• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psychological Well-Being pada Gay yang Partial Disclosure

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Psychological Well-Being pada Gay yang Partial Disclosure"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Digunakan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

VIVIAN FELICIA

101301043

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Psychological Well-Being Pada Gay Yang Partial Disclosure

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 28 April 2014

(3)

ABSTRAK

Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensinya dalam menjalani tantangan hidup. Psychological well-being yang tinggi membuat seseorang bisa menjalani hidupnya secara positif meskipun menghadapi berbagai tantangan (Keyes, Ryff & Shmotkin, 2002). Individu gay yang memiliki posisi minoritas di masyarakat masih sering mendapatkan stigma dan diskriminasi. Seringkali, mereka memilih untuk tidak mengungkapkan jati diri mereka yang sebenarnya untuk menghindari diskriminasi dan anggapan negatif dari orang lain. Hal ini kemudian mengarahkan mereka pada partial disclosure atau mengungkapkan diri sebagai gay pada sebagian orang saja. Memegang identitas sebagai gay dan partial disclosure merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh mereka karena memunculkan kecemasan dan ketidakpastian (Carroll, 2005; Strong et al., 2005). Oleh karena itu, psychological well-being penting dimiliki oleh individu gay yang partial disclosure untuk bisa menjalani tantangan hidupnya secara positif.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam yang dilakukan pada dua orang responden dengan karakteristik yang telah ditentukan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kedua responden menunjukkan psychological well-being yang tinggi, dimana tergambarkan dalam dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi cukup baik. Diawal proses perkembangan psychological well-being, penggunaan mekanisme pertahanan diri membantu kedua responden untuk bisa menerima dirinya. Selain itu, memiliki kelompok pertemanan gay juga memberikan dukungan sosial sehingga berkontribusi dalam penerimaan diri, pertumbuhan pribadi serta hubungan positif yang terjalin dengan orang lain.

(4)

ABSTRACT

Psychological well-being focuses on human development and its existence in living a life challenge. A high psychological well-being could make people living their life positively although facing many challenges (Keyes, Ryff & Shmotkin, 2002). Gays, which are a minority in society, are often subject to stigma and discrimination. Frequently, they choose not to reveal their true identities to avoid discrimination and negative assumption from others. This then directs them to the partial disclosure or reveals themselves as gay to some people only. Holding the identities as gay and partial disclosure is a new challenge which must be faced because it raises anxiety and uncertainty (Carroll, 2005; Strong et al., 2005). Thus, psychological well-being is important to be possessed by partial disclosure gays for living their life challenge positively.

This research aims for discovering the pattern of psychological well-being on partial disclosure gay. The research uses qualitative method by interviewing deeply two respondents with determined characteristics. The result shows these two respondents possess a high psychological well-being, shown by self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth dimensions. Started from the development of psychological well-being process, the uses of defense mechanism helps these two respondents to accept their identity. Apart from that, having the same gays friendship also gives social support that contributed in self-acceptance, personal growth and positive relations with others.

(5)

Gay Yang Partial Disclosure”. Adapun salah satu tujuan pembuatan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi USU, Ibu Prof. Dr. Dra. Irmawati, M.Psi, psikolog.

2. Kak Juliana I. Saragih, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing atas bimbingannya selama proses penulisan skripsi ini. Penulis meminta maaf apabila selama ini sering menularkan kecemasan kepada kakak.

3. Kedua responden penelitian yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam proses wawancara yang diperlukan untuk penyelesaian skripsi ini. 4. Pihak LSM Sempurna Community dan CMR PKBI-SU yang telah

membantu penulis dalam mengumpulkan data-data untuk menyempurnakan penelitian ini.

5. Kedua orang tua, kakak, dan saudara sepupu penulis yang telah memberikan dukungan dan masukan selama pengerjaan skripsi ini.

(6)

Nico, Addryanus) dan teman-teman UKM KMB USU atas pengalaman berorganisasi khususnya di tahun 2013 dan membuat penulis banyak belajar selama menjadi mahasiswa.

8. Teman-teman terbaik peneliti, Vera Mai, Meryana, Winnie, Rosida, dan Melyana, yang telah bersama-sama berjuang menyelesaikan skripsi meskipun berbeda universitas dan fakultas.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, masukan dan saran yang membangun dari semua pihak sangat berarti untuk menyempurnakan skripsi ini. Seluruh skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.

Medan, 28 April 2014

(7)

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

1. Manfaat Teoritis ... 13

2. Manfaat Praktis ... 13

E. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 15

A. Psychological Well Being ... 15

1. Definisi Psychological Well-Being... 15

2. Dimensi Psychological Well-Being... 16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being ... 21

B. Gay ... 23

1. Pengertian Gay ... 23

(8)

D. Paradigma Penelitian………. 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan Kualitatif ... 32

B. Responden Penelitian ... 33

1. Karakteristik Responden ... 33

2. Jumlah Responden ... 33

3. Prosedur Pengambilan Responden ... 34

4. Lokasi Penelitian ... 35

C. Metode Pengambilan Data ... 36

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 36

E. Kredibilitas Penelitian ... 37

F. Prosedur Penelitian ... 39

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 39

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 40

3. Tahap Pencatatan Data ……….. 42

4. Prosedur Analisa Data ………... 43

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 46

A. Analisa Data ... 46

1. Responden 1 ... 46

(9)

a. Deskripsi Umum ... 90

b. Data Observasi ... 91

c. Data Wawancara ... 95

B. Pembahasan ... 151

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 163

A. Kesimpulan ... 163

B. Saran ... 165

DAFTAR PUSTAKA ... 166

(10)

Tabel 4.1 ... 46

Tabel 4.2 ... 47

Tabel 4.3 ... 90

Tabel 4.4 ... 90

(11)
(12)
(13)

ABSTRAK

Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensinya dalam menjalani tantangan hidup. Psychological well-being yang tinggi membuat seseorang bisa menjalani hidupnya secara positif meskipun menghadapi berbagai tantangan (Keyes, Ryff & Shmotkin, 2002). Individu gay yang memiliki posisi minoritas di masyarakat masih sering mendapatkan stigma dan diskriminasi. Seringkali, mereka memilih untuk tidak mengungkapkan jati diri mereka yang sebenarnya untuk menghindari diskriminasi dan anggapan negatif dari orang lain. Hal ini kemudian mengarahkan mereka pada partial disclosure atau mengungkapkan diri sebagai gay pada sebagian orang saja. Memegang identitas sebagai gay dan partial disclosure merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh mereka karena memunculkan kecemasan dan ketidakpastian (Carroll, 2005; Strong et al., 2005). Oleh karena itu, psychological well-being penting dimiliki oleh individu gay yang partial disclosure untuk bisa menjalani tantangan hidupnya secara positif.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam yang dilakukan pada dua orang responden dengan karakteristik yang telah ditentukan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kedua responden menunjukkan psychological well-being yang tinggi, dimana tergambarkan dalam dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi cukup baik. Diawal proses perkembangan psychological well-being, penggunaan mekanisme pertahanan diri membantu kedua responden untuk bisa menerima dirinya. Selain itu, memiliki kelompok pertemanan gay juga memberikan dukungan sosial sehingga berkontribusi dalam penerimaan diri, pertumbuhan pribadi serta hubungan positif yang terjalin dengan orang lain.

(14)

ABSTRACT

Psychological well-being focuses on human development and its existence in living a life challenge. A high psychological well-being could make people living their life positively although facing many challenges (Keyes, Ryff & Shmotkin, 2002). Gays, which are a minority in society, are often subject to stigma and discrimination. Frequently, they choose not to reveal their true identities to avoid discrimination and negative assumption from others. This then directs them to the partial disclosure or reveals themselves as gay to some people only. Holding the identities as gay and partial disclosure is a new challenge which must be faced because it raises anxiety and uncertainty (Carroll, 2005; Strong et al., 2005). Thus, psychological well-being is important to be possessed by partial disclosure gays for living their life challenge positively.

This research aims for discovering the pattern of psychological well-being on partial disclosure gay. The research uses qualitative method by interviewing deeply two respondents with determined characteristics. The result shows these two respondents possess a high psychological well-being, shown by self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth dimensions. Started from the development of psychological well-being process, the uses of defense mechanism helps these two respondents to accept their identity. Apart from that, having the same gays friendship also gives social support that contributed in self-acceptance, personal growth and positive relations with others.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik sama dan tidak menyukai orang yang memiliki karakteristik berbeda dengan mereka (Baron, Byrne dan Nyla, 2006). Ketika seseorang merupakan bagian dari kelompok yang dominan dalam masyarakat, biasanya tindakan mereka akan dianggap normal dan apa adanya sehingga lebih dihargai. Sebaliknya, pada orang-orang dari kelompok minoritas, mereka akan dinilai secara negatif dan segala tindakan mereka akan cenderung dianggap tidak baik. Orang-orang kelompok minoritas biasanya akan dianggap aneh dan berbeda dari orang-orang dari kelompok mayoritas, sehingga sering mendapatkan stereotipe negatif, prejudice, hingga diskriminasi. Hal ini sering menyebabkan munculnya perasaan negatif pada mereka, seperti timbulnya kecemasan, kesepian, hingga kemarahan (Whitley Jr. & Kite, 2010; Veenhoven, 1997). Sejalan dengan hal ini, penelitian Ed. Diener dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa orang-orang dalam kelompok minoritas akan lebih kurang mengalami kebahagiaan dibandingkan dengan kelompok yang bukan minoritas (Carr, 2004).

(16)

yang stressful bagi mereka. Hal ini kemudian akan mengarahkan munculnya masalah-masalah kesehatan mental pada orang-orang kelompok minoritas yang mendapatkan stigma (Friedman, 1999). Evaluasi yang negatif dari orang lain terhadap kelompok mereka, seperti stereotipe dan prejudice terhadap kelompok minoritas dimasyarakat, dapat mengarahkan pada munculnya masalah-masalah psikologis (Meyer, 2003).

Masyarakat masih sulit untuk menerima adanya kelompok homoseksual. Adanya stereotipe negatif yang dirasakan oleh suatu kelompok akan mempengaruhi pemikiran mereka. Ketika dihadapkan dengan ancaman-ancaman yang didasarkan pada stereotipe negatif masyarakat, suatu kelompok dapat menjadi lebih lemah dan melakukan proteksi diri yang berlebih terhadap dunia luar (Lopez dan kawan-kawan dalam Snyder, 2000). Hal ini juga didukung dengan observasi penulis pada salah komunitas gay di Kota Medan. Komunitas gay cenderung tertutup dan malu ketika ada orang dari luar komunitas yang ikut bergabung dalam kegiatan mereka. Hal ini juga diungkapkan oleh salah seorang aktivis di komunitas tersebut:

“yah.. maklum lah dek.. kalo lsl (lelaki suka lelaki) ini memang agak beda kali ya sama yang lain.. memang mereka agak tertutup gitu lah.. ga suka kalau ada orang luar yang bukan dari kelompok mereka.. biasanya kalau ada orang luar mereka jadi lebih diam..”

(komunikasi personal, 30 Mei 2013)

(17)

orientasi seksual. Ada 3 jenis orientasi seksual, yaitu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Ketertarikan terhadap lawan jenis yang sering disebut sebagai orientasi heteroseksual, merupakan orientasi seksual yang sering ditemui pada umumnya. Sebaliknya, ketertarikan terhadap sesama sesama jenis yaitu orientasi homoseksual lebih sedikit ditemukan dibandingkan dengan orientasi heteroseksual. Istilah gay ditujukan untuk homoseksual laki-laki dan istilah lesbian ditujukan untuk homoseksual perempuan (Carroll, 2005). Penelitian ini akan berfokus pada homoseksual laki-laki yang dikenal dengan istilah gay.

Orientasi seksual yang paling umum dan dianggap normal, yaitu orientasi heteroseksual merupakan orientasi yang paling banyak mendapatkan penerimaan sosial dan diakui secara legal. Sebaliknya, homoseksual tidak mendapatkan penerimaan yang sama. Homoseksual atau ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, masih merupakan hal yang kontroversial untuk dibicarakan hingga berpuluh-puluh tahun yang lalu. Penelitian mengenai homoseksual kebanyakan berfokus pada pembahasan mengenai sakit mental sebelum tahun 1980an (Carroll, 2005).

(18)

orientasi seksual mereka. Selain itu, banyaknya kontroversi dari kelompok professional mengenai pola emosi, perilaku, dan penyebab dari homoseksual membuat American Psychiatric Association (APA) mengeluarkannya dari kategori gangguan psikologis (Davison, Neale dan King, 2004; Nolen-Hoeksema, 2007).

Dengan dikeluarkannya kategori homoseksualitas dari DSM, tetap tidak menghentikan pertentangan dan anggapan-anggapan negatif mengenai homoseksualitas. Meskipun penerimaan homoseksual semakin terbuka, namun homoseksual masih mendapat citra negatif. Dalam analisis Framing citra homoseksual di beberapa media massa online di Indonesia menunjukkan bahwa ada salah satu media massa online cenderung memberitakan homoseksual secara negatif. Framing adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui sudut pandang apa yang digunakan seseorang dalam menulis suatu berita. Sudut pandang tersebut akan menentukan fakta apa yang diambil dan bagian apa yang ditonjolkan dalam berita. Homoseksual diberitakan cenderung melakukan tindakan yang merugikan orang lain dan sebaiknya dijauhi karena bertentangan dengan nilai-nilai agama. Pemberitaan yang negatif ini dapat mengarahkan pada diskriminasi dan semakin negatifnya citra homoseksual di masyarakat (Zuhra, 2013).

(19)

Sayad, 2005). Orang dengan orientasi homoseksual pada awalnya akan menganggap diri mereka sebagai heteroseksual sampai mereka menemukan ada yang berbeda dalam diri mereka (Savin-Williams & Cohen, 1996). Seperti halnya yang diungkapkan oleh Benny (bukan nama sebenarnya):

“Awal-awal si pas smp ya.. cuma lihat-lihat teman cowok.. trus kok kayaknya ada rasa yang bergetar-getar gitu ya.. kayaknya mulai muncul rasa-rasa itu.... mulai ada simpati gitu sama dia... suka gitu lihat dia.. trus akhirnya menyadari.. ih.. kok aku bisa suka sama dia ya.. kok beda aku sama yang lain..”

(komunikasi personal, 7 Mei 2013) Berbeda dengan kelompok heteroseksual yang bisa dengan mudah menunjukkan orientasi seksual mereka, hal yang sama tidak terjadi pada kelompok homoseksual (Whitley Jr. & Kite, 2010). Pada saat menyadari orientasi seksual mereka, ada yang bisa mengungkapkan diri mereka kepada orang lain, sedangkan ada juga yang merasa sulit untuk membicarakan orientasi seksual mereka yang sebenarnya pada orang tua ataupun orang terdekat mereka. Proses menyadari dan menerima identitas dirinya sebagai homoseksual dan memberitahukan kepada orang lain disebut sebagai coming out. Coming out merupakan proses yang sulit dihadapi kelompok gay (Carroll, 2005). Ditinjau dari pendapat Strong dkk. (2005), pilihan untuk coming out dan tidak masing-masing memiliki konsekuensi dan manfaat tertentu bagi mereka.

(20)

malu, bahkan hingga berniat untuk mengakhiri hidupnya. Pada awalnya, orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai homoseksual dilaporkan memiliki kecenderungan untuk bunuh diri daripada mereka yang heteroseksual (Strong dkk., 2005). Hal ini juga diungkapkan oleh seorang homoseksual dalam sebuah forum online komunitas gay:

“Yah, awalnya pernah gak nyaman, bete, mencari pembenaran, terasing, bingung, kesal, gak bisa menerima diri sendiri.. terakhir, usaha bunuh diri...”

Selain itu, banyak gay yang memilih tidak mengungkapkan ketertarikan seksual mereka yang sebenarnya dikarenakan ketakutan mereka akan penolakan dari orang-orang terdekat. Herek menyatakan bahwa menunjukkan identitas mereka sebagai gay dapat membuat orang lain berasumsi perilaku dan gaya hidup mereka yang cenderung dianggap negatif (dalam Whitley Jr. & Kite, 2010). Dalam penelitian Herek (1997) mengenai sikap terhadap pria gay dan lesbian menunjukkan bahwa kebanyakan heteroseksual mengekspresikan sikap negatif terhadap pria gay.

(21)

Khususnya dalam budaya kolektivis seperti di Indonesia, menikah dan memiliki anak merupakan hal yang lebih penting daripada keinginan individual dalam berperilaku seksual (Okun, Fried dan Okun, 1999). Bagaimanapun, manusia memiliki fungsi untuk bereproduksi dan menghasilkan keturunan, sedangkan perilaku homoseksual pada kaum gay tidak akan bisa menjalankan fungsi reproduksi dan menghasilkan keturunan (Strong dkk., 2005).

Coming out pada orang lain sering merupakan proses yang cukup berbahaya bagi mereka, seperti mendapat penolakan dari orang lain, dinilai secara negatif, hingga mendapatkan diskriminasi dan dipersulit dalam dunia kerja. Hal ini sering menjadi alasan yang masuk akal bagi mereka untuk tidak coming out (Drescher, 2007; Taylor & Raeburn, 1995). Akan tetapi, menyembunyikan diri mereka yang sebenarnya juga merupakan pengalaman yang menyakitkan. Beberapa merasa tidak bisa mengungkapkan yang sebenarnya dan membuat mereka menjadi depresi.

“tentu aja aku merasa khawatir, sakit, kelainan, dan apalah.. salah-salah kalau coming out bisa-bisa aku bakalan dipermaluin jadinya..”

(22)

berdampak pada kesulitan mengenali kemampuan dan kekuatannya sendiri (Drescher, 2007). Gay yang memilih untuk tidak terbuka akan merasa ketakutan jika identitasnya tanpa sengaja diketahui orang lain. Mereka juga akan kesulitan untuk membangun hubungan yang baik dengan orang lain dikarenakan ketakutan mereka akan identitasnya sebagai gay akan ketahuan (Corrigan & Matthews, 2003). Sulit membangun hubungan dengan orang lain, harga diri rendah, menarik diri dari lingkungan merupakan indikator dari psychological well-being yang rendah (Ryff, 1989).

(23)

penyesuaian psikologis yang lebih baik (Carroll, 2005). Semua hal tersebut akan bermuara pada meningkatnya psychological well-being (Savin-Williams & Cohens, 1996).

Penelitian Legate, Ryan, dan Weinstein (2012) menyarankan bahwa coming out mungkin merupakan proses dimana individu gay berusaha untuk mengatasi stigma dengan mengungkapkan jati diri atau menutupinya. Penelitian ini menunjukkan bahwa individu yang telah coming out dan didukung oleh lingkungan yang suportif mengalami tingkat depresi yang lebih rendah, self-esteem (harga diri) yang lebih tinggi, serta tingkat kemarahan yang lebih rendah. Berbagai hal tersebut merupakan indikator dari psychological well-being yang tinggi. Sebaliknya, pada lingkungan yang kurang mendukung, tidak coming out akan berhubungan positif dengan psychological well-being.

Psychological well-being melibatkan perkembangan yang dirasakan dalam menjalani tantangan yang muncul dalam hidup (Keyes, Shmotkin & Ryff, 2002). Setiap orang selalu menginginkan kehidupan yang baik dan kesejahteraan (well-being). Setiap orang terlahir dengan kebutuhan mendasar yang mengarahkan diri pada pertumbuhan, perkembangan, dan aktualisasi diri (Schultz & Schultz, 1994). Pengungkapan jati diri sebagai gay memainkan peranan penting dalam perkembangan identitas dan penyesuaian psikologis mereka (Carroll, 2005; Savin-Williams & Cohens, 1996).

(24)

secara positif dan mengembangkan potensi dalam dirinya. Pada gay yang mulai berani terbuka akan identitasnya, secara perlahan mereka akan mengembangkan identitas diri yang positif. Dengan mulai membuka identitas gay kepada orang lain merupakan strategi untuk meningkatkan kesejahteraan diri seorang gay. Mereka mulai merasa positif akan identitas seksualnya dan mengintegrasikannya dalam kehidupan sehari-hari melalui coming out. Dengan mulai coming out, seorang gay akan merasa dirinya authentic serta mampu berfungsi psikologis yang positif (Herek,1996).

Coming out pada orang lain bisa terjadi pada tingkatan yang berbeda-beda. Coming out tidak terjadi dalam waktu yang singkat, dimana seorang gay akan mengungkapkan informasi yang berbeda-beda mengenai identitasnya pada orang yang berbeda-beda pula (Beals dan Peplau, 2006; Carroll, 2005). Partial disclosure atau mengungkapkan identitas dirinya hanya kepada sebagian orang saja sering menjadi pilihan bagi gay. Mereka akan membagi dunia mereka dalam dua kelompok pertemanan, yaitu kelompok yang mengetahui mereka gay dan kelompok yang tidak mengetahui mereka gay (Savin-Williams & Cohen, 1996).

(25)

tidak bisa mendukung, kurangnya disclosure atau pengungkapan identitas mereka pada orang lain berhubungan secara positif dengan well-being. Maka, hal yang sering terjadi adalah kelompok gay akan memilih untuk mengungkapkan diri mereka atau disclosure pada orang yang tertentu saja. Mereka akan memilih untuk mengungkapkan identitas mereka pada orang-orang atau lingkungan yang menurut mereka bisa menerima identitas mereka sebagai gay.

“...Karena kan orang ada dapat perlakuan kurang enak dari masyarakat atau apa karena mereka kurang bisa menempatkan diri gitu.. Maunya bebas-bebas orang itu aja... Mereka lupa kan masyarakat kita belum tentu semua bisa nerima.. itulah.. kalau kita bisa bijak bagus menempatkan diri.. orang pun gak akan...”

(Komunikasi Personal, 21 Januari 2014) Pada gay yang partial disclosure, mereka telah memiliki sebagian teman-teman yang mendukung mereka. Mereka juga telah mampu berfungsi psikologis yang positif sebagaimana mereka mulai membuka identitas sebagai gay kepada orang lain meskipun tidak pada semua orang. Namun, gay dengan partial disclosure masih tidak bisa mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya dihadapan kelompok yang belum mengetahui identitas mereka. Mereka harus berperan berbeda dalam kehidupan ganda. Hal ini akan berdampak pada interaksi sosial dengan orang lain, menciptakan beberapa masalah praktis, dan fungsi psikologis (Herek, 1996; Corrigan & Matthews, 2003).

(26)

diketahui oleh orang lain dari pihak ketiga, bukan dari mereka secara langsung. Mereka masih mengalami ketakutan identitasnya diketahui oleh semua orang. Adanya beberapa kesulitan yang masih dialami oleh gay yang partial disclosure juga dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka yang berdampak pada kesejahteraan dan fungsi psikologis mereka sebagai manusia (Corrigan & Matthews, 2003; Ryff, 1989).

(27)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Adapun dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis berupa informasi dan kajian teoritis dalam bidang psikologi Klinis terkait dengan psychological well-being dan gay yang partial disclosure.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:

a) Bagi kelompok gay, informasi dari penelitian ini dapat memberikan gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure, sehingga menjadi acuan bagi mereka untuk melakukan coming out. b) Bagi keluarga dan orang terdekat kelompok gay, dengan informasi

dari penelitian ini diharapkan mereka dapat mengerti pentingnya proses disclosure terhadap psychological well-being pada gay.

(28)

Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih konstruktif bagi kelompok gay.

E. SISTEMATIKA PENELITIAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjaun teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian.

BAB III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian dari teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

1. Definisi Psychological Well-Being

Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya banyak yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana perubahan sosial pada level makro (perubahan level pendidikan, pola pekerjaan, urbanisasi atau masalah politik) mempengaruhi situasi kehidupan dari seseorang, yang mengarah pada psychological well-being. Bradburn kemudian merujuk pada pernyataan Aristotles bahwa pencapaian tertinggi semua umat manusia adalah kebahagiaan atau disebut sebagai eudaimonia. Pandangan Aristotle mengenai eudaimonia kemudian diterjemahkan sebagai realisasi dari potensi sebenarnya umat manusia daripada hanya kebahagiaan saja. Kemudian, psychological well-being dan kebahagiaan merupakan indikator dari positive psychological functioning. Penelitian-penelitian Bradburn tidaklah berfokus pada mendefinisikan struktur dasar dari psychological well-being, melainkan lebih menjadi standar untuk mendefinisikan positive functioning.

(30)

mempertimbangkan konsep-konsep seperti self-actualization dari Maslow, individuation dari Jung, dan maturity dari Allport yang merupakan bagian dari positive psychological functioning; serta teori perkembangan kehidupan manusia. Menurut Ryff dan Keyes (1995), individu dengan psychological well-being telah terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental yang negatif (seperti cemas atau depresi) dan juga menyadari potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Mereka memberikan gambaran bahwa psychological well-being memerlukan seseorang untuk menggali perasaan apakah hidup mereka memiliki tujuan, apakah mereka menyadari potensi yang ada dalam diri mereka, bagaimana kualitas hubungan mereka dengan orang lain, dan apakah mereka merasa bertanggung jawab akan kehidupan mereka sendiri.

Berdasarkan dari pandangan-pandangan diatas, tidak ada definisi yang pasti mengenai psychological well-being, maka peneliti menyimpulkan bahwa psychological well-being adalah suatu keadaan dimana individu memiliki tujuan hidup, menyadari potensi yang ada dalam dirinya, memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain, serta bertanggung jawab dan menguasai kehidupannya sendiri sehingga seorang individu bisa berfungsi secara positif dalam menjalani tantangan hidupnya.

2. Dimensi Psychological Well-Being

(31)

berfungsi secara positif. Menurut Ryff (1989) dan Ryff & Keyes (1995), ada 6 dimensi dari psychological well-being, yaitu:

a. Penerimaan Diri

Penerimaan Diri merupakan evaluasi positif seseorang akan dirinya dan masa lalunya. Seseorang akan berusaha untuk merasa dirinya baik meskipun dia menyadari dirinya memiliki keterbatasan tersendiri. Penting bagi seseorang untuk menerima dirinya sendiri dan kehidupan masa lalunya. Dengan demikian, memegang sikap positif terhadap diri sendiri muncul sebagai karakteristik utama dari positive psychological functioning atau fungsi psikologis yang positif.

Seseorang yang memiliki penerimaan diri yang tinggi akan memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri, mengetahui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya terlepas apakah itu baik atau buruk, dan merasa positif akan kehidupan masa lalunya.

b. Hubungan Positif dengan Orang Lain

(32)

yang lebih dalam, dan lebih mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Hubungan yang hangat dengan orang lain diajukan sebagai kriteria dari maturity. Teori tahap perkembangan orang dewasa juga menekankan pentingnya tercapai hubungan yang dekat dengan orang lain (intimacy) dan bimbingan dan arahan dari orang lain (generativity). Dengan demikian, pentingnya hubungan positif dengan orang lain berulang kali ditekankan dalam konsep psychological well-being.

Seseorang yang tinggi pada dimensi ini akan memiliki hubungan yang hangat, puas dan kepercayaan dengan orang lain; berfokus pada kesejahteraan orang lain; memiliki empati, afeksi dan intimacy yang kuat; serta mengerti hubungan timbal baik antar umat manusia.

c. Otonomi

(33)

memberikan rasa kebebasan dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari.

Seseorang yang tinggi pada dimensi ini independen dan menentukan nasibnya sendiri, mampu menghadapi tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan caranya sendiri, aturan berperilaku dari dirinya sendiri, serta mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadinya.

d. Penguasaan Lingkungan

Penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu untuk memanajemen secara efektif akan kehidupannya dan dunia disekitarnya. Seorang individu harus bisa mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan di lingkungan. Seseorang akan menciptakan lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan personalnya. Partisipasi dalam lingkungan yang signifikan dari aktivitas di luar diri akan mengarah pada kematangan seseorang. Sebagai individu yang terus berkembang, seseorang harus memiliki kemampuan untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan yang kompleks. Teori ini menekankan kemampuan seseorang untuk menghadapi dunia dan mengubahnya secara kreatif melalui aktivitas-aktivitas fisik atau mental. Partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan resep penting untuk membangun suatu kerangka terpadu dari positive psychological functioning atau fungsi psikologis yang positif.

(34)

eksternal, memanfaatkan kesempatan yang ada disekitar, mampu untuk memilih atau menciptakan lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan nilai personalnya.

e. Tujuan dalam Hidup

Tujuan dalam hidup adalah kepercayaan yang memberikan seseorang perasaan adanya tujuan dan makna dalam hidup. Seseorang akan menemukan makna dari usaha dan tantangan yang dihadapinya dalam hidup. Sepanjang perkembangan hidupnya, seorang individu akan memiliki tujuan hidup yang bervariasi, seperti menjadi produktif dan kreatif atau mencapai integrasi emosi. Dengan demikian, seseorang yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, intensi, dan rasa keterarahan yang berkontribusi pada perasaan bahwa hidupnya bermakna.

Seseorang yang tinggi pada dimensi ini memiki tujuan hidup dan rasa keterarahan, merasa kehidupan masa lalu dan masa sekarang bermakna, memegang kepercayaan bahwa hidup selalu bermakna, serta memiliki tujuan dan objektif untuk hidup.

f. Pertumbuhan Pribadi

(35)

expand sebagai manusia. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan menyadari potensi diri merupakan inti dari pertumbuhan pribadi. Terbuka akan pengalaman baru merupakan karakteristik dari orang yang berfungsi sepenuhnya (fully functioning person), sebagaimana individu terus berkembang, daripada hanya mencapai suatu keadaan tertentu dimana semua masalah terselesaikan. Seseorang akan terus berkembang dan menghadapi tantangan-tantangan atau tugas-tugas baru pada periode kehidupannya yang berbeda-beda.

Orang yang tinggi pada dimensi ini memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri berkembang dan meluas, terbuka akan pengalaman baru, menyadari potensi dirinya, melihat kesempatan untuk mengembangkan diri dan perilaku setiap saat, dan berubah untuk menjadi lebih efektif dan mengenal dirinya.

3. Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being

Ada banyak hal yang bisa mempengaruhi psychological well-being seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being disini adalah berdasarkan beberapa penelitian dari Ryff dan koleganya.

a. Usia

(36)

dalam hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Pada dimensi penerimaan diri, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dari dewasa awal hingga dewasa akhir.

b. Jenis Kelamin

Penelitian Ryff dan Keyes (1995) menunjukkan bahwa wanita memiliki skor yang lebih tinggi daripada pria dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi.

c. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi seseorang berpengaruh terhadap dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer, 1996) menunjukkan bahwa orang dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung memiliki psychological well-being yang lebih tinggi juga. Pendidikan yang lebih dan pekerjaan yang lebih baik meningkatkan psychological well-being, khususnya pada dimensi penerimaan diri dan tujuan dalam hidup.

d. Budaya

(37)

dalam dimensi penerimaan diri dibandingkan dengan Amerika yang cenderung memiliki budaya individualis.

B. GAY

1. Pengertian Gay

Gay merupakan istilah ditujukan untuk laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis. Ketertarikan seksual secara emosional, fisik, seksual dan romantik terhadap suatu jenis kelamin disebut sebagai orientasi seksual (Carroll, 2005). Ada 3 jenis orientasi seksual (dalam Carroll, 2005), yaitu:

a) Heteroseksual adalah ketertarikan seksual secara dominan pada individu yang berlawanan jenis

b) Homoseksual adalah ketertarikan seksual secara dominan pada individu sesama jenis. Homoseksual terbagi menjadi 2 yaitu, gay dan lesbian. Jika istilah gay merujuk pada laki-laki, maka istilah lesbian ditujukan untuk perempuan yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis.

c) Biseksual adalah ketertarikan seksual baik pada laki-laki dan perempuan

Menurut Savin-Williams (2006), ada 3 komponen dari orientasi seksual berupa:

(38)

b) Perilaku seksual, yaitu segala aktivitas timbal balik yang disengaja dengan orang lain yang melibatkan kontak genital dan arousal seksual, dimana perasaan itu benar-benar hidup meskipun tidak terjadi orgasme atau intercourse.

c) Identitas seksual, yaitu individu secara personal, sosial dan historikal melabelkan pada persepsi dan makna mengenai seksualitas mereka.

2. Coming Out pada Gay

Salah satu hal penting bagi remaja adalah mengembangkan dan mengintegrasikan identitas orang dewasanya. Hal ini menjadi sulit bagi homoseksual dikarenakan mereka telah belajar dari kecil mengenai stigma dan identitas yang berbeda pada homoseksual. Kebanyakan orang akan mengembangkan identitas heteroseksual pada remaja atau dewasa awal dikarenakan heteroseksual merupakan orientasi yang diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan sebagai homoseksual membawa kecemasan dan ketidakpastian (Carroll, 2005; Strong dkk., 2005).

(39)

ketertarikan, dan fantasi homoerotisnya pada mereka sendiri (Carroll, 2005; Drescher, 2007).

Coming out merupakan keputusan besar karena dapat membahayakan banyak hubungan, namun memiliki makna penting bagi validasi diri (self-validation) dan pengesahan diri (self-affirmation). Namun, dengan mengakui kepada publik mengenai orientasi seksualnya, seseorang mulai mengabaikan stigma dan kutukan yang diasosiasikan dengan itu (Strong dkk., 2005).

Menurut Savin-Williams & Cohen (1996), coming out dapat berupa coming out pada diri sendiri dan coming out pada orang lain ataupun gabungan dari keduanya:

a) Coming out pada diri sendiri

(40)

normatif. Coming out pada diri sendiri adalah integratif dan memberikan sense of worth atau rasa berharga pada dirinya sendiri (Drescher, 2007).

b) Coming out pada orang lain

Setelah seseorang dapat coming out pada dirinya sendiri, maka dia sudah mulai dapat coming out pada orang lain. Ketakutan akan penolakan seringkali memegang peranan penting dalam menentukan keputusan seseorang untuk coming out (Drescher, 2007). Individu gay akan “out” pada tingkatan yang bervariasi. Beberapa memilih tidak out pada siapapun termasuk dirinya sendiri. Beberapa memilih out hanya pada orang-orang terdekat, seperti pacar dan teman dekat tetapi tidak pada keluarga. Beberapa juga memilih untuk out pada semua orang. Tingkatan ini bervariasi dikarenakan ketakutan akan penolakan, pemecatan, atau reaksi publik dari pekerja dan profesi-profesi lainnya terhadap mereka (Strong dkk., 2005).

3. Partial Disclosure pada Gay

(41)

Ada 4 kategori dari pengungkapan diri menurut Myrick (dalam Savin-Williams & Cohen, 1996), yaitu :

1) Covert-covert, tidak ada satu orang pun yang tahu dan individu berusaha untuk menyembunyikannya.

2) Overt-covert, tidak berusaha untuk menyembunyikannya tetapi tidak ada yang tahu.

3) Covert-overt, hanya sedikit teman yang tahu. 4) Overt-overt, semua orang mengetahuinya.

Cain (1991 dalam Corrigan & Matthews, 2003) menyebutkan ada 6 kebutuhan atau alasan yang membuat seseorang memutuskan untuk mulai terbuka akan orientasinya sebagai gay, yaitu:

1. Penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan rahasia akan identitas seseorang berkaitan erat dengan psychological well-being. Dengan membuka rahasia, maka akan meningkatkan self-esteem seorang gay.

2. Membuka identitas sebagai gay kepada orang tertentu dapat meningkatkan kedekatan dalam sebuah hubungan yang sebelumnya terasa jauh karena ada rahasia yang ditutupi.

(42)

4. Pengungkapan diri sebagai gay untuk mencegah terjadinya hal yang lebih buruk apabila identitasnya tanpa sengaja ketahuan.

5. Beberapa individu memilih untuk membuka orientasi seksualnya secara publik karena mereka percaya dengan semakin banyak orang yang terbuka akan orientasi seksual mereka, maka kelompok yang menolak homoseksual akan mengurangi prejudice mereka.

6. Pengungkapan diri kadang-kadang membantu fungsi spontan. Misalnya, slips of the tongue.

Cain (1991 dalam Corrigan & Matthews, 2003) menyebutkan tidak hanya ada alasan mengapa seseorang memilih untuk terbuka, tetapi juga ada alasan yang menyebabkan orang masih menutup orientasinya, yaitu: 1. Seringkali, individu percaya bahwa pengungkapan identitas sebagai

gay tidak perlu dilakukan atau tidak relevan dengan situasi.

2. Beberapa individu memilih untuk menunda atau segan untuk mengungkapkan identitas mereka kepada orang-orang terdekat. Umur sering menjadi alasan. Misalnya tidak membuka identitas sebagai gay kepada kakek atau nenek.

3. Beberapa individu memilih tetap tertutup karena tidak memiliki sumberdaya emosi yang cukup untuk menghadapi tantangan dari pengungkapan identitas diri.

(43)

C. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA GAY YANG PARTIAL DISCLOSURE

Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensinya dalam menjalani tantangan hidup. Psychological well-being yang tinggi memungkinkan seseorang untuk berfungsi seutuhnya sebagai manusia dalam menghadapi tantangan dalam hidup. Setiap individu akan mengalami berbagai tantangan yang berbeda-beda dalam tahap kehidupannya dan harus mampu menghadapinya untuk bisa berfungsi secara positif(Keyes, Ryff, dan Shmotkin, 2002). Pada kelompok gay, mereka cenderung mengalami emosi yang tidak menyenangkan seperti kecemasan dan depresi. Jika dibandingkan dengan heteroseksual, mereka lebih cenderung mengalami masalah-masalah klinis seperti depresi, kecemasan, hingga ingin bunuh diri yang berdampak pada perkembangan mereka untuk bisa berfungsi secara positif (Strong dkk., 2005; Savin-Williams, 2006).

(44)

Pada gay yang coming out pada orang lain akan mengarahkan pada integrasi identitas, penyesuaian psikologis yang sehat, menurunnya perasaan bersalah dan kesepian, dan identitas gay yang positif (Drescher, 2007; Savin-Williams, 2006; Savin-Williams & Cohen, 1996). Secara perlahan pula, individu gay yang coming out mulai mengabaikan stigma-stigma dan kritikan-kritikan yang ditujukan pada mereka (Strong dkk., 2005). Individu gay yang coming out akan mengalami self-esteem yang lebih tinggi, mengembangkan hubungan dengan orang lain, dan lebih bisa menerima dirinya. Semua hal tersebut merupakan indikator dari psychological well-being yang tinggi(Legate, dkk., 2012).

(45)
(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena sosial dan masalah manusia yang berdasarkan pada metode-metode ilmiah (Moloeng, 2005). Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dan perilaku yang diamati dari orang-orang. Penelitian kualitatif digunakan dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan pemahaman secara mendalam bagaimana gambaran psychological well being pada gay yang partial disclosure.

(47)

sehingga mampu mencapai identitas yang nyaman sebagai seorang gay yang partial disclosure. Psychological well being mereka berbeda-beda berdasarkan bagaimana mereka menilai dan menghadapi permasalahan dalam hidup mereka. Dalam melewati tahapan-tahapan tersebut tentunya berbagai permasalahan psikologis dan pengalaman yang berbeda-beda dirasakan oleh setiap gay. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus digunakan untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang fenomena psychological well-being pada gay yang partial disclosure dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang telah disebutkan Poerwandari.

B. RESPONDEN PENELITIAN

1. Karakteristik Responden

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah :

a) Pria yang mengidentifikasikan dirinya sebagai gay

b) Memiliki teman, keluarga atau kenalan yang mengetahui identitasnya sebagai gay.

2. Jumlah Responden

(48)

dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian, (c) tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks.

Dengan karakteristik demikian, maka jumlah responden dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditetapkan secara tegas pada awal penelitian. Beberapa peneliti menyarankan bahwa jumlah sampel yang banyak tidak akan selalu menjamin tingginya validitas dan keberhasilan penelitian kualitatif (Poerwandari, 2007). Sejalan dengan hal ini dan dengan didukung oleh alasan praktis seperti ketersediaan jumlah responden yang bersedia dan keterbatasan peneliti dalam hal waktu, maka responden dalam penelitian ini sebanyak 2 orang.

3. Prosedur Pengambilan Responden

(49)

4. Lokasi Penelitian

Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di sekitar kota Medan. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara secara langsung dengan responden.

C. METODE PENGAMBILAN DATA

Dalam pengambilan data penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara. Menurut Poerwandari (2007), wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan untuk memperoleh pengetahuan mengenai makna-makna subjektif yang dipahami individu berkaitan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dkk, dalam Poerwandari, 2007). Byrne (2001) menyarankan agar sebelum memilih wawancara sebagai metode pengumpulan data, peneliti harus menentukan apakah pertanyaan penelitian dapat dijawab dengan tepat oleh orang yang dipilih sebagai partisipan.

(50)

pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas serta menjadi daftar checklist apakah pertanyaan yang relevan telah dibahas atau dipertanyakan. Dengan demikian, dalam menggali informasi dalam wawancara, peneliti hanya menjadikan pedoman wawancara sebagai paduan dan menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung.

Selama wawancara berlangsung, Metode observasi digunakan peneliti dalam mengamati responden selama wawancara berlangsung. Data observasi digunakan sebagai pendukung tambahan dalam analisa data.

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Dalam mengumpulkan data, diperlukan alat bantu untuk melakukan analisis data. Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data akan dianalisis berdasarkan kutipan hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif juga sangatlah penting dan cukup rumit. Dengan demikian, diperlukan suatu instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Adapun alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat perekam (tape recorder)

(51)

kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan responden dan mengobservasi isyarat tubuh responden. 2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara digunakan tidak secara kaku sehingga memungkinkan peneliti untuk menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara demi mendapatkan data yang lebih lengkap dan akurat.

3. Alat tulis dan kertas untuk mencatat

Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan jalannya wawancara dan observasi.

E. KREDIBILITAS PENELITIAN

(52)

masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure. Validitas yang akan coba dicapai peneliti dalam penelitian ini bukanlah melalui manipulasi variabel, melainkan melalui orientasinya dan kemampuan dalam memahami dunia empiris (Sarantakos dalam Poerwandari, 2007). Adapun upaya yang dapat dilakukan peneliti dalam menjaga kredibilitas penelitian ini (Patton,1990; Marshall & Rossman, 1995 dalam Poerwandari, 2007 : 220-222) , antara lain dengan:

a. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, responden ataupun hal lain yang terkait.

b. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisanya.

c. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk menjadi masukan dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas. Oleh karena itu, peneliti akan melihat dan mempelajari penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan.

(53)

yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti.

e. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

F. PROSEDUR PENELITIAN

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu sebagai berikut :

a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan psychological well-being pada gay yang partial disclosure.

b. Menyusun pedoman wawancara

Penyusunan pedoman wawancara dimulai terlebih dahulu dengan menyusun landasan teori yang digunakan. Berdasarkan landasan teori tersebut disusunlah sejumlah pertanyaan yang menjadi pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini dibuat agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

c. Membuat informed consent

(54)

dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data seperti tape recorder, alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara yang telah tersusun.

e. Mengurus izin pengambilan data

Pengurusan izin dilakukan dengan meminta Surat Permohonan Izin Penelitian pada Administrasi Fakultas Psikologi USU.

f. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

g. Membangun Rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, melalui ditandatanganinya surat pernyataan kesediaan oleh responden (informed consent), peneliti kemudian bertemu dengan responden untuk membangun rapport. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu dan lokasi bertemu selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

(55)

a. Membuat janji pertemuan untuk melakukan wawancara

Saat akan melakukan wawancara, peneliti menanyai kesediaan waktu dari subjek serta menentukan tempat dimana akan dilakukan wawancara. Adapun waktu dan tempat berdasarkan atas keinginan subjek.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani “Surat Pernyataan Kesediaan Berpartisipasi” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia berpartisipasi, bersedia mengikuti segala peraturan dalam penelitian, serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim.

(56)

gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007). Selain itu, koding juga memudahkan peneliti untuk menelusuri data kembali. d. Melakukan analisa data

Setelah memberikan koding, peneliti kemudian memetakan koding-koding kedalam analisa tematik. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

(57)

4. Prosedur Analisa Data

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa kata-kata. Untuk itu perlu melakukan analisis data. Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu :

a. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

1. Memperoleh data yang baik

2. Mendokumentasikan analisis yang dilakukan

3. Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

b. Koding dan Analisa Tematik

(58)

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

c. Tahapan Interpretasi

(59)

sebagai masyarakat umum dalam mana subyek penelitian berada. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subyek ataupun penalaran umum.

d. Pengujian Terhadap Dugaan

(60)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan analisa data dan interpretasi hasil penelitian mengenai psychological well-being pada gay yang partial disclosure. Bab ini terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama akan diuraikan mengenai rangkuman hasil wawancara dan analisa data masing-masing responden. Bagian kedua akan diuraikan interpretasi data dari hasil pengumpulan data.

Kutipan dalam setiap bagian analisa akan diberikan kode-kode tertentu dikarenakan satu kutipan saja dapat diinterpretasi beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah : R1.W1/b.20-21/h.3, maksud kode ini adalah kutipan dari responden 1, pada wawancara pertama, baris ke 20 sampai 21, dan halaman verbatim nomor 3.

A.ANALISA DATA

1. Responden 1

a. Deskripsi Umum

Tabel 4.1 Jadwal Wawancara dengan Responden 1

No. Hari, Tanggal Waktu Tempat 1 Selasa, 17 Desember 2013 50 menit Foodcourt D’loft 2 Selasa, 21 Januari 2014 60 menit Foodcourt D’loft

(61)

Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden 1

No. Identitas Responden 1 1 Nama Yuda (nama samaran) 2 Usia 30 tahun

3 Agama Islam 4 Status Pendidikan S1

5 Pekerjaan Wiraswasta

6 Suku Jawa

7 Domisili Medan – Rantau Prapat

8 Status coming out Teman Komunitas dan Teman Kerja

b. Data Observasi

(62)

penelitian serta menyerahkan informed consent untuk ditandatangi. Setelah itu, peneliti memulai wawancara dengan Yuda.

Selama wawancara berlangsung, Yuda menjawab pertanyaan peneliti dengan suara yang cukup tenang dan lembut. Sesekali, Yuda tertawa saat menceritakan kisahnya kepada peneliti. Pada saat menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan keluarganya, mata Yuda terpaku pada satu tempat dan mendongkakan kepalanya sedikit ke atas. Beberapa kali ada beberapa orang petugas foodcourt yang lewat didepan meja kami, baik peneliti maupun Yuda memelankan suara kami. Setelah selesai wawancara, peneliti pun izin pamit duluan, sedangkan Yuda masih duduk di foodcourt dan mengatakan masih ada janji dengan teman yang lain.

(63)

tertawa. Setelah selesai wawancara, peneliti pamit duluan dan Yuda masih tetap duduk di meja tersebut dengan alasan menunggu temannya.

Peneliti mewawancarai Yuda ketiga kalinya di rumah kontrakan barunya yang sekaligus menjadi sekretariat salah komunitas tempat Yuda bergabung. Peneliti melakukan wawancara dengan Yuda di ruang tamu yang berukuran sekitar 3x3 meter. Pada dinding ruang tamu tersebut, terlihat spanduk bertuliskan nama komunitas yang diikuti oleh Yuda. Peneliti duduk berhadapan dengan Yuda dengan meja kecil berdiameter sekitar 1 meter ditengah-tengah kami. Pada saat peneliti sampai, Yuda mempersilahkan peneliti masuk kemudian kembali duduk dihadapan laptop yang terbuka di meja tersebut. Yuda pun membiarkan laptopnya terbuka, namun menggeser laptop tersebut ke samping meja. Selama wawancara berlangsung, Yuda tidak menunjukkan banyak ekspresi wajah yang ekspresif. Sesekali, dirinya hanya tertawa kecil dan tersenyum sambil menjawab pertanyaan. Pada saat wawancara hampir memasuki tahap akhir, Yuda terlihat memfokuskan perhatiannya ke layar laptop. Peneliti pun berhenti mengajukan pertanyaan sebentar sampai Yuda tidak melihat ke arah layar laptopnya lagi. Setelah selesai wawancara, peneliti pun pamit dan Yuda mengantar peneliti sampai ke pintu depan rumah.

(64)

seperti wawancara ketiga, peneliti dan Yuda pun duduk di lantai ruang tamunya untuk wawancara. Yuda meletakkan tangannya dimeja dan duduk berhadapan dengan peneliti. Pada saat menceritakan kehidupannya yang lebih panjang, Yuda cenderung memindah-mindahkan tangannya dimeja. Kali ini, Yuda menggunakan volume suara yang lebih keras namun tetap halus. Yuda pun menjawab pertanyaan peneliti sambil mengarahkan matanya ke peneliti dan saat berpikir sesekali matanya terlihat memandang lurus ke depan. Setelah menyelesaikan wawancara, Yuda dan peneliti pun sempat berbincang-bincang sebelum peneliti pulang.

(65)

meletakkannya di ruang tamu. Setelah mati lampu, volume suara Yuda pun sedikit mengecil dikarenakan suasana yang terasa lebih hening karena mati lampu.

c. Data Wawancara

1) Latar Belakang Kehidupan Responden 1 Menjadi Gay

Yuda merupakan anak paling bungsu dalam keluarganya. Dia memiliki 3 orang kakak dan 1 orang abang. Masa kecil Yuda sama seperti dengan anak-anak lainnya. Saat kecil, dia tinggal di kampung bersama dengan kedua orangtuanya. Yuda sering bermain dengan anak-anak sebayanya. Meskipun senang bermain dengan anak-anak sebayanya, Yuda mengaku tidak suka saat diajak bermain sepak bola meskipun permainan sepak bola merupakan permainan yang disukai anak laki-laki seusianya. Menurutnya, bermain sepak bola hanya membuatnya lelah karena harus berlari-lari. Pada saat kecil, Yuda sering berkelahi dengan abang satu-satunya. Yuda pun sering menangis saat diganggu oleh abangnya. Ketika dirinya menangis, biasanya kakaknya yang akan menenangkannya hingga dia berhenti menangis. Hal ini juga membuat Yuda lebih dekat dengan kakaknya daripada abangnya.

(66)

dia menginjak bangku SMP, Yuda tinggal terpisah dengan kedua orangtuanya. Dia pun hanya kos berdua bersama dengan abangnya untuk bersekolah di kota. Menginjak bangku SMA, ketertarikan Yuda terhadap perempuan mulai muncul. Akan tetapi, Yuda tidak berani mendekati perempuan yang dia sukai. Rasa ketertarikannya terhadap perempuan kemudian hanya dia simpan sendiri. Menyelesaikan pendidikan SMA di kota tersebut, Yuda pindah ke kota Medan untuk menempuh pendidikan sarjana. Pada saat dia mulai tinggal di Medan inilah ketertarikannya terhadap laki-laki mulai muncul. Pada masa-masa awal Yuda kuliah, dirinya juga masih menyukai perempuan. Sama seperti masa SMA, rasa sukanya terhadap perempuan tersebut tidak berani dia ungkapkan. Perasaan tersebut pun hanya disimpannya sendiri sampai perlahan-lahan menghilang.

(67)

Perasaan suka terhadap laki-laki kemudian semakin intens dirasakan oleh Yuda hingga akhirnya membuat dia menyakini dirinya adalah gay. Yuda belum berani mengungkapkan dirinya sebagai gay kepada orang lain karena gay mendapat pandangan negatif di masyarakat. Akhirnya, Yuda mencoba mencari teman-teman gay dari internet. Yuda pun memanfaatkan fasilitas chatting yang sedang populer saat itu untuk membangun jaringan hubungan dengan teman-teman gay. Dari fasilitas chatting tersebutlah, Yuda akhirnya bertemu dengan teman-teman gay yang lain dan semakin mengukuhkan identitasnya sebagai gay.

(68)

2) Dimensi Psychological Well-being

a) Penerimaan Diri

Ketertarikan seksual terhadap laki-laki Yuda rasakan pertama kali pada saat masa kuliah. Perasaan sukanya terhadap laki-laki muncul secara tiba-tiba. Awal muncul perasaan suka terhadap laki-laki, Yuda merasa dirinya aneh. Hal ini dikarenakan sepengetahuannya, seorang laki-laki seharusnya menyukai perempuan, bukanlah menyukai laki-laki seperti yang mulai dia rasakan. Yuda berpikir perasaan itu hanya perasaan yang biasa saja dan akan menghilang seiring waktu. Akan tetapi, semakin hari perasaan suka terhadap laki-laki itu semakin bertambah.

“gitu pertama ada rasa itu kan kita bilang aneh, itu kan kita membandingkan pada umumnya orang kan kek gini yang wajar ya.. Ya berarti bukan kami gak wajar.. hehehe.. Biasakan yang umum kalau cowok itu kan dengan cewek tapi kenapa belakangan ada rasa sama cowok..”

(R1.W1/b.165-169/h.6) Perasaan suka terhadap laki-laki seolah-olah hilang dan timbul. Pada saat awal perasaan sukanya terhadap laki-laki mulai muncul, dirinya pun masih menyimpan ketertarikan terhadap perempuan. Akan tetapi, Yuda merasa tidak nyaman berada dekat dengan perempuan yang disukainya. Dia merasa cemas, tidak percaya diri, hingga tidak berani mengeluarkan kata-kata. Dekat dengan laki-laki yang disukainya, Yuda juga merasakan hal yang sama. Yuda menjadi bimbang apakah dirinya benar-benar menyukai laki-laki. Yuda kemudian mempertanyakan perasaan suka yang muncul terhadap laki-laki sekitar 1 tahun.

(69)

Perasaan suka terhadap laki-laki semakin kuat dirasakan dan tidak bisa dibantahnya lagi. Perasaan suka dan tanda-tanda kecemasan yang muncul saat dekat dengan perempuan juga tidak pernah muncul lagi. Perasaan sukanya terhadap perempuan pun akhirnya menghilang. Dari sanalah, Yuda pun semakin mengukuhkan bahwa dirinya menyukai laki-laki.

“ya selama itu memang rasa itu semakin kuat kan.. Gak berkurang malah bertambah.. Dan gak bisa ditolak.. Jadilah gitu..”

(R1.W4/b.372-373/h.12) Meskipun telah mengidentifikasikan dirinya sebagai gay, Yuda tidak langsung bisa menerima dirinya sebagai gay. Adanya penolakan dari masyarakat terhadap gay dan agama yang melarang gay, menjadi hambatan bagi Yuda untuk menerima diri seutuhnya sebagai gay. Yuda kemudian mencoba mengatasi hal itu dengan menciptakan mekanisme pertahanan dirinya. Yuda memilih untuk tidak menceritakan identitasnya kepada orang-orang yang dikenalnya saat itu. Yuda melakukan rasionalisasi dengan berpikir bahwa hal yang terpenting adalah dengan orientasinya sebagai gay, dirinya tidak mengganggu ataupun merugikan kehidupan orang lain. Yuda berusaha tidak memikirkan pandangan orang lain yang negatif mengenai kelompok gay.

“..aku ini kan ga kriminal gitu.. Aku gay aku kan ga merugikan orang, gak ganggu orang, gitu.. .. Itulah salah satu penghibur saat merasa ‘ih beda dengan yang lain’.. pandangannya negatif gitu kan.. Itulah.. Aku kan ga korupsi, aku kan ga merampok, aku kan gak merugikan orang gitu.. ini kan perjalananku sendiri dan aku juga bersenang-senang dengan orang yang merasakan hal yang sama..”

(70)

bisa mengabaikan perasaannya yang menyukai laki-laki meskipun agama melarangnya. Yuda memutuskan melakukan rasionalisasi dengan berpikir bahwa orientasi gay bukan dosa selama dia tidak berzinah. Bagi Yuda, meskipun dia adalah gay, dia tidak melakukan hal-hal lain yang dilarang agamanya, selain orientasinya. Dia beragumen bahwa agama melarang hubungan seksual diantara laki, bukan perasaan sukanya terhadap laki-laki. Baginya, selama dirinya tidak melakukan hubungan seksual yang dilarang, maka dia tidak bersalah. Inilah cara Yuda untuk mengurangi beban dosa terhadap agamanya.

“Kita orientasinya berbeda.. Ee.. Itu menurut abang itu bukan dosa selama kita gak zinah.. Karena kan Islam melarang zinahnya.. Ya ibaratnya gini kalau yang straight kan liat cewek.. Nah, mereka batasannya kan zinah dengan cewek.. nah selama kita gak melakukan zinah dengan cowok, abang rasa itu gak masalah.. artinya itulah.. disitulah kita jadi penjaganya.. jangan kita lewati.. tapi itu pemikiran abang.. mungkin kalau di kaji sebenar-benarnya juga untuk yang apa sih namanya cowok sama cowok itu mereka melarangnya.. pembelaan diri abang aja lah.. lebih tepatnya gitu..”

(R1.W2/b.449-459/h.15) “...selama kita gak ML gak apa, kita jaga diri kita, walaupun orientasi kita dengan sesama abang rasa itu bukan dosa... itulah pola pikir abang untuk bisa melangkah lebih ringan kalau dikaitkan dengan agama..”

Gambar

Tabel 4.1 Jadwal Wawancara dengan Responden 1
Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden 1
Tabel 4.3 Jadwal Wawancara dengan Responden 2
Tabel 4.5 Analisa Antar Responden 1 dengan Responden 2

Referensi

Dokumen terkait

orang lain berarti memiliki tingkatan yang kurang baik dalam dimensi ini.. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being.. Beberapa faktor yang mempengaruhi

Bagaimanakah gambaran Psychological Well-Being lesbian yang berusia 20 tahun keatas ditinjau dari dimensi-dimensinya, yaitu penerimaan diri, hubungn positive dengan orang

Menurut Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological well-being sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dimana individu tersebut dapat menerima

of psychological well-being, Journal of Personality and Social Psychology?. The structure of

Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being ditemukan oleh Ryff (1989) yang menjelaskan istilah tersebut sebagai sebuah pencapaian penuh dari potensi psikologis

Hal ini juga sesuai dengan korelasi positif yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu peningkatan pada kondisi psychological well-being juga akan diikuti dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek memiliki psychological well being yang tergolong baik, hal ini ditandai dengan penerimaan diri kedua subjek yang tergolong

Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being ditemukan oleh Ryff (1989) yang menjelaskan istilah tersebut sebagai sebuah pencapaian penuh dari potensi psikologis