• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL KEGIATAN MAGANG DAN PEMBAHASAN

4.4 Analisis Proses Perancangan Lanskap dalam Proyek

4.4.1 Proyek Perancangan Tapak Zona Pemanfaatan TNGH,

Proyek ini memiliki dua lokasi proyek yaitu di Resort PTNW Kawah Ratu dan Loji Salak 1. Akan tetapi, proyek Loji Salak 1 hanya sampai pada tahap inventarisasi karena kurangnya tenaga ahli raptor untuk kawasan dengan melihat satwa kunci di dalam kawasan adalah jenis Elang Jawa. Maka lokasi proyek yang dibahas hanya pada lokasi proyek Resort PTNW Kawah Ratu, Kecamatan Cidahu. Proses perancangan pada lokasi tersebut selama kegiatan magang hanya sampai pada tahap persiapan sampai pada tahap pengembangan desain selama lima hari. Pendekatan perancangan kawasan konservasi melalui ekowisata pada tahap analisis dan desain konseptual yang dilakukan PT IdeA memperhatikan isu-isu strategis berupa peluang yang ada di kawasan sekitarnya dan kebijakan pemerintah mengenai penataan kawasan konservasi dengan tujuan agar tapak dapat dikembangkan secara optimal tanpa merusak lingkungan. Tenaga ahli perusahaan dalam pengerjaan proyek ini yaitu tourism planner yang memilik posisi sebagai project leader, serta arsitek lanskap sebagai main designer. Dalam pengerjaan proyek, tim teknis digantikan posisinya oleh mahasiswa magang. Dalam pengerjaan proyek ini mahasiswa magang melakukan beberapa kegiatan sesuai dengan jadwal dan pembagian kerja yang telah ditetapkan project leader. Tenaga ahli untuk GIS juga direkrut perusahaan sebagai tim proyek. Struktur tim proyek ini juga terdapat staf lapang dari pihak Balai TNGHS sebagai pendamping dan staf dari PJLKKHL sebagai pengawas proyek. Analisis tahapan kegiatan perancangan lanskap pada proyek ini ada sebagai berikut :

1. Tahap Persiapan

Tim kerja dari perusahaan melakukan pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber sebelum proyek dimulai untuk mengetahui gambaran lokasi proyek. Pertemuan pertama antara pemilik perusahaan dan klien terjadi pada tahap ini. Pertemuan tersebut menghasilkan persetujuan syarat administrasi, nilai kontrak proyek, dan output dari pengerjaan proyek, serta penyerahan proyek kepada pihak perusahaan dari pihak klien. Jadwal dan pembagian kerja dalam

proyek yang telah ditetapkan menjadi panduan untuk mengerjakan proyek. Hal tersebut membantu tim untuk tetap fokus dengan pembagian tugas masin-masing dan tujuan proyek.

2. Tahap Inventarisasi dan Analisis

Peta dasar pembagian zona lokasi proyek telah diperoleh perusahaan dari pihak klien untuk mempermudah dan mempersingkat waktu pengerjaan proyek, mengingat deadline proyek yang sangat singkat. Perekaman kembali kondisi eksisting tapak dengan GPS dan kamera dilakukan tim proyek selama dua hari. Penentuan batas tapak, perekaman objek daya tarik wisata, dan penentuan lokasi-lokasi untuk peletakkan fasilitas wisata alam dilakukan pada saat survai lapang. Survai lapang tidak hanya pada zona yang telah terbai dalam peta dasar tetapi zona disekitar tapak juga dilalui untuk melihat potensi yang dapat mendukung kegiatan wisata alam. Setelah dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder maka dilanjutkan identifikasi potensi dan kendala melalui tahap analisis.

Penetapan bagian sebagai blok perkemahan pada zona wisata alam sub zona wisata kemah oleh perusahaan menunjukkan kebutuhan ruang areal tenda harus berada di area relatif datar (kemiringan <8%). Hal ini untuk menghindari adanya genangan air (drainase buruk) yang akan mengganggu aktivitas berkemah. Apabila diasumsikan nilai TOF (Turn Over Factor) untuk areal tenda sama dengan satu kebutuhan ruang per orang adalah 8,9 m² (Samosir dalam Aniaty, 1995), dengan kapasitas tampung 80 orang per hari maka kebutuhan ruangnya adalah 712 m². Dengan demikian dapat dikatakan areal tenda pada blok 2A, 2B, 2C, 2D, 3A, dan 3E dengan kemiringan 0-8% dan masing-masing luas 2128 m², 1601 m², 7566 m², 4382 m², 7285 m², 5571 m² sudah memenuhi standar kelayakan. Nilai TOF adalah nilai yang menunjukkan frekuensi pemakaian area atau fasilitas rekreasi dalam satu hari. Selain itu, Menurut PHPA (1986), kebutuhan air bagi para pekemah adalah 230 l/orang/hari. Dengan debit air ±300 l maka kebutuhan air untuk blok perkemahan dapat terpenuhi dari air sungai yang ada. Pada blok kemah 1A dan 1B tidak akan digunakan lagi sebagai blok kemah karena hanya digunakan bermalam saat pekemah datang ke kawasan pada malam hari. Pekemah yang datang setelah lokasi tutup akan dialihkan untuk bermalam di rumah warga sehingga dapat membantu meningkatkan ekonomi masyarakat lokal.

Penentuan area blok perkemahan tersebut telah memperhatikan kondisi kemiringan lahan dari peta kontur dan potensi, serta kendala yang terlihat pada peta eksisting dan analisis kawasan. Memperhatikan bahwa kondisi tapak yang dikkerjakan sangat rentan terhadap aktivitas manusia maka diperlukan identifikasi potensi dan kendala yang lebih mendetail untuk menghindari hal yang dapat memberikan dampak negatif dalam tapak di masa mendatang. Metode analisis yang digunakan pada proyek ini adalah dengan metode quick analyze, yaitu dengan menganalisis langsung dan cepat di lapang saat tahap inventarisasi kemudian langsung digambarkan di studio. Namun, hasil dari analisis tersebut tidak digambarkan secara detail spasial oleh perusahaan. Analisis yang dihasilkan perusahaan dengan melihat peta kondisi eksisting tapak dan peta topografi untuk melihat kesesuaian lahan yang dibutuhkan.

Produk yang dihasilkan pada tahap ini adalah peta kontur dan peta eksisting dan analisis tapak. Peta eksisting dan analisis tapak menggambarkan kondisi eksisiting tapak dan area atau obyek yang dapat menjadi potensi dan kendala dalam tapak. Peta kontur yang dihasilkan disertakan juga bagian enclave berupa Javana Spa Resort karena kegiatan survai dilakukan sampai pada air terjun yang hanya dapat dicapai melalui enclave tersebut. Peta kontur bertujuan untuk menggambarkan kemiringan sampai pada air terjun-air terjun tersebut untuk melihat potensinyza sebagai sumber air bersih dan sarana interpretasi alam. Kawasan enclave juga terdapat pada peta eksisting dan analisis kawasan untuk menggambarkan potensi air terjun yang terletak pada jalur enclave.

3. Tahap Desain konseptual

Pada penetapan konsep ruang pengembangan fasilitas wisata alam seluas 10% dari total luas tapak yang dikembangkan, yaitu 7.500 m telah disesuaikan dengan Peraturan Dirjen PHKA No. P.3/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penyusunan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Penentuan desain konsep untuk rencana tata ruang memperhatikan pada tiga spesies satwa kunci TNGHS yang terancam keberadaannya. Selain itu, keberadaan obyek daya tarik wisata kawasan dan kondisi kawasan menjadi pertimbangan dalam rencana tata ruang.

Desain konsep yang diajukan oleh project leader telah didiskusikan dan disepakati bersama dengan teamwork dan klien. Produk yang dihasilkan pada tahap ini adalah bubble diagram kawasan dengan zona pelayanan, zona wisata alam, dan zona alami dilengkapi dengan penentuan letak fasilitas wisata alam dalam kawasan. Penataan letak fasilitas telah diposisikan pada bubble diagram. Namun, penggambaran tersebut tidak berupa area hanya berupa simbol dalam titik-titik yang telah ditentukan. Dalam pengerjaan proyek ini tidak dibuat siteplan detail secara keseluruhan. Tidak tersedianya produk site plan dikarenakan deadline proyek yang sangat singkat. Hal ini perlu dievaluasi oleh perusahaan, karena pembuatan site plan secara detail keseluruhan sangat diperlukan untuk membantu klien dalam memahami desain dari tapak yang dibuat perusahaan.

Pengembangan fasilitas dalam kawasan mengusung studi arsitektur lokal yaitu rumah panggung pada fasilitas terbangun seperti chalet, gazebo, dan visitor centre dengan pondasi umpak. Hal ini bertujuan agar bangunan tahan gempa, mendapatkan cahaya matahari yang cukup sehingga dapat melakukan penghematan energi pada siang hari dengan kemiringan atap 20q, tidak mengganggu jalur lalu lintas satwa, serta dapat direcycle ketika bangunan akan dipindahkan atau dihancurkan.

4. Tahap Pengembangan Desain

Pada perancangan fasilitas tiap zona yang telah terbagi seperti chalet, signage, bangku, eco-toilet, visitor centre, gazebo, shelter dan tempat sampah memiliki konsep eco-design dengan elemen arsitektural menyerupai tekstur dan warna kulit batang pohon damar untuk memberi kesan menyatu dengan alam disekitar PTNW Resort Kawah Ratu. Harmonisasi arsitektural dengan alam yang telah didesain pada fasilitas wisata alam di kawasan Resort Kawah Ratu merupakan repetisi yang diciptakan dari elemen batang pohon damar. Pola atap arsitektural chalet, warung, dan visitor centre memiliki repetisi bentuk dengan kemiringan 20q. Hal tersebut sesuai dengan ”the law of the similar” menurut Simonds (1983). Pola kemiringan atap pada fasilitas telah disesuaikan dengan kondisi iklim dan arah cahaya matahari sehingga sirkulasi udara dan cahaya yang diterima di dalam sarana dapat diperoleh secara optimal. Hal tersebut bertujuan dalam penghematan energi pada siang hari. Prinsip yang telah diterapkan pada

fasilitas dalam kawasan telah sesuai dengan etika eco-design menurut Walker (2008), yaitu 1) menggunakan material lingkungan setempat dan ramah lingkugnan; 2) terletak pada daerah alami dan mendukung kegiatan konservasi kawasan melalui kegiatan wisata alam yang disediakan; 3) meminimalisasi penggunaan energi dan pembuangan limbah. Penyediaan fasilitas wisata alam didiskusikan langsung bersama dengan pihak balai TNGHS dan PJLKKHL mengenai jenis sarana yang dibutuhkan pengunjung.

Pada fasilitas seperti eco-toilet terjadi ketidaksesuaian dengan penyediaan toilet melalui model arsitektur dengan standar penyediaan toilet di Indonesia, yaitu dari penyediaan fasilitas sirkulasi udara melalui open half door. Hal ini kurang sesuai dengan budaya warga setempat karena secara psikologis dapat memberikan rasa ketidaknyamanan dan rasa takut ketika menggunakan toilet dengan akses yang terlalu terbuka. Perusahaan perlu mereview kembali model fasilitas yang akan dikembangkan dalam kawasan sehingga dapat membuat design guidelines untuk diberikan kepada klien yang sesuai standar dengan memperhatikan kebutuhan pengguna dan tapak.

Proses perancangan dilakukan langsung bersama dengan tim ahli Balai TNGHS sehingga revisi dan masukan dari klien dapat langsung diaplikasikan dalam produk. Hal ini telah meningkatkan efektifitas kerja dan efisiensi waktu mengingat deadline proyek yang cukup singkat. Selain itu, untuk menambah efektifitas kerja dilakukan hand drawing berupa sketsa kasar untuk pembagian ruang dalam tahap desain konseptual. Produk yang dihasilkan diperhalus dengan menggunakan sistem komputerisasi berupa Auto CAD, Garmin, Land Development, Sketch Up, dan Adobe Photoshop sehingga dapat dihasilkan gambar yang berkualitas.

5. Tahap Presentasi Produk

Proyek ini diikuti mahasiswa sampai pada presentasi produk kepada klien dengan bantuan Microsoft Power Point. Produk yang dipresentasikan merupakan peta inventarisasi dan analisis, dan conceptual landscape plan berupa desain konsep pengembangan tapak dan bubble diagram, dan ilustrasi suasana dan fasilitas tapak beserta dengan perkiraan kasar harga per fasilitas yang akan

dikembangkan. Hasil rapat non formal bersama Balai TNGHS dan PJLKKHL selama proyek berlangsung dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tahap pembuatan gambar-gambar konstruksi tidak diikuti oleh mahasiswa karena terbatasnya waktu magang yang dimiliki. Tahap pelaksanaan tidak dilakukan oleh perusahaan karena tahap ini akan dilakukan oleh PPA yang nantinya akan mengembangkan tapak tersebut sesuai dengan standar yang telah diberikan. Namun, perusahaan akan siap membantu PJLKKHL dalam pengawasan pelaksanaannya. Sementara, tahap evaluasi dilakukan oleh perusahaan secara intern dalam proses perancangan lanskap yang telah dilakukan dalam proyek.

4.4.2 Proyek Perancangan Tapak Hutan Diklat Jampang Tengah dan