• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Psychological Well Being

1. Definisi Psychological Well-Being

Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya banyak yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana perubahan sosial pada level makro (perubahan level pendidikan, pola pekerjaan, urbanisasi atau masalah politik) mempengaruhi situasi kehidupan dari seseorang, yang mengarah pada psychological well-being. Bradburn kemudian merujuk pada pernyataan Aristotles bahwa pencapaian tertinggi semua umat manusia adalah kebahagiaan atau disebut sebagai eudaimonia. Pandangan Aristotle mengenai eudaimonia kemudian diterjemahkan sebagai realisasi dari potensi sebenarnya umat manusia daripada hanya kebahagiaan saja. Kemudian, psychological well-being dan kebahagiaan merupakan indikator dari positive psychological functioning. Penelitian-penelitian Bradburn tidaklah berfokus pada mendefinisikan struktur dasar dari psychological well-being, melainkan lebih menjadi standar untuk mendefinisikan positive functioning.

Psychological well-being berfokus pada formulasi dari perkembangan manusia dan eksistensinya dalam menjalani tantangan hidup (Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002). Dalam mendefinisikan psychological well-being dan dimensi-dimensinya, Ryff (1989)

mempertimbangkan konsep-konsep seperti self-actualization dari Maslow, individuation dari Jung, dan maturity dari Allport yang merupakan bagian dari positive psychological functioning; serta teori perkembangan kehidupan manusia. Menurut Ryff dan Keyes (1995), individu dengan psychological well-being telah terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental yang negatif (seperti cemas atau depresi) dan juga menyadari potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Mereka memberikan gambaran bahwa psychological well-being memerlukan seseorang untuk menggali perasaan apakah hidup mereka memiliki tujuan, apakah mereka menyadari potensi yang ada dalam diri mereka, bagaimana kualitas hubungan mereka dengan orang lain, dan apakah mereka merasa bertanggung jawab akan kehidupan mereka sendiri.

Berdasarkan dari pandangan-pandangan diatas, tidak ada definisi yang pasti mengenai psychological well-being, maka peneliti menyimpulkan bahwa psychological well-being adalah suatu keadaan dimana individu memiliki tujuan hidup, menyadari potensi yang ada dalam dirinya, memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain, serta bertanggung jawab dan menguasai kehidupannya sendiri sehingga seorang individu bisa berfungsi secara positif dalam menjalani tantangan hidupnya.

2. Dimensi Psychological Well-Being

Setiap dimensi dalam psychological well-being memiliki tantangan yang berbeda yang harus dihadapi oleh seseorang dalam usahanya untuk

berfungsi secara positif. Menurut Ryff (1989) dan Ryff & Keyes (1995), ada 6 dimensi dari psychological well-being, yaitu:

a. Penerimaan Diri

Penerimaan Diri merupakan evaluasi positif seseorang akan dirinya dan masa lalunya. Seseorang akan berusaha untuk merasa dirinya baik meskipun dia menyadari dirinya memiliki keterbatasan tersendiri. Penting bagi seseorang untuk menerima dirinya sendiri dan kehidupan masa lalunya. Dengan demikian, memegang sikap positif terhadap diri sendiri muncul sebagai karakteristik utama dari positive psychological functioning atau fungsi psikologis yang positif.

Seseorang yang memiliki penerimaan diri yang tinggi akan memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri, mengetahui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya terlepas apakah itu baik atau buruk, dan merasa positif akan kehidupan masa lalunya.

b. Hubungan Positif dengan Orang Lain

Hubungan positif dengan orang lain dapat dimaksud memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain. Seseorang akan mengembangkan dan mempertahankan hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama dari kesehatan mental. Orang dengan aktualisasi diri digambarkan memiliki perasaan empati dan kasih sayang yang kuat untuk seluruh umat manusia dikarenakan telah memiliki perasaan cinta yang lebih baik, menjalin persahabatan

yang lebih dalam, dan lebih mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Hubungan yang hangat dengan orang lain diajukan sebagai kriteria dari maturity. Teori tahap perkembangan orang dewasa juga menekankan pentingnya tercapai hubungan yang dekat dengan orang lain (intimacy) dan bimbingan dan arahan dari orang lain (generativity). Dengan demikian, pentingnya hubungan positif dengan orang lain berulang kali ditekankan dalam konsep psychological well-being.

Seseorang yang tinggi pada dimensi ini akan memiliki hubungan yang hangat, puas dan kepercayaan dengan orang lain; berfokus pada kesejahteraan orang lain; memiliki empati, afeksi dan intimacy yang kuat; serta mengerti hubungan timbal baik antar umat manusia.

c. Otonomi

Otonomi adalah kemampuan untuk menentukan nasib sendiri ( self-determination), tidak tergantung pada orang lain (independence), dan mengatur perilaku dari dalam diri sendiri. Orang yang berfungsi sepenuhnya (fully functioning person) juga digambarkan memiliki internal locus of control. Artinya, dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, seseorang tidak tergantung kepada orang lain, tetapi mengevaluasi menggunakan standar pribadi. Individuasi (individuation) adalah keadaan dimana seseorang tidak lagi tergantung pada ketakutan, keyakinan kolektif, dan hukum dari masyarakat. Proses perubahan kata hati sepanjang masa kehidupan juga

memberikan rasa kebebasan dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari.

Seseorang yang tinggi pada dimensi ini independen dan menentukan nasibnya sendiri, mampu menghadapi tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan caranya sendiri, aturan berperilaku dari dirinya sendiri, serta mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadinya.

d. Penguasaan Lingkungan

Penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu untuk memanajemen secara efektif akan kehidupannya dan dunia disekitarnya. Seorang individu harus bisa mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan di lingkungan. Seseorang akan menciptakan lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan personalnya. Partisipasi dalam lingkungan yang signifikan dari aktivitas di luar diri akan mengarah pada kematangan seseorang. Sebagai individu yang terus berkembang, seseorang harus memiliki kemampuan untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan yang kompleks. Teori ini menekankan kemampuan seseorang untuk menghadapi dunia dan mengubahnya secara kreatif melalui aktivitas-aktivitas fisik atau mental. Partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan resep penting untuk membangun suatu kerangka terpadu dari positive psychological functioning atau fungsi psikologis yang positif.

Seseorang yang tinggi pada dimensi ini memiliki rasa penguasaan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan, mengontrol aktivitas

eksternal, memanfaatkan kesempatan yang ada disekitar, mampu untuk memilih atau menciptakan lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan nilai personalnya.

e. Tujuan dalam Hidup

Tujuan dalam hidup adalah kepercayaan yang memberikan seseorang perasaan adanya tujuan dan makna dalam hidup. Seseorang akan menemukan makna dari usaha dan tantangan yang dihadapinya dalam hidup. Sepanjang perkembangan hidupnya, seorang individu akan memiliki tujuan hidup yang bervariasi, seperti menjadi produktif dan kreatif atau mencapai integrasi emosi. Dengan demikian, seseorang yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, intensi, dan rasa keterarahan yang berkontribusi pada perasaan bahwa hidupnya bermakna.

Seseorang yang tinggi pada dimensi ini memiki tujuan hidup dan rasa keterarahan, merasa kehidupan masa lalu dan masa sekarang bermakna, memegang kepercayaan bahwa hidup selalu bermakna, serta memiliki tujuan dan objektif untuk hidup.

f. Pertumbuhan Pribadi

Pertumbuhan pribadi adalah adanya rasa pertumbuhan yang terus menerus dan berkembang sebagai seorang manusia. Fungsi psikologi yang optimal tidak hanya memerlukan seseorang mencapai karakteristik yang sebelumnya, tetapi juga seseorang terus berkembang untuk mengembangkan potensinya, bertumbuh dan

expand sebagai manusia. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan menyadari potensi diri merupakan inti dari pertumbuhan pribadi. Terbuka akan pengalaman baru merupakan karakteristik dari orang yang berfungsi sepenuhnya (fully functioning person), sebagaimana individu terus berkembang, daripada hanya mencapai suatu keadaan tertentu dimana semua masalah terselesaikan. Seseorang akan terus berkembang dan menghadapi tantangan-tantangan atau tugas-tugas baru pada periode kehidupannya yang berbeda-beda.

Orang yang tinggi pada dimensi ini memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri berkembang dan meluas, terbuka akan pengalaman baru, menyadari potensi dirinya, melihat kesempatan untuk mengembangkan diri dan perilaku setiap saat, dan berubah untuk menjadi lebih efektif dan mengenal dirinya.

3. Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being

Ada banyak hal yang bisa mempengaruhi psychological well-being seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being disini adalah berdasarkan beberapa penelitian dari Ryff dan koleganya.

a. Usia

Penelitian Ryff dan Keyes (1995) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dimensi-dimensi psychological well-being pada usia yang berbeda-beda. Dimensi penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Sebaliknya, dimensi tujuan

dalam hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Pada dimensi penerimaan diri, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dari dewasa awal hingga dewasa akhir.

b. Jenis Kelamin

Penelitian Ryff dan Keyes (1995) menunjukkan bahwa wanita memiliki skor yang lebih tinggi daripada pria dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi.

c. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi seseorang berpengaruh terhadap dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer, 1996) menunjukkan bahwa orang dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung memiliki psychological well-being yang lebih tinggi juga. Pendidikan yang lebih dan pekerjaan yang lebih baik meningkatkan psychological well-being, khususnya pada dimensi penerimaan diri dan tujuan dalam hidup.

d. Budaya

Penelitian Ryff dan Singer (1996) di negara Amerika dan Korea Selatan menunjukkan adanya perbedaan psychological well-being dalam hal budaya. Korea Selatan yang cenderung memiliki budaya kolektif lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan rendah

dalam dimensi penerimaan diri dibandingkan dengan Amerika yang cenderung memiliki budaya individualis.

Dokumen terkait