• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING) 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING) 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING) 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)

Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being ditemukan oleh Ryff (1989) yang menjelaskan istilah tersebut sebagai sebuah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Ryff (dalam Halim & Wahyu, 2005) juga menyatakan kesejahteraan psikologis sebagai hasil penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya.

Selanjutnya Ryff (dalam Sumule dan Taganing, 2008) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai suatu keadaan ketika individu dapat berfungsi optimal dan dapat menerima segi positif dan negatif diri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, dapat mengontrol perilakunya sendiri, memiliki tujuan hidup, mampu mengendalikan lingkungan, serta memiliki keinginan untuk terus berkembang dan mengembangkan potensi diri. Di lain pihak, kesejahteraan psikologis didefenisikan sebagai kepuasan pribadi, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasan

(2)

dan optimisme termasuk juga mengenali kekuatan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki (Bartram & Boniwell, 2007).

Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically-well). Ryff menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagian (happiness) merupakan hasil dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah kondisi individu yang ditandai dengan keberfungsian secara optimal, puas dan menerima keadaan dirinya, menerima sisi positif dan negatif diri, mempunyai kepuasan hidup dan realisasi potensi diri yang dipengaruhi oleh fungsi psikologis

(3)

yang positif dalam diri yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

2. Dimensi-Dimensi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis atau psychological well-being, yaitu:

a. Penerimaan diri (Self acceptance)

Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif, yang ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Individu yang menerima dirinya sendiri akan bersikap positif tehadap penilaian dirinya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini. (Ryff dalam Keyes, 2005). Menurut Maslow (dalam Calhoun & Accocela, 1990), penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri. b. Hubungan yang positif dengan orang lain (Positive relation with others)

Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan simpati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia dan mampu memberikan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain

(4)

dengan baik. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Seseorang juga mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa seseorang kurang baik dalam dimensi ini.

c. Otonomi (Autonomy)

Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), kemandirian, bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri. Seseorang yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis. d. Penguasaan terhadap lingkungan (Environmental mastery)

Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam mengembangkan diri. Dengan kata lain, seseorang mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik

(5)

dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar. e. Tujuan hidup (Purpose of life)

Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi kehidupannya. Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat mengabdikan dirinya pada masyarakat. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seorang individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefenisikan kesehatan mental.

f. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)

Mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu dan dapat berfungsi secara penuh (fully functioning). Individu yang dapat berfungsi secara penuh dalam dimensi ini adalah individu yang dapat terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya dan menyadari potensi yang dimiliki. Sebaliknya yang kurang dalam dimensi ini tidak dapat mengembangkan diri secara maksimal, kurang memiliki ketertarikan dalam kehidupan, tidak suka mencari pengetahuan dan pengalaman baru, dan merasa jenuh dengan kehidupan yang dimiliki.

(6)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada diri seseorang, yaitu:

a. Faktor Demografis 1. Usia

Penelitian Ryff pada tahun 1989, 1991, 1995, dan 1998 menunjukkan bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri, hubungan positif, menunjukkan peningkatan terhadap usia yang semakin dewasa. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukkan penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa (dalam Snyder & Lopez, 2002).

2. Tingkat Pendidikan

Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Snyder & Lopez, 2002) menemukan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis yang dimiliki individu. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik juga.

3. Jenis Kelamin

Menurut Ryff (dalam Papalia, Feldman & Olds, 2004), dimensi yang menunjukkan perbedaan menunjukkan signifikan antara pria dan wanita adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan

(7)

mandiri, sementara perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan pria.

4. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya (Ryff dalam Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi.

b. Faktor Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat membantu perkembangan pribadi yang lebih positif maupun memberi support pada individu dalam menghadapi masalah hidup sehari-hari. Ryff (dalam Hoyer, 2003) mengatakan bahwa pada individu dewasa, semakin tinggi tingkat interaksi sosialnya maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologisnya. Sebaliknya individu yang tidak mempunyai teman dekat cenderung mempunyai tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah (Kramer dalam Hoyer, 2003). Oleh karena itu, dukungan sosial dipandang cukup memiliki dampak bagi kesejahteraan psikologis.

(8)

c. Faktor Kompetensi pribadi

Kompetensi pribadi yaitu kemampuan atau skill pribadi yang dapat digunakan sehari-hari, didalamnya mengandung kompetensi kognitif.

d. Faktor Religiusitas

Hal ini berkaitan dengan transendensi segala pesoalan hidup kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000).

e. Faktor Kepribadian

Para ahli berpendapat bahwa variable kepribadian merupakan bagian dari kesejahteraan psikologis. Hal ini ditunjukkan salah satunya dari penelitian yang dilakukan Costa & Mc Crae pada tahun 1980 yang menyimpulkan bahwa kepribadian ekstrovert dan neurotis berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan psikologis. Pada dasarnya, kepribadian merupakan suatu proses mental yang mempengaruhi seseorang dalam berbagai situasi yang berbeda. Sementara di lain pihak, kesejahteraan psikologis mengacu pada suatu tingkatan dimana individu mampu berfungsi, merasakan, dan berfikir sesuai dengan standar yang diharapkan (Sheldon, 1997).

(9)

B. IBU

1. Defenisi Ibu

Ibu adalah wanita yang telah melahirkan seseorang (Depdiknas, 2001). Peranan ibu adalah sebagai istri dari suami dan ibu dari anak-anak. Menjadi ibu adalah dambaan bagi semua wanita karena ibu adalah seorang yang menentukan awal mula perkembangan anak dimana kodratnya sebagai wanita adalah melahirkan, menyusui dan merawat anak. Cinta kasih ibu terhadap anaknya merupakan jalinan emosi yang kuat (Kartono ,1992). Ibu mempunyai peranan penting untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota dalam keluarga (Effendy, 1998)

2. Perkembangan Wanita Dewasa sebagai Ibu

Masa dewasa awal merupakan masa-masa dimana paling banyak wanita memutuskan untuk menikah. Ketika seorang wanita mempunyai keputusan untuk menikah dan menjadi seorang istri, maka dia harus siap untuk menjaga keutuhan keluarga dan menjadi pendamping untuk suaminya. Pernikahan merupakan babak baru bagi seorang wanita, dimana itu merupakan saat-saat yang memerlukan persiapan diri yang tinggi yaitu menjalani kehidupan baru bersama suami (menjadi seorang istri yang baik), persiapan sebagai seorang ibu (dalam memiliki anak, termasuk hamil dan melahirkan), membesarkan anak dan sebagainya. Perannya sangat penting, dimana ia harus bisa mengendalikan diri dan meluangkan banyak waktunya untuk mengurus seluruh kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab untuk menjaga hubungan yang lebih sakral dan bertanggung

(10)

jawab untuk keluarga, memerlukan keterampilan dan kesiapan mental yang harus matang (Suryani & Hesti, 2008).

Seorang wanita menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan rumah tangganya. Menjaga kehamilan hingga lahirnya anak merupakan hal yang seharusnya dilakukan setiap ibu. Menyeimbangkan peran sebagai seorang istri dan ibu bukanlah hal yang sepele.

Kehadiran seorang anak dalam rumah tangga memberikan pengaruh besar bagi keluarga terutama bagi kehidupan seorang wanita karena mereka memiliki peran baru sebagai seorang ibu. Kondisi anak yang terlahir pun tentunya berpengaruh bagi kehidupan ibu secara keseluruhan. Membesarkan dan mengasuh anak tentunya juga merupakan tantangan yang lebih besar bagi seorang ibu.

3. Peran Ibu

Menjadi seorang ibu sangat sulit, karena beban seorang ibu adalah pemimpin untuk anak-anaknya. Dimana mereka menanggung beban yang berhubungan dengan anaknya, dan ibu merupakan orang pertama yang disalahkan ketika ada masalah atau anak berbuat kesalahan (Suryani & Hesti, 2008).

Pada masa sekarang ini, tidak sedikit wanita yang telah berumah tangga tetap berkarir. Berbagai peran (multiple role) wanita tersebut menjadi faktor yang dapat mempengaruhi sikap kerja, terutama ibu, dimana pada kenyataannya disatu sisi ibu tetap terus bekerja dan berkarir sementara disisi lain mereka tidak bisa lepas dari perannya sebagai ibu dan istri, belum lagi bila dikaitkan dengan pembagian kerja domestik rumah tangga dimana ibu yang masih lebih banyak

(11)

mengerjakannya. Norma sosial yang ditanamkan pada wanita adalah untuk tampil feminin, yaitu patuh, mengabdi, pasif, mengurus rumah tangga, dan bergantung pada orang lain. Mereka sadar, mereka harus bisa menjadi ibu yang sabar dan bijaksana untuk anak-anak serta menjadi istri yang baik bagi suami serta menjadi ibu ruman tangga yang bertanggung jawab atas keperluan dan urusan rumah tangga. Sementara itu, dari dalam diri mereka pun sudah ada keinginan ideal untuk berhasil melaksanakan peran tersebut secara proporsional dan seimbang.

Selain masalah internal, masalah eksternal seperti pengasuhan terhadap anak, biasanya dialami oleh para ibu yang mempunyai anak kecil (balita). Semakin kecil usia anak, maka semakin besar tingkat stress yang dirasakan. Hal ini dapat diringankan dengan adanya dukungan dari suami, sehingga tugas yang tadinya terasa berat menjadi lebih ringan dan membahagiakan. Sebaliknya, jika suami istri dalam sebuah perkawinan tidak mampu menjalin kerjasama, maka hal itu akan menyebabkan kesulitan dalam mengatasi permasalahan hidup yang lebih kompleks di kemudian hari dan mempengaruhi si istri dalam menjalankan perannya dalam kehidupan rumah tangga dengan optimal, khususnya berhubungan dengan anaknya.

4. Kesejahteraan Psikologis Ibu

Kesejahteraan psikologis diperlukan agar manusia didalam hidupnya bahagia, tentram dan dapat melakukan sesuatu hal yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain. Kesejahteraan psikologis pada seorang wanita dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya kinerja keibuan. Ibu sering dianggap sebagai peran sementara dalam keluarga yang dapat meningkatkan

(12)

kemungkinan bahwa mereka memperhatikan dan sebagai penerima reaksi emosi dari anggota keluarga lainnya (Larson dan Richards 1994). Kesejahteraan psikologis ibu bagaimanapun lebih cenderung dipengaruhi oleh rutinitas kegiatan pengasuhan sehari-hari. Ibu melaporkan kepuasan yang lebih besar mengenai pengasuhan dibandingkan ayah dan mereka lebih mendukung anak-anak mereka dibandingkan seorang ayah (Starrels, 1994). Dibandingkan dengan ayah, ibu lebih terlibat tanggung jawab untuk perawatan anak sehari-hari, yang menghadapkan mereka ke beberapa jenis perbedaan pendapat dan ketegangan dengan anak-anak mereka (Hochschild 1989). Jumlah anak-anak dalam rumah tangga juga menjadi prediktor penting ketegangan keluarga bagi ibu. Hal-hal ini jelas mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada ibu dimana ibu berusaha untuk menyeimbangkan perannya sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya, sebagai seorang istri yang mengurus rumah tangga dengan baik sekaligus memenuhi potensi-potensi yang ada dalam dirinya untuk mencapai kepuasan hidupnya sendiri.

C. ANAK TUNAGRAHITA

1. Definisi Anak Tunagrahita

Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Somantri, 2007). Dalam kepustakaan bahasa asing sering digunakan istilah-istilah seperti mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dll untuk menyebutkan anak tunagrahita. Anak tunagrahita dikenal juga dengan

(13)

istilah keterbelakangan mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sulit untuk mengikuti program pendidikan biasa dan membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yang disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut.

Seseorang dikatakan tunagrahita tidak hanya dilihat dari IQ-nya akan tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana ia dapat menyesuaikan diri. Beberapa karakteristik umum tunagrahita yaitu keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya. Suatu batasan yang dikemukakan oleh AAMR (American Association on Mental Retardation) menjelaskan bahwa keterbelakangan mental menunjukkan adanya keterbatasan dalam fungsi yang mencakup fungsi intelektual yang dibawah rata-rata, dimana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih dari keterampilan adaptif seperti komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, waktu luang dll dan keadaan ini terjadi pada masa perkembangan dan tampak sebelum usia 18 tahun (Hallahan & Kauffman, 2006). Fungsi intelektual ditentukan melalui tes intelegensi yang menunjukkan pada kemampuan yang berhubungan dengan kinerja akademis. Sedangkan keterampilan adaptif menunjukkan pada kemampuan yang berkaitan dengan bagaimana seseorang melakukan ‘coping’ dengan lingkungannya (Mangunsong, 1998). Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan antara anak-anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Akan tetapi semakin lama perbedaan pola perkembangan antara anak tunagrahita dengan anak normal semakin terlihat jelas.

(14)

Dari defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata anak seusianya, memiliki hambatan dalam perilaku adaptif, ketidakcakapan dalam interaksi sosial dan hal ini terjadi dalam periode perkembangan anak.

2. Klasifikasi dan Karakteristik Anak Tunagrahita

Pengelompokan anak tunagrahita pada umumnya didasarkan pada tingkat kecerdasan atau taraf inteligensinya. Seseorang dapat dikatakan memiliki kecerdasan dibawah rata-rata biasanya dapat dilihat ketika adanya ketidaksesuaian antara Chronological Age (CA) dan Mental Age (MA). Chronological Age adalah usia kronologis si anak atau usia anak sebenarnya, sedangkan Mental Age adalah kemampuan mental yang dimiliki seorang anak pada usia tertentu. Jika MA seorang anak lebih rendah daripada CA nya, maka anak tersebut memiliki kemampuan kecerdasan dibawah rata-rata. Anak tunagrahita selalu memiliki MA yang lebih rendah daripada CA secara signifikan (jelas). Klasifikasi menurut AAMD (American Assotiation on Mental Deficiency) dalam Amin (1995) adalah sebagai berikut:

a. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik)

Tingkat kecerdasannya IQ mereka berkisar 50 – 70 mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial dan kemampuan bekerja, mampu menyesuaikan

(15)

lingkungan yang lebih luas, dapat mandiri dalam masyaraakat, mampu melakukan pekerjaan semi trampil dan pekerjaan sederhana.

b. Tunagrahita Sedang (Mampu Latih)

Tingkat kecerdasan IQ berkisar 30–50 dapat belajar keterampilan sekolah untuk tujuan fungsional, mampu melakukan keterampilan mengurus dirinya sendiri (self-help), mampu mengadakan adaptasi sosial dilingkungan terdekat, mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan.

c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat)

Tingkat kecerdasan IQ mereka kurang dari 30 hampir tidak memiliki kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri. Ada yang masih mampu dilatih mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat terbatas.

Selain karakteristik yang telah dijelaskan sebelumnya, Mangunsong (1998) juga memaparkan bahwa ada beberapa karakteristik psikologis dan tingkah laku anak tunagrahita. Namun tidak semua karakteristik psikologis dan tingkah laku ini terdapat pada anak tunagrahita. Banyak keragaman dalam tingkah laku tunagrahita yang menunjukkan keunikan diri mereka. Beberapa segi psikologis dan tingkah laku yang perlu dipertimbangkan adalah:

(16)

d. Atensi. Perhatian sangat diperlukan dalam proses belajar. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak tunagrahita mengalami kesulitan belajar karena adanya masalah dalam memusatkan perhatian.

e. Daya ingat. Kebanyakan anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam mengingat suatu informasi terutama yang rumit dan teoritis.

f. Self-regulation. Anak tunagrahita sering mengalami kesulitan dalam self-regulation-nya yaitu kemampuan untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. g. Perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa yang terlambat atau menyimpang merupakan gejala yang dialami oleh anak-anak tunagrahita. Masalah dalam berbicara yang muncul misalnya kesalahan dalam artikulasi. h. Prestasi akademis. Hubungan antara inteligensi dengan prestasi seseorang sangatlah erat, maka anak-anak tunagrahita akan terhambat dalam semua prestasi akademisnya dibandingkan mereka yang normal. Mereka juga cenderung menjadi ‘underachiever’ dalam kaitan dengan harapan-harapan yang didasarkan pada tingkat kecerdasannya.

i. Perkembangan sosial. Anak-anak tunagrahita sering dikatakan memiliki konsep diri yang buruk, sulit mendapatkan teman dan kurang memahami bagaimana cara berinteraksi secara sosial dengan orang lain atau kemungkinan tidak mendapat kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain.

j. Motivasi. Jika anak tunagrahita sering atau selalu mengalami kegagalan maka dapat berisiko untuk mengembangkan kondisi ‘learned helplessness’ dimana munculnya perasaan bahwa mereka tidak memiliki motivasi dan seberapa besar pun usaha mereka pasti akan menunjukkan kegagalan.

(17)

3. Faktor-Faktor Penyebab Ketunagrahitaan

Beberapa di bawah ini akan dijelaskan faktor penyebab tunagrahita atau retardasi mental (Luckasson et al dalam Heward, 1996):

a. Penyebab Genetik dan Kromosom

Terdapat sejumlah bentuk-bentuk retardasi mental yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik dan kromosom.

1. Kerusakan Kromosom misalnya Trisomy 21 (Down Syndrome)

Down Syndrome adalah bentuk retardasi mental yang dikenal kebanyakan orang. Down Syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Keadaan yang paling sering terjadi adalah terbentuknya kromosom 21. kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.

2. Gangguan Metabolisme seperti Phenylketonuria (PKU)

Adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh keturunan dari dua gen yang terpendam dari orang tua yang membawa kondisi tersebut.

b. Penyebab Pra Kelahiran

Penyebab pada masa pra-kelahiran kadang-kadang terjadi setelah pembuahan sebelum kelahiran. Diantaranya:

1. Rubella (Cacar Air)

2. Penyakit Syphilis dan infeksi penyakit kelamin lainnya 3. Gangguan perkembangan otak, contohnya hydrocephalus

(18)

4. Pengaruh lingkungan seperti malnutrisi

5. Racun yang berasal dari obat-obatan dan alkohol

c. Penyebab Pada Saat Kelahiran

Masalah utama pada saat kelahiran yang mungkin menyebabkan retardasi mental adalah prematur. Bayi yang baru lahir sangat prematur berada pada resiko mengalami berbagai kesulitan fisik yang mungkin dapat dihubungkan dengan kerusakan otak. Namun banyak juga bayi yang lahir prematur akhirnya tumbuh dengan baik dan tidak menderita kerusakan. Semakin besar tingkat kelahiran prematur, maka semakin besar pula risikonya.

d. Penyebab Pada Masa Perkembangan Anak

1. Radang selaput otak (meningitis) 2. Kecelakaan yang menyebabkan cedera 3. Gangguan epilepsy atau kejang-kejang 4. Malnutrisi

4. Dampak Ketunagrahitaan Anak Terhadap Keluarga

Menurut Somantri (2007), orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Oleh karena itu dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita merupakan resiko keluarga. Keluarga anak tunagrahita berada dalam resiko, mereka menghadapi resiko yang berat. Saudara-saudara anak tersebut pun menghadapi hal-hal yang bersifat emosional.

Saat yang krisis adalah ketika keluarga itu pertama kali menyadari bahwa anak tersebut tidak normal seperti yang lain. Jika anak tersebut menunjukkan

(19)

gejala-gejala kelainan fisik (misalnya mongolisme) maka kelainan anak dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kelainan fisik, maka orang tua hanya akan mengetahui dari hasil pemeriksaan.

Orang tua mungkin menolak kenyataan atau menerima dengan beberapa persyaratan tertentu. Reaksi orang tua berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, misalnya apakah kecacatan tersebut dapat segera diketahuinya atau terlambat diketahuinya. Faktor lain yang juga yang sangat penting ialah derajat ketunagrahitaannya dan jelas tidaknya kecacatan tersebut terlihat orang lain (Somantri, 2007).

Perasaan dan tingkah laku orang tua itu berbeda-beda dan dapat dibagi menjadi :

1. Perasaan melindungi anak secara berlebihan, yang bisa dibagi dalam wujud:

a. Proteksi biologis

b. Perubahan emosi yang tiba-tiba, yang dapat mendorong untuk

menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin.

c. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan

2. Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan

3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal.

4. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri.

5. Banyak tulisan yang menyatakan bahwa orang tua merasa berdosa. Sebenarnya perasaan tersebut tidak selalu ada. Perasaan tersebut bersifat kompleks dan dapat mengakibatkan depresi.

(20)

6. Merasa bingung dan malu, yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul dan lebih suka menyendiri.

Orang tua dari anak tunagrahita dapat terganggu ketika menghadapi peristiwa-peristiwa kritis. Adapun saat-saat kritis itu terjadi pada saat berikut :

1. Pertama kali mengetahui bahwa anaknya cacat.

2. Memasuki usia sekolah, pada saat tersebut sangat penting kemampuan masuk

sekolah biasa, sebagai tanda bahwa anak tersebut normal.

3. Meninggalkan sekolah.

4. Orang tua bertambah tua, sehingga tidak mampu lagi memelihara anaknya

yang cacat.

Orang tua biasanya tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya yang tunagrahita. Mereka tidak mengetahui layanan yang dibutuhkan oleh anaknya yang tersedia di masyarakat. Dilihat dari sudut tertentu, baik juga seandainya anak tunagrahita dipisahkan di tempat-tempat penampungan. Tetapi bila dilihat dari sudut lain pemisahan seperti ini dapat pula mengakibatkan ketegangan orang tua, terlebih-lebih bagi ibu-ibu yang selama ini menyayangi orang tersebut (Somantri, 2007).

D. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU YANG MEMILIKI ANAK

TUNAGRAHITA

Tidak ada satupun ibu yang menginginkan anaknya terlahir dan besar dengan kondisi yang berbeda dari anak normal. Engel et. al (1997) mengatakan, melalui penelitian ilmiah akhir-akhir ini dapat diketahui secara pasti bahwa faktor

(21)

lingkungan yang menjadi penyebab asli dari timbulnya berbagai bentuk kecacatan dan kelumpuhan anak. Ketidaknormalan yang terjadi pada seorang anak dapat disebabkan benih yang baik namun berada pada lingkungan yang buruk atau benih yang buruk yang berada pada lingkungan yang baik. Banyak sekali fenomena cacat fisik yang terjadi pada anak yang dahulu dianggap sebagai akibat turunan, namun kini diketahui bahwa penyebabnya adalah faktor lingkungan terutama karena kekurangan oksigen pada masa kehamilan. Perlu diketahui bahwa lingkungan pada masa perkembangan awal janin memberikan pengaruh kepada janin yang pengaruhnya lebih besar dari pengaruh lingkungan luar.

Kondisi anak yang “berbeda” dari harapan orang tua memicu tekanan dan kesedihan, khususnya ibu sebagai figur terdekat dengan anak. Ibu merupakan tokoh yang sangat rentan terhadap masalah penyesuaian dikarenakan mereka berperan langsung dalam mengandung, melahirkan dan membesarkan anak. Pandangan yang terbentuk pada ibu juga sering menyebabkan kesenjangan antara kegembiraan setelah masa penantian kehamilan dengan realitas keadaan anaknya. Mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini merupakan tantangan tersendiri bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita (Mangunsong, 1998). Bowlby dalam penelitiannya (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2002) mengemukakan bahwa kelekatan anak sangat kuat terhadap ibunya hingga usia 3-6 tahun dan setelah itu mulai berkurang. Reaksi yang terjadi membuat ibu sulit menerima kondisi anak tunagrahita dimana anak tunagrahita membutuhkan perhatian yang lebih besar jika dibandingkan anak yang normal (Mawardah, Siswati & Hidayati, 2012).

(22)

Sebagian besar orang tua dengan anak tunagrahita, menghadapi dua krisis utama (Kirk & Gallagher, 1989). Pertama, orang tua tentunya memiliki harapan-harapan mengenai masa depan dari anak yang akan lahir, seperti harapan-harapan mengenai kesuksesan, pendidikan, hingga kondisi finansial anak tersebut. Tidak dapat dielakkan lagi orang tua yang mengetahui bahwa anaknya berbeda dari anak normal, akan kehilangan mimpi dan harapan mereka. Bahkan beberapa dari orang tua mengalami depresi berat ketika mengetahui kenyataan tersebut (Farber dalam Kirk & Gallagher, 1989). Kedua, krisis yang dialami berhubungan dengan masalah untuk memberikan pelayanan sehari-hari bagi anak mereka yang tunagrahita dimana anak tersebut harus mendapatkan bantuan oleh orang tuanya, seperti membantu anak dalam urusan sekolah, dalam hal berpakaian, makan, minum dan sebagainya. Keberadaan anak berkelainan juga akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keluarga dan dalam interaksi satu sama lain.

Terdapat beberapa reaksi awal ibu terhadap anak tunagrahita hingga pada akhirnya mereka perlahan dapat menerima kondisi dirinya sebagai orang tua dari anak tunagrahita dan kondisi anak mereka. Kubler–Ross (dalam Garguilo,1985) membagi penerimaan menjadi tiga tahapan besar. Tahapan-tahapan itu adalah:

a. Primary Phase

1. Shock

Orangtua merasa terguncang, tidak mencapai apa yang telah terjadi. Timbul tingkah laku yang tidak rasional di tandai dengan menangis terus-menerus dan perasaan tidak berdaya.

(23)

Orangtua menolak keadaan keluarganya dengan cara merasionalisasi kekurangan yang ada atau mencari penegasan dari para ahli bahwa tidak ada kekurangan.

3. Grief and Depression

Merupakan reaksi yang wajar dan tidak perlu dihindari. Dengan adanya perasaan ini orangtua mengalami masa transisi, dimana harapan masa lalu mengenai ‘anak yang seumpama’ tidak sesuai dengan kenyataan yang ada saat ini.

b. Secondary Phase

1. Ambivalence

‘Kecacatan’ yang dialami oleh salah satu anggota keluarga dapat meningkatkan intensitas kasih sayang sekaligus perasaan bencinya. Dalam hal ini seseorang dapat mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk anak atau justru menolak memberikan kasih sayang kepada anak dan menganggap anaknya tidak berguna.

2. Guilty Feeling

Perasaan bersalah karena menganggap dirinyalah yang menyebabkan anaknya mengalami cacat, dan dirinya akan dihukum karena dosanya di masa lalu.

3. Anger

Perasaan ini dapat ditunjukkan dengan dua cara. Pertama, timbulnya pertanyaan: mengapa saya? Kedua, displacement dimana rasa marah ditunjukkan kepada orang lain, seperti dokter, terapis atau anggota keluarga yang lain.

4. Shame and embarrasment

Perasaan ini timbul saat menghadapi lingkungan sosial yang menolak, mengasihani atau mengejek ‘kecacatan’ anak.

c. Tertiary Phase

(24)

Suatu strategi dimana orangtua membuat perjanjian dengan Tuhan, ilmu pengetahuan atau pihak manapun yang mampu membuat anaknya menjadi kembali normal.

2. Adaptation dan reorganization

Adaptation merupakan proses bertahap yang membutuhkan waktu dan berkurangnya rasa cemas dan reaksi emosional lainnya., sedangkan reorganization adalah kondisi dimana orangtua merasa nyaman dengan situasi yang ada dan terdapat rasa percaya diri akan kemampuan mereka untuk merawat dan mengasuh.

3. Acceptance dan Adjustment

Pada fase ini seseorang tidak hanya menerima kondisi penderita tetapi juga menerima kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri.. Adjustment atau penyesuaian diri adalah

tambahan untuk menjelaskan konsep acceptance, dimana terdapat suatu tindakan positif yang bergerak maju.

Tahapan-tahapan ini mungkin dapat terjadi satu demi satu pada beberapa orang, namun pada sebagian orang dalam mencapai tahap penerimaan tidak harus melalui keseluruhan tahap demi tahap diatas dan bisa hanya mengalami beberapa tahap saja serta tidak berurutan.

Orang tua adalah guru pertama bagi anak mereka, mereka selalu ada untuk memberikan dorongan maupun pujian bagi anak. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan intelektual dan perilaku adaptif, orang tua juga harus mengajarkan anak mereka agar dapat meneruskan kelangsungan hidupnya dan mandiri. peran

(25)

ibu dalam pengasuhan anak sangat penting dan membutuhkan dukungan penuh agar anak itu sendiri dapat hidup mandiri. Hubungan anak tunagrahita dengan ibunya sangatlah penting dibandingkan dengan hubungan anak yang inteligensinya normal dengan ibunya. Kepribadiannya, termasuk kestabilan atau ketidakstabilan emosinya, sampai pada batas tertentu mencerminkan kepribadian dan kestabilan atau ketidakstabilan emosional ibunya (Semiun, 2006).

Ibu dengan anak tunagrahita akan mengalami beragam bentuk pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan dan reaksi emosional negatif yang mengakibatkan penyesuaiannya kehidupan mereka (Findler & Proquest, 2000). Kondisi ini mempengaruhi kondisi ibu secara mental psikologis. Dalam kaitannya dengan kondisi psikologis, maka permasalahan penerimaan diri tidak lepas dalam kondisi ini.

Beberapa studi menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak tunagrahita sering kali mengalami stres tingkat tinggi (Hendriks, DeMoor, Oud, & Savelberg; McKinney & Peterson; Rodrigue, Morgan, & Geffken; Smith, Oliver, & Innocenti dalam Lessenberry & Rehfeldt, 2004). Beban fisik penyebab stres pada ibu yang memiliki anak tunagrahita berkaitan dengan ketidakmampuan anak dalam melakukan aktivitas sehari-hari membuat orang tua khususnya ibu harus selalu siap dalam membantu dan mendampingi anaknya, sedangkan beban psikis yang dirasakan ibu berkaitan dengan proses penerimaan mulai dari rasa kaget, kecewa, rasa bersalah atas kondisi anak serta tidak adanya dukungan dari keluarga (Mawardah, Siswati & Hidayati, 2012). Ditambah dengan beban sosial dan respon negatif dari masyarakat membuat ibu yang memiliki anak tunagrahita menjadi

(26)

malu yang kemudian menarik diri dari kehidupan sosial, dan ini jelas mempengaruhi kesejahteraan psikologis ibu secara keseluruhan.

Ibu dari anak tunagrahita harus menerima dan membantu anak dalam menyesuaikan diri. Jika anak merasa aman dalam hubungan dengan keluarganya dan mengetahui bahwa orang tuanya benar-benar memperhatikannya maka ini akan banyak membantu anak dalam menyesuaikan diri dengan dunia luar. Ibu dari anak tunagrahita yang bisa menerima kondisi anaknya lebih banyak memberikan rasa kasih sayang serta perhatiannya yang lebih terhadap anaknya. Namun ibu yang tidak bisa menerima kondisi anaknya, memilih untuk menjauhi serta berusaha untuk tidak terlalu banyak berinteraksi dengan anaknya yang tunagrahita. Biasanya ibu dari anak tunagrahita merasa sangat terbebani secara fisik maupun mental saat harus merawat anaknya sehingga banyak menutup diri dari pekerjaan maupun kegiatan di luar rumah. Ibu dengan anak tunagrahita juga harus mampu memenuhi kebutuhan psikologisnya untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan agar dapat mengasuh anaknya dengan baik. Konsultasi ibu sangat penting untuk mengatasi stres serta bisa membantu mengidentifikasi rasa marah dan bersalah yang mungkin timbul pada ibu dalam situasi ini (Yulius dalam Mawardah, Siswati & Hidayati, 2012).

Pemenuhan kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita dapat ditandai dengan kondisi psikologis seorang ibu yang memiliki keberfungsian hidup secara optimal, puas dan menerima keadaan dirinya sebagai seorang ibu dari anak tunagrahita, menerima sisi positif dan negatif dirinya dan anaknya, mempunyai kepuasan terhadap kehidupannya dan adanya realisasi

(27)

potensi dalam diri ibu yang memiliki anak tunagrahita hingga mencapai kebahagiaan dan hidup yang bermakna. Sangat penting sebagai seorang ibu, untuk meluangkan waktu untuk merawat diri sendiri sebagai individu dalam mempertahankan kesejahteraan psikologis mereka. Seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita juga memerlukan dukungan dari segala pihak untuk mengurangi beban yang dirasakannya, dimana kondisi ibu yang memiliki anak yang memiliki keterbatasan secara intelegensi dan sosial tersebut memerlukan tenaga, pikiran dan biaya yang lebih besar dalam merawat anaknya sehingga membutuhkan bantuan dari orang lain untuk meringankan beban yang dirasakan dan membantu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan psikologis ibu (Ravindranadan, 2007).

(28)

Kerangka pemikiran

Gambar I. Kerangka Pemikiran Kesejahteraan Psikologis pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita

Reaksi ibu

Semua orang tua ingin mempunyai anak normal

Faktanya, banyak anak yang terlahir tidak normal.

Salah satunya  Tunagrahita

Menerima kondisi anak dengan lapang dada

Shocked, menolak Tidak dapat menerima kondisi anaknya

Kesejahteraan Psikologis Ibu

Menurut Ryff (1989), ada 6 dimensi Kesejahteraan Psikologis :

1. Penerimaan diri

2. Hubungan yang positif dengan orang lain 3. Otonomi

4. Penguasaan terhadap lingkungan 5. Tujuan hidup

Gambar

Gambar I. Kerangka Pemikiran Kesejahteraan Psikologis pada Ibu yang  Memiliki Anak Tunagrahita

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa dengan menggunakan strategi pembelajaran Numbered Heads Together dalam

Adanya transformasi tersebut, secara semiotik, dapat dimaknai sebagai suatu upaya pelestarian nilai-nilai moral yang termuat dalam CPSJ ke dalam era WSJ sejalan dengan situasi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas fitoplankton; kesuburan perairan dan perhitungan nilai Saprobitas Perairan; dan keterkaitan unsur hara (N, P)

Pada proses ini bahan baku yang digunakan adalah ethyl alcohol

menentukan karakteristik gelembung renang (proporsi dan komposisi kimia) dan karakteristik kolagen (rendemen, komposisi asam amino, derajat pengembangan dan sifat termal)

Penelitian ini memperlihatkan bahwa muncak M1 yang berumur 4 tahun, berat badan 19.5 kg dan postur tubuh lebih besar, memiliki ukuran RV dan durasi pertumbuhan RV lebih

Peneliti membatasi penelitian hanya terdapat 10 perusahaan asuransiyang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang mempublikasikan laporan keuangan untuk tahun 2010,

Metode Kano digunakan untuk mengidentifikasikan tingkat kepuasan dan ketidakpuasan melalui 25 atribut pelayanan yang dijadikan sebagai atribut dalam penelitian.. Kata kunci: