finansial bagi Dinda, misalnya dalam pembayaran uang sekolah, uang jajan, uang makan, pembelian barang-barang yang diinginkan serta dibutuhkan.
“Ya itu tadi mbak.. Keberadaannya buat saya tuh ya mungkin ya kalo bisa dibilang kasarannya ya urusan finansial aja.. Haah.. Untuk masalah emosional sih nggak..”
Tidak ada dukungan secara fisik maupun emosi untuk segala sesuatu yang Dinda lakukan, baik dari hal pendidikan, kegiatan-kegiatan lain di luar sekolah. Ayah tidak hadir dalam menemani Dinda menjalani aktivitasnya sejak kecil karena Dinda sudah ditemani oleh baby sitter-nya, bahkan untuk antar- jemput sekolah, ke gereja, kebutuhan makan, ayah tidak hadir dalam momen-momen penting yang Dinda lalui. Ayah cenderung memberi kebebasan pada Dinda untuk melakukan apapun yang Dinda inginkan tanpa peraturan ketat yang harus dipenuhi. Hal tersebut diterapkan dari Dinda kecil hingga besar.
“Nggak sih, mereka itungannya malah ngebebasin yaa.. Apa
nggak peduli ya (tertawa) Nggak tau deh mbak..”
“Kapan ya? Kalo pas kecil dulu sih nggak ya.. Sama pembantu semua saya minta tolongnya, karena ya itu, pada sibuk kerja semua papa mama..”
Kebebasan yang diberikan kepada Dinda tidak jarang membuat Dinda justru merasa diabaikan atau tidak dipedulikan oleh sang ayah. Terlebih, sosok ayah juga tidak pernah tersedia ketika Dinda membutuhkan pertolongan saat menghadapi situasi yang dianggapnya mencemaskan atau mengancam.
b) Ibu-Dinda:
Berbanding terbalik dengan sang ayah, ibu tidak berperan dalam pemenuhan kebutuhan emosional maupun fisik, melainkan hanya kebutuhan finansial bagi Dinda sejak kecil. Ibu lebih banyak melukai perasaan Dinda dengan kekerasan verbal yang diucapkan dan penolakan terhadap kedekatan yang terjalin diantara mereka. Ibu menunjukkan ketidaknyamanan dan pengabaian sesekali Dinda mencoba untuk mendekatkan diri kepadanya pada waktu Dinda kecil. Hal ini disebabkan karena ibunya lebih menyayangi adiknya dan membuat Dinda merasa terpinggirkan. Bahkan, ketika Dinda menangis pun sang ibu tidak menunjukkan upaya untuk menenangkan atau membuatnya merasa nyaman kembali. Ibu justru membentak Dinda untuk berhenti menangis karena menangis merupakan simbol kelemahan. Doktrin sang ibu bahwa perempuan harus mandiri dan tidak lemah membuatnya terbentuk menjadi individu yang kuat dan cenderung mengabaikan perasaan sedih.
“Saya enggak pernah untuk menceritakan masalah-masalah saya waktu itu pada keluarga saya, apapun itu, karena balik lagi karena mama ngajarinnya untuk mandiri harus bisa apa-apa sendiri, enggak boleh lemah. Rasanya lemah banget sih, kalau hal kayak gini bikin sedih tuh kok.. Malu-maluin banget
sih.."Gini doang" gitu..”
Relasi Dinda dan kedua orangtuanya tidak menunjukkan bahwa kedua orang tua adalah tempat yang aman untuk berlindung. Hal ini teramati dari perilaku Dinda yang justru memendam dan menutup diri untuk bercerita kepada ayah dan ibunya karena Dinda tidak ingin mendapatkan pelabelan ‘anak yang lemah’ oleh orang tuanya. Selain itu, Dinda juga tidak terlihat menjadikan ayah atau ibunya sumber pertolongan pertama yang perlu dicari ketika ia menghadapi situasi sulit.
3. Secure Base (Menjadi Basis Aman)
Perilaku lekat lain yang dimunculkan oleh orang tua sebagai figur lekat sebagai tanda kelekatan yang terjalin ialah dengan tersedia atau tidak tersedianya orang tua sebagai basis aman bagi Sari untuk eksplorasi. Figur lekat yang peka melihat dunia dari sudut pandang anak dan memperlakukan anak dengan pemahaman yang mendalam, pemberian kebutuhan dan kasih sayang. Selain itu, figur lekat juga menunjukkan respons menerima anak secara utuh.
a) Ayah-Dinda:
Melalui pengalaman bersama ayah dari kecil hingga dewasa ini, Dinda menunjukkan bahwa sosok ayah tidak dapat dijadikan basis aman oleh Sari. Meskipun ayah memberikan Dinda kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengeksplorasi dunianya, namun Dinda tidak dapat menemukan sosok ayah sebagai basis aman yang dapat ia datangi ketika ia menemukan kegagalan dalam eksplorasi karena sang ayah lebih sibuk memperhatikan dengan pekerjaannya daripada berada di samping Dinda dan memperhatikannya.
“Nggak lah nggak ada ribet-ribet. Bebas lah pokoknya, resiko
ditanggung sendiri yang penting mah..”
Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari sejak kecil hingga dewasa telah dibentuk menjadi sosok yang bertanggung jawab pada kekebasan yang diberikan oleh sang ayah.
d)Ibu-Dinda:
Relasi Dinda dengan ibunya sejak kecil juga tidak menunjukkan bahwa sang ibu merupakan basis aman untuk Dinda eksplorasi. Perlakuan ibu yang selalu menyalahkan dan menuduh Dinda sebagai ‘biang masalah’
membuat Dinda menjadi selalu takut untuk melangkah dan membuat keputusan tertentu. Namun demikian, ada perubahan sikap yang ditunjukkan Dinda dalam hal menyampaikan kekecewaan atau kemarahan kepada ibunya. Pada waktu kecil, Dinda terbiasa diam jika menemukan tindakan ibu yang tidak sesuai dengan harapannya. Namun, ketika Dinda dewasa, ia cenderung menunjukkan sikap yang berani untuk menegur jika ibunya salah dan ia tidak merasa sungkan untuk mengutarakan pendapatnya.
“Kalo dulu emm… Ya dulu itu kalo saya kecil saya biasanya Cuma diem karena ya kan itu ya… Mama juga pasti nyalahin..
Tapi kalo udah gede kaya sekarang ya beda.. Saya kalo nggak suka ya tinggal ngomong, gentian saya yang sering ngomelin papa mama kalo mereka lupa minum obat lah ato mama lagi cerewet lah, trus kalo urusan apotik teledor.. Udah lebih kaya
omongan dewasa sih sekarang saya kalo sekarang…”
Dapat disimpulkan, pola kelekatan yang terjalin antara Dinda dan kedua orangtuanya tergolong dalam jenis avoidant-
insecure attachment. Hal ini dapat dilihat melalui sikap penghindaran yang dilakukan oleh Dinda terhadap kedua orangtuanya sebagai bentuk. strategi ‘pemberontakan’ bagi kedua orang tua yang tidak mendukung terjalinnya kontak afeksi dan tidak menunjukkan simpati maupun rasa nyaman. Sebagaimana dikatakan bahwa anak yang tergolong dalam avoidant attachment jarang menangis ketika dikondisikan terpisah dari figur lekat dan menghindari kontak ketika figur lekat kembali, begitupun halnya Dinda terhadap kedua orangtuanya. Dinda tidak menunjukkan protes terhadap situasi terpisah dari orangtuanya.
3. Dinamika Pola Kelekatan Dinda dengan Orang Tua dan