BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini, penulis menyajikan data hasil penelitian dan triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran yang dialami oleh perempuan di kota Salatiga. Analisis data dan pembahasan dilakukan terpisah antara subyek satu dengan yang lainnya karena kedua subyek memiliki latar belakang keluarga yang berbeda sehingga analisis perlu dilakukan kasus per kasus.
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian ini, peneliti mengacu pada konsep pra-penelitian menurut Bogdan (dalam Moleong, 2006) yaitu meliputi: a) Penyusunan rancangan penelitian
Tahap ini meliputi, penyusunan bab 1 hingga bab 3 yang mencakup latar belakang, landasan teori, metode penelitian, kemudian mempersiapkan alat pengumpul data berupa penuntun wawancara (interview guide).
b) Pemilihan lokasi penelitian
Lokasi penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sehingga pengambilan data yang dimaksud dilaksanakan di kota Salatiga sesuai dengan tempat domisili subyek penelitian. Dengan demikian, peneliti segera menyusun alokasi waktu serta menghubungi subyek dan informan dalam penelitian ini.
c) Memilih dan memanfaatkan informan
ditetapkan dari kesediaan subyek untuk diwawancarai terkai kekerasan yang dialaminya.
d) Mengurus perijinan
Perijinan dilakukan peneliti dengan cara informal, artinya tidak memerlukan surat ijin dari fakultas, dikarenakan subyek merasa tidak membutuhkan surat tersebut.
e) Tahap penjajakan dan penilaian lapangan
Tahap ini dilakukan melalui perbincangan santai dengan subyek tanpa alat rekam untuk membangun rapport dan kepercayaan subyek terhadap peneliti. Tahap ini dilakukan di kediaman masing-masing subyek selama 3 kali hingga subyek merasa nyaman dan siap untuk melakukan wawancara dengan peneliti. Interview awal ini tidak menggunakan alat perekam. Peneliti mengajak subyek bercerita dengan santai dan diselingi dengan percakapan-percakapan yang ringan. Berikut ini adalah tujuan dari masing-masing interview awal dengan subyek:
1. Interview awal - 1
Interview awal 1 dilakukan peneliti untuk mendapatkan gambaran umum tentang subyek saat ini. Peneliti memposisikan diri sebagai teman subyek yang dapat mendengarkan setiap cerita subyek. Pada interview awal - 1 ini, subyek menceritakan tentang kebiasaan dan rutinitas yang dijalaninya setiap hari.
2. Interview awal - 2
Interview awal - 2 dilakukan peneliti sebagai tindak lanjut dari interview awal-1. Pada tahap ini, peneliti mulai menggali informasi tentang keluarga dan tempat subyek dibesarkan, kesan yang diberikan subyek terhadap setiap anggota dalam keluarga dan lingkungan pergaulan subyek selama dibesarkan sepanjang hidup.
3. Interview awal - 3
lebih bersifat pribadi, yakni terkait dengan relasi pacaran subyek dengan pacar yang menjadi pelaku kekerasan.
f) Persiapan perlengkapan
Penelitian dilakukan dengan menyediakan alat-alat yang dibutuhkan dalam proses pengambilan data mencakup in-depth interview guide, alat perekam, alat tulis, dan notes.
g) Mengetahui persoalan etika
Penelitian dengan memberitahukan maksud dan tujuan penelitian secara terbuka kepada calon subyek, hal ini telah dilakukan peneliti di awal pertemuan dengan kedua subyek.
2. Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data melalui wawancara dilakukan sebanyak dua kali terhadap subyek pertama dan subyek kedua. Pelaksanaan wawancara terhadap seluruh subyek dimulai pada bulan Maret 2016 - Mei 2016. Kedua subyek merupakan teman peneliti yang diketahui telah mengalami kekerasan berulang kali baik secara fisik, psikis, verbal dan seksual selama berpacaran bertahun-tahun dengan pasangannya. Penggalian informasi dalam penelitian ini bersifat sangat pribadi dan sensitif, oleh sebab itu peneliti dengan perlahan membangun kepercayaan kedua subyek agar mempercayakan kerahasiaan informasi kepada peneliti. Selain itu, penggunaan alat rekam selama wawancara berlangsung juga sesuai dengan perijinan dan kesepakatan dengan kedua subyek.
SARI DINDA Interview 1 26 Maret 2016 9 April 2016 Interview 2 5 April 2016 23 April 2016 Interview 3 25 April 2016 11 Mei 2016
Tabel 4.1 Jadwal Interview Subyek
Setelah peneliti mendapatkan informasi yang diperlukan melalui tiga kali wawancara dengan subyek, peneliti mulai membuat verbatim atau transkrip wawancara, tabel analisa transkrip wawancara, dan analisa serta pembahasan kasus secara lengkap dalam bentuk print out. Di samping itu, peneliti juga mencari data sekunder melalui
orang-orang terdekat subyek sebagai berikut:
SARI DINDA
Informan 1 Teman kos A Teman dekat
Informan 2 Teman kos B Pacar
Informan 3 Ibu Ayah
Tabel 4.2 Sumber data sekunder
B. Hasil Penelitian
Setelah peneliti mendapatkan data-data empiris melalui proses wawancara mendalam, kemudian peneliti mulai menganalisis data-data tersebut sehingga menjadi suatu pemahaman yang utuh tentang kedua subyek. Pada sub-bab ini, peneliti membahas analisis subyek satu per satu dengan rinci.
1. Analisis Deskriptif Subyek Pertama (Sari) a) Identitas Diri Sari
Nama : Sari (bukan nama sebenarnya)
Usia : 24 tahun
Kota Asal : Solo Kota Domisili : Salatiga
Pendidikan Terakhir : Sekolah Menengah Atas (SMA) Pendidikan Berjalan : Strata 1 Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga
Status Perkawinan Urutan Kelahiran
: :
Belum Menikah
Anak ke-2 dari 2 bersaudara
b) Hasil Observasi
Peneliti melakukan observasi yang sifatnya menambah keterangan data yang diperoleh dari interview. Sepanjang proses interview, peneliti mengamati perilaku Sari yang menunjukkan rasa malu ketika membicarakan mengenai aktivitas seksual yang dilakukan bersama pacarnya. Rasa malu ini dilihat dari wajah Sari yang ditundukkan, volume suara yang mengecil, dan gestur tubuh yang menghindar saat menjelaskan tentang aktivitas seksualnya. Tidak ada perubahan lain yang signifikan ketika membahas tentang sang pacar, termasuk hal-hal yang terkait kekerasan yang dialaminya, Sari dapat menceritakannya dengan nada yang santai dan diiringi tawa sesekali. Kemudian, ekspresi marah ditunjukkan Sari ketika membahas tentang perselingkuhan yang dilakukan ayahnya. Volume suara Sari menjadi keras dan memberi penekanan pada kata-kata seperti ‘selingkuh’, ‘wanita idaman lain’, ‘kawin lagi’.
c) Latar Belakang Sari
luar kota Solo dan membuat dirinya harus berada dalam situasi berjarak dengan orang tua untuk pertama kalinya. Oleh karena jarak kota Solo dan Salatiga dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam perjalanan, Sari menyempatkan diri untuk pulang ke Solo di setiap akhir minggu. Kebiasaan ini dilakukan hingga kurang lebih ia menduduki semester 4 di perkuliahannya.
Bungsu dari dua bersaudara ini selalu mendapatkan perhatian khusus dari ayah, ibu, dan kakaknya karena ia satu-satunya anak perempuan dan kedua orang tua menganggap Sari perlu pengawasan yang ekstra ketat agar ia tidak terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat. Latar belakang kepercayaan Kristen yang begitu kuat dipegang teguh oleh sang ibu, membuat ibu justru cenderung over-protective dengan setiap tindakan dan Sari. Sari cenderung dibatasi dalam memilih pergaulan dengan teman sebaya, baju yang dikenakan, dan aktivitas rutin yang dijalani. Hal ini membuat Sari tumbuh menjadi pribadi yang sangat bergantung pada keputusan orang tua dan sulit untuk mengambil keputusan dalam situasi mendesak.
justru disingkarkan dari pergaulan ketika keluarganya mengalami krisis ekonomi yang cukup drastis.
Krisis ekonomi yang dialami keluarga Sari diakibatkan oleh kondisi ayahnya yang saat itu memiliki perempuan idaman lain dan menghasilkan keturunan dari perempuan tersebut. Sebagian besar uang dari penghasilan ayahnya dialihkan pada perempuan itu beserta anaknya. Semenjak itu, keluarga Sari menjadi tidak harmonis dan penuh dengan konflik serta kekerasan yang terjadi antara ayah dan ibu. Kekerasan di dalam rumah terus berangsur terjadi selama sang ayah menjalin hubungan dengan perempuan tersebut. Oleh sebab itu, sang ibu memaksa keluarga untuk pindah ke Jawa Tengah dan menetapkan Solo sebagai tempat tinggal berikutnya. Ibu berencana membawa kedua anak bersamanya. Hal tersebut membuat sang ayah menceraikan perempuan tersebut dan ikut bersama keluarga untuk pindah ke Solo. Sari pun melanjutkan pendidikannya di Solo semasa SMA, dan berkuliah di Salatiga sejak tahun 2007. Hingga 2016 ini, Sari belum menuntaskan pendidikan tingginya dan berungkali berencana untuk meninggalkan perkuliahannya karena merasa tidak mampu untuk mengerjakan tugas akhir.
d) Analisis Kasus Sari
1. Gambaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Sari-Doni a) Identifikasi Jenis Kekerasan
dengan yang lain, keduanya memutuskan untuk bertemu dan bersepakat untuk menjadi pacar. Selisih usia keduanya ialah 4,5 tahun lebih tua Doni dibandingkan Sari. Pada awal masa pacaran, Doni menunjukkan sikap yang perhatian dan sangat penyayang. Hal ini membuat Sari merasa begitu nyaman menjalani hubungan pacaran dengan Doni. Sari yang berdomisili di kota Salatiga pun tidak merasa berat dijalani karena Doni yang tinggal di Semarang selalu menghampirinya setiap akhir pekan.
Masa pacaran Sari dan Doni kini tengah memasuki usia 4 tahun. Namun, memasuki usia 2 tahun pacaran, Doni mulai menunjukkan sifat aslinya yang kasar dengan dirinya. Meskipun Sari pernah mengalami pengalaman yang menyenangkan pada awal pacaran, namun setelah menjalaninya beberapa waktu, Sari mulai mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan bersama Doni. Setelah beberapa waktu pacaran, Sari merasa bahwa yang ditunjukkan pada awal kenalan hingga pendekatan dengan Doni bukan merupakan sifat asli dari Doni. Sifat asli pasangannya ialah sifat yang kasar dan seringkali melukai dirinya.
“Wah.. saya bisa katakan masa-masa awal saya pacaran itu sangat berbanding terbalik. Jadi sangat drastis kalo ibaratnya statistik itu indah sekali... dan lalu menjadi yah.. malapetaka
ya..”
“Mungkin emmm... parahnya aja ya.. sebenernya itu kan proses.
Maksudnya sedikit demi sedikit, sedikit demi sedikit mulai ya ada satu dua satu dua yang tadinya awalnya seperti ini kok jadi kaya gini.. kok aslinya kaya gini ya.. tapi yang bener-bener saya rasakan ini saya udah nggak kenal lagi nih.. kayaknya bukan
seperti yang saya pikirkan...”
yang ditunjukkan oleh Doni dengan mengajak Sari melakukan sexual intercourse dengan landasan cinta dan ingin memiliki seutuhnya. Penolakan yang dilontarkan Sari tidak dihiraukan oleh Doni dan hal tersebut membuat Sari melakukannya dengan keterpaksaan. Kekerasan fisik dialami Sari ketika Doni sedang berada dalam masalah atau terlibat pertengkaran dengan Sari. Doni seringkali menggunakan kata-kata kasar seperti ‘anjing’, ‘bangsat’, ‘babi’, dan lainnya yang melukai hati Sari. Dalam beberapa pertengkaran, Doni juga melemparkan barang-barang yang ada di kamar kos Sari, seperti buku, piring, meja laptop, dan lainnya. Perlakuan kasar tersebut terus berulang dan membuat Sari terkadang ingin mengakhiri hubungan tersebut. Namun, setiap kali Sari ingin memutuskan Doni, Doni selalu mengatakan kepada Sari bahwa tidak akan ada lagi laki-laki yang ingin bersama dirinya karena ia sudah tidak perawan lagi dan menjadi ‘bekas’ Doni. Selain itu, Doni juga melunturkan konsep diri Sari dengan mengatakan bahwa Sari itu tidak cantik, berkelakuan buruk, dan hanya Doni yang dapat menerima dirinya. Perkataan-perkataan seperti itu membuat Sari takut untuk memutuskan Doni dan memilih untuk terus melanjutkan hubungan tersebut. Kata ‘putus’ hanya diungkapkan Sari maupun Doni ketika mereka sedang bertengkar dan cenderung menggunakan emosi sesaat. Ketika pertengkaran telah selesai, Sari dan Doni akan saling merindukan dan kembali bersama lagi. Namun, setelah itu kekerasan tetap terjadi.
“Ya.. Bisa dibilang gini.. Eee saya waktu berpacaran sama dia,
membuat saya sedikit terancam seperti membanting barang, merusak barang, atau hp-nya dibanting ya sering beberapa kali kalo emosi sama saya hp dibanting sampe rusak beberapa kali, terus dia pernah mukul pintu atau emm apa... tembok.. di depan saya.. sampe berdarah tangannya. Lalu kalo sedang di atas motor, dia sedang mengendarai motor, emm dia juga pernah istilahnya emm apa sih namanya.. kalo dia ada jengkel sama, trus dia ngendarain motornya ugal-ugalan kaya dikencengin gitu seolah-olah kayak nantang bahaya gitukan seperti itu..”
“Itu yang pernah saya alami, saya pernah ditampar, saya pernah
ditendang, saya pernah emmm... dicekik juga, ya semacam kekerasan yang apa yaa... bentuk fisik yang bener-bener itu kekerasan gitu.. nggak cuma sekedar kesenggol atau apa, memang secara sengaja..”
“Aduh… Gimana ya.. Nggak etis lah bahasnya kan.. Pokoknya
intinya ya begitu dulu awal-awalnya ya semi-semi diperkosa gitu
rasanya… Karena dia maksa, saya udah nggak mau.. Takut sama mama kan kalo ketauan.. Dulu aja ampe saya trauma…Padahal itu
kan nggak ngapai-ngapain”
Sari di lingkungan sosial. Hal ini turut membuat Sari sangat bergantung pada kehadiran Doni disisinya.
“Saya sendiri bingung sampe sekarang ya, maksudnya kadang hal -hal yang menurut saya itu tidak masalah menurut pandangan orang umum pun misalnya saya tanyain kalo saya begini tuh salah atau ngga gitu, dimata saya dan dimata orang-orang yang saya tanyakan itu sebenarnya bukan sesuatu harusnya dipermasalahkan misalnya seperti itu tapi bagi dia itu masalah begitu. Misalnya nih saya lagi kerja kelompok, saya kerja kelompok saya ga mungkin dong saya nolak misalnya kalo dosennya sudah menentukan ini ada cowoknya gitu kan.. padahal bukan saya yang milih gitu kan, misalnya dia merasa kamu ga boleh sekelompok yang ada cowonya, kamu harusnya sama cewe semua. Tapi kalo misalnya kita mau ngerjain kelompok emm yang dimana itu sudah diatur gitu kan, ya kita tidak bisa dong maksudnya ngubah sembarangan dan lagi tuhu posisinya saya mengerjakan tugas kelompok, saya bukan jalan-jalan, saya bukan hangout atau acara-acara bebas yang seperti itu.. dan dia marah misalnya, dia itu jengkel karena saya tetep pergi untuk kerja kelompok, dia bilang kerjain sendiri aja, tapi kan tetap ga mungkin saya kerjakan semua sendiri, ada kalanya saya memang membutuhkan bantuan orang lain. Sedikit
posesif yang berlebihan lah seperti itu..”
Kekerasan berulang yang dialami Sari terus-menerus dalam kurun waktu kurang lebih 2 tahun membuat Sari merasa terbiasa dengan rasa sakit yang dirasakannya. Sari mulai bisa beradaptasi dengan situasi yang menyakitkan tersebut. Namun demikian, Sari masih merasa dirinya terancam, takut dan tidak nyaman karena Doni bisa ‘kumat’ sewaktu-waktu.
“Emm.. sebenernya lebih banyak itu... emm terlalu banyak mungkin ya (tertawa kecil), saya jadi tidak bisa emm apa ya gimana ya.. sepertinya segala sesuatunya jadi kasar dia, seperti jadi sesuatu yang biasa, dari ngomong pun udah udah kasar terus, dari cara ngomong nggak ada lemah lembutnya gitu.. dari intonasi dari apa, terus dari tindakan juga.. ya seperti itulah..”
“Jadi banyak hal-hal yang ekstrim yang dia lakukan untuk membuat kita tuh rasanya takut atau apa.. terancam gitu.. Kaya
ngelemparin barang… Itu membuat saya terancam juga,
Melalui klasifikasi yang dikemukakan oleh Murray (2007) terkait jenis kekerasan, dapat diidentifikasi jenis-jenis kekerasan yang diterima Sari dalam relasi pacarannya dengan Doni sebagai berikut:
Kekerasan Verbal Name Calling (‘gendut’, ‘jelek’, ‘anjing’, ‘bangsat’, ‘babi’)
Monopolizing Time (tidak ada waktu bermain dengan teman-teman)
Making feel insecure (dengan menggunakan kata
‘bekas pakai’, ‘nggak laku lagi’)
Blaming (melimpahkan kesalahan, menuduh)
Manipulation (meyakinkan korban bahwa sang pacar yang terbaik)
Making threats (diancam akan ditinggalkan) Interrogating (pencemburu, posesif, suka mengatur) Breaking items (melempar piring, memukul tembok dan lemari, memecahkan gelas)
Kekerasan Seksual Pemaksaan untuk melakukan sexual intercourse
dengan janji akan dinikahi di kemudian hari dan sebagai bukti cinta di antara keduanya.
Kekerasan Fisik Ditampar, ditendang, dicekik
Tabel 4.3 Identifikasi Kekerasan Relasi Sari-Doni
akan saling mencari dan menghubungi satu dengan yang lain ketika ada rasa rindu yang mengingatkan keduanya akan kenangan mereka. Ketika mereka memutuskan untuk kembali, tindak kekerasan akan terulang lagi. Seperti lingkaran kekerasan yang digambarkan oleh Walker (1979), lingkaran kekerasan pun terus mengikat kedua Sari dan Doni sebagai berikut:
Gambar 4.1 Lingkaran Kekerasan Relasi Sari-Doni
Pada kasus relasi Sari dan Doni, kekerasan terus berlanjut menjadi sebuah siklus yang tak terputus karena relasi yang terjalin diantara keduanya cenderung bersifat tertutup, dalam artian tidak ada orang lain yang dilibatkan dalam relasi tersebut. Rutinitas yang dilalui Sari dan Doni setiap kali mereka bertemu lebih banyak dihabiskan di kos Sari yang terbilang sangat sepi. Kos tempat Sari berdomisili di Salatiga hanya terdiri dari 4 kamar, satu kamar ialah milik empunya kos, 3 kamar lain disewakan ke penghuni kos, salah satunya Sari. Situasi kos Sari dari pagi hingga malam hari sangat sepi karena pemilik kos
POWER & CONTROL
DENIAL 1. TENSION BUILDING- DONI
2. BATTERING - DONI Melempar barang, mendorong, memaki,
mengintimidasi, melecehkan
3. CONTRITION STAGE - DONI
Meminta maaf, mohon ampun, Berjanji akan berubah,
Cemburu dengan teman laki-laki Sari, waktu Sari terbagi dengan tugas kuliah, Sari tidak menuruti keinginannya
Pergi ke gereja, meyakinkan Sari bahwa Doni adalah laki-laki terbaik
untuknya, mengingatkan Sari akan janji mereka tentang pernikahan
RESPONS SARI: Menutup wajah dari lemparan barang, menangis, memberikan ultimatum, mengancam akan meninggalkan Doni.
RESPONS SARI: Membela diri, mengutarakan alasan, memberikan
bekerja setiap hari, sedangkan 2 orang teman kos lainnya lebih sering menghabiskan waktu di kampus. Situasi kos yang sepi itu tak jarang membuat Doni berani untuk melampiaskan kemarahannya jika sedang bekonflik dengan Sari.
Selain itu, tidak ada teman atau kerabat Sari maupun Doni yang mengetahui tentang tindak kekerasan yang kerap terjadi dalam relasi mereka. Sikap Doni yang cenderung posesif membuat Sari terus menerus dijauhi oleh teman-temannya dan menjauhkan Sari dari pergaulan dan komunitas manapun. Doktrinasi Doni tentang pertemanan yang buruk juga meyakinkan Sari bahwa dirinya tidak memerlukan teman untuk berbagi pengalaman atau cerita. Bagi Sari, kehadiran Doni sudah cukup untuk mengisi hari-harinya. Relasi yang tertutup dan jauh dari jangkauan orang-orang di sekitar ini turut membuat lingkaran kekerasan dalam relasi pacaran Sari dan Doni terus berlanjut dan menguat dari waktu ke waktu.
a)Kebertahanan Sari dalam Lingkaran Kekerasan
Kekerasan yang dialami Sari dalam relasinya dengan Doni selama bertahun-tahun lamanya tidak melunturkan keinginan Sari untuk tetap mempertahankan relasi pacarannya dengan Doni. Ada beberapa hal yang ditelaah penulis terkait kehendak Sari untuk tetap bertahan dalam relasi yang menyakitkan baginya, yakni:
1. Adanya rasa mencintai dan dicintai
beranggapan bahwa kerelaannya untuk disakiti merupakan bentuk pengorbanan yang dapat ia lakukan untuk Doni dan juga sebagai upaya mengerti keadaan Doni yang sedang mengalami konflik.
“Aduh gimana ya.. Saya tuh merasa saya sayang banget sama
dia.. Jadi saya rasa tuh kalo saya putus dengan dia tuh saya yang nggak kuat sendiri gitu, saya yang kehilangan, saya yang kangen, saya yang sedih... gitu kan yang galau. Pernah sih mencoba untuk ya... coba break lah mungkin ya lebih ke menenangkan pikiran dan lain sebagainya, tapi rasa sayang saya sama dia lebih besar daripada rasa sakit yang apa ya... ya saya sakit waktu saya dikasarin, tapi saya lebih sakit waktu
saya nggak ada dia..”
Melalui pernyataan tersebut, sangat terlihat pula bahwa Sari meyakini bahwa sumber kekuatannya berasal dari Doni sehingga ia merasa tidak memiliki kekuatan untuk menjalani hari tanpa Doni. Ada indikasi ketidaknyamanan yang ditunjukkan Sari ketika berada dalam situasi terpisah dengan Doni. Hal ini membuat Sari lebih memilih untuk tetap menjaga agar relasi tersebut terus berlanjut. Selain itu, Sari mempercayai kata-kata Doni yang menyatakan bahwa ia mencintainya. Namun, tidak terlihat bahwa Sari benar-benar merasakan cinta dari Doni.
“Ya cinta lah mbak.. Emmm… Ya dia sih bilangnya cinta..
Katanya dia nggak pernah seserius ini sama cewe.. Nggak pernah sampe mikir nikah juga. Tapi ya mungkin bener sih, soalnya kita sempet putus berkali-kali, tetep dia pasti baliknya ke saya lagi ke saya lagi.. Gatau ya tapi kenapa dia jahat sama
saya, kadang saya mikir dia tuh nggak cinta sama saya”.
2. Adanya kecemasan tentang ‘mitos keperawanan’
Alasan lain yang membuat Sari bertahan ialah karena Sari merasa kecemasan setiap kali ia memikirkan ancaman dari pasangan bahwa tidak akan ada pria lain yang menerimanya karena Sari telah memiliki hubungan yang ‘jauh’ dengan Doni. Ada keyakinan terkait stereotip gender yang dianut Sari tentang perilaku seksual. Sari menganggap bahwa seorang perempuan yang belum menikah namun sudah tidak perawan, tidak berharga lagi di mata laki-laki karena dianggap tidak dapat menjaga kekudusan tubuhnya. Sedangkan, menurut Sari, laki-laki akan lebih mudah mendapatkan pasangan lagi meskipun ia sudah tidak perjaka karena tidak ada jejak yang membekas pada tubuh laki-laki tersebut. Oleh sebab itu, Sari merasa bahwa Doni ialah satu-satunya laki-laki yang harus menjadi suaminya karena ia telah memberikan keperawanannya kepada Doni.
“Soalnya gini lah mbak, saya kan sudah jauh pacarannya gitu kan, saya juga ditekan sama dia.. misalnya, kamu tuh sama saya sudah sejauh ini.. siapa yang mau sama kamu kalo misalnya saya tinggal? Gitu.. Kalo yang namanya cewe kan istilahnya kan sekali seumur hidup kan ya mbak ya.. Kalo misalnya cowok kan ya nggak masalah mau berkali-kali kek dia mah nggak ada bekasnya gitu kan.. Tapi kalo kita kan belum tentu. Nah itu yang saya pikirkan juga, saya sudah sejauh itu jadi saya kalo mau lepas dari dia saya
merasa saya rugi juga mbak”.
karena intimidasi yang terus dilakukan Doni. Hal ini membuat Sari tidak pernah yakin untuk meninggalkan lingkaran kekerasan yang terus berulang dalam relasinya dengan Doni.
3. Adanya rasa nyaman dalam menjalani relasi
Alasan lain yang menjadi pertimbangan Sari untuk bertahan dalam relasi tersebut ialah karena Sari merasakan kenyamanan ketika bersama dengan Doni selama 4 tahun ini. Doni merupakan sosok yang dapat mengisi kekosongan dalam hati dan keseharian Sari. Hampir dalam semua kebutuhan, mulai dari kebutuhan finansial (pemberian uang untuk makan sehari-hari dan belanja), kebutuhan fisik (kebutuhan untuk disentuh), kebutuhan untuk dicintai.
“Susah mba cari yang lain mah.. Apa ya.. Udah nyaman
banget saya sama dia.. Sekarang dia perhatian banget orangnya kan, care gitu lho sama hal-hal kecil aja care, saya makan apa, ada uang nggak, mau belanja apa.. Ya
untungnya dia udah kerja juga..”
Meskipun setelah dua tahun relasi tersebut berjalan dan Doni mulai menunjukkan perilaku kekerasan terhadap Sari, namun Sari masih dapat merasakan kenyamanan jika Doni berada di dekatnya. Namun demikian, ada indikasi kuat yang menunjukkan bahwa kenyamanan yang dirasakan Sari dipicu oleh rasa bergantung pada pemenuhan kebutuhan yang selama ini diberikan oleh Doni.
4. Adanya harapan akan perubahan sikap Doni
mereka bertemu. Sari menganggap bahwa jika di tahun-tahun pertama relasi pacaran mereka, Doni bisa memperlakukannya dengan sangat baik, maka ada kemungkinan Doni dapat menjadi baik kembali. Keyakinan ini terus member kekuatan bagi Sari untuk mempertahankan relasinya dengan Doni.
“Itu bukan hanya pikiran ya, itu harapan yang setiap harinya gitu.. saya berharap dia bisa kembali seperti dulu.. dimana dia tidak kasar seperti itu. Karena saya sempet merasakan dia yang baik gitu.. walaupun itu mungkin hanya sandiwara gitu untuk memenangkan hati saya. Ya.. saya nggak tau sampe kapan ya tapi saya percaya suatu saat dia akan berubah begitu”.
“Iya, ini nih kasarannya takdir yang saya harus jalani
mbak..”
Sari memiliki keyakinan bahwa keadaan yang dijalani sekarang bersama pasangan adalah sebuah takdir yang harus dihadapi dengan sabar dan ikhlas. Melalui pernyataan ini, dapat dilihat pula bahwa Sari merasa tidak berdaya untuk keluar dari situasi yang mengancam dan membuatnya terluka. Sari menunjukkan sikap pasrah terhadap apapun yang dilakukan Doni terhadap dirinya dan menyerahkan seluruh kendali dalam relasi tersebut seutuhnya di tangan Doni.
2. Gambaran Kelekatan Sari dan Orang Tua
kehidupan tersebut terekam dalam memori jangka panjang dan menghasilkan pola lekat yang serupa dengan relasi Sari dengan siapapun di rentang kehidupan berikutnya. Namun, sebelum penulis menggambarkan pola kelekatan antara Sari dengan kedua orangtuanya, penulis menggambarkan terlebih dahulu relasi yang terjalin antara ayah dan ibu Sari dalam rumah tangga dan peran keduanya sebagai suami-istri.
a) Gambaran Relasi Ayah-Ibu Sari
Sari tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang tidak harmonis atau dapat dikatakan ‘broken home’ sejak ia berusia kurang lebih 5 tahun atau ketika Sari masih menginjak Taman Kanak-Kanak (TK). Pada usia tersebut, Sari seringkali menyaksikan pertengkaran yang berupa adu mulut hingga kekerasan yang dilakukan oleh ayah terhadap ibunya. Sari seringkali melihat ibunya dipukul, dimaki-maki, dan diancam dengan menggunakan pisau oleh sang ayah. Bagi Sari yang ketika itu masih berusia 5 tahun, pengalaman menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga ayah dan ibunya merupakan kenangan yang menyakitkan baginya, namun ia tidak dapat melakukan apapun untuk menolong ibunya karena ia masih terlalu kecil sehingga Sari hanya menyimpan dan memendam kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan hingga ia kini dewasa.
Meskipun Sari tidak pernah mengalami kekerasan langsung dari sang ayah terhadap dirinya, namun sang ayah memberikan pemahaman yang negatif tentang figur laki-laki di mata Sari karena ia telah berlaku tidak setia dan tidak bertanggung jawab pada istrinya.
b) Gambaran Relasi Lekat Sari-Orang Tua
Kelekatan yang terjalin antara Sari dan kedua orangtuanya dapat dilihat dari ada atau tidaknya perilaku lekat yang ditunjukkan oleh Sari maupun kedua orangtuanya. Relasi lekat ini berlaku dua arah, yakni dari Sari sebagai anak yang mencari figur lekat sebagai basis aman dirinya dan orang tua sebagai figur lekat yang berperan penting dalam pembentukan konsep ‘aman’ tentang dunia dan lingkungan di sekitar Sari. Pada dasarnya, perilaku lekat memiliki tiga komponen dasar yang diungkapkan oleh Bowlby (1982). Penulis mencoba menggambarkan perilaku lekat dengan menggunakan perspektif kelekatan Bowlby, namun tidak menutup kemungkinan munculnya hal baru yang ditemukan penulis dalam proses penggalian data dengan Sari.
1. Proximity Maintenance (Mencari Kedekatan)
Proximity maintenance mencakup perilaku anak yang terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara kedekatan tersebut. Perilaku ini dapat diamati pula melalui protes yang ditunjukkan anak ketika berada dalam situasi terpisah dari orang tua.
a) Sari-Ayah:
bukan tentang hal-hal yang mencakup pikiran dan perasaannya terhadap sesuatu. Tidak ada upaya untuk mencari kedekatan dan membina relasi lekat dengan sang ayah karena Sari merasa ayah telah mengecewakan dirinya dengan perilaku kekerasan yang dilakukan terhadap ibunya, juga karena penelantaran yang dilakukan ayah terhadap keluarga dengan keputusannya menikah lagi dengan perempuan lain.
“Yah.. Kalo sama papa sih paling minta duit aja… Itu juga dulu pas jaman masih kaya..”
“Nggak.. Nggak ada itu dipeluk apa dicium sama papa..
Dingin.. Ya nggak akrab sih sama papa mah.. Cuma ya itu urusan bayar-bayaran kuliah aja, sama uang makan baru ngehubungin papa..”
“Ya kalo dulu mah yaaa… Pas kecil masih lumayan sering lah
diajakin belanja kan ke mall, beli baju-baju baru gitu kan.. Itu juga diem-diem dari mama… Itu yaa.. Apa ya.. Dulu banget
lah.. Jaman bokap sehat! Hahaha… Pas dia udah ada istri lagi
ya ngomong aja males..”
“Nggak… nggak ngomong.. Taunya kan juga dari si mama
cerita kalo si papa teh kawin lagi…”
“Yah boro-boro curhat, Mbak… Ngomong aja nggak pernah
lagi kalo di rumah… Rasanya teh sakit ati gimana gitu kalo keinget kasarnya papa ke si mama..”
“Ya.. Jadi kalo ketemu di rumah yaudah lewat aja gitu… Ini
gegara si papa sakit aja jadi saya juga jadi sering balik Solo.. Itu juga disuruh mama, ceunah kesian si papa sakit parah, terus anak perempuannya nggak pulang-pulang”.
“Kalo dulu sih pas kecil ya kadang nanya papa ada.. Kalo
misalnya tuh ya pas mau beli baju.. ‘Pa, bagus nggak baju
yang ini?’ Gitu.. Itu juga jarang.. Kalo sekarang kan saya udah segede gini yaa… Nggak pernah sama sekali tanya-tanya lagi soal apapun yaa Mbak.. Gatau rasanya kaya asing aja.. Bener deh asing.. Ya meskipun sekarang papa udah balik sama keluarga ya cuma kok saya yang malah jadi kayak nggak kenal
papa lagi.. Beda Mbak soalnya…”
sang ayah via telepon atau Short Messenger Service (SMS) ketika mereka berada dalam situasi yang berjauhan.
“Tentang perasaan saya gitu? Emmm… Nggak ya.. Nggak
bisa berkutik saya juga.. Bisa apa coba.. Anak bawang kan
saya mah, Mbak….”
“Bukannya gimana yah Mbak.. Bukannya emmm.. Bukan nggak maapin… Cuman canggung aja.. Terus keinget gitu
tindak tanduk dia kepada ibu saya itu jauh lebih menyakitkan.. daripada ibu saya disiksa mungkin lebih baik saya yang
dipukul daripada ibu saya yang dibikin begitu..”
“…Apa.. Pas awal kuliah? Nggak sih.. Nggak nyari.. nggak
kangen juga.. Ya biasa-biasa aja lah, lah kalo ketemu aja nggak ngobrol, apalagi di telfon, Mbak.. “
b) Sari-Ibu:
Sari memiliki kedekatan yang lebih erat kepada ibu daripada kepada ayah karena ayah jarang pulang ke rumah dan Sari melihat ayah menyiksa ibu, membuat ibu menangis. Kedekatan yang dimiliki Sari dengan ibunya mencakup kedekatan emosional dan kedekatan fisik. Sari merasa sangat menyayangi ibunya dan ia merasa tidak bisa berada dalam situasi yang terpisah dari ibunya. Pengalaman pertama Sari berpisah dengan ibunya ialah ketika Sari memutuskan berkuliah di luar kota. Hal tersebut membuat Sari setiap malam harus tetap berkomunikasi dengan sang ibu melalui telepon atau Short Messenger Service (SMS). Bahkan, Sari kerap menangis ketika merasa rindu dengan ibunya, namun hanya bisa mendengarkan suaranya melalui telepon.
Rasa sayang Sari kepada selalu diungkapkan secara terbuka dalam bentuk kata-kata, perhatian, dan pengertian. Ada keinginan untuk melindungi ibu dari hal-hal buruk yang dapat menimpanya. Sari pun mencari ibu ketika ia membutuhkan pertolongan atau sekedar berbagi cerita tentang pengalamannya sehari-hari. Namun demikian, meskipun Sari tergolong dekat dengan ibunya, Sari tidak menunjukkan keterbukaan kepada ibunya. Ia memilih untuk tidak menceritakan persoalan yang bersifat pribadi kepada ibunya agar tidak menjadi masalah.
“No…. Nggak semua bisa diceritain mbak.. Apalagi soal
pacar-pacaran.. Hehh mending diem aja deh daripada ntar diocehin males.. Paling kalo soal kuliah ya terbuka. Ini kan saya juga terhambat banget ya mbak skripsi nggak kelar-kelar. Sampe bayar orang buat ngerjain juga malah kabur orangnya, ketipu 3 juta saya. Kaya gitu-gitu saya nggak bilang sama mama saya.. Ya saya cuma mau mama taunya saya baek-baek aja lah disini…”
Sang ibu memiliki pandangan bahwa kegiatan yang bersifat positif dan baik bagi anaknya ialah kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur kerohanian. Sari menganggap bahwa dirinya sulit sekali mendapatkan ijin dari sang ibu jika ia menemukan hal baru yang menarik untuk dilakukan. Kekhawatiran sang ibu yang berlebihan membuat Sari membatasi ruang gerak untuk eksplorasi. Ia memilih untuk menjadi pasif dan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan di kampus. Banyak larangan yang diberikan oleh sang ibu demi kebaikan Sari, dan Sari merasa tidak keberatan dengan hal itu karena Sari meyakini bahwa aturan tersebut dibuat untuk kebaikan Sari.
“Saya anak baik.. anak manis dan penurut. Ya itu sih yang diketahui sama papa mama saya..”
“Mereka taunya ya saya ikutin, tapi pada kenyataannya saya
banyak mangkir juga (tertawa).. Ya itu tadi.. Saya kan dilarang pacaran, tapi saya bolak-balik pacaran backstreet gitu.. Itu sih
yang menurut saya paling nakal”
“Ya… Misal kegiatan di gereja, ikut retreat, latihan nyanyi atau nari di gereja. Di luar itu sih bakal diinterogasi dulu kegiatannya kayak gimana, sama siapa, waktunya kapan, macem-macem lah..”
2. Safe Haven (Menjadi Tempat Perlindungan)
Salah satu perilaku lekat lainnya yang dapat ditelaah dari relasi Sari dan kedua orang tua ialah perilaku safe haven. Safe haven merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh figur lekat sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak yang mencari kedekatan dengannya. Respons tersebut dalam berbentuk pemberian rasa nyaman, kehangatan, ketenangan, atau jaminan akan keselamatan pada waktu dibutuhkan.
a) Ayah-Sari:
dikenal pekerja keras yang selalu memenuhi kebutuhan rumah tangga dan merupakan satu-satunya pencari nafkah di dalam rumah. Ada masa dalam kehidupan Sari dimana sang ayah masih memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Ayah bukan sosok yang menunda untuk menyenangkan anaknya dan ia tidak ingin melihat anaknya menginginkan sesuatu hingga memohon. Ayah Sari cenderung royal dalam memberikan sesuatu kepada anaknya.
“Ayah saya dari saya kecil tuh nggak bisa ngelihat saya
ngerengek kalo mau sesuatu. Misal kan saya diajak jalan-jalan gitu, terus ada barang yang saya mau beli, kayak baju gitu, pasti ayah langsung belikan. Dulu tapi itu jaman saya masih kaya.. Cuma ayah kadang diem-diem kasih saya jangan sampai mama saya tau. Ayah tuh kalo beliin baju saya nggak sembarangan dulu, brand bagus, mahal-mahal… Jaman dulu saya SD aja dibeliin celana harganya 300.000. Jaman dulu lho
itu, mbak…”
Melalui pernyataan di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan Sari yang dipenuhi oleh sang ayah hanya kebutuhan finansial. Sari tidak mendapatkan kehangatan atau rasa nyaman dari sang ayah karena Sari sangat jarang menerima sentuhan fisik dari ayah seperti dipeluk, digendong, dicium, dan lainnya. Hal ini juga menyebabkan Sari seringkali merasa canggung dengan sang ayah dan merasa jauh dengan ayah. Selain itu, ayah menunjukkan inkonsistensi dalam hal pemenuhan kebutuhan finansial Sari setelah sang ayah menikah lagi. Hal ini kerap menimbulkan kecemasan bagi Sari untuk membiayai hidupnya sendiri. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa sosok ayah bukan tempat Sari mencari perlindungan ketika Sari berada dalam situasi yang sulit dan menekan dirinya.
b) Ibu-Sari:
cenderung hangat dan mudah mengungkapkan rasa sayangnya melalui kata-kata maupun sentuhan fisik seperti pelukan atau ciuman. Bagi Sari, sejak kecil sang ibu merupakan sosok yang dapat diandalkan karena ibu selalu hadir dalam setiap Sari membutuhkan pertolongan. Perhatian sang ibu kepada Sari juga membuat Sari merasa disayang oleh ibunya. Ibunya selalu berusaha memperhatikan Sari mulai dari hal-hal kecil, seperti kegiatan Sari, kebutuhan makan, kebutuhan bercerita.
“Ya… Lengket kalo sama mama sih.. Sampe dibilang tuh.. apa.. anak mamih… Hahaha.. Ya emang anaknya mamih kan, cuek aja
saya sih.. Romantis saya mah kalo sama mama… Ya pelukan, dicium.. Mama jauh lebih hangat lah dari papa..“
Namun, ibu Sari tidak dapat memenuhi kebutuhan Sari dalam hal finansial karena sang ibu tidak bekerja dan hanya mengandalkan uang dari ayah Sari yang cenderung tidak stabil penghasilannya. Terlebih, ketika sang ayah telah sakit kanker, Sari tidak lagi dibiayai oleh ayah maupun ibunya. Hal itu membuat Sari setiap harinya merasa cemas dan sangat sedih hanya kareana ia memikirkan kelanjutan hidupnya. Konsentrasi Sari terhadap perkuliahan juga menjadi terpecah dan Sari kebingungan untuk membayar uang kuliah, uang makan, uang kos atau uang fotocopy dan lainnya.
“Harus.. harus banget.. Mama perhatian banget, selalu nelfon,
tanya udah makan belom, makan apa, kegiatannya apa… Tapi ya cuma bisa tanya aja.. Kalo soal duit mama nggak bisa bantu soalnya.. Mama kan nggak kerja kaya papa, papa juga sekarang sakit udah nggak kerja.. Mama akhirnya kerja pabrikan, sekali dateng Cuma dibayar 20 rebu.. Itu buat pengobatan papa.. Jadi
yah… Yah… Gini deh saya.. Bingung juga besok makan apaan… ”
Perilaku lekat lain yang dimunculkan oleh orang tua sebagai figur lekat sebagai tanda kelekatan yang terjalin ialah dengan tersedia atau tidak tersedianya orang tua sebagai basis aman bagi Sari untuk eksplorasi. Figur lekat yang peka melihat dunia dari sudut pandang anak dan memperlakukan anak dengan pemahaman yang mendalam, pemberian kebutuhan dan kasih sayang. Selain itu, figur lekat juga menunjukkan respons menerima anak secara utuh.
a) Ayah-Sari:
Melalui pengalaman bersama ayah dari kecil hingga dewasa ini, Sari menunjukkan bahwa sosok ayah tidak dapat dijadikan basis aman oleh Sari. Selain karena relasi keduanya tidak dekat, Sari juga merasa tidak aman dengan keberadaan ayah karena Sari telah menanamkan persepsi negatif tentang figur ayah yang erat dengan kekerasan terhadap perempuan. Meskipun kekerasan tersebut tidak ditujukan kepada dirinya, namun hal tersebut tetap membuat Sari merasa tidak aman karena ia dapat menyaksikan ibunya dilukai oleh sang ayah kapanpun.
“Iya saya ini merasa ayah saya ini negatif walau pada akhirnya
dia kembali dan saya sudah berdamai, sudah memaafkan, ayah saya juga sudah baik, tapi ya sedikit banyak apa yang dialami ibu saya sangat berpengaruh dalam em.. cara saya menilai lawan jenis.. dalam saya juga dasar-dasar pertimbangan saya memilih pasangan.. Ya gatau juga ya.. Liat ntar deh sambil jalan aja..”
Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari menjadikan ayah sebagai tolak ukur penetapan standar dalam pemilihan pasangan di kemudian hari. Ada indikasi rasa cemas dan kebingungan yang ditunjukkan Sari tentang kriteria pasangan yang ideal karena Sari tidak dapat melihat figur laki-laki baik dari ayahnya.
Meskipun Sari memiliki kedekatan dengan ibunya, namun Sari juga tidak nampak menjadikan ibu sebagai basis aman bagi dirinya. Ibu dianggap sebagai sosok yang over-protective. Namun sikap tersebut diinterpretasikan oleh Sari sebagai wujud rasa sayang yang berlebihan sehingga sang ibu tidak ingin anaknya mendapatkan kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa sang ibu sebenarnya membatasi ruang eksplorasi Sari, yang dinyatakan oleh Bowlby bahwa hal ini memicu pandangan bahwa dunia tidak aman untuk dieksplorasi. Sikap ibu yang over-protective membuat Sari tertekan, dan merasa tidak dapat menjadi diri sendiri. Sari memiliki keinginan untuk memberontak dan bebas. Hal ini juga membuat Sari menutupi atau menyembunyikan diri yang sebenarnya dan berharap agar dapat secepatnya lepas dari pengawasan ibunya.
“Itu mengajarkan saya untuk tidak terbuka sebenarnya. Tidak bisa menjadi diri sendiri, apa yang kita mau kita nggak bisa ya kan, kita tertekan.. Ada rasa ingin memberontak, ingin bebas,
ingin seperti orang yang lain.. Kaya ‘aduh temen aku enak
banget masa-masa muda, masa-masa remaja itu kan masa yang paling happy.. ya kan bisa menikmati jalan-jalan lah sama temen, nonton sama temen, hangout gimana lah party sama temen.. itu nggak saya alami. Makanya saya sedikit merasa gimana sih caranya secepetnya saya tuh bisa lepas gitu..”
ibunya, namun di sisi lain Sari merasa sangat terkekang dan tidak suka dengan cara ibu memperlakukannya seperti anak kecil. Pola lekat yang insecure ini membuat Sari tumbuh dengan kebingungan. Sari tidak pernah yakin apakah ekspresi kecemasan atau stress yang dirasakannya perlu untuk ditunjukkan. Ada hambatan dari pola perilaku lekat dan perlindungan yang konsisten oleh orang tua sehingga muncul perasaan pada Sari bahwa mengeksplorasi dunia dan lingkungan sekitar bukanlah pilihan yang tepat. Hal ini berdampak pada rendahnya keinginan Sari untuk mengeksplorasi hal-hal baru dan sempitnya cara pandang Sari terhadap sesuatu.
3. Dinamika Pola Kelekatan Sari dengan Orang Tua dan Kebertahanan Sari dalam Lingkaran Kekerasan
Setelah mendapatkan gambaran tentang pola kelekatan Sari dengan orang tua sejak kecil hingga dewasa dan juga melihat alasan di balik kebertahanan Sari dalam lingkaran kekerasan, penulis melihat fenomena ini sebagai satu rangkaian pola sebab-akibat yang berkesinambungan. Bowlby (1983) mengemukakan bahwa pola kelekatan yang terjalin antara anak dan orang tua sebagai figur lekat membentuk internal working models dalam persepsi anak sepanjang hidup terkait respons emosional dan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya. Untuk dapat melihat dialektika antara keduanya, penulis menguraikan terlebih dahulu tentang karakteristik serupa yang dimiliki oleh ayah dan ibu Sari dengan Doni.
AYAH SARI-DONI IBU SARI-DONI
Ayah Sari dan Doni memiliki karakteristik yang serupa, yakni keduanya melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Sang ayah melakukan kekerasan pada ibunya, sedangkan Doni melakukan kekerasan terhadap dirinya. Respons yang ditunjukkan Sari kepada Doni dalam situasi kekerasan yang dialaminya juga
serupa dengan respons ibu menanggapi kekerasan oleh sang ayah, yakni diam, tidak ada perlawanan, dan berharap bahwa suatu hari pasangannya pasti berubah. Melihat sang ibu mengalami kekerasan dari ayahnya juga hanya membuat Sari diam, meskipun Sari merasa sangat sedih dan ada keinginan untuk menggantikan posisi ibunya. Kemiripan lainnya ialah sosok kedua laki-laki ini merupakan sosok yang dapat memenuhi kebutuhan finan-sialnya.
Interpretasi:
1.Ayah memberikan model pencetakan (imprint) yang buruk tentang konsep laki-laki yang baik sehingga Sari tidak mendapatkan pemahaman yang benar tentang pemilihan pasangan. 2. Ada rasa bersalah terhadap figur ibu
karena Sari tidak berdaya menolong ibu ketika mengalami kekerasan. Rasa bersalah ini termanifestasi dalam bentuk penerimaan diri sebagai korban kekerasan.
3.Adanya internalisasi terhadap konsep stereotip gender dalam persepsi Sari yang meletakkan perempuan sebagai pihak yang tidak berdaya untuk keluar dari lingkaran kekerasan.
bahwa hal tersebut dilakukan ibunya demi kebaikan dirinya. Sifat tersebut juga ditunjukkan Doni terhadap Sari. Doni melarang Sari untuk bermain dengan teman-teman kuliahnya, dan tidak boleh satu kelompok dengan teman laki-laki dalam mengerjakan tugas kuliah. Sari juga diminta untuk membatasi pergaulannya. Situasi terpisah yang dimunculkan antara relasi Sari dengan ibu maupun Doni membuat Sari merasakan kesedihan yang mendalam dan terbawa dalam perasaan kehilangan.
Interpretasi:
1.Ibu membentuk konsep ‘aman’
dengan perlunya proteksi atau perlindungan yang berlebihan. Proteksi berlebih yang juga diberikan Doni dapat diterima dengan mudah oleh Sari sebagai wujud dari cinta dan perhatian.
2.Sari tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk eksplorasi. Tidak ada dukungan eksternal dari para figur lekat bagi Sari untuk dapat mengeksplor lingkungan sekitar. 3.Adanya kecemasan dan sikap depresif
dalam merespons situasi terpisah dengan figur lekat sehingga Sari terus mencari cara untuk mendekatkan diri dengan figur lekat.
Tabel 4.4 Karakteristik Figur Lekat Sari
[image:31.516.86.452.81.532.2]dalam relasi pacaran dengan Doni karena melalui relasi tersebut, Sari mendapatkan representasi kehadiran orang tua didekatnya. Dengan kata lain, Sari membentuk proses pembiasaan dengan perlakuan orang tua, khususnya ibu terhadap dirinya dan menjadikannya ‘standar basis aman’ yang harus dimilikinya, meskipun sebenarnya sikap over-protective dan kekangan yang diberikan oleh itu justru berdampak buruk bagi optimalisasi perkembangan kognisi dan afeksi Sari. Sari menjadi cemas jika berhadapan dengan situasi baru karena Sari tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk eksplorasi dan membentuk pemahaman subjektif bahwa dunia adalah tempat yang aman untuk bereksplorasi dan mengembangkan diri. Hal ini menyebabkan Sari sulit untuk mengambil keputusan-keputusan penting untuk kebaikan dirinya sendiri karena ‘rasa aman’ hanya dapat dirasakan Sari ketika berada dalam proteksi dan perlindungan ketat dari ibu dan Doni sebagai figur lekat, bukan melalui proses eksplorasi.
Oleh karena sejak kecil Sari tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi, proses adaptasi dan kemampuan mengelola konflik internal (terkait pikiran dan perasaan) maupun eksternal (relasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar) juga menjadi tumpul. Ketumpulan ini berimplikasi pada kegagalan untuk mengatasi situasi sulit yang menekan dan menyakitkan. Situasi keterpisahan dengan Doni sebagai figur lekat pengganti juga menimbulkan kecemasan yang mendalam pada diri Sari meskipun Sari menyadari bahwa relasinya dengan Doni yang mengandung kekerasan tidak baik untuk diteruskan. Kecemasan terhadap perpisahan ini tidak dapat dikelola dengan baik oleh Sari sehingga lebih mudah bagi Sari untuk merasionalisasikan kecemasan tersebut menjadi bentuk pengorbanannya dalam mencintai Doni. Disimpulkan bahwa pola kelekatan Sari dengan ibu sebagai figur lekat pertama membuat Sari tumbuh menjadi individu yang insecure dan tidak berdaya untuk keluar dari jerat lingkaran kekerasan yang dialaminya dengan Doni.
e) Pembahasan Kasus Sari
Melalui paparan jerat lingkaran kekerasna yang dialami Sari dan pola kelekatan yang terjalin antara Sari dengan kedua orang tua dari masa anak hingga remaja, berikut ialah rincian dinamika pola kelekatan Sari dengan orang tua dan pacar:
KOMPONEN KELEKATAN Proximity
Maintenance
Ada (mengarah kepada ibu)
Pencarian kedekatan beserta upaya menjaga relasi hanya ditunjukkan Sari kepada figur ibu. Tidak ada upaya untuk mendekatkan diri kepada figur ayah karena ayah dianggap sebagai figur yang tidak baik.
Safe Haven Ada (diberikan oleh ibu)
karena Sari merasa tidak aman dengan kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibunya.
Secure Base Tidak ada
Kedua figur lekat tidak dapat dijadikan basis aman untuk Sari mengeksplorasi dunianya. Figur ibu yang over-protective cenderung membatasi ruang gerak Sari. Hal ini berdampak pada kurangnya kemampuan Sari untuk menghadapi situasi sulit dan mengambil keputu-san tertentu.
Pola Kelekatan Ambivalent-insecure
INFORMASI PENDUKUNG Kebutuhan yang tidak
terpenuhi oleh ayah
Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional
Kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh ibu
Kebutuhan finansial
Kebutuhan yang dipenuhi pacar
Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional, kebutuhan finan-sial
Riwayat
Kekerasan dalam Keluarga
Sari tidak mengalami secara langsung, melainkan berlaku sebagai pengamat perilaku kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibunya.
Riwayat kekerasan dalam Pacaran
[image:34.516.88.453.82.589.2]Sari mengalami kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual dari Doni.
Tabel 4.5 Kerangka Pola Lekat dan Kebutuhan Sari
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap Sari yang memilih untuk bertahan dalam relasi pacaran yang mengandung jerat lingkaran kekerasan didalamnya, maka penulis memiliki beberapa temuan terkait dengan kebertahanan Sari yang terjerat dalam lingkaran kekerasan di dalam relasi pacaran:
Temuan 1: Kebertahanan sebagai Korban Kekerasan Merupakan Manifestasi Kecemasan dari Pola Lekat Ambivalent-Insecure dengan Orang Tua
pengadaan basis aman ini berimplikasi pada kurangnya minat untuk keluar dari situasi yang telah dianggap nyaman, meskipun tidak aman. Terbatasnya ruang eksplorasi yang diberikan kepada Sari juga turut berimplikasi pada kurangnya kemampuan untuk mengatasi kecemasan atas situasi perpisahan dengan pacar yang dijadikan sebagai figur lekat. Hal ini dijelaskan oleh Bowlby (1973) bahwa ketika relasi dengan orang yang dicintai terancam perpisahan, emosi yang muncul ialah kecemasan dan juga kemarahan. Sebagai respons atas risiko kehilangan, kecemasan dan kemarahan ini berlangsung bergantian. Ketika pasangan mulai terlihat menjauh, pemanggilan memori atas kejadian-kejadian positif yang membuat individu mencintai dan peduli terhadap pasangan tersebut dapat memulihkan situasi berjarak yang terjadi. Akibat dari insekuritas yang dimunculkan dari pola lekat dengan orang tua, kecemasan terhadap perpisahan ini tidak dapat diregulasi dengan baik oleh Sari sehingga ia memilih untuk bertahan dalam relasi yang merugikan.
Temuan 2: Mitos Keperawanan Berimplikasi pada Konsep Keberhargaan Diri
ibu sehingga membentuk persepsi atau keyakinan-keyakinan yang dipegang teguh oleh Sari. Ketika keyakinan akan pentingnya keperawanan tersebut tidak berjalan sesuai dengan pengalaman yang dijalani, konsep keberhargaan diri turut menurun drastis.
Temuan 3: Adanya Dorongan Pemenuhan Kebutuhan Kontak Fisik dan Emosional sebagai Implikasi dari Ketiadaan Kontak-Kontak Tersebut dengan Figur Lekat Pertama Laki-Laki
Selain itu, ‘kekosongan’ yang dialami Sari akan kebutuhan fisik seperti sentuhan juga turut berkontribusi terhadap kebertahanan keduanya dalam relasi pacaran. Ketiadaan sentuhan dari orang tua – khususnya ayah sebagai figur lekat yang belainan gender – sejak kecil, membuat Sari merasa asing dengan rasa nyaman yang dimunculkan dari sentuhan itu sendiri sehingga ketika sang pacar memberikan kepadanya, rasa nyaman yang tidak pernah dirasakan sebelumnya menjadi sebuah ketergantungan yang sulit untuk dilepaskan. Persepsi yang buruk tentang figur ayah sebagai figur lekat laki-laki pertama dalam kehidupan Sari pun turut membentuk ekspektasi yang tinggi tentang karakteristik laki-laki ideal bagi Sari. Namun demikian, keserupaan karakteristik yang dimunculkan oleh Doni dan ayah Sari yang cenderung melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan nampaknya menjadi cetakan (imprint) yang dipelajari secara tidak sadar dan menjadi proses penerimaan berulang.
Temuan 4: Adanya Proses Habituasi yang Terbentuk dari Relasi dengan Figur Lekat Pertama Perempuan
juga over-protective sejak Sari kecil hingga dewasa sehingga Sari merasa bahwa perilaku over-protective merupakan hal yang lazim dilakukan oleh orang yang mencintai dirinya.
Temuan 5: Adanya Proses Pembelajaran Sosial Melalui Latar Belakang Keluarga ‘Broken Home’
Latar belakang keluarga memiliki peran krusial dalam membentuk pengalaman belajar Sari tentang konsep keluarga. Keluarga yang ‘broken’ dan tindak kekerasan dari ayah kepada ibu yang terus diamatinya perlahan dan dikuatkan oleh tindak kekerasan yang dilakukan pacar terhadap dirinya turut membentuk skema tentang relasi interpersonal dengan lawan jenis. Bandura (1977) menjelaskan tentang observational learning yang dapat terbentuk dari proses modeling
(meniru figur yang dijadikan panutan). Dalam kondisi Sari yang sejak kecil terbiasa melihat tindak kekerasan terjadi terhadap ibunya, dan respons ibu Sari yang diam ketika menerima perlakuan tersebut, membuat Sari belajar bahwa ketika ia mengalami kekerasan serupa dari sang pacar, ia juga meniru respons yang ditampilkan ibu kepada ayahnya. Ibu menjadi model pembelajaran bagi Sari dalam mengatasi situasi serupa. Hal ini yang juga membuat Sari bertahan dalam relasinya dengan Doni.
2. Analisis Deskriptif Subyek Kedua (Dinda) a) Identitas Diri Dinda
Nama : Dinda (bukan nama sebenarnya)
Usia : 25 tahun
Kota Asal : Lampung
Kota Domisili : Solo
Pendidikan Terakhir : Sekolah Menengah Atas (SMA) Pendidikan Berjalan : Strata 1 Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga Jurusan : Psikologi
Status Perkawinan Urutan Kelahiran
: :
Belum Menikah
Anak ke-2 dari 3 bersaudara
b) Hasil Observasi
Observasi juga dilakukan peneliti terhadap Dinda selama proses interview dilangsungkan. Dinda cenderung menjawab setiap pertanyaan yang diajukan peneliti dengan emosi yang stabil dan nada suara yang tenang. Dinda tampak menjadikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai refleksi bagi dirinya, khususnya ketika menanggapi pertanyaan terkait kenangan masa kecil bersama kedua orangtuanya. Hal ini terlihat dari jawaban Dinda yang seketika terpenggal-penggal dan memberi pertanyaan refleksi pada dirinya sendiri. Gejolak emosi Dinda hanya terlihat ketika menjawab pertanyaan seputar perselingkuhan pacarnya. Dinda menunjukkan perubahan respons emosional yang drastis, seperti kening yang dikernyitkan, pipi yang memerah, nada suara yang meninggi dan memekik, tangan yang dikepal serta gestur jari yang menunjuk-nunjuk ketika menyebutkan nama-nama perempuan yang menjadi selingkuhan pacarnya.
c) Latar Belakang Dinda
hingga Dinda berusia kurang lebih 8 tahun. Peran pendampingan orang tua dalam urusan sekolah, ibadah, dan kursus tertentu juga digantikan oleh baby sitter masing-masing anak. Ayah dan ibu Dinda tidak pernah hadir dalam acara-acara sekolah karena kesibukannya mencari uang untuk keluarga.
Kegigihan ayah dan ibu dalam mengumpulkan uang di setiap waktunya membuat Dinda dan keluarga memiliki status ekonomi yang jauh di atas rata-rata. Untuk menggantikan waktu yang hilang dengan anak-anak, ayah dan ibu Dinda selalu mengajak Dinda beserta saudara-saudaranya dan para baby sitter-nya untuk berlibur ke Jakarta di setiap akhir pekan. Selain itu, makan malam juga merupakan waktu yang tepat bagi Dinda dapat berkumpul dengan keluarganya lengkap. Namun demikian, hal tersebut tidak cukup bagi Dinda untuk membuka diri terhadap orangtuanya dan sangat sulit bagi Dinda untuk melakukan kontak fisik dengan orang tua. Dinda lebih dekat dan nyaman menceritakan apapun dengan baby sitter yang mengasuhnya dari kecil. Kedekatan dengan baby sitter ini berlangsung hingga Dinda SMP.
membuat Dinda memutuskan untuk menempuh pendidikan tinggi di salah satu universitas di Salatiga agar ia jauh dari keluarganya. Ia mengambil jurusan Psikologi tahun 2006 dan menamatkan gelar kesarjaannya tahun 2013.
d) Analisis Kasus Dinda
1. Gambaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Dinda-Rendi a) Identifikasi Jenis Kekerasan
Dinda telah menjalani relasi pacaran dengan Rendi selama kurang lebih 5 tahun. Dinda dan Rendi berkenalan di kampus. Mereka belajar di satu fakultas yang sama, namun selisih 2 angkatan. Dinda 2 angkatan lebih awal dibandingkan Rendi. Namun jika dilihat dari usia, Dinda 3 tahun lebih tua daripada Rendi. Pada awalnya, Dinda tidak tertarik kepada Rendi secara fisik. Mereka saling mengenal sebagai teman main sehingga terbiasa menghabiskan waktu luang bersama. Rendi yang juga berasal dari kota yang sama dengannya juga membuatnya merasa cocok untuk berteman dengannya. Kedekatan mereka di awal juga dikarenakan teman-teman Rendi meminta Dinda untuk memantau dan memberikan nasihat tentang perkuliahan Rendi yang seringkali absen hingga melebihi batas.
“Ooo.. ya ada. Emm.. Dia suka selingkuh. Kalo menyakiti hati, itu, dia suka selingkuh. Terus, ada hal yang, ada hal yang waktu pas dia awal ngajak pacaran juga, saya ngomong sama dia, emm
“Bener apa enggak?” Karena ketika kita pacaran dan kita temenan itu akan beda. Ketika, ketika saya sudah, ketika dia jadi pacar saya akan beda ketika saya jadi temennya dia. Kalo saya jadi temennya dia, lu mau ngapain juga gua ga akan peduli, nah tapi kalo udah jadi pacar, saya, saya ngomong pasti akan ada hal-hal, kebutuhan-kebutuhan yang lebih. Dia bilang, yaudah gak papa, gini-gini, bla-bla-blablabla.. Tapi ternyata, emm.. Dia mungkin nyakitin-nya lebih ke, sebenernya nyakitinnya tuh bukan dia yang nyakitin sih, lingkungannya dia sih, yang mulai agak aneh”.
Dinda membangun keyakinan dan membuat rasionalisasi bahwa Rendi menjadi individu yang seperti itu karena teman-teman yang ada di lingkungannya. Bagi Dinda, teman-teman-teman-teman Rendi membawa pengaruh yang buruk bagi perilaku Rendi. Selain itu, Dinda menganggap bahwa dalam setiap perselingkuhan yang terjadi antara Rendi dan perempuan-perempuan yang lain, kesalahan dilimpahkan pada sang selingkuhan yang terus mengajak Rendi bertemu berulang kali. Dinda menganggap bahwa Sinta, mantan Rendi, adalah kunci permasalahan dari perilaku Rendi yang sering bolos kuliah dan berselingkuh dari dirinya. Selama lima tahun berpacaran dengan Rendi, Dinda mengaku bahwa dirinya sudah 4 kali diselingkuhi oleh Rendi. Sepengetahuan Dinda, 2 kali Rendi selingkuh dengan Sinta dan 2 kali lainnya Rendi selingkuh dengan Becca, teman perempuan sekumpulannya.
“Bolaaaak-balikkk. Ada kali empat kali saya diginiin… Yang
ketauan itu juga kan… Diem-diem dia ke Jogja lah nyamper si Sinta, lha itu kan temen-temennya pada bilang sama gue.. Terus, nemu si Becca pagi-pagi dikosannya baru bangun tidur masih pake tanktop-an gitu… Ngapain lagi coba..”
sedang dihadapi. Adanya ketidaksiapan dan ketidakmatangan dari Rendi untuk menjalani sebuah komitmen berpacaran. Selain kekerasan emosional yang dialami oleh Dinda, Rendi juga seringkali menyakiti Dinda dengan kata-kata yang kasar seperti ‘anjing’, ‘babi’, ‘bego’. Namun, Dinda merasa bahwa itu adalah hal yang biasa dilakukan kepada teman-temannya juga. Jadi, Dinda tidak terlalu memasukkannya ke dalam hati.
“Yah.. Apa.. Kapan sih? ‘Bego’ itu sih mah biasa, Teh! Sepergaulannya emang kalo ngomong begitu modelnya. Ke saya juga gitu.. Cuma saya sih biasa aja ya.. Eh tergantung deh.. Kalo
lagi badmood biasa jadi saya ributin”
Rendi cenderung menyakiti Dinda ketika Dinda dianggap mengangkat isu tertentu yang membuat mereka bertengkar. Perilaku selingkuh berulang kali yang dilakukan Rendi bertujuan untuk membuat Dinda jera dan tidak mencari malasah dengannya. Dinda pun cenderung menyalahkan dirinya setiap kali Rendi menyakiti dirinya. Ia berpikir bahwa Rendi melakukan kekerasan tersebut karena ada yang salah dengan perilaku Dinda. Oleh sebab itu, Dinda selalu memaafkan dan memaklumi perilaku Rendi yang menyakiti dirinya.
“Menurutnya kalo pas kita lagi berantem, dia bakal langsung cari cewek laen, biar saya sadar biar saya kapok gitu biasanya… Bilangnya dia, itu pelajaran karena gue cari masalah mulu sama
dia…”
“Hal yang saya pikir adalah.. Mungkin ada kelakuan saya yang salah yang saya gak tau. Walaupun saya gak tau itu apa”.
dalam keadaan mabuk. Oleh karena Dinda pun terkadang juga ikut dalam acara minum bersama dengan teman-teman Rendi, maka Dinda pun mencoba mengerti bahwa efek yang muncul pada masing-masing orang yang berada di bawah pengaruh alkohol berbeda satu dengan lainnya. Karena itu, Dinda selalu memaafkan Rendi dan terus menjalani relasi tersebut.
“Dia alesannya gini pasti… ‘Ya kan gua lagi mabok.. Orang
mabok lo reken.. Mana juga gua sadar, Din! Maklumin aja sih
lo kaya nggak pernah mabok aja..’ Ya gitu.. Selalu gitu excuse -nya dia.. Saya juga mau complainjuga nggak nyampe mulu”
“Waktu pas di awal sih, enggak ya, maksudnya masih yang.. Masih yang biasa aja, dan saya, saya juga tidak merasa saya ketergantungan dia karena emm, sexual intercouse-nya itu. Pas
di awal malah enggak”
“Setelah, emm, setelah tiga tahun pacaran, malah setelah dia selingkuhin gitu malah baru itu..”
“He’eh. Karena.. Sexual intercouse saya sama dia. Jadi pas begitu saya putus sama dia kan saya udah nggak, kan saya udah gak melakukan sexual intercouse lagi, dan disana saya baru tau ternyata, setelah kamu pernah mengalami itu, itu akan menjadi suatu kebutuhan. Dan saya gak mudah untuk ngelakuin itu sama orang. Jadi saya jadi merasa saya butuh dia ya karena itu.”
Sexual intercourse terus dilakukan oleh Dinda dan Rendi meskipun Dinda mengetahui bahwa Rendi juga melakukan hal serupa dengan beberapa perempuan lain. Namun, Dinda lebih tidak menghiraukan itu selama Rendi juga memenuhi kebutuhan biologisnya tersebut. Dinda merasa bahwa ia perlu ‘melayani’ kebutuhan biologis Rendi lebih dari sebelumnya agar Rendi tidak ‘bermain’ lagi dengan perempuan lain. Namun, hal itu tidak membuat Rendi berhenti mengkhianati Dinda. Kini, Dinda sedang hamil 7 bulan dan Rendi tidak dapat diketahui keberadaannya. Pernah ada niat baik untuk menikahi Dinda di awal kehamilan sekitar usia kandungan Dinda 3 bulan, namun sang pacar berubah pikiran. Sang pacar sempat memintanya untuk menggugurkan kandungan, namun Dinda menolak. Sang pacar memberikan syarat untuk menikah ialah Dinda harus pindah agama, Dinda pun menolak dan memilih untuk menjadi single mother. Melalui klasifikasi yang dikemukakan oleh Murray (2007) terkait jenis kekerasan, dapat diidentifikasi jenis kekerasan yang dialami Dinda ialah sebagai berikut:
Kekerasan Verbal Name Calling (‘bego’, ‘anjing’, ‘babi’)
Blaming (melimpahkan kesalahan, menuduh) Making threats (mengancam akan ‘balikan’ dengan mantan)
Breaking items (melempar hand phone, memukul atau membanting pintu, melempar botol)
Kekerasan Emosional Diselingkuhi berulang kali, dibohongi.
[image:45.516.73.484.176.698.2]Kekerasan Seksual Meninggalkan Dinda dalam keadaan hamil, permintaan untuk menggugurkan kandungan.
Tabel 4.6 Identifikasi Kekerasan Relasi Dinda-Rendi
b) Jerat Lingkaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Dinda-Rendi
Selama lima tahun Dinda berada dalam lingkaran kekerasan yang terus berputar seperti siklus yang rutin, namun Dinda tidak menyadarinya. Menurut Dinda, konflik seperti yang dialami Dinda akan terjadi pada semua pasangan. Meskipun demikian, pertimbangan untuk meneruskan atau mengakhiri hubungan tersebut juga tidak jarang terlintas dalam pikiran Dinda. Dinda berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Rendi setiap kali Rendi berselingkuh dari dirinya. Perselingkuhan berulang sebenarnya bukanlah hal yang dapat ditolerir oleh Dinda, namun rasa cinta Dinda kepada Rendi lebih besar sehingga Dinda memutuskan untuk terus memaafkan Rendi. Sekitar 4 atau 5 kali Dinda memutuskan Rendi karena tidak kuat tersakiti oleh ketidaksetiaan Rendi, namun Rendi terus kembali padanya dengan berbagai alasan. Mengacu pada lingkaran kekerasan Walker (1979), kekerasan yang dialami Dinda dalam relasinya dengan Rendi dapat digambarkan sebagai berikut:
POWER & CONTROL
DENIAL 1. TENSION BUILDING- RENDI
2. BATTERING - RENDI Memaki, merusak barang, pergi dari Dinda, minum alkohol dengan teman,
tidur dengan perempuan lain
3. CONTRITION STAGE - RENDI
Mencari Dinda, meminta maaf, mengajak nongkrong,
Minum alkohol, mencari-cari kesalahan Dinda, tidur dengan perempuan lain
Membawakan makanan atau snack,
membelikan barang, ‘melayani’
kebutuhan biologis Dinda
RESPONS DINDA: Menangis, mengejar Rendi, mencoba mengajak bicara baik-baik
Gambar 4.2 Lingkaran Kekerasan Relasi Dinda-Rendi
Pada kasus Dinda dan Rendi, lingkaran kekerasan terus berlanjut karena keduanya telah merasa nyaman dengan keberadaan satu sama lain. Relasi Dinda dan Rendi bukanlah relasi yang tertutup. Mereka memiliki lingkungan pergaulan yang luas dan seringkali mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan lingkungan. Namun, ada beberapa hal yang membuat kekerasan terus berulang. Pertama, baik Dinda maupun Rendi tidak menyadari bahwa mereka berada dalam jerat lingkaran kekerasan. Dinda meyakini bahwa setiap relasi percintaan memiliki pengorbanannya masing-masing. Rendi pun merasa bahwa yang dilakukan terhadap Dinda merupakan hal yang biasa terjadi dalam setiap relasi berpasangan. Perselingkuhan yang dilakukan Rendi juga dianggap ganjaran atas kesalahan yang dilakukan Dinda. Hal tersebut dilakukan Rendi untuk membuat Dinda jera dan tidak mengulangi kesalahannya lagi. Rendi sangat mengetahui bahwa Dinda sangat pencemburu dan akan jera jika melihat Rendi meninggalkannya bersama perempuan lain. Menurut Rendi, setiap pasangan juga tentu pernah memberi ganjaran kepada pasangannya, dan inilah cara yang diambil Rendi.
Kedua, relasi Dinda dan Rendi bersifat transaksional, dalam artian keduanya saling melengkapi kebutuhan masing-masing. Dinda yang sejak kecil merasakan kesepian dan kekosongan mendalam tentang figur yang dapat memperhatikannya menjadi terisi dengan kehadiran Rendi yang sangat perhatian pada dirinya dan membuatnya begitu nyaman.
Kehadiran Rendi menjadi dasar pemuasan kebutuhan Dinda baik dari sisi emosional dan fisik yang membuat Dinda sangat bergantung dengan sosok Rendi. Di sisi lain, sosok Dinda juga melengkapi sisi kekanak-kanakan yang dimiliki oleh Rendi. Usia Dinda yang 3 tahun lebih tua dari Rendi dan keterpisahan Rendi dari sang ibu (sosok lekatnya) membuat Rendi merasa diasuh oleh Dinda.
c) Kebertahanan Dinda dalam Lingkaran Kekerasan
Kekerasan yang dialami Dinda dalam relasinya dengan Rendi selama 5 tahun lamanya tidak melunturkan keinginan Dinda untuk tetap mempertahankan relasi pacarannya dengan Rendi. Ada beberapa hal yang ditelaah penulis terkait kehendak Dinda untuk tetap bertahan dalam relasi yang menyakitkan baginya, yakni:
1. Adanya rasa mencintai
Dinda merasa ia mencintai Rendi dan hal tersebut mampu membuatnya rela berkorban dan merasakan sakit hati karena diselingkuhi berulang kali. Dinda merasa dirinya telah terbiasa dengan perlakuan Rendi dan Dinda berusaha untuk menerima Rendi apa adanya beserta dengan kelebihan dan kekurangannya. Dinda meyakini bahwa setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan sebagai pasangan, Dinda berusaha untuk menerima kekurangan Rendi. Meskipun merasa tidak terima dan menyesal, namun Dinda tetap memilih untuk bertahan dan kembali dalam hubungan.
“Ya saya sayang banget sama dia, tapi untuk ngarepin da kayanya udah nggak lah.. Nyesel juga saya… Kenapa ini
Melalui pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa Dinda tidak memiliki cukup keteguhan hati untuk mengakhiri hubungannya dengan